Orang-orang Sasak (masyarakat Lombok), jika melihat seorang anak
melakukan pelanggaran sosial, yang paling pertama mereka tanyakan adalah,
“Siapa orang tua dari anak tersebut?” Dan barangkali, hal serupa juga berlaku
pada masyarakat di daerah-daerah lain di tanah air.
Stereotip ini sebenarnya mengindisikan kuatnya hubungan antara pendidikan
anak dengan orang tua (keluarga). Bukan sekedar persoalan orang tua mengajarkan
hal yang buruk pada anaknya. Sebab, penulis yakin semua orang tua bisa
dikatakan tidak mungkin mengajari anak untuk melakukan tindakan tercela. Dengan
kata lain, keterkaitan antara peran sentral orang tua (keluarga) dengan
pendidikan anak merupakah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Melihat kedudukan
tersebut, bahkan para ulama (dalam agama Islam) mengibaratkan Ibu sebagai
Madrasah (pendidikan) pertama bagi seorang anak. Penulis sangat yakin bahwa pada
agama-agama lain juga tentu memiliki doktrin yang kuat mengenai pendidikan anak
oleh orang tua.
Karena itu, timbulnya beberapa problematika anak di lingkungan
sosial, seperti anak bermasalah dengan hukum, anak bermasalah dalam interaksi sosial,
perilaku amoral atau kenakalan anak, pelecehan seksual, kekerasan (psikis
maupun fisik), miskin prestasi dan putus sekolah, anak tak terurus (jalanan),
dan persoalan pelik lainnya tidak terlepas dari tanggung jawab moral orang tua.
Berbeda halnya jika anak bermasalah dengan kondisi fisik dan psikis seperti
(maaf) penyandang disabilitas, sakit jiwa, dan sejenisnya yang memang terjadi
secara alamiah atau bawaan sejak lahir.
Tanggung jawab sendiri berhubungan dengan latar belakang. Faktor ke-tidak
bertanggung jawaban orang tua bisa berasal dari latar belakang pendidikan,
ekonomi, psikis, lingkungan, kesehatan, status kekeluargaan dan sosial, usia,
dan rutinitas atau kebiasaan.
Orang tua yang secara psikis telah matang dan dewasa, akan memiliki
pola asuh terhadap anak yang jauh berbeda dengan orang tua yang dari segi
kejiwaan masih labil. Orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan
terbatas (awam) akan berbeda cara mendidik anak dengan orang tua yang
pendidikannya tinggi. Kondisi mental seorang anak yang berasal dari keluarga
korban perceraian orang tua, tentu berbeda dengan mental seorang anak yang masih
tinggal serumah dengan orang tuanya. Begitu seterusnya faktor-faktor yang lain
di atas.
Pengalaman penulis dalam menjalankan tugas keseharian sebagai seorang
guru, ketika menangani masalah terkait prestasi siswa, sebagian besar dari
mereka yang bermasalah berasal dari keluarga bermasalah. Misalnya berupa
masalah perceraian, perhatian orang tua terhadap prestasi anak, dan masalah
ekonomi. Sekitar 6 dari 10 orang siswa, mengaku tidak memiliki motivasi belajar
lantaran orang tua telah pisah ranjang (bercerai). Ada juga yang tidak
bercerai, tapi ayah dan ibu mereka sama-sama pergi merantau, sehingga si anak
tinggal dengan kakeknya. Sisanya, menyangkut
kurangnya perhatian orang tua terhadap prestasi anak, dan sedikit anak sering dilibatkan
bekerja oleh orang tua mereka.
Fakta lainnya, menurut laporan KPAI, jumlah anak yang tertimpa
masalah pola asuh sangat banyak, mencapai 4,1 juta. Menteri Sosial, Khofifah
Indar Parawangsa menyatakan, dari 4,1 juta anak bermasalah tersebut, 5.900
terkait korban kekerasan, 34.000 anak jalanan, 3.600 anak
berhadapan dengan hukum (ABH).[1]
Fakta di atas cukup mambuat dada pemerintah, kementrian sosial, KPAI,
pendidik dan pemangku masalah anak lainnya tersedak, bukan? Jika problematika
ini diperam terus menerus, sudah barang tentu berakibat fatal bagi masa depan
bangsa Indonesia. Ada beberapa strategi sederhana, yang menurut penulis, dapat
diterapkan setidaknya untuk mengurangi masalah ini.
Parenting Education (Pendidikan/tuntunan
menjadi orang tua).
Banyak anak tumbuh dengan karakter atau jiwa pemberani, tapi karena
orang tua suka menakut-nakuti, memarahi dan membentak, mereka besar sebagai
orang penakut. Banyak anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tapi karena
terlalu sering bertanya, orang tua malah bosan dan menganggap anaknya cerewet.
Pada akhirnya, anak tumbuh menjadi pribadi pemalu dan kaku. Banyak pula orang
tua yang sejak dini sudah mendidik anak menjadi pribadi yang suka meng-kambing
hitamkan dan menyalahkan orang lain. Contohnya, ketika anak terjatuh, konon ada
kodok yang diinjak oleh anak tersebut, sehingga kakinya terpeleset. Padahal,
dari dulu sampai hari ini bahkan sampai hari kiamat, tidak pernah kita temukan
kodok mati gara-gara diinjak oleh seorang anak yang kakinya masih mungil.
Jika disimak secara seksama, kasus di atas sebenarnya berkaitan dengan
ketidak tahuan orang tua mengenai konsep dalam mendidik anak. Jadi, kasus ini
sebetulnya memiliki sumbangsih yang cukup potensial terhadap perkembangan
kognitif dan mental anak. Karenanya, orang tua sedini mungkin, jauh sebelum memutuskan
untuk menjadi orang tua, harus memiliki
konsep mengenai pendidikan anak. Dan ini dimungkinkan bisa tercapai melalui
pengayaan atau tuntunan menjadi orang tua (parenting education).
Reformasi pola interaksi orang tua dengan anak.
Penulis sering mengamati pola interaksi antara orang tua dengan
anak, di kampung tempat tinggalnya. Dari pengamatan tersebut, penulis menemukan
beragam pola interaksi yang menurutnya kurang edukatif. Misal seperti orang tua
dan anak sangat jarang berkomunikasi, kalaupun berkomunikasi hanya sebatas
keperluan saja; orang tua menyuruh anak, atau sebaliknya anak berkomunikasi
hanya pada saat meminta uang, hubungan emosional anak renggang sehingga anak
terkadang merasa kebutuhannya terabaikan—baik kebutuhan materil maupun
kebutuhan moril, motivasi, gagasan, dan pujian.
Selain itu, ada juga orang tua yang terkesan tidak mempercayai
kemampuan dan potensi pada diri anaknya. Sebagai contoh, seorang ayah meminta
anak untuk melakukan suatu pekerjaan, tapi ketika si anak melakukannya secara
tidak sesuai dengan keinginan orang tua, maka pekerjaan tersebut lekas diambil
alih orang tua sambil berkata, “Begitu saja tidak bisa, sini biar saya saja
yang kerjakan.” Perlakuan semacam ini dapat membunuh karakter anak, dan memasung
kemandiriannya.
Pola interaksi antara orang tua dengan anak harus variatif, berjalan
secara alamiah, hangat, cair, dan komunikatif. Ada kalanya orang tua berperan
sebagai sahabat yang sedia kala mendegar curhatan anak. Ada kalanya sebagai ahli
atau guru, motivator, inspirator, instruktur, dan posisi positif lainnya. Komunikasi
verbal negatif seperti kata-kata “tidak” atau “jangan” agar sebisa mungkin
diganti dengan kata-kata positif bermakna negatif seperti “belum”, “jarang”,
“lebih baik begini”, “hindari”. Pujian harus dilakukan dengan tulus. Perintah
dikemas dalam bentuk ajakan atau anjuran. Larangan dapat dialihkan dengan
meminta anak melakukan hal-hal positif lainnya
Sinergi orang tua dengan pihak sekolah (lembaga penyelenggara
pendidikan).
Kerja sama orang tua dengan pihak sekolah dimaksudkan untuk
mendukung prestasi anak dalam belajar. Dan pihak sekolah seyogiyanya lebih pro
aktif dalam hal ini. Ada beberapa contoh kerja sama yang dapat dijalin orang
tua dengan pihak sekolah. Seperti model formulir kesepakatan orang tua dengan
pihak sekolah di bawah ini.
· Menghargai dan mendukung anak, guru-guru dan sekolah.
· Mendukung kebijakan kedisiplinan sekolah dan peraturan yang berlaku
di kelas.
· Menyediakan tempat yang tenang bagi anak untuk belajar dan
mengawasi anak dalam menyelesaikan PR.
· Berpartisipasi dalam pertemuan orang tua-guru-siswa, baik yang
formal maupun informal.
· Berdiskusi dengan anak setiap hari mengenai kegiatan sekolahnya.
· Mengawasi tontonan televisi dan kegiatan lain yang mungkin
mengganggu waktu belajar anak.
· Membantu pelaksanaan kegiatan sekolah atau kelas setidaknya satu
kali dalam semester.
Penguasaan Teknologi (Informasi dan Komunikasi).
Pesatnya perkembangan teknologi (khususnya teknologi informasi dan
komunikasi) menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup masyarakat. Tak dapat
dipungkiri, dewasa ini pengguna media internet (media sosial) telah mencakup
hampir semua lapisan masyarakat, dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Hal
ini tentu menuntut orang tua untuk berpikir lebih dinamis lagi. Mau tidak mau,
orang tua masa kini juga harus menguasai pemakaian teknologi (internet).
Upaya ini dimaksudkan agar orang tua dapat mengawasi anak dalam pemakaian atau
aktifitas negatif dunia maya. Dengan begitu, mereka bebas mengontrol anak kapan
dan di mana saja.
Mencermati uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa mendidik anak
memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab utama dari orang tua atau
keluarga. Selama ini, banyak orang tua berpandangan bahwa tugas mereka hanya membesarkan anak saja, sementara urusan
pendidikan diserahkan sepenuhnya ke guru atau pihak sekolah. Patutlah kemudian
mereka menyalahkan sekolah jika anak mereka gagal dalam pendidikannya. Karena
itu, jauh sebelum berstatus orang tua, penulis berkeyakinan kuat, bahwa orang
tua yang sukses mendidik anak adalah mereka yang memiliki konsep mendidik sejak
dini. Mau tidak mau, mereka harus mengubah mindset lama mereka di atas.
Lombok
Tengah, 16 Mei 2017.
Marzuki
Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Disamping
menjalani tugas seharian sebagai seorang guru, dia juga aktif menulis Esai,
Artikel Opini, Cerpen, dan Buku. Karyanya sudah tersebar ke berbagai koran
lokal dan nasional.
[1] www.kpai.go.id/berita/kpai-jutaan-anak-alami-masalah-sosial.
Diakses pada tanggal 15/04/2017. Pukul 20:37
[2] (http://www.education-world.com/a_curr/curr155.shtml.
(dalam TUKLIT LIRP UNESCO Bangkok.
2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar