Tekad yang Kuat adalah Kunci Meraih
Sukses
Marzuki Wardi
Tanpa tekad yang
kuat dan sungguh-sungguh, impian atau cita-cita hanya akan menjadi angan-angan
kosong
![]() |
Diunduh dari: https://www.istockphoto.com/id/vektor/simbol-kesuksesan-di-tangga-karier-gm1293031392-387613589 |
Sebut
saja namanya Dion. Dia baru saja lulus SMA. Tetapi, dia bimbang sekaligus
bingung untuk menentukan langkah apa yang harus diambil. Mau melanjutkan pendidikan
seperti teman-teman lain? Persoalannya, dia tidak hanya kurang mampu secara
ekonomi, tetapi kemampuan otaknya juga sangat kurang dalam memahami belasan
mata pelajaran yang sudah dipelajari. Setidaknya satu mata pelajaran saja yang dikuasai
dengan baik itu sudah sangat bagus. Sayangnya, hal itu tidak dimiliki Dion.
Dia
bukan siswa yang sering disebut-sebut guru di dalam kelas atau dalam obrolan
sesama rekan guru lainnya. Dia bukan siswa yang dikerumuni teman-teman yang
kerap dimintai pendapat atau bantuan menjelaskan mata pelajaran. Justru
sebaliknya, dia kerap dirundung teman-teman, juga jadi bahan olokan karena
keluguan dan kedongkolannya.
Pernah
suatu hari, Laili seorang primadona kelasnya, mencoba iseng mengerjainya. Dengan
mimik serius, dia meminta Dion menghadap Pak Halil di perpustakaan. Pak Halil
adalah salah satu guru yang disegani di sekolah itu. Konon, kata Laili, Dion
dipanggil karena telah melanggar peraturan sekolah. Begitu sampai di ruangan, sang
guru menatap heran dan bertanya-tanya siapa yang menyuruh Dion menghadap.
Barulah dia sadar ternyata dirinya sedang dikibuli si gadis cantik tersebut.
Muka Dion hanya bisa memerah, tetapi ia tidak bisa marah.
Oh
ya, dia juga sering dipanggil seorang guru mata pelajaran fisika setiap pagi di
awal kelas. Dia diminta menjawab soal hitung-hitungan yang tentu saja membuatnya
pusing. Karena Dion memang tidak suka dan tidak bisa pelajaran menghitung. Tetapi,
guru itu senang melihat Dion terlihat bingung dan konyol di depan kelas. Beliau
seolah terhibur ketika pemuda bertubuh kurus itu ditertawai dan dijadikan bahan
lelucon oleh teman-teman.
Karena
stempel bodoh dalam mata pelajaran
itu, tidak heran guru tersebut meminta Dion untuk tidak mengambil jurusan IPA
jika naik ke kelas IX. Benar saja, dia mengambil jurusan IPS meski bidang
ekonomi juga masih jauh dari jangkauan IQ-nya. Memang, nyaris semua bidang
pelajaran tidak mampu dikuasainya. Pada bidang olahraga? Dia tidak punya bakat bermain
basket, volley, tennis, karate, dan olahraga lain yang sering diolimpiadekan di
tingkat kabupaten atau provinsi. Dia hanya sesekali bermain sepakbola. Itu pun
sekadar bisa menendang asal-asalan di lapangan sawah yang telat digarap
pemiliknya.
Dion
merasa dirinya hanya siswa pelengkap bangku belakang kelas, yang kalau bangku
kekurangan mungkin saja dia tidak dapat jatah tempat duduk. Karena itu, untuk apa saya melanjutkan pendidikan? Apa ya
ada makhluk seperti ini bisa kuliah? pikirnya. Sementara, kalau tidak melanjutkan pendidikan, apa yang
saya bisa kerjakan dengan kondisi seperti saat ini? Keahlian apa yang saya
punya untuk bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup, terutama untuk menafkahi
anak-istri saya kelak? Bukankah ini akan memperparah kondisi saya yang memang
sudah bebal? lanjutnya bergumam suatu hari.
Bisikan-bisikan
Angel dan demon seperti itu berkecamuk dalam batinnya. Hingga suatu
kesempatan yang baik, dia akhirnya berusaha meyakinkan diri. Terlebih ada
seorang temannya yang memberi semangat agar bisa ikut kuliah. Perlahan, rasa
optimisnya mulai bangkit. Dia merasa pasti bisa mempelajari apa yang
orang-orang pelajari, menguasai apa yang orang-orang kuasai, meraih apa yang
orang-orang raih. Dan, mulai saat itulah dia mencoba membandingkan hal-hal
positif yang ada pada dirinya dengan orang lain. Saya punya otak sebagaimana orang lain punya, kenapa saya tidak berusaha
memaksimalkannya? Saya diberikan waktu yang sama dengan orang lain, kenapa
tidak dibuat jadi kesempatan atau peluang? Begitu seterusnya sehingga bisikan-bisikan
Angel itu pada akhirnya menang dalam
diri Dion.
Dia
pun memutuskan untuk kuliah setelah diajak temannya yang kerap memberinya
semangat, meskipun di perguruan tinggi swasta yang boleh dibilang tidak begitu
ternama. Sejak saat itu Dion mulai membuka diri untuk belajar dan mempelajari
berbagai hal dari apa pun dan siapa pun. Dia belajar dengan serius dan tekun.
Ketika teman-teman lain menghabiskan libur semester dengan santai-santai di
rumah, dia duduk berlama-lama di perpustakaan kampus dan daerah. Dia membenamkan
diri di antara tumpukan buku di ruang itu. Hingga akhirnya dia lulus tepat
waktu dengan IP yang cukup memuaskan.
Apakah
Dion tekun belajar sekadar untuk memenuhi tuntutan akademis? Ternyata tidak.
Hingga saat ini, dia telah menjadi seorang guru selama puluhan tahun, kebiasaan
belajar tersebut masih ditekuninya. Dia tidak membatasi diri untuk belajar pada
siapa saja, meskipun ia lebih muda dari dirinya. Dia mempelajari apa saja, dari
hal-hal klenik sampai linguistik. Dia membaca buku-buku pada pagi, siang, sore,
malam, atau kadang sampai terbawa ke alam mimpi. Dia membuka telinga
lebar-lebar ketika mendengar Kiai, Ustadz, atau Tuan Guru berceramah, atau
ahli-ahli pada seminar ilmiah. Dia membuka mata untuk menangkap pesan-pesan
tersirat pada alam semesta. Dia juga membuka hati untuk menerima petuah-petuah
orang tua yang tidak pernah bersekolah.
Kini,
Pak Dion, begitu panggilan akrabnya, telah berhasil menoreh beberapa prestasi
di bidangnya, mulai terpilih sebagai guru berpestasi hingga meraih penghargaan dalam
berkarya dari tingkat kabupaten sampai nasional.
٭٭٭
Sahabat,
kisah di atas mengingatkan kita bahwa hal yang mustahil di mata manusia bisa saja
terjadi jika Allah sudah berkehendak. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa kesuksesan
bukanlah sebuah kebetulan belaka, melainkan dicapai dengan tekad yang
sungguh-sungguh. Ya, benar, itulah kata kunci atau syarat yang harus dipenuhi
oleh manusia. Tekad di sini ialah keinginan yang kuat dari dalam diri untuk
mewujudkan mimpi atau cita-cita. Dari situ kemudian muncul usaha yang terencana,
matang, dan serius.
Banyak
orang memiliki keinginan atau ide besar, tetapi mereka enggan merealisasikannya
dengan upaya yang sungguh-sungguh. Sehingga keinginan atau ide besar tersebut
berujung menjadi angan-angan kosong. Atau sebaliknya, banyak orang pintar dalam
bidang tertentu, tetapi ia cenderung menganggapnya remeh. Pada akhirnya, apa
yang ia impikan juga tidak kunjung terwujud.
Memang,
capaian Pak Dion mungkin kita anggap belum seberapa jika dibanding dengan
orang-orang besar. Tetapi, bukankah kita tidak bisa mengukur kesuksesan
seseorang dengan kesuksesan orang lain? Melainkan, yang mesti diukur ialah
sejauh mana ia mampu meningkatkan kualitas diri dari keadaan sebelumnya. Dengan
kata lain, bukan seberapa tinggi posisi yang diraih, tetapi seberapa tinggi
ikhtiar yang dijalani dalam proses mencapai tujuan, itulah yang hendak kita
lihat.
Lagi
pula, jika kita ingin mengambil pelajaran dari para tokoh besar, tentu banyak
di antara mereka yang bahkan mulanya dipandang remeh oleh orang-orang, namun
karena tekad dan usahanya ia mampu membalikkan keadaan. Siapa kiranya yang
tidak kenal Sylvester Stallone pemeran film Rambo itu? Jangan kira perjalanan
meraih kesuksesannya gampang. Selain lahir di kalangan miskin, Sylvester muda
juga mengalami kelainan saraf di bagian mukanya. Ia juga gagap, sehingga
membuatnya sering diolok oleh teman-teman sekolahnya. Tetapi, ia tak menyerah
begitu saja. Ia berusaha keras dalam meraih mimpinya. Ia mengabaikan
suara-suara nyaring yang melemahkan semangatnya. Sehingga pada akhirnya namanya
begitu populer di dunia perfilman.[1]
Ada
sebuah teori yang cukup menarik berkaitan dengan hal ini, yaitu Law of Attraction (hukum tarik-menarik) dari Rhonda Byrne. Menurutnya, alam semesta
akan mendukung apa yang kita benar-benar yakini (untuk dicapai). Keyakinan
tersebut memberi sinyal yang akan menarik reaksi alam semesta sehingga membantu
mewujudkannya menjadi kenyataan.[2] Secara mudahnya, jika kita
yakin pada diri (kemampuan) bahwa kita bisa mencapai sesuatu yang kita impikan,
maka kita akan berusaha dengan maksimal ke arah itu. Usaha yang maksimal dan terarah
tentu akan mempermudah pencapaiannya.
Di
Indonesia kita juga mengenal banyak orang besar di berbagai bidang yang awalnya
tidak begitu diperhitungkan. Di bidang sastra, sebut saja Andrea Hirata, Helvy
Tiana Rosa, Asma Nadia, dan sejumlah penulis lainnya. Awalnya, karya mereka banyak
ditolak penerbit, tetapi mereka tidak berputus asa untuk berkarya. Mereka
justru menjadikan itu sebagai cambuk untuk terus mengejar impian. Penolakan
demi penolakan membuat semangat mereka semakin bangkit.
Lalu,
bagaimana mereka mewujudkan impian? Salah satu alternatif yang ditempuh ialah
menerbitkan buku melalui jalur indie. Tetapi, apa yang terjadi ketika karya
mereka diterima dan disukai khalayak pembaca? Penerbit yang justru mengejar
mereka. Kini, bukan sekadar diterbitkan dalam bentuk buku, tetapi sudah difilmkan
secara kolosal di layar lebar. Mereka berhasil membuktikan diri bahwa penolakan
bukan berarti kegagalan, tapi langkah awal menuju kesuksesan.
Jadi,
apa pun bisa terjadi atas kehendak Allah asalkan kita punya tekad yang
sungguh-sungguh untuk belajar dan berusaha. Bukankah dalam agama kita juga
dianjurkan untuk berikhtiar? Ada satu pepatah Arab terkenal untuk meyakinkan
kita “Man Jadda Wa Jadda,” ‘barang
siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan hasil’. Karenanya, sudah
saatnya kita bersungguh-sungguh dalam mengejar apa yang kita tujukan dalam
hidup.
Wallahua’lam bissawab.
٭٭٭
Jendela Inspirasi
a.
Kita boleh
membandingkan diri dengan orang lain selama itu bisa menjadi motivasi diri.
b.
Nilailah diri
secara positif agar kita mampu membangkitkan potensi yang terdapat dalam diri
kita.
c. Tingkatkan standar usaha kita, sebab dengan begitu hal-hal yang kita anggap biasa boleh jadi luar biasa bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar