Senin, 22 Juli 2019

Opini


Menjaga Marwah Pendidikan di Era Milenial
Oleh: Marzuki Wardi
(Dimuat di SKH Lombok Post pada 11 Maret 2019)


Sudah kesekian kalinya wajah pendidikan kita mendapat tamparan dari ulah segelintir generasi bangsa. Sebut saja kasus amoral seorang siswa SMP di Gersik, Jawa Timur, beberapa saat lalu. Pun, belum lindap dari ingatan kita, belakangan ini kasus serupa kembali merabak. Pada hari pertama bulan Maret ini, mata saya dibelalakkan dengan judul (headline) berita di sebuah surat kabar harian lokal tentang pengamanan seorang siswa SMA di Lombok Tengah. Si siswa tersebut dengan lantang dan beraninya menghina presiden dan aparat kepolisian dengan kata-kata kotor di media sosial.
Selain itu, beberapa saat yang lalu, sebuah saluran televisi swasta nasional menyiarkan berita puluhan pelajar SMK di kota Lampung yang hendak melakukan aksi tawuran. Untung saja polisi bergerak cepat menggagalkan rencana itu. Beberapa bentuk senjata yang hendak mereka gunakan juga berhasil diamankan petugas.
Pada saat bersamaan dan masih di stasiun televisi yang sama, kabar menyesakkan dada lainnya datang dari ibukota, di mana 61 anggota geng motor diciduk aparat kepolisian karena berbuat rusuh di jalanan, dan ketahuan mengonsumsi narkoba. Parahnya, beberapa diantara mereka masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Menyimak perilaku negatif para pelajar di atas, hati kecil saya bertanya, “Apakah urat takut dan malu anak-anak kita saat ini seakan telah terputus?” Sebagai seorang pendidik, saya tentu merasa tercengang dengan fakta ini. Pendidikan sebagai institusi yang selama ini bertanggung jawab melahirkan manusia-manusia berbudi pekerti luhur seakan kehilangan marwahnya. Agak miris rasanya jika masalah klasik ini masih saja membelit tubuh pendidikan kita. Sementara kita sudah memasuki gerbang revolusi industri 4.0, di mana kecakapan hidup merupakan hal yang mutlak diperlukan.
Di sisi lain, kita memang tidak bisa serta merta menjustifikasi bahwa semua ini salah anak. Latar belakang keluarga, lingkungan sosial, pergaulan, usia, dan media sosial, merupakan beberapa faktor yang cukup berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak. Di saluran televisi misalnya, begitu banyak tontonan yang tidak ramah anak dengan frekuensi tayang yang tinggi dan pada jam anak masih aktif di depan layar televisi. Lalu, di media sosial, bukankah hampir setiap hari kita menyaksikan para warganet dengan begitu mudahnya saling hujat hanya karena berita yang belum jelas sumbernya (hoax)? Perundungan, ujaran kebencian (hate speech), dan sekelumit problematika sosial lainnya seakan mendoktrin pikiran mereka bahwa seperti itulah adanya budaya kita.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan kita. Karenya, tantangan yang kita hadapi di era milenial ini semakin meningkat. Fungsi lembaga pendidikan tidak sekedar membekali generasi bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan dari sisi intelektual saja. Tapi, kesadaran kultural sebagai bangsa yang memiliki keluhuran budi pekerti juga harus ditanamkan secara proporsional pada diri anak. Dua dimensi pendidikan ini harus tetap seimbang. Jika tidak, konsekuensinya akan terlahir generasi robot milenial, yakni manusia-manusia yang berpengetahuan tinggi, tapi cacat dalam hal budi pekerti.

Urgensi Literasi Budaya
Hampir semua daerah di NTB memiliki kearifan (budaya) lokal yang menarik di mata masyarakat internasional. Dalam masyarakat Sasak misalnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari praktik-praktik sosial seperti berolem,[1] betabeq,[2] bebase,[3] saling tulung,[4] dan sebagainya. Demikian juga dengan masyarakat Mbojo. Mereka punya rimpu,[5] rawi rasa,[6] cafi sari[7], dan beragam tradisi lainnya.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini, tradisi-tradisi dimaksud tampak semakin memudar. Sebut saja tradisi berolem pada masyarakat Sasak. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat kekeluargaan, juga mencerminkan tingginya penghormatan masyarakat Sasak atas tamu yang akan menghadiri acara tertentu. Namun, kehadiran teknologi handphone (HP) telah mengganti peranan tradisi ini dalam tatanan masyarakat.—meskipun tidak sepenuhnya. Tradisi ngayo (silaturrahmi ke tetangga) misalnya, juga telah terwakili dengan kehadiran media sosial.
Pengaburan nilai-nilai kearifan (budaya) lokal ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali pelajaran budaya lokal di sekolah, menuangkan wawasan budaya lokal dalam bentuk karya tulis, pagelaran festival atau pameran budaya, dan cara-cara lain yang dapat melestarikan budaya lokal.
Maka, revitalisasi kearifan (budaya) lokal dalam hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.
Lombok Tengah, ditulis pada 01 Maret 2019


[1] mengundang dengan cara menyampaikan lansung (lisan) ke rumah-rumah.
[2] cara mengatakan permisi dengan menundukkan tubuh dan menurunkan tangan kanan saat lewat di depan orang.
[3] Dalam interaksi sosial, seseorang yang lebih kecil tidak boleh menyebut nama orang yang lebih tua. Sebagai gantinya adalah menyebut gelar usia seperti tuaq (paman), saik (bibik), papuk (kakek atau nenek), Inak kake (tante), amak kake (paman/kakak dari ayah atau ibu), dan sebagainya.
[4] Saling bantu setiap ada orang bangun rumah, bercocok tanam, pesta, meninggal, dan sebagainya.
[5] Memakai sarung dengan melingkarkannya pada kepala di mana yang terlihat adalah sepasang mata pemakainya.
[6] Semua kegiatan yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat.
[7] Berarti upacara menyapu lantai yang dilakukan untuk menyampaikan puji syukur karena seorang ibu telah berhasil melahirkan seorang anak dengan selamat.

Cerpen


Wanita Berwajah Kenangan
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di SKH Suara NTB edisi Sabtu, 09 Februari 2019

Wanita itu masih berdiri di sudut dapur hostel sambil menenteng sebuah cangkir yang tampaknya berisi kopi atau teh. Sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu, aku sudah menemukannya di sana bersama seorang wanita lain paruh baya berambut ikal dan berkulit agak gelap. Sementara, wanita yang kumaksud ini berkulit putih, berambut lurus dan pirang, mata sipit, dan bertubuh jenjang. Dari fostur tubuh dan penampilan, aku menduga hubungan mereka bukanlah antara anak dan ibu. Sehingga aku tidak bergitu tertarik untuk mencari tahu hal itu. Aku hanya tertarik mengamati raut wajah wanita bermata sipit yang tampak begitu menggoda ini.
Sebentar, sebenarnya bukan kecantikannya yang membuat mataku tercekat. Di zaman yang begitu pesat akan perkembangan alat kecantikan seperti saat sekarang ini, kurasa tidak sulit menemukan wanita cantik seperti dia, bahkan yang lebih cantik sekalipun. Namun, wanita ini sungguh berbeda. Di wajahnya seakan-akan terhampar padang kenangan yang seolah pernah kuarungi bersamanya suatu masa yang tak dapat kuingat secara pasti. Aku hanya dapat merasakan itu. Ya, benar sekali, aku ingat bahwa perasaan ini pernah kurakasan dulu ketika memandang wajah Meri, istriku yang meninggal lima tahun silam.
Aku menghempaskan tubuh ke sandaran kursi yang terletak di pelataran dapur hostel. Sisa-sisa pegal akibat perjalanan kemarin sore rasanya masih menempel di tubuhku. Sebab itu, pagi ini akan kuhabiskan dengan sedikit lebih santai sebelum check out. Oh ya, kedatanganku ke Negeri Merlion  ini adalah untuk melanjutkan kuliah. Dulu aku pernah berjanji melanjutkan kuliah ke sini bersama Meri. Akan tetapi, rencana kami tertunda karena kami lebih dulu menikah setahun selepas kuliah. Lagi pula, usiaku pada saat itu sudah cukup matang, sehingga menikah adalah pilihan yang tepat ketimbang menjalin hubungan tak tentu arah. Dan ambisi melanjutkan kuliah itu kini sudah kutunaikan, meski tujuanku sebenarnya lebih kepada menghabiskan sisa-sisa usia sebelum kematian menjemputku.
 Aku menyeruput segelas kopi susu yang telah kuseduh sendiri di dapur. Awan pekat yang menggelantung di atas kepalaku, menambah kenikmatan meminum kopi. Aku merapatkan kursi ke sebuah meja saji kecil di depanku, lalu kutumpuk lenganku di sana. Kehadiran wanita yang kini kusebut berwajah kenangan di depanku ini benar-benar mengundang kerinduanku pada Meri. Karena wajahnya begitu mirip dengan Meri. Dulu teman-teman kuliah sering mengatakan Meri mirip gadis Cina karena matanya yang sipit. Hanya saja kulit Meri tidak seputih wanita di depanku ini.
Kulirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Aku tersenyum-senyum sendiri. Dulu dia memberikan benda ini pada saat ulang tahunku yang ke 30. “Kamu tahu Mas, kenapa aku kasih kado ini walau kamu sudah punya model yang lain?” katanya.
Aku menggeleng tanpa sebait suara yang meluncur dari mulutku.
“Setiap Mas ingin melihat waktu, berarti Mas akan melihat jam ini. Dan itu sama saja dengan melihatku. Dengan begitu, kamu akan selalu ingat padaku setiap waktu.” Sambil tersenyum-senyum Meri mengatakan itu.
“Ah, bisa aja kamu. Tanpa jam tangan ini pun aku sudah selalu ingat padamu. Lagi pula, bukankah aku sudah bilang bahwa aku hanya akan mencintai wanita hanya sekali dalam hidup ini?”
Meri kemudian mendekapku erat malam itu, hingga pagi datang menggeser kehadiran malam. Waktu itu usia pernikahan kami sudah mencapai enam tahun. Tapi kami belum dikaruniai momongan. Dan aku sendiri tahu kenapa Meri berkata seperti itu. Usia pernikahan yang boleh dibilang cukup matang tapi belum bisa mempersembahkan seorang anak, bisa dikatakan sebuah aib bagi seorang wanita, yang suatu waktu dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Sebagai seorang wanita dan memiliki perasaan sensitif, Meri tentu paham tentang hal itu. Oleh karenanya, boleh jadi pikirannya berkata bahwa ia takut bila sewaktu-waktu aku menaruh perhatian pada wanita lain.
Meri sering bercerita tentang teman-teman kantor yang menanyainya perihal buah hati. Ia seringkali merasa kelimpungan apabila menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Pengalamannya itu lantas membuat Meri kadang merasa minder dan seolah-olah dirinya lah yang patut disalahkan atas cobaan tersebut. Lambat laun, perasaan minder tersebut membuat Meri jadi selalu menghindari pembicaraan apabila topiknya sudah menyentuh  soal anak. Bahkan, ia berusaha menjauhi perkumpulan ibu-ibu rumah tangga di dekat rumah kami. Ia merasa dirinya lah yang sedang dipergunjingkan ketika mereka berkumpul dan berkelakar riang.
“Mas, kalau boleh jujur, aku tak keberatan jika Mas menikah lagi,” katanya pada suatu malam berikutnya.
“Kenapa kamu berkata seperti itu, Meri?”
“Aku tahu Mas ingin sekali punya anak.”
“Tidak, aku tidak bisa melakukan itu, Meri.”
“Baiklah kalau Mas tak tega melakukan hal itu sekarang, tunggulah hingga pusaraku mengering.”
Kalimat Meri serasa menyumbat kerongkonganku. Pernapasanku seketika menjadi sangat berat malam itu. Sehingga aku tidak bisa menahan lelehan air dari pupil mataku. Aku bukan semata menangisinya. Akan tetapi, aku menangisi betapa besar keinginannya untuk membahagiakanku, yang ternyata tak dapat terwujud sampai saat itu.
Begitulah. Hari-hari kami jalani berdua tanpa kehadiran makhluk mungil yang kami nanti-nantikan, hingga suatu hari kata-kata Meri benar-benar menjadi nyata. Penyakit mematikan yang diidapnya telah merenggut nyawanya. Entah, apakah saat mengatakan perihal kematian malam itu Meri sudah mulai merasakan penyakitnya ataukah ia ngomomg asal-asalan saja? Aku tidak dapat memastikan hal itu. Aku hanya bisa memastikan, bahwa diriku selalu berteman dengan sepi dan kesedihan pada hari-hari berikutnya. Aku sudah memutuskan hubungan dengan bahagia. Kesedihan-kesedihan yang menguliti hari-hariku bahkan membuatku selalu berdoa agar kiamat dipercepat saja. Dengan begitu, aku dan Meri bisa dipertemukan kembali di alam keabadian. Meskipun aku sadar mana mungkin Tuhan mau mempercepat jadwal kiamat hanya gara-gara satu orang hambaNya ini.
***
Rintik hujan yang sudah mulai bertempias ke atas lantai, mengusap kesadaranku dari lamunan tentang Meri. Kakiku seakan bergerak dengan sendirinya ke dalam dapur hostel, menghindari hujan sambil membawa gelas kopi yang isinya sudah tandas.
Tanpa kusadari, rupanya si wanita bermata sipit sekarang sudah berada dengan jarak yang cukup berbisik saja kami sudah bisa saling dengarjika ingin berbicara. Wanita berambut ikal yang tengah menjentikkan sebatang rokok di jari kirinya melirik ke arahku dengan tatapan penuh selidik. Aku membalas tatapannya. Wanita cantik bermata sipit pun turut menatapku. Beberapa saat kami bertiga saling tatap secara bergantian. Degup jantungku terasa lebih kencang dari biasanya. Namun, tak lama kemudian ia berlalu begitu saja bersama wanita perokok sialan tersebut.
Ternyata benar, dari jarak dekat, wajah wanita itu mirip sekali dengan Meri. Sehingga pantas saja perhatianku sejak tadi tercocok ke arahnya. Ah, apa yang terjadi denganku? Dadaku tiba-tiba dipagut rindu pada Meri, tapi pada saat bersamaan juga terpesona dengan wanita berkulit putih dan bermata teduh tadi. Apakah ini sebuah petanda bahwa Meri memintaku jatuh cinta pada wanita lain ataukah wanita itu adalah jelmaan Meri? Tapi siapa dan dari mana asal-usulnya? Aku bergegas mengejarnya, tapi aku tak menemukan siapa-siapa diantara lorong kamar hostel. Bahkan bayangan seorang pun tidak kutemukan. Sepi. Sangat sepi.
Lombok Tengah, 1 Februari 2019.
Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi Buku. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...