Nilai
Pendidikan dan Pendidikan Nilai dalam Perspektif Keluarga Kontemporer
Oleh:
Marzuki Wardi
Dimuat di Surat Kabar Harian Lombok Post edisi 30 April 2018 |
Barangkali
kita semua sepakat bahwa pendidikan merupakan hal yang paling berharga dalam
hidup ini. Semua orang menginginkan hidup layak dan lebih baik, dan itu hanya
bisa dicapai melalui pendidikan. Oleh karenanya, tidak heran jika kemudian (semua)
orang jauh-jauh hari telah menabung untuk membiayai pendidikan anak-anak
mereka. Selain itu, kita mungkin pernah mendengar seorang ayah atau ibu berkata
“rajin-rajinlah belajar agar kau tak
bodoh sepertiku” kepada anaknya, bukan? Kalimat ini tentu tidak sekedar
mengungkapkan ekspektasi masa depan yang lebih baik dari seorang ayah atau ibu
(orang tua) kepada anaknya. Lebih dari itu, kalimat bertuah ini membuktikan
betapa pendidikan merupakan hal yang begitu bernilai dalam kehidupan seorang.
Namun,
dalam prosesnya, ekspektasi tersebut seringkali tidak diimbangi dengan peran
serta orang tua. Banyak anak menemukan masalah dalam proses pendidikannya
karena orang tua tidak paham bagaimana harus mendukung pendidikan anak dalam
lingkup keluarga. Kurangnya latar belakang pendidikan membuat mereka masih
mengadopsi pola dan asumsi lama dalam mendidik anak. Seperti asumsi bahwa
urusan pendidikan anak sepenuhnya diserahkan ke sekolah, adalah salah satu
contoh konkritnya. Akibatnya, tidak jarang ada anak berperilaku baik di depan
orang tua namun di sekolah ia sering melanggar aturan dan bersikap amoral. Sehingga dari sini lah titik
tolak ketimpangan sinergi orang tua dengan pihak penyelenggara pendidikan
bermula.
Buah
dari ketimpangan sinergi tersebut adalah miskonsepsi dan miskomunikasi. Ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang
terjadi di Nusantara tak lama ini. Seperti di daerah Bilmong, Provinsi Sulawesi
Utara misalnya. Pada 13 Februari lalu, seorang wali siswa dilaporkan menganiaya
kepala sekolah karena telah menegur perilaku anaknya yang nakal.[1] Kemudian,
di daerah lain, di Lombok Timur NTB, seorang ayah dan kakak dari siswa SD
diringkus polisi lantaran telah membabak belurkan seorang guru honorer. Menurut
pengakuan korban, awal mula kasus itu adalah ketika ia hendak memindahkan kelas
siswa bersangkutan tersebab tidak bisa akur dengan seorang temannya. Lalu siswa
tersebut merasa takut dan melapor ke orang tuanya. Sehingga orang tua merasa
tersinggung dan berbuat kasar.[2]
Saya
tentu tidak bermaksud mendiskreditkan peran orang tua secara umum dalam hal
ini. Akan tetapi, itulah salah satu contoh bagaimana sinergi tidak berjalan
efektif. Oleh karena itu, apa yang dibutuhkan dalam mengantisispasi kasus
serupa dan mendukung keberhasilan pendidikan anak adalah, revitalisasi sinergi orang
tua dengan pihak sekolah. Orang tua atau keluarga harus memiliki peran nyata
dalam pendidikan anaknya di sekolah. Peran tersebut bisa dilakukan dengan
beberapa upaya sebagai berikut.
Komunikasi Aktif Orang Tua dengan
Pihak Sekolah
Komunikasi
aktif antara orang tua dengan pihak sekolah atau sebaliknya, dimaksudkan agar
orang tua mengetahui lebih jauh perkembangan anaknya. Tidak hanya perkembangan
intelegensi saja, tapi juga perkembangan sikap dan perilaku. Namun, tentu bukan
berarti orang tua harus mendamping anak di sekolah setiap hari. Contoh
komunikasi aktif ini dapat dilakukan dengan pelibatan orang tua dalam beberapa
hal misalnya:
· Membicarakan
permasalahan khusus terkait bidang akademik yang diperlukan oleh sekolah,
misalnya perkembangan pembelajaran anak (baik atau buruk) atau permohonan untuk
bantuan.
· Membicarakan
permasalahan terkait kehadiran dan kedisiplinan anak.
· Membicarakan
masalah yang ditemui oleh para orang tua sendiri.
· Mengadakan
pertemuan rutin seperti yang telah diagendakan dalam kalender akademik.[3]
Komunitas Keluarga
Pendekatan
lain yang bisa digunakan oleh pihak sekolah dalam mengomunikasikan pendidikan
yang berlangsung di sekolah adalah dengan membentuk komunitas keluarga.
Pendekatan yang disarankan oleh Thomas Lickona[4],
seorang tokoh pendidikan karakter ini, cocok untuk diterapkan di jenjang
pendidikan dasar, di mana para orang tua bisa mengadakan petemuan rutin setiap
bulan misalnya baik di sekolah maupun di rumah. Dalam pertemuan rutin itu
mereka bisa saling mengenal orang tua dari teman anak-anak mereka lebih jauh
lagi. Mereka bisa mengenalkan nama anak masing-masing, lalu bisa mengadakan sharing dan diskusi hal-hal terkait pola
asuh dan didik anak di rumah. Contoh isi diskusi yang paling sederhana dari
komunitas keluarga ini adalah jawaban dari pertanyaan bagaimana mendidik anak untuk belajar menolong keluarga di rumah? Aturan
apa yang diterapkan diterapkan di rumah untuk menjadikan anak…? dan
pertanyaan-pertanyaan sejenis yang mengarah pada pertukaran pikiran dan
informasi (sharing) tentang pola
didik anak.
Setelah
tercapainya revitalisasi hubungan antara pihak orang tua dengan sekolah menggunakan
dua pendekatan di atas, orang tua juga perlu merevitalisasi hubungannya dengan
anak, yakni dengan memulai dari pendidikan nilai dalam lingkup keluarga.
Pendidikan Nilai dalam Lingkup Keluarga
Sebenarnya
pendidikan nilai ini sudah berlangsung di sekolah atau lembaga pendidikan.
Hanya saja orang tua (keluarga) juga perlu mengawal pendidikan ini di rumah agar
sinergi dan hasil yang diharapkan lebih optimal. Mengingat waktu anak lebih
banyak dihabiskan di lingkungan keluarga. Thomas Lickona membagi pendidikan
nilai menjadi dua yaitu nilai moral dan nonmoral. Nilai moral adalah hal-hal
yang dituntut dalam kehidupan ini seperti nilai kejujuran, tanggung jawab, keadilan,
dan sebagainya. Sedangkan, nilai nonmoral tidak menuntut hal-hal seperti yang
telah disebutkan. Tapi, lebih cenderung mengacu pada sikap yang berhubungan
dengan apa yang diinginkan atau yang disuka. Misalnya, ketika seseorang membaca
sebuah novel yang baik, maka ia tidak memiliki kewajiban untuk melakukan
hal-hal yang terdapat di sana.
Namun,
nilai-nilai moral ini juga tentu tidak terbatas pada tiga poin di atas. Orang
tua juga bisa menanamkan nilai-nilai yang berpijak pada budaya bangsa. Misalnya
sikap gotong royong, toleransi, tenggang rasa, musyawarah, etika dan bahasa
terhadap orang yang lebih tua, dan sikap peka lainnya terhadap nilai moral. Untuk
mencapai tujuan ini, orang tua bisa membangun komunikasi efektif dan positif
dengan anak. Orang tua harus pandai menghadirkan suasana keluarga yang
memungkinkan tumbuhnya minat anak untuk menerapkan nilai-nilai yang telah
terbentuk. Namun, tentu mereka juga harus terlebih dahulu menerapkan
nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak. Sehingga bisa menjadi teladan yang
baik bagi anak.
Jadi,
ada dua unsur yang menjadi fokus kita agar nilai pendidikan tetap terjaga dan mendukung
keberhasilan pendidikan anak, yaitu pihak sekolah dan orang tua (keluarga)
siswa. Tugas pihak sekolah adalah menjaga agar sinergi tetap terjalin baik,
yaitu dengan mewadahi komunikasi aktif dengan orang tua siswa dan membentuk
komunitas keluarga. Kemudian, tugas orang tua adalah mengembangkan pendidikan nilai
dalam keluarga, untuk mengawal perkembangan pendidikan anak. Upaya-upaya oleh
dua unsur ini tentu harus tetap berjalan seimbang dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Lombok
Tengah, 29 April 2018.
Marzuki Wardi,
selain berprofesi sebagai guru di sebuah SMP, ia juga aktif menulis Cerpen,
Opini dan Resensi di berbagai media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar