Selasa, 28 September 2021

Cerpen

 

Belati Nyonya Lussy

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Radar Mojokerto pada 14 Agustus 2021


Suara derit pintu sel yang dibuka membuatku tergeragap dari lamunanku. Seorang polisi penjaga berperawakan gempal masuk dan berdiri di sampingku. Aku mendongak dengan tatapan penuh harap: semoga dia sudi mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini. Tapi harapan itu sepertinya lebih layak disebut mimpi saat ini. Pak Polisi menunduk dan berbisik lirih, “Sekali lagi kamu bikin onar, saya tak segan-segan melukis pentungan ini di keningmu, pembunuh.”

Napasnya yang berbau pesing menusuk hidungku. Bau itu mirip air urin orang yang dehidrasi tinggi atau mungkin lebih mirip air kencing anjing. Entah apa yang dimamahnya barusan sehingga bau mulutnya seperti itu.

“Aku tidak pernah membunuh. Tolong jangan panggil aku pembunuh!”

“Aaah diam, banyak bicara kamu ini!” balas Pak Polisi bercambang tipis itu lagi menyuruk kepalaku.

Pernahkah kau dipanggil dengan sebutan yang kau benci dan tak pernah kau lakukan? Itulah yang kualami saat ini. Sejak masuk sel ini satu minggu lalu, seorang narapidana perampok memanggilku pembunuh begitu ia tahu kasusku. Setelah kuingatkan beberapa kali bahwa aku bukan sorang pembunuh, ia tetap ngotot memanggilku dengan gelar itu. Sehingga tentu saja aku geram lalu menghadiahinya pukulan terbaikku. Penghuni sel lainnya girang tak kepalang melihat kami adu jotos. Ruang tahanan pun sempat berubah menjadi ring MMA setelah akhirnya para polisi yang berjaga di luar masuk dan melerai kami.

Aku tahu untuk menghilangkan gelar pembunuh itu memang tak cukup hanya dengan berkilah, melainkan harus dengan bukti-bukti pendukung yang kuat. Akan tetapi bagaimana caranya mendapatkan bukti-bukti itu agar aku tak hanya menghilangkan gelar tersebut tapi juga bisa keluar dari sini? Aku benar-benar tak tahan lagi hidup di bui. Kurasa waktu di sini berjalan lebih lamban dari biasanya. Satu minggu serasa satu tahun. Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasanya jika dikurung selama bertahun-tahun.

Malam ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi aku memang berada di TKP, dan sebilah belati berada di saku celanaku. Namun, pelaku pembunuhan itu tentu saja bukan aku. Ceritanya agak panjang memang. Perihal ini akan aku ceritakan nanti. Sebelumnya, akan kuceritakan dulu seorang korban pembunuhan tersebut. Namanya Nyonya Lussy. Ia adalah seorang pelacur yang kukenal pada awal karierku sebagai seorang sopir di sebuah perusahaan penyedia jasa transportasi di kotaku. Hingga saat ini aku belum tahu siapa nama asli perempuan tersebut. Sejak aku mengenalnya ia hanya ingin dipanggil Nyonya Lussy. Itu saja.

Selain berparas cantik dan mulus, perempuan yang masih cukup muda itu berperawakan sintal dan seksi. Payudaranya pas-pasan. Sungguh perawakan yang diidolakan semua laki-laki. Kulitnya yang mulus selalu harum dan tampak basah. Sering kali bulu kudukku meremang jika mengamati sekujur tubuhnya. Aku tak heran jika hampir setiap malam tubuhnya tak pernah absen dinikmati para pelanggannya.

Tapi, dalam hal berkendara, akulah pelanggan setia Nyonya Lussy. Aku selalu bersedia mengantarnya ke mana pun ia hendak pergi. Sehingga ia sudah kuanggap seperti majikanku sendiri. Kau tahu, jika di rumah kita biasa mengenal istilah tamu adalah raja, maka sebagai seorang sopir aku mengadopsi istilah tersebut: penumpang adalah raja atau lebih tepatnya majikan. Itulah kenapa Nyonya Lussy telah kuanggap sebagai majikanku.

Malam itu, dalam perjalanan menuju hotel yang kami tuju, Nyonya Lussy menceritakan banyak hal mengenai kehidupan rumah tangganya padaku, terutama perihal suaminya yang konon kini berprofesi pejabat di pemerintahan kota.

“Aku tahu jalan ini salah, akan tetapi lebih salah lagi jika aku nggak milih kesalahan ini. Nggak ada pilihan lain kecuali harus memberikan pelajaran dengan jalan yang salah. Dan, ketika kesalahan sudah nggak dapat dihentikan dengan kebenaran lagi, maka pada saat situlah terkadang kesalahan bisa menjadi sebuah kebenaran.” Begitulah ceracaunya di dalam mobil.

Menurutnya suaminyalah yang menjerumuskan dirinya ke dunia malam seperti sekarang ini. Dulu ia adalah seorang perempuan biasa sebagaimana layaknya perempuan pada umumnya, punya cinta dan cita-cita. Akan tetapi, suaminya minggat dan bermain serong dengan perempuan lain setelah menghadiahinya seorang anak. Konon, Nyoya Lussy tidak mau berubah menyesuaikan kesuksesan karier sang suami yang pada saat itu mulai melonjak di kancah perpolitikan. Cantik tapi kolot, buat apa? Alasan yang sungguh sederhana dan klise. Tapi memang begitulah kenyataannya. Bukankah kenyataan hidup ini memang selalu demikian? Sekalipun aku tidak tahu apakah yang diceritakan Nyonya Lussy itu benar atau salah.

Perlahan-lahan, cerita demi cerita Nyonya Lussy selama di perjalan, tak terasa menemani kami sampai ke tempat tujuan malam itu. Setelah berhenti di pinggir jalan, dari balik kaca mobil, perempuan berambut pirang bergelombang itu menatap bangunan megah yang hendak ia masuki di seberang jalan sana. Ia merenung dan menghela napas sejenak, “Bisa minta tolong, nggak?” tanyanya.

“Minta tolong apa, Nyonya?”

“Ini memang sangat berat. Tapi kali ini saja. Setelahnya, aku berjanji nggak akan merepotkanmu lagi.”

“Apa itu, Nyonya?”

“Bantu aku bunuh suamiku!” Sebilah belati dan selembar foto diletakkannya begitu saja ke dasbor mobilku. Di tengah keremangan lampu mobil, kilat belati itu sedikit menyambar mataku. Kecil, pendek, tajam, dan tampak baru dan tentu saja tak pernah dipakai. Nyonya Lussy kemudian lanjut menceritakan ciri-ciri suaminya secara detail. Termasuk alamat kantor tempatnya bekerja.

Aku tercenung dan menghempaskan tubuhku ke sandaran sambil menepuk-nepuk jidatku. Membunuh seseorang? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu. “Kenapa ingin membunuh suami? Bukankah Nyonya bilang jalan yang Anda tempuh ini adalah bentuk balasan terhadap suamimu?”

“Ya, benar. Tapi kurasa sakit hatiku belum terbayar sampai aku pastikan bangsat itu mati.”

“Maaf Nyonya aku tak bisa melakukan ini.”

Belum tuntas kalimat itu kuucapkan, Nyonya Lussy terlebih dahulu keluar mobil. Ia langsung beranjak menuju hotel itu dengan langkah sedikit terantuk-antuk. Perasaanku benar-benar tak karuan. Membunuh orang? Ah, mungkinkah aku bisa melakukan itu? Aku tenggelam dalam konidisi yang benar-benar membingungkan. Aku mengaktifkan tape dan merebahkan tubuh di kursi mobil untuk menenangkan diri. Belati yang diberikan Nyonya Lussy itu kuamankan dalam saku celanaku biar tak dilihat orang. Akan kusimpan nanti setelah di rumah. Siapa tahu suatu waktu aku juga berubah pikiran.

Firasatku semakin tak karuan setelah beberapa jam aku menunggu. Malam sudah hampir berbau pagi. Tidak biasanya ia melayani seseorang kliennya berlama-lama seperti ini. Paling lama biasanya satu jam, Nyonya Lussy telah keluar lalu menceritakan perihal pengalamannya di atas ranjang dengan laki-laki yang baru selesai dilayaninya. Beberapa saat kemudian, kuputuskan untuk masuk ke hotel dengan terlebih dulu minta izin pada staf front office. “Aku akan mencari temanku. Katanya, tadi, dia berada di kamar nomor B 15,” kataku pada mereka. Kemudian salah satu diantara mereka bersedia mengantarku.

Setelah sampai di depan kamar yang kutuju, petugas hotel itu pun kembali ke tempat semula. Akan tetapi, pada saat pintu kamar berhasil kubuka, Nyonya Lussy kulihat sudah terbujur kaku di dekat bed. Darah segar masih mengucur deras dari bagian perutnya yang telah berlubang. Aku terperanjat sambil menyapu seluruh isi kamar hotel, berusaha mencari penyebab atau pelaku penganiayaan sadis tersebut.

Lututku mulai bergetar. Kulihat kepala seseorang yang tak dapat kukenali hampir tertelan di balik jendela. Aku berteriak dan memberanikan diri mengejarnya. Sambil berlari aku mengeluarkan belati yang barusan kusimpan di saku celana. Kurasa inilah saat yang tepat untuk memanfaatkan senjata seadanya ini. Selain untuk melindungi diri, juga untuk membalas penganiayaan terhadap Nyonya Lussy, pikirku.

Namun, manusia misterius itu lenyap begitu saja tertelan gelapnya halaman belakang hotel. Setelah kusapu kondisi sekitar, dan tidak menemukan siapa pun di sana, aku kembali menghampiri dan merengkuh tubuh Nyonya Lussy. Tiba-tiba para petugas hotel telah berdiri di depan pintu dengan tatapan menghakimi. Pisau Nyonya Lussy yang masih kugenggam tanpa kusadari terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.

“Bukan aku yang membunuhnya!” pekikku.

Tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab. Kecuali seseorang diantara mereka menelpon entah siapa. Tak lama kemudian sirine mobil polisi kudengar bertalu-talu. Beberapa personel dengan senjata lengkap masuk dan segera mengitari kamar dengan line polisi. Aku diborgol dan tak bisa memberontak.

Hingga saat ini aku masih berpikir siapa sebenarnya yang membunuh Nyonya Lussy? Mungkinkah mantan suaminya yang brengsek itu? Kenapa polisi kesulitan mencari pelaku pembunuhan itu? Apakah mereka malas menyelidik kasus tersebut karena bukan kasus besar? Tapi, setahuku banyak kasus besar juga tak terurus oleh penegak hukum di negeri ini.

Di sela-sela memikirkan cara menemukan bukti-bukti itu, seketika wajah putriku Melia yang sedang gemasnya dipandang mata, dan istriku yang sedang hamil muda merangsek kepalaku. Kenapa pula aku mengambil belati Nyonya Lussy? Andai itu tak kulakukan, mungkin saja aku takkan masuk bui. Hah, rasanya kepalaku mau pecah!

Lombok Tengah, 2 Agustus 2021.

Wardie Pena, menulis cerpen, esai, dan resensi buku. Tulisan-tulisannya pernah dimuat beberapa media (lokal dan nasional), baik cetak maupun daring.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...