Kamis, 17 April 2025

 

Memahami Peran Penting Seorang Ibu Sebagai Pendidik

Marzuki Wardi

Diunduh dari https://id.pngtree.com/free-png-vectors/ibu-muslim

Bocah mungil dua tahunan itu bersorak riang ke ibunya, “Aku mau layangan itu, bu, ambilkan layangan itu!”[1] pekiknya dengan logat dan bahasa daerah yang masih agak cadel.

Ibunya kemudian mendongak benda yang dimaksud buah hatinya sambil menudung kening dengan lekukan jemari kanannya. Ia mendengus dan menggeleng setelah memastikan bahwa permintaan itu mustahil dikabulkan. “Lain-lain doang![2] timpalnya kemudian dengan nada ketus.

Bocah laki-laki itu tidak mau menyerah begitu saja. Ia kembali meminta ibunya untuk mengambilkan layangan tersebut. Namun, dongakan kepala plontos dan lambaian tangannya ke atas terpaksa dihentikan karena cegatan ibunya. Mata polosnya kemudian hanya bisa mengerjap lalu mengeluarkan jurus andalan; merengek dan menangis.

Ibu yang tampak masih cukup muda tersebut juga tidak mau kalah. Ia memaksa agar perhatian si anak beralih ke hal lain yang menurutnya sendiri lebih menarik dan memungkinkan untuk dilakukan. Sampai di situ, punah sudah harapan si bocah untuk memiliki benda ajaib yang sedang bergoyang-goyang di angkasa itu. Upaya ibu untuk mengelabui buah hatinya pun berhasil.

Itu bukanlah cerita rekaan dari saya. Ini adalah percakapan sederhana antara seorang ibu dan anaknya yang secara tidak sengaja saya tangkap beberapa saat lalu. Akan tetapi, meski telinga saya sedikit liar, saya tentu tidak bermaksud mengaretkan cerita tersebut lalu mencibirnya. Apalagi sampai menjatuhkan martabat ibu si bocah layaknya seorang politikus yang sedang menjatuhkan pesaingnya di hadapan calon pendukungnya yang lugu. Hanya saja kondisi di atas mengingatkan kita betapa pentingnya seorang ibu memahami perannya sebagai seorang pendidik.

Saking pentingnya, dalam Islam kita mengenal ungkapan Ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak. Jadi, seorang ibu tidak hanya bertanggung jawab dalam merawat tumbuh kembang anak secara fisik. Namun, lebih dari itu, ia juga dituntut untuk bisa berperan sebagai seorang pendidik atau guru bagi anaknya. Sementara, tugas utama seorang guru ialah mendidik, mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan hal-hal baik lainnya kepada anak. Karenanya, memahami cara mendidik anak menjadi sebuah tuntunan bagi orang tua.

Pentingnya memahami ilmu mendidik

Pertanyaannya, seberapa penting seorang ibu memahami ilmu mendidik? Memangnya ada ibu yang mengajarkan hal-hal buruk kepada anaknya? Tentu saja tidak ada. Ketika seorang ibu mencegah anak yang hendak merusak mainan milik temannya, secara tidak langsung itu sudah mengarah kepada upaya mendidik. Sebab, dia berupaya menanamkan nilai kebaikan pada diri si anak. Tujuan lain bisa juga untuk mendidik anak mengetahui batasan hak-haknya. Namun, pilihan kata, kalimat, dan cara (metode) yang diterapkan merupakan persoalan lain. Yaitu menyangkut kecakapan mendidik (pedagogical knowledge), bukan karena dorongan insting pedagogis (pedagogical instinct)[3] semata.

Seorang ibu yang memiliki pedagogical instinct tanpa pedagogical knowledge boleh jadi hanya berfokus pada tujuan yaitu mencegah perilaku kurang baik tersebut. Namun, dia mengabaikan cara-cara yang layak dan sesuai bagi perkembangan psikis dan emosional anak. Misalnya, membentak, menggerutu, atau bahkan mengomeli. Sementara, ibu yang memiliki ilmu mendidik cenderung menggunakan cara-cara positif seperti membujuk, menenangkan, dan menasihati. Sebab, dia tahu setiap kalimat, sikap, dan perlakuannya akan berdampak pada pribadi anak. Dia sadar setiap ucapannya akan membekas pada diri anak. Karena itu, dia akan selalu berupaya menghindari kata-kata yang tidak bermanfaat.

Kita pasti tahu kisah masyhur masa kecil Imam Masjidil Haram Syeikh Sudais. Pada suatu kesempatan, ketika sang Imam kecil sedang bermain, beliau menaburkan pasir ke makanan yang sedang disiapkan oleh ibunda untuk menjamu tamu. Tentu saja hal itu membuat sang ibu marah, tetapi kalimat yang keluar dari lisan beliau adalah doa bagi sang anak tercinta, “Pergi main sana biar kamu jadi Imam Masjidil Haram.” Qodarullah sang anak tumbuh menjadi pribadi yang saleh dan kini menjadi Imam Masjidil Haram.

Ada lagi kisah teladan lain yang serupa yaitu Syeikh Abdul Qadir Jilani. Alkisah ketika beliau hendak pergi menuntut ilmu, ibunya berpesan agar beliau selalu jujur dalam situasi apa pun. Pesan tersebut rupanya dipegang betul oleh Syeikh Abdul Qadir kecil. Kata-kata ibunya laksana pasak yang terpancang kuat dalam benak beliau. Sehingga tidak mudah digoyahkan oleh gangguan-gangguan yang datang dari luar. Bahkan, ketika dirampok dan ditanya bekal perjalanan berupa emas yang disimpan di kantung jubahnya, beliau tetap jujur memberi tahu si perampok. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, si raja rampok tidak mau mengambil harta tersebut. Dia, seketika itu, bertobat di hadapan Syeikh Abdul Qadir Jilani yang masih belia.

Demikianlah betapa besar pengaruh sang ibu dalam menempa pribadi anak. Jika kita telusuri lebih jauh, tentu masih banyak tokoh muslim lainnya yang menjadi orang besar berkat bimbingan seorang perempuan mulia bernama ibu. Tidak hanya dari kalangan ulama besar, tetapi juga para ilmuwan muslim terkemuka. Memang, keberhasilan yang diraih tetap melalui proses yang panjang. Namun, doa dapat menguatkan dan membantu ikhtiar dalam menggapai tujuan. Terlebih doa sang ibu, bukankah doa ibu itu paling mustajab? Selain itu,  motivasi dan dorongan yang diberikan ibu juga bisa menjadi energi positif yang terus mengalir pada diri anak.

Perlunya Mengelola Permintaan dan Rasa Ingin Tahu anak

Dalam kaitannya dengan cerita pembuka di atas, bagaimana semestinya sang ibu menyikapi permintaan anaknya yang tergolong mustahil dipenuhi? Saya kira ini yang perlu kita perhatikan. Banyak ibu, khususnya di tempat saya, seakan takut melihat anak memikirkan hal mustahil dan aneh. Padahal, kita perlu mendorong anak untuk berpikir seperti itu agar kita bisa menemukan potensi yang dapat kita kembangkan. Bukankah para ilmuwan yang menghasilkan beragam penemuan berawal dari pemikiran yang sulit dijangkau bahkan aneh?

Andai saja Isaac Newton tidak penasaran dengan gerakan apa yang terjadi ketika melihat buah apel yang jatuh ke bawah, mungkin saja teori gravitasi bumi tidak ia temukan. Begitu pun dengan para ilmuwan muslim yang telah memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam bahkan dunia hingga saat ini. Sebut saja Bapak Matematika Islam Al-Khawarizmi, Bapak Kimia Arab Jabir Bin Hayyam, penemu sistem waktu 24 jam Al-Battani, dan masih banyak lainnya. Mereka tidak akan secemerlang itu jika tidak berpikir aneh di mata orang awam.[4]

Lho, mereka, kan, ilmuwan? Bagaimana mungkin kita bisa mengikuti gaya berpikir mereka? Kita memang tidak sedang membandingkan gaya berpikir anak dengan mereka. Namun, kita hanya berupaya menanamkan hal-hal yang memungkinkan gaya berpikir seperti mereka pada diri anak. Di sinilah kita perlu memahami peran penting orang tua (terutama ibu) untuk menempa dan mendampingi perkembangan intelektual anak.

Sebetulnya, kita bisa mengolah pikiran dan keinginan aneh anak menjadi bermakna. Tentu saja bukan aneh plus berbahaya, tetapi yang bermakna positif. Misalnya, dengan menggiring pikiran anak kenapa layangan itu tidak bisa kita ambil secara langsung? Di mana posisi (jarak) layangan tersebut, dan di mana kita berada? Kenapa bisa terbang? Siapa pemiliknya? Beragam pertanyaan lain yang mengarah pada pembentukan pengetahuan dasar anak terhadap benda itu.

Lebih bagus lagi jika si ibu bisa menggiring kreativitasnya. Misalnya dengan memancing keingintahuan anak tentang bagaimana cara membuat layangan, dan menguatkan kepercayaan diri bahwa dia juga bisa membuatnya sendiri. Dalam hal ini, ada ayah yang bisa diajak berkolaborasi. Dia bisa mengajak anak untuk belajar dan praktik merakit layangan bersama. Dengan demikian, kita sudah berupaya menumbuhkan kecakapan berpikir sekaligus kreativitas anak. Kalaupun tidak memungkinkan, barulah kita membeli mainan sebagai alternatif terakhir.

Maksud saya benda tersebut bukanlah fokus tujuan kita, melainkan respons terhadap permintaan aneh tersebut, yaitu dengan memberikan pemahaman mengenai benda tersebut alih-alih mengelabuinya. Dengan demikian kita tidak mematikan rasa ingin tahu dan kreativitas anak begitu saja. Mari kita coba membayangkan diri pada posisi anak. Bagaimana kira-kira perasaan kita ketika menemui sesuatu yang kita idam-idamkan muncul begitu saja di depan kita? Senang, bukan? Tidak hanya merasa senang, kita bahkan mulai berusaha untuk segera memilikinya. Ketika berusaha sedemikian rupa, ternyata kita mengalami kesulitan dan merasa sulit meraihnya. Ketika menyadari kelemahan yang dimiliki, kita menyimpulkan bahwa benda itu mustahil bisa kita miliki.

Apa yang akan kita lakukan? Tentu minta tolong kepada orang terdekat, bukan? Sayangnya orang terdekat tersebut justru menolak bahkan menyalahkan kita. Apakah kita kecewa? Tentu saja, tetapi tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain merengek dan merajuk pada ibu. Jadi, merengek dan merajuk dalam hal ini adalah kebutuhan dasar kita sebagai anak.

Jadi, apakah sikap ibu tersebut kurang tepat? Sekali lagi, saya tidak bermaksud menyalahkannya begitu saja, dan menggeneralisasi kasus ini kepada semua ibu. Saya hanya ingin mengajak ibu-ibu untuk merenungkan hal ini ketika sedang mengasuh anak. Karena ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak. Ibu juga orang paling dekat secara fisik dan psikis dengan anak. Di samping itu, ibu juga punya lebih banyak waktu bersama anak dibanding ayah yang seharian mencari nafkah di luar rumah. Karenanya, marilah menjadi ibu yang pembelajar sekaligus pendidik.

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis dapat dihubungi melalui email marzukiwardi5@gmail.com, Facebook Marzuki Wardi.

 



[1] Ungkapan ini sebetulnya menggunakan bahasa daerah Lombok (Sasak): Melengk layangan no, inaq baitanku layangan no.

[2] Lain-lain saja (Bahasa Sasak Lombok)

[3] Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika, 2009), halaman 28.

 

[4] Supriyadi, Renaisans Islam, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hal. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Nyawa Tebusan Marzuki Wardi Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok...