Mencegah Kasus Kekerasan terhadap Guru
Marzuki Wardi
![]() |
Sumber: https://kumparan.com/kumparannews/yang-sudah-diketahui-soal-kekerasan-di-perusahaan-animasi-di-menteng-23WMgB4VoGk |
Beberapa saat yang lalu, kita dikagetkan dengan kabar
pembacokan seorang guru Madrasah Aliyah oleh siswa di Demak. Belum lindap dari
ingatan kita, kini kasus serupa kembali terjadi di tempat lain. Seorang guru di
SMKN 1 Woha, Bima Nusa Tenggara Barat dianiaya oleh siswanya sendiri. Menurut
sejumlah sumber, peristiwa itu bermula ketika siswa merasa sakit hati lantaran
ditegur merokok di lingkungan sekolah. Lantas, ia menghadang guru tersebut di
jalan saat pulang sekolah kemudian menghajarnya hingga babak belur.
Tentu saja peristiwa ini sangat disayangkan. Seorang
yang mestinya takzim kepada sosok yang telah bersusah payah mendidiknya justru
dengan entengnya ia zalimi. Lagi pula, penyebab kejadian itu berasal dari
perilaku siswa itu sendiri yang amoral sehingga wajar guru tersebut menegur
bahkan menghukumnya jikalau sudah melampaui batas. Siswa memang individu yang
memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang layak. Namun, di sisi lain ia juga
berkewajiban menaati peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Jadi,
selama berstatus sebagai siswa di sekolah tersebut, tentu ia harus menaatinya.
Jika melanggar, maka ia harus menerima konsekuensinya.
Jamaknya kasus kekerasan terhadap guru tersebut menyiratkan
tanda tanya di benak kita, kenapa saat ini guru begitu mudah dicampakkan?
Apakah marwah guru pada zaman ini telah demikian pudar? Dahulu, kami tidak
pernah berani menimpali ketika guru memarahi kami. Entah itu pada saat
pembelajaran maupun di luar kelas. Bahkan, dijewer pun kami tidak berani
menunjukkan sikap melawan. Lagi pula, marahnya guru tidak bermaksud menyakiti,
melainkan untuk mendidik layaknya orang tua kepada anak.
Saya tidak bermaksud menjadikan hal ini sebagai
legitimasi tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Saya sepakat menolak
kekerasan siapa pun pelakunya, termasuk yang dilakukan oleh guru kepada siswa
secara berlebihan. Oleh karena itu, seorang guru juga mesti membangun hubungan
dan komunikasi yang hangat dengan siswa. dengan begitu, mereka merasa memiliki
kedekatan emosional sehingga dapat menghindari hal-hal negatif. Selain upaya
individual guru dengan siswa tersebut diperlukan juga upaya secara
institusional. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan pihak sekolah sebagai
berikut.
Pentingnya Tim Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Sekolah
Baru-baru ini, ada Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Peremendikbudristek) mengenai pembentukan Tim
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk lingkup satuan pendidikan dan
Satuan Tugas (Satgas) di lingkup Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi.
Secara garis besar TPPK di sekolah mencakup fungsi pencegahan dan penanganan.
Fungsi pencegahan, pihak sekolah dapat melakukan seminar, sosialisasi,
pembelajaran, memantau siswa maupun warga sekolah secara intens tentang dampak
kekerasan. Kemudian, fungsi penanganan dapat berupa mediasi, penyelesaian,
restitusi, pembinaan, dan tindak lanjut kasus kekerasan yang sudah terjadi.
Dari segi sasaran, pencegahan dan penanganan kekerasan
ini tidak hanya ditujukan pada siswa, tetapi juga semua warga sekolah. Artinya,
siapa pun yang menjadi korban kekerasan berhak mendapat perlindungan, termasuk
dalam hal ini guru. Pada konteks inilah TPPK bisa menekankan pentingnya edukasi
mengenai dampak perilaku kekerasan terhadap guru. Siswa pelaku kekerasan juga
dapat diberikan pembinaan hingga sanksi tegas bila telah melampaui batas.
Misalnya, dengan memberikan skorsing, atau
mengembalikan pendidikan anak kepada orang tua. Keberadaan TPPK di sekolah
cukup penting, sebab penanganan kasus kekerasan menjadi lebih terpusat sehingga
diharapkan dapat mengurangi kekerasan itu sendiri. Untuk memastikan pelaksanaan
tugas TPPK, ada Satgas Dinas yang akan memantau upaya pencegahan kekerasan di
lingkup sekolah.
Menguatkan peran sinergitas
tripusat (Komitmen
Bersama)
Dalam Permendikbudristek tentang TPPK di atas, pihak
sekolah bisa menggandeng komite sekolah dan masyarakat
sekitar. Namun, yang tidak kalah penting ialah menguatkan
kerja sama
dengan orang tua
siswa. Sebab, mereka adalah bagian dari tripusat pendidikan
yang paling dekat dengan dunia anak. Hal ini
dimaksudkan agar mereka terlibat aktif dan mendukung pendidikan anak di rumah, mengingat waktu dan
interaksi mereka
lebih banyak dihabiskan bersama orang tua (keluarga).
Penguatan kerja sama di sini lebih kepada penyeragaman
persepsi dan sikap dalam mendidik anak agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Terlebih ketika anak bermasalah atau berperilaku tidak wajar, hal tersebut
sangat diperlukan. Sebab, tidak sedikit orang tua hanya mendengar keluh kesah
anak tentang masalah sekolah secara sepihak kemudian langsung menyalahkan guru.
Bahkan, mereka tidak segan-segan mendatangi sekolah dan memarahi guru
sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Hal itu terjadi karena mereka
tidak mau tahu apa yang terjadi di sekolah. Mereka hanya tahu bagaimana
perilaku anak di rumah.
Tentu saja hal ini akan menjatuhkan martabat seorang
guru, sehingga anak berpikir bahwa menyalahkan guru memang patut dilakukan
ketika ia tidak sejalan dengan pikiran atau sikapnya. Untuk merealisasi upaya
penguatan kerja sama ini, pihak sekolah dapat melakukan hal-hal seperti kesiapan
orang tua
untuk menghargai dan mendukung anak, guru-guru, dan sekolah; mendukung kebijakan
kedisiplinan sekolah dan peraturan yang berlaku di kelas; menyediakan tempat yang
tenang bagi anak untuk belajar dan mengawasi anak dalam menyelesaikan PR,
berpartisipasi dalam pertemuan orang tua-guru-siswa,
baik yang formal maupun informal;
berdiskusi dengan anak setiap hari mengenai kegiatan
sekolahnya; mengawasi
tontonan televisi, gawai,
dan kegiatan lain yang mungkin mengganggu waktu belajar anak; pendidikan karakter anak di lingkup keluarga; meluangkan
waktu bersama anak untuk membaca setidaknya sepuluh
menit dalam sehari.[1]
Penguatan kerja sama ini juga dimaksudkan agar orang
tua merasa bertanggung jawab terhadap proses pendidikan
anak di sekolah. Di sisi lain, ia merupakan
komitmen atau perjanjian yang disepakati bersama yang dapat dibahas pada acara pertemuan guru
dengan wali siswa. Beberapa poin di atas tentu dapat disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan kedua belah pihak dengan tetap berorientasi pada pembentukan karakter anak.
Jadi,
baik pihak sekolah dan orang tua sama-sama memiliki
peran penting dalam mencegah kekerasan di lingkungan sekolah. Dua pihak
tersebut memilki tanggung jawab yang sama dalam pendidikan anak, tentu sesuai
dengan posisi dan tugas masing-masing. Ketika kebutuhan pendidikan anak dapat
dioptimalkan oleh dua entitas tersebut maka anak akan memiliki akhlak yang
baik. Dengan begitu, ia tidak bersikap kasar kepada orang lain, apalagi kepada
gurunya.
***
Lombok Tengah, 20 November 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar