Prestise
Oleh: Marzuki Wardi
Cerpen ini dimuat di halaman Budaya Padang Ekspress, 14 Mei 2017 |
“Apa
hadiah yang disiapkan panitia bagi pemenang lomba ini?”
Pertanyaan menggetarkan itu meluncur dari mulut seorang siswa yang
sepertinya datang dari sekolah favorit di Mataram. Dengan berkacak pinggang dan
nada menyepelekan, siswa itu bertanya saat mendaftarkan diri sebagai peserta speech
contest yang diselenggarakan oleh OSIS SMA Harapan Bangsa, Mekar Indah. Terang
saja, Ayumi yang bertugas sebagai kordinator seksi pendaftaran pagi itu
tercengang kecut. Ia bingung bagaimana harus menyikapi pertanyaan yang sama
sekali tak pernah diprediksi itu. Ia membisik Yuyun yang bertugas memverifikasi
kelengkapan data formulir pendaftaran. Namun, Yuyun bergeming sehingga ia
menatap Rahayu. Rahayu mengalihkan pandangan ke wajah Rahmat. Rahmat pun membisu,
sehingga membuang mata ke Anggun. Anggun mengerlingkan mata sembari memanggil Saeful,
sang ketua panitia.
“Oh, tentunya kami telah menyiapkan reward yang sangat
berharga bagi pemenang, kawan!” jawab Saeful mengulum senyum.
“Wow hebaaat! Sejak kapan sekolah swasta seperti ini bisa
menyiapkan reward berharga? Nggak salah denger, nih?”
Disambut gelegak tawa rekan-rekan yang mengiringinya, siswa
pendaftar itu sukses membungkam nyali beberapa panitia. Saeful menelan ludah
kering, tak menyangka kalimat frontal itu bisa keluar dari mulut seorang
pelajar. Tiba-tiba pula. Rahmat turun tangan menimpali. Memang, urusan adu
mulut dan adu ketangkasan, serahkan saja sama Rahmat. Tapi perihal adu bijak,
Saeful lah jawaranya.
“Hei bocah, mau kubikin kacamata elitmu itu jadi penghuni pasar Loak?[1]
Berapa nilai pelajaran PMP-mu, hah? Ngomong kok tak tahu adat sama sekali!” timpal
Rahmat mengepalkan tangan. Padahal, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) telah berganti jadi pelajaran PPKN sejak tahun 90-an, sejak kurikulum
1994 diperbarui dengan KBK. Rahmat mendengar cerita mengenai pelajaran mulia
itu dari ayahnya.
“Weih…keren juga aktingmu, bung!” balik si pendaftar tersenyum
remeh. Dengan santai ia menjentikkan tangan ke belakang, “Gut, keluarin CV-ku!
Tunjukin pada si gendut ini…” maksudnya Rahmat, “biar dia tahu siapa aku!”
Seorang siswa pendamping yang tampak menjadi jongosnya, menyodorkan
secarik kertas berisi identitas disertai foto, daftar prestasi yang pernah diraih,
status kesiswaan, lengkap dengan tanda tangan dan nama terang.
“Sudah kau baca item?” yang dimaksud kali ini Ayumi, “kau tulis itu
jadi formulir pendaftaranku!” sambungnya lagi beberapa saat kemudian.
Suasana sempat sepi sejenak, karena semua panitia memusatkan
perhatian ke selebaran yang diambil
Ayumi. Mereka melongo menatap track record prestasi siswa
pendaftar yang bernama Mujahanam itu. Mereka berpikir seakan-akan hadiah yang
akan diberikannya besok tidak layak untuk siswa berprestasi seperti Mujahanam.
Namun, benarkah kiranya prestasi itu? Apakah seperti itu adab seorang siswa
berprestasi?
“Well, aku nggak punya banyak waktu, sob! Aku punya pamrih,
kalau nantinya aku kalah dalam lomba ini, maka aku siap pindah sekolah ke SMA
kampungan ini. Sebaliknya, kalau aku berhasil juara I, kalian semua aku saranin
berhenti saja sekolah. Kalian lebih baik membuat surat keterangan tidak mampu,
tidak mamfunyai bakat jadi siswa berfrestasi!”
Tawa lebar tambah mengegelegar dari mulut mereka, membuat Rahmat
semakin naik pitam. Andai saja tak ada Saeful, stand pendaftaran nyaris beralih
fungsi jadi ring tinju.
Mujahanam kemudian merenggang pergi dengan langkah seperti seekor
serigala yang habis mencaplok kepala mangsanya. Semakin tak sabar Rahmat untuk
mengejar, lalu memecahkan kacamata siswa kurang ajar itu lansung di wajahnya.
Tapi, Saeful lagi-lagi tampil sebagai Mario Teguhnya SMA Harapan Bangsa.
“Mat, untuk memberi pelajaran pada seseorang, tak selamanya butuh
kekerasan. Ingat, untuk menangkap seekor singa, tidak harus kita menyerangnya!
Lagipula, lomba ini bukan tentang kalah dan menang, bukan mengenai hadiah atau
pujian, tapi tentang sebuah prestise!” bujuknya.
Rahmat menjadi sedikit tenang.
-**-
Seminggu
kemudian, saat lomba.
Barangkali, Mujahanam menganggap kompetisi itu seperti sebuah
pertempuran sengit, sehingga ia berusaha melumpuhkan nyali peserta lomba
lainnya dengan membeberkan prestasi yang telah diraihnya. Setiap peserta yang
duduk berdekatan dengannya, mulut besarnya tanpa malu membual dari telinga yang
satu ke lainnya. Besar kemungkinan, dalam pikirannya hanya dia peserta yang paling
jago, sementara yang lain dianggap pecundang. Tapi, mana peduli mereka dengan
bualannya. Mereka hanya fokus menampilkan
yang terbaik.
Tak dinyana, skenario ofensif itu rupanya tak bertahan lama.
Nyali Mujahanam justru meregang napas terakhir di serangan peserta sebelumnya.
Ia terbelalak setelah menyaksikan penampilan Sami’in—utusan dari SMAN 2 Praya—peserta
pembuka, Baehaki—delegasi SMAN 1 Jonggat, Nuraini—dari SMAN 3 Tampar Ampar, Rukimah—SMAN
5 Bonder, dan beberapa peserta lainnya yang rata-rata berbicara bahasa Inggris
dengan sangat fasih, seolah-olah mereka terlahir dengan kemampuan bahasa
Inggris digenggamannya. Aksen dan gestur mereka sangat menarik untuk
dinikmati mata. Mereka bahkan membuat juri koalahan membedakan mana bule dan
mana orang Indonesia jika saja tak melihat wajah yang sedang berbicara. Penonton
gegap gempita menyaksikan performa mereka. Riuh tepuk tangan menggelegar menyaingi
suara mikropon.
Mujahanam yang mendapatkan nomor urut 33—undian kedua terakhir—merasa
tak diuntungkan dengan kondisi ini. Suatu tekanan psikis yang tak pernah diduga-duga
akhirnya terjadi. Ia naik ke atas panggung dengan diberondongi rasa gugup dan kaku.
Saat membuka pidato dengan ucapan my dear brother…, kata dear dibacanya
seperti lafal deer. Akibatnya,semua peserta tertawa lepas. Vita suaranya
jadi mengerut seperti vita tape recorder batangan, mengakibatkan
suaranya lemah dan tak jelas. Alhasil, juri memintanya untuk meninggikan
volume. Berkali-kali ia mencoba menaikkan volume tapi tenggorokannya terasa
seperti ada yang menyumbat. Tak lain hal itu dideranya akibat rasa gugup yang
semakin mencekik. Akhirnya, karena ditegur kesekian kalinya oleh juri, ia berusaha
menarik nafas, menekan suara, lalu menjerit sejadi-jadinya sehingga suara yang
dihasilkan seperti lolongan anjing tengah malam. Hasilnya, ia sukses membuat
semua peserta, penonton dan juri tertawa terpingkal-pingkal. Tepuk tangan pun
berubah menjadi gelak tawa. Mujahanam turun panggung dengan langkah kikuk. Ironisnya,
ia tetap bangga dengan apa yang telah ditampilkan, dan selalu yakin bakal jadi
pemenang lomba.
-**-
Saat pemenang lomba diumukan, Firaun berseragam putih abu-abu itu
terperangah setelah mendengar namanya tak disebut sebagai juara. Kesalnya ia
bukan kepalang. Ia tak menerima keputusan dewan juri. Dibukanya kacamata minus
yang dikenakannya untuk memastikan juri lombanya bertampang intelek tau tidak.
Sayangnya, pandangannya semakin kabur. Ketiga dewan juri itu malah menjelma
menjadi makhluk halus berwajah rata di matanya. Ia lupa bahwa ia tak bisa
melihat dari jarak jauh tanpa kacamata. Bibir tebalnya menggerutu tak karuan.
Giginya menggeletuk-geletuk macam tokek mau berbunyi, sehingga mengundang
perhatian para peserta yang duduk di dekatnya. Tak ketinggalan, panitia lomba
menyoroti adegan konyol siswa congkak itu. Anggun mencebikkan bibir. Ayumi
menahan tawa. Rahmat mengacungkan jempol, tapi sayang acungannya ke bawah.
Saeful tetap menjaga marwah bak seorang pejabat legislatif. Setan yang
bersarang dalam tubuh siswa congkak bernama Mujahanam itu akhirnya keluar.
Mujahanam tertunduk pasrah seperti patung The Thinker karya Auguste
Rodin. Ia menerima segala kekalahannya bulat-bulat. Dan, setelah diselidiki ternyata
rentetan prestasi yang tertulis pada CV-nya hanya sebuah kebohongan semata.
Tujuannya adalah untuk mengecoh nyali peserta lainnya. Rahayu, teman satu
sekolahnya bercerita bahwa Mujahanam adalah siswa nakal yang terobsesi menjadi
siswa berprestasi.
Benar belaka pernyataan Saeful, untuk mematahkan kesombongan
seseorang tak selamanya harus dengan
kekerasan. Pada akhirnya, ia akan sadar sendiri dengan adab dan perilaku
baik yang justru kita berikan padanya. Disaat itulah transfer kebaikan terjadi.
Mujahanam, sebagaimana sesumbarnya pada saat mendaftar, secara de jure dan
de facto ia menyatakan diri untuk berpindah sekolah ke SMA Harapan
Bangsa. Rahmat menerima iktikad baik itu. Saeful menyambut dengan antusias.
Anggun dan semua panitia lomba juga. Sejak itulah mereka berteman baik di satu
atap sekolah. Langit bersemu merah menyaksikan kepolosan mereka!
Lombok
Tengah, 24 April 2017.
Marzuki
Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Disamping
menjalani tugas seharian sebagai seorang guru, dia juga aktif menulis Artikel
Opini, Cerpen, dan Buku. Beberapa bukunya yang telah terbit diantaranya, Negeri
Antah Berantah (Kumpulan Cerpen, penulis tunggal. Terbit di akhir tahun
2016), Kado Pernikahan (berupa Antologi Cerpen, terbit di tahun 2016), Tata
Krama (Takra, berupa Antologi Cerpen, terbit di awal tahun 2017). Buku yang
sedang digarap, Mahir Menulis Kalimat Bahasa Inggris Dalam Hitungan Menit
(hampir rampung), Adat dan Tradisi Suku Sasak dalam Perspektif Pendidikan
(hampir rampung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar