Bahasa,
Keakraban, dan Kekerabatan dalam Masyarakat Sasak
Oleh:
Marzuki Wardi
Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 10 Maret 2022
Beberapa
saat lalu, perhatian saya sempat tersita pada hasil tangkapan layar (screenshot) yang disebarkan teman-teman
di jagat FB. Hasil tangkapan layar tersebut tentang komentar seorang (perempuan
muda) penumpang ojek online yang kesal
lantaran dipanggil mbak oleh si pengendara
ojol (ojek online). Don’t’
call me ‘mbak’. You are in Jkt! Say it ‘non’ or kak’ tulisnya berbahasa
Inggris di aplikasi ojol tersebut.
Sontak
hal itu memantik berbagai reaksi warganet; dari yang ikut mengomel, mencibir, sampai
yang hanya memberi emoticon tertawa
tanpa komentar panjang lebar. Saya bisa dibilang termasuk kategori yang
terakhir ini. Saya memang tipikal orang yang tidak mudah berkomentar tentang berbagai
kehebohan yang terjadi di medsos. Karena apa pun saat ini begitu cepat menjadi viral
dan heboh. Namun, karena itu menyangkut persoalan bahasa saya jadi tertarik
membahasnya.
Mengenai
kata non, saya belum begitu paham
konteks penggunaannya dalam peristiwa tutur sehari-hari. Saya hanya pernah
mendengarnya di film-film ketika dialog antara seorang pembantu dengan
majikannya. Misalnya ketika seorang pembantu tersebut mengatakan, “Maaf non, saya tidak tahu…” atau “Non, mau dibuatin teh atau apa?” sambil
membungkuk tanda hormat. Jika situasi tuturnya seperti ini, maka kita bisa
melihat fungsi bahasa sebagai pembeda status sosial. Dengan kata lain, si
perempuan yang ingin dipanggil non tesebut
secara tidak langsung ingin dihormati layaknya seorang atasan.
Sementara,
jika ia dipanggil kak, apakah berarti
ia ingin dihargai sebagai orang yang lebih tua? Secara leksikal, kak memang berarti panggilan untuk orang
yang lebih tua. Tetapi, akhir-akhir ini, dalam ragam percakapan sehari-hari,
makna panggilan tersebut sedikit bergeser menjadi panggilan keakraban. Bukan
hanya untuk orang yang dari segi usia lebih besar. Singkatnya, dengan panggilan
kak si perempuan muda tersebut ingin
agar ia dipanggil dengan panggilan akrab. Bukankah mbak juga berarti panggilan yang cukup akrab?
Belakangan,
karena penasaran, saya mencoba menelusuri etimologi kata mbak. Menurut seorang pengguna twitter dengan nama
akun @sefkelik, kata mbak sudah mulai
dipakai pada masa pascakolonial sebagai bentuk peleburan dari polarisasi
sebutan nyonya, nyah, non, ndoro.[1]
Jika demikian, kata mbak, non, dan
kak memiliki fungsi yang sama pada
tataran leksikon. Tapi mungkin saja maknanya berbeda secara filosofis. Sehingga
menimbulkan kesan yang berbeda jika dipakai pada semua orang.
Dalam
ragam tutur bahasa Sasak, kasus seperti ini juga bisa saja bahkan kerap terjadi.
Tetapi, jika panggilan tersebut berbeda makna secara leksikal. Misalnya ketika
seseorang yang mestinya dipanggil kak dari
segi usia, tapi ia justru dipanggil saiq (bibi),
maka wajar si perempuan muda tersebut merasa tersinggung. Lebih-lebih jika
mitra tutur belum dikenalinya, dan bukan dalam kondisi bergurau.
Ini
kondisinya masih dalam konteks panggilan keakraban, bukan kekerabatan. Masalahnya
akan lebih runyam jika kasusnya dalam konteks kekerabatan. Contoh jika seorang
anak memanggil saiq pada kakak
kandung atau sepupu dari ayah-ibunya, maka ia bisa dicap tak tahu base (bahasa). Bahkan, ini
mengindikasikan kerenggangan hubungan kerabat jika konteksnya pada keluarga
jauh. Orang tua bisa dianggap tidak mengenalkan kerabat pada anak dengan baik,
sehingga ia tidak bisa membedakan panggilan kekerabatan. Sebab, kita tahu panggilan
yang tepat untuk posisi itu ialah inaq atau
inaq kake, yang dalam bahasa
Indonesia setara dengan tante. Sementara,
saiq adalah untuk adik dari ayah-ibu.
Begitu seterusnya dengan panggilan kerabat lainnya.
Kata
base dalam bahasa Sasak juga sering dipakai
secara spesifik untuk menanyakan hubungan keluarga. Seperti yang saya
terjemahkan secara leterlek berikut; ape basem leq Andi (apa bahasamu pada
Andi)? Basen ape Tina leq Andi (apa
bahasanya Tina pada Andi)? Dua pertanyaan ini tentu bukan menanyakan bahasa yang
dipakai oleh saya dan Andi, dan Tina dengan Andi.
Melainkan, menanyakan status hubungan keluarga saya pada Andi, dan Tina pada Andi. Maka, jawabanya juga pasti diawali dengan kata base; basek kakak pisaq (bahasaku kakak sepupu), basen kakaq pisaq (bahasanya kakak sepupu), basek ariq pisaq (bahasaku adik sepupu), basen ariq pisaq (bahasanya adik sepupu), baseq tuaq (bahasaku paman), basen
tuaq (bahasanya paman), dan hubungan
keluarga tertentu.
Dalam
bahasa Indonesia, kata bahasa nyaris
tidak pernah digunakan untuk menanyakan hubungan kekerabatan. Kita jarang sekali
mendengar orang bertanya apa bahasamu
pada Andi? Atau sedang bahasa apa
kamu sama Andi? Maksud saya, kenapa kegagalan dalam mengenal hubungan
keluarga seolah dijadikan indikator kemampuan berbahasa seseorang? Apakah ini
mengindikasikan kuatnya keterkaitan kemampuan berbahasa seseorang dengan
panggilan kekerabatan? Meskipun ada kemungkinan alternatif pertanyaan apaqm Andi? untuk mengganti pertanyaan
tersebut.
Cukup
naif memang jika kita memaksa untuk menyeragamkan struktur kalimat di antara
dua bahasa yang berbeda. Sebab, sebagaimana kata Berthold Damshauser (ahli bahasa
Indonesia berkebangsaan Jerman), setiap bahasa punya cara tersendiri untuk membahasakan
atau menginterpretasi dunia. Dalam hal ini ialah cara menanyakan hubungan kerabat.
Tetapi, jika ditilik dari kacamata internal bahasa Sasak, gejala ini tidak bertalian
dengan keterampilan atau penguasaan bahasa seseorang dari segi korpus. Namun, lebih
kepada faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian istilah-istilah spesifik
tertentu. Dengan kata lain, si penutur dituntut untuk menguasai konteks di
mana, pada situasi apa, dengan siapa, ia berbicara.
Tidak
ada pembeda secara khusus untuk panggilan keakraban dan kekerabatan. Ketika
seorang anak mengatakan amaq kake datang (om
datang) untuk orang yang semestinya dipanggil kakek tapi di luar hubungan
keluarga, maka kemungkinan ia tidak dijustifikasi sebagai anak yang tak tahu base. Sebab, ia hanya berusaha
menghadirkan suasana kedekatan emosional (keakraban) dan etiket berbahasa. Namun,
beda halnya jika itu terjadi dalam konteks kekerabatan. Si anak akan dicap tak
tahu bebase (berbahasa), karena
terkesan tak mampu mengenali kerabat dengan baik.
Dengan
demikian, masyarakat Sasak, dalam konteks ini, melihat base (bahasa) secara fungsional sebagai alat untuk merekatkan
hubungan dengan orang lain di luar keluarga (keakraban) dan kekerabatan yang
termanifestasi dalam panggilan kekerabatan tersebut. Tugas orang tua ialah
menanamkan pendidikan (bahasa) kepada anak sejak dini agar kerekatan tersebut
tetap terjaga.
Lantas,
apa hubungan kasus perempuan penumpang ojol di atas dengan base (bahasa) Sasak? Sebetulnya, tidak ada kaitan secara langsung
dari segi lingusitik teoritis. Saya hanya membandingkan respon (sikap) si
perempuan tersebut dengan penutur bahasa Sasak jika mengalami kasus serupa,
yaitu ketidak tepatan dalam memanggil ‘gelar’ seseorang. Dengan kata lain,
penutur bahasa Sasak juga akan kesal atau tersinggung jika dipanggil dengan
‘gelar’ atau sebutan yang salah. Dan, persoalan itu akan lebih runyam jika terjadi
pada konteks kekeluargaan.
Lombok Tengah, 9 Maret 2022.
Marzuki
Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen,
esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media
lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar