Selasa, 28 September 2021

Cerpen

 

Perempuan Penjahit Kenangan

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Bhirawa Surabaya pada 24 September 2021


Awalnya tak banyak yang tahu atau lebih tepatnya percaya pada profesi perempuan tua itu. Karena memang tak ada benda yang sesuai menunjukkan identitas profesinya. Di depannya hanya ada papan berukuran pas-pasan bertulis “Penjahit Kenangan” dengan tulisan kecil di bawahnya yang mirip sub bab judul buku “menerima permak dan jahit kenangan-kenangan yang dikoyak waktu”. Juga sebuah tas tenteng berukuran sedang yang sudah lusuh dan berwarna belel. Itu saja. Pelang dan sebuah tas yang besar kemungkinan sudah berusia lima kali pergantian presiden.

Orang-orang yang beraktivitas dan berlalu-lalang di tempat itu kemudian menduga-duga bahwa ia pasti seorang pengemis. Mengingat banyak cara pengemis di negeri ini mengambil simpati orang. Mulai dari berpura-pura berpenampilan kumal sampai berpenampilan mahal dengan mengumbar janji-janji muluk. Si perempuan tua adalah jenis yang pertama; wajah keriput, rambut masih utuh (maksudnya tidak botak) tapi hampir beruban seluruhnya, tubuh kuyu dan kumal. Namun, karena memang tak pernah ada yang terlihat mengulurkan rupiah, orang-orang jadi mulai menaruh rasa percaya padanya.

“Apa ibu juga menjahit sepatu?” tanya seorang laki-laki berpenampilan parlente yang kebetulan lewat di area itu.

“Tidak. Saya hanya menjahit kenangan. Kamu sudah baca pelang di depan saya? Apa di sana ada yang bertulis sepatu?”

“Sudah. Tapi aku kira pelang itu hanyalah pemanis seperti pelang pedagang-pedagang boba muda kreatif saat ini,” sahut laki-laki itu sedikit heran.

“Anak muda jaman sekarang mana ada yang peduli arti sebuah kenangan!”

Laki-laki muda itu lalu beranjak pergi tanpa banyak bicara. Barangkali sebilah pertanyaan masih menggantung dalam kepalanya. Menjahit kenangan? Terdengar aneh. Sangat aneh, bahkan. Tapi, percuma ngomong panjang lebar dengan orang tua. Kalah atau salah sedikit, kata-kata serapah bisa menyembur dari mulutnya. Kalaupun menang, apa artinya menang berdebat dengan nenek-nenek yang sudah mulai pikun?

Begitulah hari-hari si perempuan tua berlangsung. Akhir-akhir ini, nyaris tak ada orang yang memakai jasanya menjahit kenangan. Dulu, ketika orang-orang masih begitu peduli arti penting sebuah kenangan, hari-harinya disibukkan untuk menyulam kenangan demi kenangan. Satu orang bisa menjahit dua, tiga, sampai lima kenangan dalam sehari. Mereka takut kalau-kalau kenangan-kenangan mereka lebih dulu dilumat waktu sebelum kematian menjemput. Sehingga mereka tak bisa mewariskannya ke anak cucu. Itu dulu ketika warisan kenangan masih sama berharganya dengan warisan harta.

Kini, ketika semua kehidupan nyaris dikendalikan teknologi, orang tak lagi peduli makna sebuah kenangan. Hidup memang serba mudah dan praktis. Mau pergi kota, tinggal menggeber sepeda motor. Hanya dalam hitungan menit sudah bisa sampai tujuan dengan kejauhan berpuluh-puluh kilometer. Tidak perlu menunggu angkot lagi seperti dulu-dulu. Lapar? Tinggal ambil dan mengusap gawai, berbagai jenis menu kesukaan bisa dipilih sesuka hati di gerai-gerai online. Silaturrahmi tatap muka digeser kehadiran fitur-fitur canggih di gawai. Hampir jarang ada tukar kata dan rasa secara nyata lagi saat ini. Mungkinkah kenangan terlahir dari keserba praktis-an semacam ini?

Karena itu pula si perempuan tua mencoba peruntungan di luar. Ia merasa perlu mengenalkan diri ke tempat yang lebih ramai ketimbang hanya berdiam diri menunggu pelanggan di rumah. Dan tempat yang ia pilih ini menurutnya bisa memenuhi harapannya tersebut. Di sudut sebuah persimpangan kota yang di mana ada beberapa gedung mewah di dekatnya. Ada hotel bintang lima, gedung pemerintahan, deretan toko yang menyediakan aneka barang, dan beberapa supermarket. Bukankah itu kombinasi yang cukup sempurna? Pemerintah dan bos-bos besar.

Aroma sore sudah mulai menguar. Peluh yang tadi mengalir di wajah perempuan tua itu sudah kering diserap kulit keriputnya. Konon, wajah orang yang sudah keriput dua kali lebih cepat menyerap keringat—karena pori-pori membesar. Ia mengusap alisnya dengan punggung tangan kanan, lebih kepada mengeringkan. Pandangannya melompat ke tas hitam di sampingnya. Perasaannya sedikit tergores haru. Bukan karena sulitnya uang, karena dari dulu memang ia sudah terbiasa besar tanpa gelimang uang. Ia hanya baru menyadari dunia tempatnya hidup saat ini sudah demikian jauh berubah. Terutama dari cara manusia berinteraksi. Akankah dunia ini indah tanpa kenangan-kenangan? Ia mendesah, lalu mengangkat bokongnya, tapi gerakannya keburu tercekat suara samar diantara deru kendaraan.

“Apa benar Anda penjahit kenangan?”

Ia mengangkat wajah. Sesosok perempuan berambut sebahu, lebat, dan lurus menyembul di depannya. Cukup muda untuk memahami arti sebuah kenangan.

“Betul.” Ia menatap wajah perempuan muda itu lagi dengan sedikit keraguan menggantung di wajah. “Kamu sudah menjahit kenangan sebelumnya?” lanjutnya kemudian.

“Belum.”

“Dari mana kamu tahu perihal menjahit kenangan?”

“Dari ayah saya. Ayah saya mewariskan cukup banyak kenangan.”

Perempuan dengan bercak-bercak samar di wajahnya itu sedikit termenung setelah akhirnya mengeluarkan isi tasnya.

“Baiklah kalau begitu, kenangan apa yang ingin kamu jahit?”

“Saya punya kenangan menyakitkan di masa lalu. Bisakah Anda menghilangkannya?”

“Kenapa kamu ingin menghilangkannya?”

“Aku tidak ingin mengingatnya lagi.”

“Kenapa kamu tidak ingin mengingatnya?”

“Karena kalau aku mengingatnya hidupku selalu diselimuti kesedihan.”

“Kamu tahu, menjahit kenangan bukan berarti menghilangkannya. Menjahit di sini justru menyatukan ingatan-ingatan masa lalu di dalam kepala ke dalam hati agar ia tetap terasa dalam hidup. Sebab, banyak orang yang ingat kenangan tapi lupa rasanya. Ingatan itu soal pikiran, sedangkan kenangan masalah rasa. Itulah kenapa kita perlu menyatukannya kembali.”

Giliran perempuan berpipi gembil itu yang melongo sekarang. Ia mencoba menyerap perkataan nenek penjahit kenangan ke dalam kepalanya. Barangkali ia baru mendengar perbedaan kenangan dan ingatan.

“Lagi pula, kita perlu semua kenangan dalam hidup ini, baik itu kenangan manis, pahit, suka, duka, semuanya tergantung kondisi kapan kita membutuhkannya,” balas si nenek seakan membaca isi kepala perempuan berperawakan subur itu.

“Apakah Anda pernah merasakan sakit?”

“Semua orang pernah merasakan sakit. Tapi definisi sakit itu berbeda-beda masing-masing orang. Sakit bagi saya belum tentu bagi kamu, begitu juga sebaliknya.”

“Kehilangan dan perasaan-perasaan lainnya?”

“Jangan tanya, seorang desainer baju tentu punya lebih banyak baju daripada pelanggannya. Kenangan tak jauh beda dengan baju. Semua kenangan adalah baju kita dalam hidup ini. Semakin tua seorang semakin banyak pula baju kenangannya.”

Perempuan itu lalu mengangguk. Barangkali tuntas sudah semua pertanyaan di kepalanya.

“Jadi, bagaimana? Mau menjahit kenangan?” tanya perempuan tua untuk kesekian kalinya.

“Jadi, nek,”

“Baiklah, kalau begitu tunggu sebentar.”

Sebuah jarum dirogohkan dari dalam tas belel dan ditunjukkannya ke perempuan yang berdiri sekitar satu setengah meter di depannya. “Tahukah kamu, ini adalah jarum waktu, dan benang-benang ini adalah pengikat kenangan. Warna putih artinya ketulusan, merah berarti pengorbanan, hitam adalah kesedihan, biru kesunyian, hijau kebahagiaan, dan kuning ialah kekecewaan,” dektenya.

Ia mendekatkan wajahnya ke tempat duduk si perempuan tua. Diperhatikannya lekat-lekat benda-benda yang barusan ditunjukkan itu.

“Cukup. Kamu takkan bisa memahami arti semua ini. Jadi, kita mulai dari mana? Biar saya memasukkan benang yang pas,” ujar si penjahit kenangan sedikit mengibaskan tangannya, seolah ia tak sabar lagi.

“Aku bingung mau mulai dari mana.”

“Kenapa kamu bingung?”

“Karena belakangan ini aku hampir tak pernah bahagia. Aku lupa cara berbahagia,” ujar si perempuan berambut kemerah-merahan itu. Tubuhnya sedikit terguncang. Seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya ketika mengucapkan kalimatnya kali ini. Apakah itu kerikil? Tidak mungkin. Sesakit apa pun seseorang tak ada yang sampai berani menelan kerikil.  

Si penjahit kenangan mengurungkan aksinya. Ia menghela napas, seakan mencoba memahami perasaan perempuan berwajah bundar yang ada di hadapannya. Karena itu ia merasa perlu bersabar dan mendekatinya dengan sentuhan perasaan. Boleh jadi baru kali ini juga ia menemukan seorang yang ingin menjahit kenangan macam begini.

“Kenapa kamu bilang begitu? Kamu masih cukup muda. Kamu masih berhak hidup bahagia.”

“Nenek juga sudah tua. Kenapa nenek sendirian saja? Kenapa tidak ditemani seseorang? Anak atau cucu misalnya…”

“Kamu tahu, kenapa aku memutuskan untuk menjadi seorang penjahit kenangan? Aku sudah tak punya apa pun di dunia ini selain kenangan-kenangan.”

“Jadi nenek hidup seorang diri?”

“Ya. Ah sudahlah, jangan bahas soal itu lagi. Apa kamu jadi menjahit kenanganmu?”

Kening perempuan muda itu berkerut. Ia tiba-tiba merasa menemukan separuh kenangannya ada pada nenek itu. Apakah ini sebuah kebetulan? Bagaimana bisa di dunia ini ada hal yang betul-betul mirip, termasuk kenangan? Ia tidak bisa memahami hal itu.

“Anda tahu, aku juga memutuskan mengembara dari satu kota ke kota lain setelah beberapa puluh tahun hidup seorang diri.”

“Kamu masih muda. Kenapa melakukan itu?”

“Karena di dunia ini aku sudah tak punya apa pun selain kenangan.”

Si nenek terdiam lagi. Ia juga merasa seolah sedang bercermin. Dan perempuan berbibir basah di depannya saat ini ialah cermin tersebut. Ya, cermin yang begitu bening dan jernih. Cermin yang memantulkan semua bayangan hidup yang dimilikinya. Tapi, bukankah dia adalah seorang penjahit kenangan yang tak membutuhkan apa pun untuk mengabadikan kenangannya? Bagaimanapun juga, cermin tetaplah cermin yang berfungsi memantulkan realitas pada diri seseorang. Tak peduli apakah dia menyadari hal tersebut atau tidak.  

Untuk beberapa saat tak ada sepotong kalimat yang terucap dari mulut kedua perempuan itu. Geming. Mulut mereka sama-sama terkunci setelah akhirnya mereka saling menertawai. Menertawai hidup yang masing-masing mereka jalani. Gelap mulai turun menyelimuti bumi. Si nenek tua mengemas semua peralatan yang ia butuhkan untuk menjahit kenangan.

“Besok kita bertemu lagi di tempat ini. Kita mulai menjahit kenanganmu besok pagi,” ucapnya kemudian merenggang pergi meninggalkan perempuan muda seksi itu seorang diri.

Lombok Tengah, 18 September 2021

Wardie Pena, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukin di Lombok Tengah, NTB.

Cerpen

 

Belati Nyonya Lussy

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Radar Mojokerto pada 14 Agustus 2021


Suara derit pintu sel yang dibuka membuatku tergeragap dari lamunanku. Seorang polisi penjaga berperawakan gempal masuk dan berdiri di sampingku. Aku mendongak dengan tatapan penuh harap: semoga dia sudi mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini. Tapi harapan itu sepertinya lebih layak disebut mimpi saat ini. Pak Polisi menunduk dan berbisik lirih, “Sekali lagi kamu bikin onar, saya tak segan-segan melukis pentungan ini di keningmu, pembunuh.”

Napasnya yang berbau pesing menusuk hidungku. Bau itu mirip air urin orang yang dehidrasi tinggi atau mungkin lebih mirip air kencing anjing. Entah apa yang dimamahnya barusan sehingga bau mulutnya seperti itu.

“Aku tidak pernah membunuh. Tolong jangan panggil aku pembunuh!”

“Aaah diam, banyak bicara kamu ini!” balas Pak Polisi bercambang tipis itu lagi menyuruk kepalaku.

Pernahkah kau dipanggil dengan sebutan yang kau benci dan tak pernah kau lakukan? Itulah yang kualami saat ini. Sejak masuk sel ini satu minggu lalu, seorang narapidana perampok memanggilku pembunuh begitu ia tahu kasusku. Setelah kuingatkan beberapa kali bahwa aku bukan sorang pembunuh, ia tetap ngotot memanggilku dengan gelar itu. Sehingga tentu saja aku geram lalu menghadiahinya pukulan terbaikku. Penghuni sel lainnya girang tak kepalang melihat kami adu jotos. Ruang tahanan pun sempat berubah menjadi ring MMA setelah akhirnya para polisi yang berjaga di luar masuk dan melerai kami.

Aku tahu untuk menghilangkan gelar pembunuh itu memang tak cukup hanya dengan berkilah, melainkan harus dengan bukti-bukti pendukung yang kuat. Akan tetapi bagaimana caranya mendapatkan bukti-bukti itu agar aku tak hanya menghilangkan gelar tersebut tapi juga bisa keluar dari sini? Aku benar-benar tak tahan lagi hidup di bui. Kurasa waktu di sini berjalan lebih lamban dari biasanya. Satu minggu serasa satu tahun. Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasanya jika dikurung selama bertahun-tahun.

Malam ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi aku memang berada di TKP, dan sebilah belati berada di saku celanaku. Namun, pelaku pembunuhan itu tentu saja bukan aku. Ceritanya agak panjang memang. Perihal ini akan aku ceritakan nanti. Sebelumnya, akan kuceritakan dulu seorang korban pembunuhan tersebut. Namanya Nyonya Lussy. Ia adalah seorang pelacur yang kukenal pada awal karierku sebagai seorang sopir di sebuah perusahaan penyedia jasa transportasi di kotaku. Hingga saat ini aku belum tahu siapa nama asli perempuan tersebut. Sejak aku mengenalnya ia hanya ingin dipanggil Nyonya Lussy. Itu saja.

Selain berparas cantik dan mulus, perempuan yang masih cukup muda itu berperawakan sintal dan seksi. Payudaranya pas-pasan. Sungguh perawakan yang diidolakan semua laki-laki. Kulitnya yang mulus selalu harum dan tampak basah. Sering kali bulu kudukku meremang jika mengamati sekujur tubuhnya. Aku tak heran jika hampir setiap malam tubuhnya tak pernah absen dinikmati para pelanggannya.

Tapi, dalam hal berkendara, akulah pelanggan setia Nyonya Lussy. Aku selalu bersedia mengantarnya ke mana pun ia hendak pergi. Sehingga ia sudah kuanggap seperti majikanku sendiri. Kau tahu, jika di rumah kita biasa mengenal istilah tamu adalah raja, maka sebagai seorang sopir aku mengadopsi istilah tersebut: penumpang adalah raja atau lebih tepatnya majikan. Itulah kenapa Nyonya Lussy telah kuanggap sebagai majikanku.

Malam itu, dalam perjalanan menuju hotel yang kami tuju, Nyonya Lussy menceritakan banyak hal mengenai kehidupan rumah tangganya padaku, terutama perihal suaminya yang konon kini berprofesi pejabat di pemerintahan kota.

“Aku tahu jalan ini salah, akan tetapi lebih salah lagi jika aku nggak milih kesalahan ini. Nggak ada pilihan lain kecuali harus memberikan pelajaran dengan jalan yang salah. Dan, ketika kesalahan sudah nggak dapat dihentikan dengan kebenaran lagi, maka pada saat situlah terkadang kesalahan bisa menjadi sebuah kebenaran.” Begitulah ceracaunya di dalam mobil.

Menurutnya suaminyalah yang menjerumuskan dirinya ke dunia malam seperti sekarang ini. Dulu ia adalah seorang perempuan biasa sebagaimana layaknya perempuan pada umumnya, punya cinta dan cita-cita. Akan tetapi, suaminya minggat dan bermain serong dengan perempuan lain setelah menghadiahinya seorang anak. Konon, Nyoya Lussy tidak mau berubah menyesuaikan kesuksesan karier sang suami yang pada saat itu mulai melonjak di kancah perpolitikan. Cantik tapi kolot, buat apa? Alasan yang sungguh sederhana dan klise. Tapi memang begitulah kenyataannya. Bukankah kenyataan hidup ini memang selalu demikian? Sekalipun aku tidak tahu apakah yang diceritakan Nyonya Lussy itu benar atau salah.

Perlahan-lahan, cerita demi cerita Nyonya Lussy selama di perjalan, tak terasa menemani kami sampai ke tempat tujuan malam itu. Setelah berhenti di pinggir jalan, dari balik kaca mobil, perempuan berambut pirang bergelombang itu menatap bangunan megah yang hendak ia masuki di seberang jalan sana. Ia merenung dan menghela napas sejenak, “Bisa minta tolong, nggak?” tanyanya.

“Minta tolong apa, Nyonya?”

“Ini memang sangat berat. Tapi kali ini saja. Setelahnya, aku berjanji nggak akan merepotkanmu lagi.”

“Apa itu, Nyonya?”

“Bantu aku bunuh suamiku!” Sebilah belati dan selembar foto diletakkannya begitu saja ke dasbor mobilku. Di tengah keremangan lampu mobil, kilat belati itu sedikit menyambar mataku. Kecil, pendek, tajam, dan tampak baru dan tentu saja tak pernah dipakai. Nyonya Lussy kemudian lanjut menceritakan ciri-ciri suaminya secara detail. Termasuk alamat kantor tempatnya bekerja.

Aku tercenung dan menghempaskan tubuhku ke sandaran sambil menepuk-nepuk jidatku. Membunuh seseorang? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu. “Kenapa ingin membunuh suami? Bukankah Nyonya bilang jalan yang Anda tempuh ini adalah bentuk balasan terhadap suamimu?”

“Ya, benar. Tapi kurasa sakit hatiku belum terbayar sampai aku pastikan bangsat itu mati.”

“Maaf Nyonya aku tak bisa melakukan ini.”

Belum tuntas kalimat itu kuucapkan, Nyonya Lussy terlebih dahulu keluar mobil. Ia langsung beranjak menuju hotel itu dengan langkah sedikit terantuk-antuk. Perasaanku benar-benar tak karuan. Membunuh orang? Ah, mungkinkah aku bisa melakukan itu? Aku tenggelam dalam konidisi yang benar-benar membingungkan. Aku mengaktifkan tape dan merebahkan tubuh di kursi mobil untuk menenangkan diri. Belati yang diberikan Nyonya Lussy itu kuamankan dalam saku celanaku biar tak dilihat orang. Akan kusimpan nanti setelah di rumah. Siapa tahu suatu waktu aku juga berubah pikiran.

Firasatku semakin tak karuan setelah beberapa jam aku menunggu. Malam sudah hampir berbau pagi. Tidak biasanya ia melayani seseorang kliennya berlama-lama seperti ini. Paling lama biasanya satu jam, Nyonya Lussy telah keluar lalu menceritakan perihal pengalamannya di atas ranjang dengan laki-laki yang baru selesai dilayaninya. Beberapa saat kemudian, kuputuskan untuk masuk ke hotel dengan terlebih dulu minta izin pada staf front office. “Aku akan mencari temanku. Katanya, tadi, dia berada di kamar nomor B 15,” kataku pada mereka. Kemudian salah satu diantara mereka bersedia mengantarku.

Setelah sampai di depan kamar yang kutuju, petugas hotel itu pun kembali ke tempat semula. Akan tetapi, pada saat pintu kamar berhasil kubuka, Nyonya Lussy kulihat sudah terbujur kaku di dekat bed. Darah segar masih mengucur deras dari bagian perutnya yang telah berlubang. Aku terperanjat sambil menyapu seluruh isi kamar hotel, berusaha mencari penyebab atau pelaku penganiayaan sadis tersebut.

Lututku mulai bergetar. Kulihat kepala seseorang yang tak dapat kukenali hampir tertelan di balik jendela. Aku berteriak dan memberanikan diri mengejarnya. Sambil berlari aku mengeluarkan belati yang barusan kusimpan di saku celana. Kurasa inilah saat yang tepat untuk memanfaatkan senjata seadanya ini. Selain untuk melindungi diri, juga untuk membalas penganiayaan terhadap Nyonya Lussy, pikirku.

Namun, manusia misterius itu lenyap begitu saja tertelan gelapnya halaman belakang hotel. Setelah kusapu kondisi sekitar, dan tidak menemukan siapa pun di sana, aku kembali menghampiri dan merengkuh tubuh Nyonya Lussy. Tiba-tiba para petugas hotel telah berdiri di depan pintu dengan tatapan menghakimi. Pisau Nyonya Lussy yang masih kugenggam tanpa kusadari terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.

“Bukan aku yang membunuhnya!” pekikku.

Tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab. Kecuali seseorang diantara mereka menelpon entah siapa. Tak lama kemudian sirine mobil polisi kudengar bertalu-talu. Beberapa personel dengan senjata lengkap masuk dan segera mengitari kamar dengan line polisi. Aku diborgol dan tak bisa memberontak.

Hingga saat ini aku masih berpikir siapa sebenarnya yang membunuh Nyonya Lussy? Mungkinkah mantan suaminya yang brengsek itu? Kenapa polisi kesulitan mencari pelaku pembunuhan itu? Apakah mereka malas menyelidik kasus tersebut karena bukan kasus besar? Tapi, setahuku banyak kasus besar juga tak terurus oleh penegak hukum di negeri ini.

Di sela-sela memikirkan cara menemukan bukti-bukti itu, seketika wajah putriku Melia yang sedang gemasnya dipandang mata, dan istriku yang sedang hamil muda merangsek kepalaku. Kenapa pula aku mengambil belati Nyonya Lussy? Andai itu tak kulakukan, mungkin saja aku takkan masuk bui. Hah, rasanya kepalaku mau pecah!

Lombok Tengah, 2 Agustus 2021.

Wardie Pena, menulis cerpen, esai, dan resensi buku. Tulisan-tulisannya pernah dimuat beberapa media (lokal dan nasional), baik cetak maupun daring.

 

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...