Minggu, 20 Oktober 2019

Opini


Membangun Generasi Literat dari Keluarga
Oleh: Marzuki Wardi
(Ketua Bidang Literasi IGI Kabupaten Lombok Tengah, NTB)
Dimuat di SKH Media Indonesia pada 15 Juli 2019

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan PoCer.co, Linda Christanty pernah membeberkan rahasia suksesnya dalam menggapai cita-citanya. Penerima dua kali penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa itu pun sempat menceritakan awal mula ketertarikannya terhadap dunia literasi yang kemudian mengantarnya menjadi seorang jurnalis dan penulis terkemuka.
Waktu kecil dan belum bisa membaca, saya ingat Ayah dan Ibu sering membacakan buku-buku cerita untuk anak-anaknya menjelang tidur malam. Kami berkumpul di kamar mereka, di tempat tidur orangtua saya yang besar itu. Cerita yang paling saya ingat adalah Tom Si Jempol atau Tom Thumb. Tentang anak kecil yang melawan raksasa…,” paparnya panjang lebar.
Jika kita ingin menyebut tokoh-tokoh lain dengan profesi berbeda, tentu masih banyak yang sukses membangun karier mereka dengan bekal awal “tekun membaca”. Bahkan tidak hanya membangun karier, tapi juga membangun sebuah Negara. Kita sama-sama tahu bahwa tegaknya kedaulatan bangsa ini tidak terlepas dari peran sentral para tokoh yang gemar membaca (buku). Sebut saja presiden pertama kita, Bung Karno, misalnya. Menurut riwayat, beliau sangat rajin membaca buku, sampai-sampai di dalam toilet pun beliau menyediakan meja khusus yang dipakainya membaca buku. Sejak muda beliau juga sudah berani menentang kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda melalui tulisannya.
Pun demikian dengan wakil presidennya, Bung Hatta. Saking candunya membaca, sewaktu diasingkan ke Banda Neira oleh Pemerintah Hindia-Belanda, beliau membawa sepeti koleksi buku pribadinya. Ki Hajar Dewantara, sejak muda, ketika menimba ilmu di STOVIA, sudah melahap banyak buku baik di perpustakaan sekolah maupun koleksi milik sahabatnya, Ernest Douwes Dekker. Haji Agus Salim, sang diplomat yang menguasai sembilan bahasa asing, dan tokoh-tokoh bangsa lainnya merupakan sosok pejuang sekaligus pembelajar sejati yang hidupnya tidak pernah jauh dengan buku. Dari kegemaran membaca itulah kemudian mengalir ide-ide cemerlang dan melahirkan karya-karya berpengaruh. Sehingga tidak heran mereka membangun pondasi Negara ini dengan bekal intelektual yang mumpuni.
Berkaca dari para tokoh bangsa tersebut, agak miris rasanya bila kita melihat fakta rendahnya kemampuan membaca para pelajar saat ini. Jika kita mengacu pada data PISA 2015, kita patut prihatin dengan kompetensi membaca pelajar Indonesia yang belum mencapai target rata-rata Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Apalagi kita tengah berada di era banjirnya media dan bahan bacaan seperti sekarang ini. Di sisi lain, kita terus-menerus dituntut berubah. Hadirnya industri 4.0 mensyaratkan upaya peningkatan kualitas (kompetensi) diri yang bersifat berkelanjutan, yang tentunya harus ditopang referensi-referensi berkualitas pula.
Oleh karenanya, program gerakan literasi (baik gerakan literasi sekolah maupun keluarga) yang digulirkan pemerintah sudah sepatutnya menjadi prioritas, dalam rangka membangun generasi literat. Agar program ini bisa mencapai hasil yang maksimal, diperlukan peran aktif dan massif dari segenap elemen masyarakat. Terutama dari unit terkecil sebuah Negara, yaitu keluarga. Sebagai bagian dari tripusat pendidikan, keluarga harus mampu menjadi sarana pencetak generasi literat.
Dalam kaitannya dengan cerita pembuka di atas, kita bisa belajar bagaimana membentuk pribadi literat dari lingkungan keluarga. Orang tua Linda memang tidak berupaya secara langsung mengajar anak-anaknya membaca, tapi mereka berusaha sedemikian rupa untuk merangsang minat baca anak-anaknya. Sehingga dongeng-dongeng yang disampaikannya menjadi menarik dan terekam kuat dalam memori Linda. Karenanya, merangsang minat baca anak sejak dini jauh lebih penting daripada menekankan anak harus bisa membaca. Ketika minat anak telah tumbuh, maka ia akan merasa butuh dan berupaya untuk memenuhi hasrat ingin tahunya dengan membaca.
Menumbuhkan minat baca memang tidak hanya bisa dilakukan dengan mendongeng. Banyak cara lain yang dapat ditempuh oleh orang tua. Mengajak anak untuk berlibur atau jalan-jalan ke toko buku, berkunjung ke perpustakaan, menghadiahi prestasi anak dengan buku bacaaan, bermain dengan media bahan bacaan, mengunjungi festival buku, budaya, dan museum, merupakan alternatif lain yang dapat diterapkan. Ketika gairah membaca anak sudah tumbuh, maka tugas orang tua adalah menyediakan bahan dan media bacaan yang memadai di dalam rumah.
Namun, tentu orang tua juga harus menjadi model (pembaca) yang baik bagi anak. Banyak orang tua yang hanya menuntut anak untuk rajin membaca, tapi mereka sendiri enggan melakukan apa yang diperintahnya. Anak adalah peniru ulung, lebih-lebih pada masa perkembangan operasional konkret (prasekolah). Ia suka meniru apa yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Jika orang tua suka membaca, maka tidaklah sulit bagi anak untuk meniru kebiasaan tersebut. Dengan demikian, literasi keluarga harus dihidupkan mulai dari orang tua lalu mengalir ke anggota keluarga lainnya (anak).
Tidak sampai di situ. Tugas orang tua selanjutnya adalah bagaimana mengontrol bahan bacaan yang baik bagi anak. Era digitalisasi, disamping memberikan kemudahan mengakses bahan bacaan, rupanya bisa menjadi bumerang bagi harmonisasi sosial kita. Hari ini kita sama-sama tahu begitu banyak berseliweran berita bohong (hoax), fitnah, dan ujaran kebencian (hate speech) yang membuat para pengguna media sosial dengan begitu mudahnya saling hujat dan caci.
Fenomena ini jangan sampai mencuci otak anak-anak kita. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan literasi informasi sejak dini. Literasi informasi tidak hanya berarti mengajarkan anak tentang bagaimana mengakses dan memeroleh informasi, tapi yang tak kalah penting adalah bagaimana memanfaatkan informasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kita harus ingat bahwa pribadi literat tidak hanya suka membaca, tapi juga mampu menyeleksi bahan bacaan yang bermanfaat bagi dirinya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah literasi hanya berkaitan dengan aktivitas membaca? Tentu saja tidak. Membaca hanyalah langkah awal yang sangat penting dalam berliterasi. Jika membaca sudah menjadi kebutuhan, maka kegiatan literasi seperti menulis, berbicara, mengamati, mengolah informasi, dan lainnya akan mengikuti. Seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, minat baca harus ditumbuhkan sejak dini, dan ini mutlak membutuhkan peran aktif orang tua. Jadi, untuk membangun generasi literat, kita harus memulainya dari keluarga. Dari keluarga literat, masyarakat literat, generasi literat, menuju bangsa yang bermartabat. Selamat hari keluarga nasional 2019.
Lombok Tengah, 24 Juni 2019.
Marzuki Wardi, tinggal di Lombok Tengah, NTB. Hingga saat ini, ia aktif menulis Cerpen, Esai dan Resensi di berbagai media massa (cetak dan daring).

Resensi


Kiat Membangkitkan Potensi Kepemimpin
Oleh: Marzuki Wardi
Judul                : The Leader Who Had No Title
Penulis              : Robin Sharma
Penerbit            : Bentang Pustaka
Tahun Terbit     : Pertama, Januari 2018
Tebal                : 264 Halaman
ISBN               : 978-602-291-506-5
Dimuat di SKH Koran Jakarta pada 19 Juli 2019
Leader is action, not position. Kiranya ungkapan itulah yang tepat untuk mendeskripsikan isi buku ini. Banyak orang memahami bahwa ketika seseorang menduduki suatu jabatan, berarti ia sudah pasti menjadi seorang pemimpin. Atau dengan kata lain, seorang pemimpin sering kali diidentikan dengan jabatan tertentu. Padahal, banyak pejabat yang bahkan sudah mengepalai sebuah instansi pun tidak dapat menunjukkan kepemimpinan yang ideal. Hal ini membuktikan bahwa pemimpin adalah bukan soal jabatan.
Robin Sharma berupaya meluruskan pemahaman kita tentang makna pemimpin yang sebenarnya. Bahwa ia tidak dibatasi oleh profesi. Entah seorang guru, manajer, karyawan perusahaan, pedagang, pramuniaga, pelayan restoran, petugas kebersihan jalan, bahkan seorang buruh pasar pun bisa menjadi pemimpin, selama ia bisa menginspirasi dan memberi perubahan bagi kondisi dan orang-orang di sekitarnya. Jadi, setiap orang sejatinya adalah pemimpin. Namun, kita juga perlu membangkitkan potensi dan energi kepemimpinan yang terdapat dalam diri sendiri.
Untuk mencapai itu, kita harus memiliki IMAGE, yang merupakan akronim dari inovasi (innovation), menguasai (mastery), autensitas (authenticity), guts, dan etika (ethics) (hal. 77). Seorang pemimpin itu berjiwa inovatif, artinya mampu menciptakan sesuatu yang baru dan memberikan perubahan keadaan terhadap apa yang dikerjakannya. Hal ini bisa dimiliki jika kita senantiasa bertanya pada diri sendiri mengenai ‘apa yang bisa diperbaiki hari ini?’, ‘bagaimana cara mengobarkan produktivitas?’, ‘bagaimana supaya bisa kerja lebih cepat?’, dan pertanyaan-pertanyaan serupa yang bersifat membangun dan meningkatkan kinerja. Sebab, memegang aturan ini berarti kita memilki komitmen untuk menjadikan semua yang disentuh lebih baik daripada sewaktu ditemukan.
Berikutnya Menguasai, artinya berupaya menguasai bidang yang ditekuni. Sehingga orang tidak akan meragukan dan mengabaikan kemampuan kita. Seorang pemimpin tidak mungkin bisa memberikan perubahan jika ia sendiri tidak menguasai dengan baik bidang yang digelutinya. Maka, kita mesti berkomitmen untuk menjadi yang pertama, utama, satu-satunya, dan terbaik. Autensitas ialah menjadi diri sendiri. Bukan meniru kebiasaan orang lain. Sikap autentik juga bermakna menjadi andal, menjunjung tinggi misi dan nilai, berbicara terus terang, dan menjunjung bakat diri sendiri. Dengan demikian, kepercayaan orang lain akan melekat pada diri kita.
Sedangkan, Guts dalam IMAGE maksudnya adalah memiliki jiwa yang gigih dan pemberani. Pemimpin sejati haruslah memiliki keberanian yang melampaui orang berakal dan resikonya melebihi orang biasa. Yakni berani mengambil target yang tinggi dan melangkah lebih jauh lagi dalam mengerjakan sesuatu, agar mencapai hasil maksimal, tanpa takut menerima kritikan dan cermoohan orang lain. Terakhir, Etika berkaitan dengan cara bersikap dan bertindak. Kita hendaknya selalu rendah hati dan memiliki tata krama yang baik. Kita harus memastikan bahwa tindakan kita mencerminkan keyakinan, dan tampilan senada dengan suara kita (hal. 105).
Selain IMAGE, masih ada lagi beberapa poin penting yang harus dicermati jika kita ingin menjadi seorang pemimpin yang hebat dan menginspirasi. Penulis mengemasnya dengan akronim yang cukup mudah diingat. Dan, semuanya diuraikan dalam bentuk cerita yang hidup dan mengalir. Sehingga kita tidak merasa sedang membaca buku motivasi. Melainkan sebuah novel dengan alur dan plot yang menarik. Di akhir setiap bagian, buku ini juga dilengkapi dengan langkah aksi singkat untuk menerapkan materi kepemimpinan yang sudah dipelajari. Menjadikannya lebih aplikatif dan jauh dari kata teoritis belaka.
Lombok Tengah, 16 Juli 2019
Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.



Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...