Cerpen ini dimuat di Media Pikiran Rakyat edisi Minggu, 18 Juni 2017
“Aku menemukan perempuan itu di sana setiap hari bersama seorang
anaknya,” kataku pada Rahayu, istriku.
“Di situ?”
“Ya, tepat di bawah pohon ketapang itu. Dia berdiri di sana,”
ulangku. Telunjukku mendarat ke batang pohon ketapang di dekat sebuah gang
kecil. Tidak ada orang di sana, kecuali seekor kucing yang tergolek sedang
menyusui anaknya. Mungkinkah perempuan itu menjelma menjadi seekor kucing? Ah, pikiranku
terlalu diracuni tokoh-tokoh di film horor yang sering kutonton. Lagipula,
perempuan yang kutemui sejak seminggu yang lalu adalah perempuan baik-baik,
sehingga mustahil ia seorang siluman kucing.
Barangkali, kami datang terlalu pagi sehingga perempuan itu belum
berangkat kerja. Dan memang aku sengaja mengajak keluarga berangkat lebih pagi,
mengingat perjalanan ke vila keluarga kami cukup jauh.
“Lalu, kenapa sekarang dia belum juga muncul?”
“Entah, barangkali dia beres-beres dulu di rumahnya sebelum
membereskan rumah orang,” sergahku mengangkat kedua bahu.
“Apakah Papa tidak bermaksud mencari atau menanyakan dia sama
pemilik toko itu, misalnya?” usul Rahayu, menunjuk sebuah toko buku sederhana
di sebelah pohon ketapang.
“Sebaiknya kita tunggu dulu sampai beberapa saat.”
Kami pun menunggu beberapa menit. Tapi, perempuan yang selalu
memakai daster hijau muda itu belum juga tampak batang hidungnya. Karena anak-anak
kami terus-menerus merengek minta melanjutkan perjalanan, akhirnya kuputuskan
untuk meneruskan perjalanan. Hari ini aku dan keluarga mau berlibur ke sebuah
vila keluarga di puncak desa Gunung Sari.
“Mungkin hari ini dia libur juga, Pa,” kata istriku menutup
percakapan.
Kami tidak terlalu banyak bicara mengenai perempuan itu di dalam
mobil. Karena kami hanya tertuju pada acara liburan keluarga. Kulirik jam tanganku.
Jarum penunjuk jam sudah melintasi angka
9. Aku menekan pedal gas lebih kencang.
-***-
Seorang perempuan yang sedang kucari ini, belakangan kutahu bernama
Surti setelah beberapa hari dia menumpangi mobilku. Pertama kali kutemukan dia di
pinggir jalan Yos Sudarso, di depan sebuah gang dekat pohon ketapang.
Pagi itu, ketika aku setengah terburu-buru ke kantor atau
katakanlah santai, dia sedang berdiri dengan seorang anak kecil. Ia
mengalungkan lengan kanan ke bahu si anak. Pakaian yang ia kenakan tampak lusuh
dan biasa-biasa saja. Daster hijau muda lengan pendek dan cardigan warna
abu-abu sebagai luaran. Alas kakinya sandal jepit. Kulihat sebuah kantong
plastik menggantung di tangan kirinya, entah berisi apa? Secara keseluruhan,
hampir dapat dipastikan tak ada barang mewah yang melekat di tubuh perempuan
itu. Kuduga di kepalanya seperti sedang banyak masalah sehingga tidak terlalu
memedulikan penampilan.
Anak itu kemudian menunjuk-nunjuk mobilku yang melintasi tubuh
mereka. Dengan pertimbangan sulitnya mendapati angkot melintas di kota kecil
dan tua ini, maka aku berhenti dan menyuruh Surti dan anaknya—saat itu belum
kutahu bahwa dia anaknya— menumpangi mobilku saja.
“Anda sedang menunggu siapa, Bu?” kubuka kaca mobil setelah mundur
beberapa meter. Karena dia bersama seorang anak, sebaiknya kupanggil “Bu” saja.
Sudut bibir perempuan itu mengembang senyum dan tak lekas menukas.
Tatapannya kikuk, seperti ingin mengeluarkan kata-kata tapi vita suaranya
tersumbat perasaan yang membelit dadanya.
“Kami sedang nunggu angkot Pak,” balasnya setelah geming beberapa
saat.
“Nunggu angkot pagi-pagi begini? Naiklah, nanti kuantar sampai
tujuan.” Kulirik jam tangan. Masih ada sekitar dua puluh menit waktuku tersisa.
Kira-kira cukuplah sampai kantor jika tempat yang dituju perempuan ini searah denganku.
“Ah terimakasih, Pak. Tidak usah, takut merepotkan Bapak. Lagipula,
Bapak sepertinya sedang buru-buru.”
“Anda juga pasti sedang buru-buru, kan? Tidak apa-apa, naik saja,
gratis kok,” sedikit kucandai dia.
Anak kecil itu kemudian menggamit lengan ibunya, mengajak masuk ke
dalam mobilku. Tapi bola mata perempuan itu segera mengerling lalu memelototi
anaknya, sambil berdecak.
“Sudaaah Bu, naik saja.”
Perempuan itu kemudian masuk ke dalam mobilku, karena tak tahan
dengan ajakan anaknya. Dan tentunya setelah kuulangi tawaran beberapa kali. Mereka
duduk di kursi bagian belakang.
“Maafkan anak saya ya, Pak?” kilahnya membuka percakapan.
“Oh, itu anak Anda? Tak perlu minta maaf segala lah, namanya juga
anak, Bu,”
“Ya ini anak saya,” jawabnya singkat.
Perempuan itu tak banyak bicara. Misal, boleh saja dia menanyakan soal
pekerjaanku, nama, alamat, anak, mobil mewahku, atau topik apalah sekedar untuk
basa-basi. Tapi mungkin perempuan itu malu, sehingga berbicara seperlunya saat
kutanyai saja. Dan memang dari raut wajah, ia bukan tipikal perempuan nyinyir. Untunglah,
karena aku memang tak suka dengan orang-orang yang beternak kata di mulutnya. Terlebih
asal napas mengeluarkan suara.
“Memang Anda mau ke mana pagi-pagi begini?”
“Ke jalan Seruni, Pak. Di kompleks perumahan Polda,” tangan kanan
perempuan itu terlihat mengarah ke tenggara.
“Perumahan Polda? Apakah suami Anda seorang aparat polisi?”
“Polisi?” mata perempuan itu menatap kepala bagian belakangku
dengan tajam, menyiratkan rasa heran. Gerak-geriknya kuamati terus di kaca spion
depan. Raut wajahnya seperti orang kaget mendapat hadiah undian suatu produk. Tak
menunggu lama, mulutnya yang tadi setengah terbuka berbuah tawa. “Apa
penampilanku terlihat seperti seorang istri polisi?” lanjutnya.
“Barangkali saja.”
“Bapak ini senang bercanda rupanya.”
“Biar tak cepat tua, Bu. Hehe,”
“Oh ya, tadinya saya pikir Bapak tak menghiraukan kami. Ternyata Bapak
orangnya baik sekali. Mungkin diantara seratus orang kaya paling baik di negeri
ini, bapaklah yang nomor satu,” selang perempuan itu setelah kami tertawa. Mulai
saat itu percakapan kami mencair seketika, layaknya orang yang sudah saling
kenal lama.
“Lalu Anda mau ngapain ke sana pagi-pagi begini?” Rasa penasaranku
masih belum terjawab.
“Saya hanya bekerja di sana, Pak.”
“Bekerja? Bekerja apa sepagi ini?”
“Saya pembantu di sana, Pak.”
“Maaf, suami Anda memang tak bekerja?” sesekali kuputar kepala 90
derajat ke samping kiri, hingga mataku berserobok cukup jauh dengan matanya.
“Suami saya sudah sekitar tiga tahun hilang kabarnya.”
“Bagaimana bisa?” aku terkejut.
“Entah? Sekitar tiga tahun yang lalu dia pergi merantau ke negeri
jiran, Malaysia. Waktu itu saya sedang hamil lima bulan. Saya sudah memintanya
agar pergi merantau setelah anak kami lahir saja, tapi dia menolak dan bersi
keras ingin pergi. Suka tak suka, saya biarkan saja menuruti kemauannya,
daripada nanti pergi diam-diam pikir saya saat itu. Hingga sekarang belum ada
satu pun surat atau kabarnya yang sampai kepada kami. Mungkin dia sudah
melupakan kami berdua, sehingga saya memutuskan bekerja saja untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.”
Kudengar cerita perempuan yang kutaksir berusia 30-an tahun itu
dengan napas tersengal-sengal. Sesekali pula ia menahan napas dan membuang mata
ke luar kaca mobil, menatap atap-atap rumah yang seakan ditelan laju mobil.
Semua gelagatnya terekam spion mobilku. “Maaf pak, saya jadi cerita panjang
lebar,” lanjut perempuan itu, sebelum akhirnya terputus karena tempat yang ia
tuju telah sampai.
Dia kemudian turun di pinggir jalan Seruni. Sebelumnya aku sempat
menjulurkan sejumlah uang sebagai bekal, tapi perempuan itu menolak. Saat
kukatakan bahwa uang itu untuk anaknya, dia bilang bahwa sebungkus nasi telah
disiapkan selama seharian bekerja. Dia masuk ke gapura perumahan polisi yang
tak jauh dari jalan raya. Lalu berjalan lurus hingga beberapa meter dan belok
kiri di sebuah gang kecil. Di sana dia berdiri menatap mobilku. Sejenak ia melambai-lambaikan
tangan, lalu tubuhnya lenyap di kelopak mataku.
Sejak saat itu Surti sering kuajak menumpangi mobilku. Selain
karena kami searah, alasan lain yang barangkali lebih manusiawi adalah karena
aku kasihan pada perempuan itu. Ditinggal selama bertahun-tahun oleh suami,
bekerja setiap hari selama seharian penuh, bangun pagi-pagi, berjalan sejauh
berkilo-kilo, merupakan sebuah potret hidup yang meski dijalani seorang
Surtini. Kurasa dia dan nasibnya seolah dua saudara kembar. Antara rupa dan
nasib terlahir tak jauh berbeda.
Kini, aku dan istriku telah memutuskan untuk menambah pembantu di
rumah kami. Kupikir rumah kami terlalu besar untuk diurus hanya seorang Mbok
Sukimah, pembantu lama kami. Dia sudah cukup tua, sehingga kerjanya mulai
lamban. Hanya saja dia telah kami anggap sebagai bagian dari keluarga. Karena
dia sudah cukup lama mengabdikan diri di keluarga besar kami.
Namun, entah kenapa sejak keputusan memilih Surti, yang pekerja
keras, sebagai pembantu tambahan kami, dia tak pernah kutemukan lagi berdiri di
pinggir jalan tempat semula. Dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar, bagai sosok
misterius di film-film horor. Aku sudah bertanya ke orang-orang di sekitar gang
tempat pertama kali aku menjumpainya. Mereka tak mengenal Surtini. Juga sudah
pernah beberapa hari aku menelusuri alamat rumahnya. Tapi, orang-orang di
sekitar tempat itu tak tahu sama sekali keberadaannya. Mungkinkah Surti pergi
menyusul suaminya ke tanah rantau? Atau mungkinkah dia seorang roh gentayangan?
Entahlah.
Lombok
Tengah, 22 Mei 2017.
Marzuki
Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Cerpen dan artikel
opininya tersebar ke berbagai media lokal dan nasional. Buku-bukunya yang telah
tebit di antaranya, “Kado Pernikahan” (Antologi Cerpen) terbit tahun 2016,
“Negeri Antah Berantah” (Kumcer, penulis tunggal) terbit di akhir tahun 2016.
“Tata Krama” (Antologi Cerpen) terbit di awal tahun 2017.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar