Mengedukasi Dampak Pemakaian Gadget Berlebihan pada Anak
Oleh: Marzuki Wardi
Foto cover buku |
Judul :
Gara-Gara Game Online
Penulis :
Fery Lorena Yani, Yosep Rustandi, dkk.
Penerbit :
Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit :
Pertama, September 2020
Tebal :
144 halaman
ISBN :
978-623-253-007-2
Harga :
39.000
Angka pemain game (online) atau lebih dikenal dengan sebutan gamer akhir-akhir ini semakin meningkat,
terlebih di masa pandemi covid-19 ini. Menurut salah satu sumber, jumlah gamer di Indonesia pada 2020 lalu mencapai sekitar
100 juta orang. Jumlah itu menjadikan Indonesia dengan gamer terbanyak nomor satu se-Asia Tenggara.[1]
Meningkatknya angka gamer tersebut, jika ditilik dari segi ekonomi, secara tidak
langsung berdampak pada peningkatan siklus perekonomian rakyat. Sebab, semakin
berkembangnya game akan membuka
peluang (usaha) baru bagi para gamer,
khususnya di kalangan anak muda. Sehingga mampu menumbuhkan profesi-profesi
baru seperti gaming content creator, game
caster, game developing, dan beberapa jenis profesi lain yang berkaitan.
Bahkan sektor e-sport tersebut diwartakan
menghasilkan sekitar 13,8 triliun pada tahun lalu.[2]
Namun, di sisi lain, game juga tidak selamanya membawa dampak positif. Bahkan, dampak
negatifnya, menurut saya, lebih banyak daripada dampak positifnya. Faktanya, tidak
sedikit orang tua yang mengeluh melihat anaknya yang mulai kecanduan game sejak dini. Mereka (orang tua)
merasa kesulitan berkomunikasi ketika anak sedang asyik bermain. Mengingat berbagai jenis game pada ponsel pintar memang tidak
dapat dihentikan sementara waktu (pause).
Sehingga tidak jarang si anak merasa terganggu lantas berujung marah bila
terus-terusan diajak bicara.
AS Laksana menggambarkan buruknya dampak game tersebut dalam esainya yang
berjudul “Anak Ini Ketempelan Jin”.[3] Menurutnya,
aktivitas game online menyebabkan kesenjangan psikis antara orang tua dengan anak.
Hal ini dikarenakan kebanyakan orang tua hanya bisa memfasilitasi anak dengan gadget-gadget canggih dengan dalih agar ia
tidak ketinggalan zaman. Tapi, di sisi lain mereka tidak mengimbanginya dengan
kontrol dan upaya memberikan pemahaman fungsi lain daripada teknologi tersebut.
Alhasil, si anak hadir di tengah-tengah anggota keluarga tercinta, tapi ia
tenggelam dalam dunia yang ia buat sendiri dengan kawan sesama gamer-nya. Ujung-ujungnya, orang tua
koalahan menghadapi kondisi anak yang bak
kesurupan jin.
Tidak hanya gangguan psikis, bermain game online berlebihan bahkan dapat membahayakan
fisik. Itulah yang dialami oleh Cika, tokoh dalam cerpen berjudul “Gara-Gara Game Online” dalam buku
kumpuan cerpen anak ini (halaman 44). Ia tersesat dan nyaris hilang di sebuah
lokasi wisata andai saja tidak ditemukan oleh petugas penjaga lokasi.
Sementara, bus yang ia tumpangi bersama teman-temannya sudah cukup jauh melaju
menuju lokasi wisata berikutnya.
Sebelumnya Cika berkali-kali diingatkan untuk
menghentikan aktivitas bermain game sejak
dalam perjalanan. Selain agar bisa
menikmati momen liburan, juga tentu agar ia bisa mengikuti tahapan aktivitas
yang dilalui bersama teman-temannya. Bu Mifta, ketika bus berhenti di sebuah
SPBU, sempat membujuk dan menawari Cika untuk turun ke toilet kalau-kalau ia
merasa ingin buang air. Sebab, Bu Mifta tahu betul bahwa area yang dituju masih
sangat jauh. Alih-alih mematuhi, Cika malah mengabaikan bujuk manis gurunya
tersebut.
Kalau nasihat guru saja sudah tidak didengar,
apalagi peringatan dari teman-temannya. Benar saja. Cika melewati semua
aktivitas penting dan seru sepanjang perjalanan. Ia terus asyik bermain game meskipun sudah sampai di tempat
wisata pertama. Dan, petaka itu tiba ketika gadget dan power bank miliknya
mati. Ia yang sejak tadi menekuri layar gadget sambil berjalan, tiba-tiba sadar
dirinya sudah tertinggal jauh oleh rombongan ketika mengangkat wajah. Tengok
kiri, kanan, depan, belakang, tidak ada satu pun orang berada di sekitarnya. Cika
berteriak dan berusaha mencari teman atau orang yang dikenalinya. Bocah SD itu
pun mulai menyesal, gelisah, lalu menangis tersedu sedan.
Hal serupa juga dialami oleh Alya, tokoh pada
cerpen lain berjudul Selfie yang juga
ditulis oleh Fery Lorena Yanni. Bahkan lebih parah lagi, bocah yang punya
kebiasaan swafoto berlebihan itu hampir saja terseret arus sungai di sebuah lokasi
wisata yang ia kunjungi bersama rombongan kelas IV, V, dan VI SD. Saking
asyiknya menelusuri spot menarik untuk berswafoto, ia sampai tak sadar telah
menuju area yang berbahaya. Akibatnya, ia tak memerhatikan pijakan kakinya ketika
berswafoto sehingga ia pun terpeleset dan jatuh ke sungai. Tentu saja semua
pengunjung Kebun Raya kemudian dihebohkan dengan aksiden tersebut. Beruntung
saja dua orang guru sigap ke tempat kejadian lalu menyelamatkan Alya.
Dampak pemakaian gadget berlebihan pada anak menjadi fokus perhatian Fery Lorena
Yanni terhadap dua cerpennya dalam buku ini. Tema ini saya kira sangat aktual
untuk diketengahkan saat ini di mana fenomena ketergantungan anak terhadap gadget sedang begitu maraknya. Dengan bahasa
sederhana dan alur yang mengalir, Fery mampu menyampaikan pesannya dalam dua
cerita tersebut dengan baik. Terlebih setiap cerita disertai ilustrasi
menarik—meskipun berwarna hitam—yang dapat mengambil hati pembaca di kalangan
anak. Seperti beberapa contoh di bawah ini misalnya.
Ilustrasi cerpen gara-gara game online. |
Ilustrasi cerpen berjudul Selfie |
Hanya saja Fery tidak mendeskripsikan latar tempat kejadian di dalam ceritanya. Seperti dalam cerita Gara-Gara Game Online misalnya, diceritakan bahwa begitu tiba di lokasi wisata Cika terus-terusan menunduk menekuri game. Dan dalam jangka waktu beberapa saat ia tidak memperhatikan ke mana arah rombongan berjalan. Ketika ia tersesat dan mencari-cari rombongan, di sana tidak dideskripsikan atau diilustasikan secara rinci tempat apa saja yang ia lalui, misalnya semacam jalan setapak yang di kiri-kananya disesaki pepohonan. Atau misalnya jalan menuju air terjun dengan rerimbunan semak-belukar di sampingnya, kebun binatang, sungai, kolam renang, atau lokasi wisata lainnya. Hal ini menyebabkan absennya plot dalam sebuah cerita yang dapat mengurangi keseruan cerita.
Andai saja Fery melakukan hal itu (menambahkan deskripsi atau ilustrasi latar tempat) seperti gambar di bawah ini misalnya.
Sumber: https://www.yukepo.com/hiburan/tips/tersesat-di-hutan-dan-bekal-habis-cari-saja-10-tumbuhan-ini-bisa-dimakan/ |
Apalagi dibumbui diksi-diksi menegangkan, tentu akan lebih mengaduk perasaan pembaca. Dengan demikian, hal itu akan menambah daya tarik dan keseruan cerita. Akan tetapi, hal ini tentu tidak mengurangi ruh (tema) keseluruhan cerita. 11 cerita anak dengan beragam tema yang terdapat dalam buku hasil kompetisi menulis cerpen lintang 2019 ini saya rasa layak untuk dijadikan bahan pengembangan pendidikan nilai (karakter). Sebab cerita biasanya selalu lebih melekat di ingatan anak ketimbang seruan, instruksi, dan perintah. Lebih-lebih jika cerita itu mampu menyentuh emosional pembaca.
Saya teringat ungkapan Pak Munib
Chatib—seorang pegiat pendidikan dan penulis buku-buku tema pendidikan—pada
waktu mengikuti seminar beliau, bahwa media pendidikan karakter itu harus mampu
menyentuh perasaan atau hati siswa. Saya kira buku yang diterbitkan Indiva ini
mempunyai magnet itu.
Lombok
Tengah, 23 Februari 2021
caekeeep pak...
BalasHapus