Hari
Ketika Ia Mengetahui Dirinya Telah Menjadi Seorang Ayah
Oleh: Marzuki Wardi
Cerpen ini dimuat di Jendela Sastra Suara NTB, Edisi hari Sabtu, 08 Juli 2017. |
Matahari sudah mulai menyisir sisa-sisa malam ketika kelopak mata laki-laki
itu terbuka. Ia menyeka mata yang masih memandang kabur, lalu berusaha membangkitkan
tubuhnya. Kepalanya masih terasa berat, seolah ada beban berkarung-karung gabah
di sana. Tapi ia akhirnya bisa berdiri meskipun ringkih, setelah lebih dulu
memukuli kepala beberapa kali.
“Sialan, mereka meninggalkanku lagi!” gerutunya, kemudian kencing
di tempat. “Kalau saja kutahu mereka pergi, pasti kupatahkan kaki mereka!” sambungnya
setelah meludahi air kencing sendiri dan meninju-ninju pohon pisang di
dekatnya, seolah itu adalah teman-teman yang telah menelantarkan dirinya
semalaman. Bukan ditelantarkan sebenarnya. Hanya, ia ditinggalkan saat
kesadarannya benar-benar lenyap ditelan beberapa botol tuak.
Tadi malam nyamuk-nyamuk menyetubuhi jangat lelaki yang sudah mengeriput
itu. Dan mungkin tidak hanya nyamuk, binatang-binatang malam lainnya boleh jadi
mengerubuti sekujur tubuhnya. Barusan juga anjing liar menjilat-jilat pipinya,
dan ia terbangun setelah merasakan pipi basah, namun tetaplah ia tak tahu bahwa
yang membuat pipinya lembab adalah seekor anjing kurapan.
Orang-orang yang kebetulan lewat pagi itu tergidik menyaksikan kejadian
menjijikkan tersebut. Mereka lalu berludah dan menatap sinis ke arah laki-laki
itu. Namun mereka segera memaklumi, setelah menyadari bahwa yang timbul di mata
mereka adalah Kasturin, si pecandu tuak. Pantaslah, paling tadi malam dia habis
mencuri ayam lalu mabuk-mabukan, pikir mereka sambil mempercepat langkah.
Kasturin sendiri tak mau peduli apa yang orang pikir tentang dirinya. Ia hanya peduli
bagaimana agar sebotol tuak dan rokok selalu ada setiap hari di depannya. Jika dua
benda itu sudah didapatkan, terpenuhi lah hasrat hidupnya. Soal makan, tak
perlu khawatir. Makan apa saja dan di mana pun, tak jadi persoalan. Masih banyak
warga kampung yang sudi menawarinya makan saat dia lewat di depan rumah mereka.
Meski ia sendiri tahu bahwa sebetulnya mereka terasa berat memberi makan, tapi
tetaplah ia menyungkah nasi pemberian itu dengan mulut ringan.
Masih di tempat semula, Kasturin menepuk-nepuk bokong dan sekujur
tubuh bekas debu yang menyelimuti tubuhnya. Ia menatap ke utara, selatan, barat,
timur, bawah, dan ke atas, mencari arah dan tujuan hari ini. Masih terlalu
pagi, pikirnya. Matanya ditikam semburat mentari pagi yang menyelinap melalui
celah-celah dedaunan. Ia memicing, “Sial, aku bangun terlalu pagi,” katanya sambil
terbatuk, lalu beranjak pulang dengan langkah terhuyung-huyung.
-***-
Rumah itu lebih mirip rumah hantu. Atau barangkali seperti kandang bebek.
Atau mungkin juga serupa kandang kambing. Hanya saja kehadiran tembok, jendela
dan pintu sebagai bagian konstruksi, membuatnya mirip dengan rumah manusia. Lantainya,
selain bertabur debu, lubang-lubang kecil serupa peta kepulauan tersebar luas. Demikian
juga temboknya sudah terlihat kusam dan mengelupas di mana-mana. Daun pintu dan
jendela sebagian telah melepuh digrogoti rayap. Tikus-tikus tanah berlarian
hilir mudik ke ceruk-ceruk kecil yang mereka buat sendiri di pojok tembok. Rumah
itu seakan menjadi petilasan sejarah masa lalu laki-laki 50-an tahun itu.
“Brengsek, dasar binatang liar najis! Ketangkep, kucincang-cincang tubuh
kalian,” racaunya seketika membuka pintu. Tikus-tikus itu menyambut
kedatangannya dengan menjulurkan lidah dan berdecit-decit riang, seolah ia adalah
tuannya yang mereka tunggu-tunggu.
Laki-laki itu terbatuk beberapa kali. Akhir-akhir ini memang ia
terserang batuk akut. Barangkali ia mengidap penyaikit paru-paru. Matanya yang
sayu membentang ke penjuru ruang seluas lima kali enam meter itu. Tak ada
barang bermakna singgah di matanya. Tak ada harta yang tersisa. Tak ada makanan
lezat yang dapat disungkah. Kecuali benda-benda usang berserakan di setiap
sudut ruangan. Ada radio rongsokan, bangkai TV hitam putih, alamari lapuk, tikar
anyaman lusuh, dan beberapa perabot rumah yang tak berfungsi lagi. Juga foto-foto
anak dan dua orang istri yang pernah mengisi hidupnya. “Sial, kalau aku tak
bangun kepagian, aku tak akan kembali ke rumah busuk ini! Jam segini nyawaku
masih bersama Martini,” gumamnya lagi kemudian merebahkan tubuh di ubin, tanpa
sebidang tikar pun. Kepagian di matanya adalah setelat-telatnya manusia pekerja,
bangun.
Martini itu adalah istri pertama Kasturin yang sangat dicintainya.
Andai ia masih hidup, barangkali rumah itu tak seberantakan kandang kambing.
Dulu Kasturin tinggal di rumah tersebut bersamanya, dan Martini menghadiahinya tiga
orang anak, sebelum akhirnya ia meninggal karena terserang penyakit kanker
ganas.
Dulu Kasturin pernah hidup normal, bahkan sangat normal. Punya
pekerjaan dan penghasilan sebagaimana kepala keluarga pada umumnya. Meski
bekerja sebagai makelar di pasar-pasar sapi, setidaknya ia bisa menulang
punggungi keluarga dari penghasilannya itu. Jangan tanya soal kasih sayang pada
anak. Dulu Kasturin sering lebih memilih tidak makan, demi menghidupi tiga
orang anaknya. Namun, hidup memang tak pernah bisa diprediksi. Kepergian
Martini membuat Kasturin begitu terpukul dan sempat mengalami depresi berat.
Orang-orang bahkan segera beranggapan, bahwa Kasturin bisa jadi gila bila tak
segera diobati. Sejak saat itu, kepribadiannya berubah drastis. Tiga orang
anaknya, Zurtini, Kupriatmi dan Jenal, kemudian ia serahkan ke mertuanya.
Tapi setahun pasca kematian Martini, setelah kondisi psikis Kasturin
benar-benar pulih, ia pun menikah lagi dengan seorang janda kembang dari
kampung sebelah. Supinah namanya. Darinya ia memperoleh dua orang anak, Makmur
dan Melia. Malangnya, rumah tangga Kasturin dengan wanita itu tak bertahan
lama. Ia bercerai lantaran Supinah berselingkuh dengan mantan suaminya dulu. Ia
pun mengusir janda dua kali itu bersama dua orang anaknya.
Kini Kasturin lebih memilih hidup seorang diri di rumah tua itu,
dengan kondisinya yang juga sudah tua. Ia tak mau lagi mengasuh anak-anaknya.
Kekecewaan demi kekecewaan seolah membentuk wataknya menjadi pribadi pemalas.
Dan ia sepertinya lebih suka memelihara malas ketimbang memelihara
anak-anaknya. Wajah mereka bahkan mungkin sudah usang dilamuri waktu. Mabuk-mabukan,
keluyuran, mencuri, dan sesekali menyewa pelacur sudah menjadi rutinitas
Kasturin. Lebih baik menyewa pelacur daripada menikah. Dengan begitu, pasangan
bisa berganti-ganti, pikirnya. Ia benar-benar telah memusuhi waktu, sehingga
tak mau melakukan hal bermanfaat dalam hidupnya.
-***-
Laki-laki bertubuh jenjang itu sekarang terbangun dari tidur singkatnya.
Hari masih cukup pagi. Batuk terus menerus menyerang paru-parunya. Ia mencoba
bangkit, tapi masih saja dunia terlihat berputar di matanya. Ia berusaha meraba
ceret untuk mengairi tenggorokannya yang mulai kering dari sisa tuak. Tak ada
air di sana. “Bangsaaaat,” teriaknya.
Dua orang laki-laki, rekan mabuknya semalaman, tiba-tiba datang
menghampirinya. “Sudah kubilang, kalau tak bisa minum, jangan minum,” olok
Karmin, salah satu dari mereka.
“Brengsek, untuk apa kalian datang kemari? Kalian telah
menelantarkanku semalam,” pungkas Kasturin di sela batuknya.
“Ah, baru tujuh botol saja sudah seperti orang mau sekarat. Kami
datang bawa kabar gembira. Nanti malam kita minum lagi! Di sana, di rumah
penghujung desa, ada pemuda-pemuda mau pesta miras. Kita dapat undangan, dan
kita telah disediakan aneka minuman di sana. Kita tak boleh menyiak-nyiakan ini,
Rin!” Jan setengah berbisik, sembari mengarahkan telunjuk ke arah timur.
Kasturin terdiam. Ia tak lekas merespon ajakan mereka. Tiba-tiba
saja wajah semua anaknya merangsek kepalanya. “Anakku, anakku…” lirihnya
kemudian.
Dua laki-laki yang tampak lebih muda dari Kasturin itu menyeringai.
Pengaruh alkohol pasti belum lenyap dari kepalanya sehingga dia meracau tak
karuan, pikir mereka. Mengingat Kasturin memang tak pernah berbicara soal anak-anaknya,
setelah bercerai dengan istri kedua.
“Sebaiknya kita tinggalkan dia sendirian. Sepertinya si tua bangka
ini mau bernostalgia dengan masa lalunya. Nanti setelah ia betul-betul sadar,
kita cari lagi,” pungkas Karmin.
“Hei, kalian mau ke mana? Tolong aku!” pekik Kasturin, melihat
Karmin dan Jan merenggang meninggalkannya sendirian. Mereka memang tak
sungguh-sungguh bersahabat dengan Kasturin, kecuali saat mereka tenggelam dalam
euforia minuman keras.
Dada Kasturin sesak. Di saat-saat seperti itu, wajah anak-anaknya menyembul
di kepalanya. Mereka benar-benar hidup di sana, bergelayutan kian kemari. Semakin
nyata dan terasa. Mereka tertawa-tertawa riang dan menari. Tapi ia sungguh tak
dapat bercengrama ataupun memeluk mereka. Di tengah isaknya, lelaki itu
mencambak dan memukuli kepalanya berkali-kali. Betapa ia menyadari arti
kehadiran mereka di sampingnya saat ini.
Kasturin terkapar kian tak berdaya. Sementara bayangan wajah-wajah
itu terus-menerus menggerayang pikirannya. Mereka melambai-lambaikan tangan, hingga
akhirnya lenyap bersamaan dengan pelupuk mata lelaki tua itu terkatup. Itulah
hari terakhir ketika ia mengetahui dirinya telah menjadi seorang ayah.
Lombok
Tengah, 17 Mei 2017.
Marzuki
Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Cerpen dan artikel
opininya tersebar ke berbagai media lokal dan nasional. Buku-bukunya yang telah
tebit di antaranya, “Kado Pernikahan” (Antologi Cerpen) terbit tahun 2016,
“Negeri Antah Berantah” (Kumcer, penulis tunggal) terbit di akhir tahun 2016.
“Tata Krama” (Antologi Cerpen) terbit di awal tahun 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar