Mengenang 20
Tahun Tragedi Kemanusiaan Reformasi
Oleh: Marzuki
Wardi
Dimuat di Surat Kabar Harian Bhirawa Surabaya edisi 25 Mei 2018 |
Judul : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit : Kedua, Desember 2017
Tebal : 379 Halaman
ISBN : 978-602-424-694-5
Novel berjudul
“Laut Bercerita” ini menceritakan perjuangan para aktivis mahasiswa era orde
baru hingga reformasi. Mereka diculik dan disekap selama berbulan-bulan.
Sebagian diantara mereka ada yang dipulangkan dan sisanya dibunuh. Awal mula
penangkapan Biru Laut (tokoh utama) dan teman-temannya adalah ketika mereka
hendak melancarkan aksi tanam jagung di Blangguan, Jawa Timur pada 1993. Mereka
tidak terima dengan keputusan pemerintah yang saat itu di bawah kendali
Presiden Soeharto untuk menjadikan lahan jagung sebagai area latihan militer.
Karena kebijakan itu terkesan sepihak dan akan menindas rakyat kecil, khususnya
para petani jagung. Biru Laut dan teman-teman yang tergabung dalam organisasi
Winatra dan Wirasena tiba di kampung Blangguan pada dini hari. Namun,
sayangnya, belum sempat mereka melancarkan rencana, aparat yang bersenjata
lengkap sudah berjaga-jaga di setiap sudut kampung. Rencana gagal. Situasi
sempat tegang ketika aparat menggeledah rumah-rumah warga tempat mereka
bersembunyi. Mereka terpaksa kabur melalui ladang yang menghubungkan ke sebuah
jalan raya.
Rencana pun
berubah. Mereka ingin mengadukan dan meminta dukungan pihak DPRD Surabaya atas
tuntutan atau aksi mereka terhadap pemerintah. Namun, dalam perjalanan, setiba
di terminal Bunguarsih, mereka kembali diperiksa oleh intel yang memang sedang
mengintai. Di sanalah mereka kemudian ditangkap. Sebagain berhasil kabur adalah
Kinan dan Daniel. Mereka yang ditangkap lalu dibawa ke sebuah markas
tersembunyi. Di sana mereka disiksa, dipukuli, ditendang, dan disetrum agar
mengakui siapa dalang di balik aksi penolakan yang dilakukan. Namun, karena
aparat tidak menemukan fakta yang dicari, para aktivis yang terdiri dari
mahasiswa di kampus Yogyakarta dan Jakarta itu dilepas dan diancam supaya tidak
menceritakan penyiksaan yang dialami kepada siapa pun.
Sejak
mengalami penangkapan dan penyiksaan itu, Biru Laut dan kawan-kawannya lebih
berhati-hati dalam menjalankan aksinya. Mereka tetap bersemangat untuk mencapai
tujuan, yakni menggulingkan pemerintah Orde Baru yang di mana negara seakan
dimiliki oleh keluarga dan kroni-kroninya. Terutama menegakkan 4 pilar
demokrasi. Namun, gerak-gerik mereka selalui dimata-matai oleh intel yang
merupakan kaki tangan pemerintah. Alhasil, pada 13 Maret 1998 Biru Laut dan 12
teman lainnya kembali ditangkap dan disekap. Kali ini mereka mengalami
penyiksaan yang lebih berat dari sebelumnya. Selama berbulan-bulan mereka
disiksa secara tidak manusiawi di sebuah penjara bawah tanah. Akan tetapi, Alex,
Daniel, Naratama, dan Bram dipulangkan. Mereka sendiri tidak tahu pasti alasan mereka
dipulangkan. Sementara, Laut, Kinan, Gala, Julius, Narendra, Sunu, Dana, dan
Widi, dibunuh dan jasadnya dibuang ke laut.
Selain mengungkap
sisi kelam kemanusiaan pada era orde baru, novel ini juga diselingi kisah cinta
antara Biru Laut dengan Anjani, seorang mahasiswa dari Jakarta, dan Alex dengan
Asmara Jati, adik semata wayang Biru Laut. Anjani begitu terpukul dengan
kehilangan Biru Laut yang hingga tahun 2000-an tak tahu bagaimana rimbanya. Sehingga
ia yang dulunya sangat cantik mempesona jadi enggan merawat dirinya. Ia seakan
berubah menjadi gadis jorok dan tidak normal. Namun, orang tua Biru Laut yang
sesungguhnya juga mengalami depresi berat atas kehilangan anaknya, mampu
mengurangi gejolak hati Anjani dengan mengadakan ritual Mingguan, yakni memasak
masakan kesukaan Biru Laut dan menyediakan kursi dan meja saji untuknya di
tempat makan. Seolah Biru Laut berada di sana serdang makan bersama mereka.
Novel ini
sangat layak bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh seperti apa tragedi
kemanusiaan tahun 1998. Terutama untuk mengenang para aktivis yang menjadi
tumbal tegaknya reformasi dua puluh tahun silam.
Lombok Tengah,
20 Mei 2018
Marzuki Wardi,
alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan
Resensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar