Memahami Peran
Penting Seorang Ibu Sebagai Pendidik
Marzuki Wardi
Diunduh dari https://id.pngtree.com/free-png-vectors/ibu-muslim |
Bocah mungil
dua tahunan itu bersorak riang ke ibunya, “Aku mau layangan itu, bu, ambilkan
layangan itu!”[1]
pekiknya dengan logat dan bahasa daerah yang masih agak cadel.
Ibunya
kemudian mendongak benda yang dimaksud buah hatinya sambil menudung kening
dengan lekukan jemari kanannya. Ia mendengus dan menggeleng setelah memastikan
bahwa permintaan itu mustahil dikabulkan. “Lain-lain doang!”[2]
timpalnya kemudian dengan nada ketus.
Bocah
laki-laki itu tidak mau menyerah begitu saja. Ia kembali meminta ibunya untuk
mengambilkan layangan tersebut. Namun, dongakan kepala plontos dan lambaian
tangannya ke atas terpaksa dihentikan karena cegatan ibunya. Mata polosnya
kemudian hanya bisa mengerjap lalu mengeluarkan jurus andalan; merengek dan
menangis.
Ibu yang
tampak masih cukup muda tersebut juga tidak mau kalah. Ia memaksa agar
perhatian si anak beralih ke hal lain yang menurutnya sendiri lebih menarik dan
memungkinkan untuk dilakukan. Sampai di situ, punah sudah harapan si bocah
untuk memiliki benda ajaib yang sedang bergoyang-goyang di angkasa itu. Upaya
ibu untuk mengelabui buah hatinya pun berhasil.
Itu bukanlah
cerita rekaan dari saya. Ini adalah percakapan sederhana antara seorang ibu dan
anaknya yang secara tidak sengaja saya tangkap beberapa saat lalu. Akan tetapi,
meski telinga saya sedikit liar, saya tentu tidak bermaksud mengaretkan cerita
tersebut lalu mencibirnya. Apalagi sampai menjatuhkan martabat ibu si bocah
layaknya seorang politikus yang sedang menjatuhkan pesaingnya di hadapan calon
pendukungnya yang lugu. Hanya saja kondisi di atas mengingatkan kita betapa
pentingnya seorang ibu memahami perannya sebagai seorang pendidik.
Saking
pentingnya, dalam Islam kita mengenal ungkapan Ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak. Jadi, seorang ibu
tidak hanya bertanggung jawab dalam merawat tumbuh kembang anak secara fisik.
Namun, lebih dari itu, ia juga dituntut untuk bisa berperan sebagai seorang
pendidik atau guru bagi anaknya. Sementara, tugas utama seorang guru ialah
mendidik, mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan hal-hal baik lainnya
kepada anak. Karenanya, memahami cara mendidik anak menjadi sebuah tuntunan
bagi orang tua.
Pentingnya
memahami ilmu mendidik
Pertanyaannya,
seberapa penting seorang ibu memahami ilmu mendidik? Memangnya ada ibu yang
mengajarkan hal-hal buruk kepada anaknya? Tentu saja tidak ada. Ketika seorang
ibu mencegah anak yang hendak merusak mainan milik temannya, secara tidak
langsung itu sudah mengarah kepada upaya mendidik. Sebab, dia berupaya
menanamkan nilai kebaikan pada diri si anak. Tujuan lain bisa juga untuk
mendidik anak mengetahui batasan hak-haknya. Namun, pilihan kata, kalimat, dan
cara (metode) yang diterapkan merupakan persoalan lain. Yaitu menyangkut
kecakapan mendidik (pedagogical knowledge),
bukan karena dorongan insting pedagogis (pedagogical
instinct)[3]
semata.
Seorang ibu
yang memiliki pedagogical instinct tanpa
pedagogical knowledge boleh jadi
hanya berfokus pada tujuan yaitu mencegah perilaku kurang baik tersebut. Namun,
dia mengabaikan cara-cara yang layak dan sesuai bagi perkembangan psikis dan
emosional anak. Misalnya, membentak, menggerutu, atau bahkan mengomeli.
Sementara, ibu yang memiliki ilmu mendidik cenderung menggunakan cara-cara
positif seperti membujuk, menenangkan, dan menasihati. Sebab, dia tahu setiap
kalimat, sikap, dan perlakuannya akan berdampak pada pribadi anak. Dia sadar
setiap ucapannya akan membekas pada diri anak. Karena itu, dia akan selalu berupaya
menghindari kata-kata yang tidak bermanfaat.
Kita pasti
tahu kisah masyhur masa kecil Imam Masjidil Haram Syeikh Sudais. Pada suatu
kesempatan, ketika sang Imam kecil sedang bermain, beliau menaburkan pasir ke
makanan yang sedang disiapkan oleh ibunda untuk menjamu tamu. Tentu saja hal
itu membuat sang ibu marah, tetapi kalimat yang keluar dari lisan beliau adalah
doa bagi sang anak tercinta, “Pergi main sana biar kamu jadi Imam Masjidil
Haram.” Qodarullah sang anak tumbuh
menjadi pribadi yang saleh dan kini menjadi Imam Masjidil Haram.
Ada lagi kisah
teladan lain yang serupa yaitu Syeikh Abdul Qadir Jilani. Alkisah ketika beliau
hendak pergi menuntut ilmu, ibunya berpesan agar beliau selalu jujur dalam situasi
apa pun. Pesan tersebut rupanya dipegang betul oleh Syeikh Abdul Qadir kecil.
Kata-kata ibunya laksana pasak yang terpancang kuat dalam benak beliau.
Sehingga tidak mudah digoyahkan oleh gangguan-gangguan yang datang dari luar.
Bahkan, ketika dirampok dan ditanya bekal perjalanan berupa emas yang disimpan
di kantung jubahnya, beliau tetap jujur memberi tahu si perampok. Namun, yang
terjadi justru sebaliknya, si raja rampok tidak mau mengambil harta tersebut.
Dia, seketika itu, bertobat di hadapan Syeikh Abdul Qadir Jilani yang masih
belia.
Demikianlah
betapa besar pengaruh sang ibu dalam menempa pribadi anak. Jika kita telusuri
lebih jauh, tentu masih banyak tokoh muslim lainnya yang menjadi orang besar
berkat bimbingan seorang perempuan mulia bernama ibu. Tidak hanya dari kalangan
ulama besar, tetapi juga para ilmuwan muslim terkemuka. Memang, keberhasilan
yang diraih tetap melalui proses yang panjang. Namun, doa dapat menguatkan dan
membantu ikhtiar dalam menggapai tujuan. Terlebih doa sang ibu, bukankah doa
ibu itu paling mustajab? Selain itu, motivasi
dan dorongan yang diberikan ibu juga bisa menjadi energi positif yang terus
mengalir pada diri anak.
Perlunya
Mengelola Permintaan dan Rasa Ingin Tahu anak
Dalam
kaitannya dengan cerita pembuka di atas, bagaimana semestinya sang ibu
menyikapi permintaan anaknya yang tergolong mustahil dipenuhi? Saya kira ini
yang perlu kita perhatikan. Banyak ibu, khususnya di tempat saya, seakan takut
melihat anak memikirkan hal mustahil dan aneh. Padahal, kita perlu mendorong
anak untuk berpikir seperti itu agar kita bisa menemukan potensi yang dapat
kita kembangkan. Bukankah para ilmuwan yang menghasilkan beragam penemuan
berawal dari pemikiran yang sulit dijangkau bahkan aneh?
Andai saja
Isaac Newton tidak penasaran dengan gerakan apa yang terjadi ketika melihat
buah apel yang jatuh ke bawah, mungkin saja teori gravitasi bumi tidak ia
temukan. Begitu pun dengan para ilmuwan muslim yang telah memberikan sumbangsih
bagi peradaban Islam bahkan dunia hingga saat ini. Sebut saja Bapak Matematika
Islam Al-Khawarizmi, Bapak Kimia Arab Jabir Bin Hayyam, penemu sistem waktu 24
jam Al-Battani, dan masih banyak lainnya. Mereka tidak akan secemerlang itu
jika tidak berpikir aneh di mata orang awam.[4]
Lho, mereka,
kan, ilmuwan? Bagaimana mungkin kita bisa mengikuti gaya berpikir mereka? Kita
memang tidak sedang membandingkan gaya berpikir anak dengan mereka. Namun, kita
hanya berupaya menanamkan hal-hal yang memungkinkan gaya berpikir seperti
mereka pada diri anak. Di sinilah kita perlu memahami peran penting orang tua
(terutama ibu) untuk menempa dan mendampingi perkembangan intelektual anak.
Sebetulnya,
kita bisa mengolah pikiran dan keinginan aneh anak menjadi bermakna. Tentu saja
bukan aneh plus berbahaya, tetapi yang bermakna positif. Misalnya, dengan
menggiring pikiran anak kenapa layangan itu tidak bisa kita ambil secara
langsung? Di mana posisi (jarak) layangan tersebut, dan di mana kita berada?
Kenapa bisa terbang? Siapa pemiliknya? Beragam pertanyaan lain yang mengarah pada
pembentukan pengetahuan dasar anak terhadap benda itu.
Lebih bagus
lagi jika si ibu bisa menggiring kreativitasnya. Misalnya dengan memancing
keingintahuan anak tentang bagaimana cara membuat layangan, dan menguatkan
kepercayaan diri bahwa dia juga bisa membuatnya sendiri. Dalam hal ini, ada ayah
yang bisa diajak berkolaborasi. Dia bisa mengajak anak untuk belajar dan
praktik merakit layangan bersama. Dengan demikian, kita sudah berupaya
menumbuhkan kecakapan berpikir sekaligus kreativitas anak. Kalaupun tidak
memungkinkan, barulah kita membeli mainan sebagai alternatif terakhir.
Maksud saya
benda tersebut bukanlah fokus tujuan kita, melainkan respons terhadap
permintaan aneh tersebut, yaitu dengan memberikan pemahaman mengenai benda
tersebut alih-alih mengelabuinya. Dengan demikian kita tidak mematikan rasa
ingin tahu dan kreativitas anak begitu saja. Mari kita coba membayangkan diri
pada posisi anak. Bagaimana kira-kira perasaan kita ketika menemui sesuatu yang
kita idam-idamkan muncul begitu saja di depan kita? Senang, bukan? Tidak hanya
merasa senang, kita bahkan mulai berusaha untuk segera memilikinya. Ketika
berusaha sedemikian rupa, ternyata kita mengalami kesulitan dan merasa sulit
meraihnya. Ketika menyadari kelemahan yang dimiliki, kita menyimpulkan bahwa
benda itu mustahil bisa kita miliki.
Apa yang akan
kita lakukan? Tentu minta tolong kepada orang terdekat, bukan? Sayangnya orang
terdekat tersebut justru menolak bahkan menyalahkan kita. Apakah kita kecewa?
Tentu saja, tetapi tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain merengek dan
merajuk pada ibu. Jadi, merengek dan merajuk dalam hal ini adalah kebutuhan
dasar kita sebagai anak.
Jadi, apakah
sikap ibu tersebut kurang tepat? Sekali lagi, saya tidak bermaksud menyalahkannya
begitu saja, dan menggeneralisasi kasus ini kepada semua ibu. Saya hanya ingin
mengajak ibu-ibu untuk merenungkan hal ini ketika sedang mengasuh anak. Karena
ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak. Ibu juga orang paling dekat secara fisik dan psikis dengan anak.
Di samping itu, ibu juga punya lebih banyak waktu bersama anak dibanding ayah
yang seharian mencari nafkah di luar rumah. Karenanya, marilah menjadi ibu yang
pembelajar sekaligus pendidik.
Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku.
Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah
sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia bermukim di Desa Sintung,
Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis dapat dihubungi melalui
email marzukiwardi5@gmail.com,
Facebook Marzuki Wardi.
[1] Ungkapan ini sebetulnya
menggunakan bahasa daerah Lombok (Sasak): Melengk
layangan no, inaq baitanku layangan
no.
[2]
Lain-lain saja (Bahasa Sasak Lombok)
[3] Ki Hadjar Dewantara, Menuju
Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika, 2009), halaman 28.
[4] Supriyadi, Renaisans Islam, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
2005), hal. 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar