Setan di Kepala Martina Oleh: Marzuki Wardi |
Dimuat di Serambi Budaya Radar Mojokerto edisi Hari Minggu 20 Agustus 2017 |
Lengan kananku masih nyeri. Luka bekas sayatan pisau kemarin malam masih
terasa. Akan tetapi aku paksakan untuk tetap bekerja demi bisa membayar tagihan
bank tiap bulan yang ditinggalkan oleh Martina. Lagi pula lukaku ini tak
sebanding dengan sakit hatiku padanya. Ditambah lagi dengan ketidak hadiran Meri
di rumah, membuatku semakin malas pulang. Setan betina itu telah membawanya
kabur entah ke mana. Dan aku baru sadar bahwa selama ini aku beristri setan. Akan
tetapi itu bukan masalah. Masalannya sekarang adalah aku khawatir Meri, putri
kecilku yang baru berusia dua tahun itu, akan dijadikan pelampiasan amarah
Martina. Atau malah menyerahkannya ke seorang penjual-beli anak untuk kemudian
dikirim ke luar negeri atau kepada sembarang orang yang ingin mengadopsinya.
Karena aku tahu betul Martina bukan tipikal wanita yang senang pada anak.
Aku sendiri tak tahu ke mana dia membawa Meri kabur. Kubayangkan
wajahnya yang polos, di hari-hari biasa, pada jam-jam seperti ini, anak itu selalu
menunggu kepulanganku dari tempat kerja di depan pintu lalu melonjak-lonjak
girang mengajakku ke tempat tidur. Tapi mulai kemarin, tingkah manjanya tak
dapat membuat mulutku tersenyum lagi. Kini aku tak tahu pasti apakah dia masih
bisa bermanja-manja atau tidak bersama ibunya yang galak? Juga tak dapat
kuterka.
Martina orangnya galak. Kalau marah matanya merah mirip mata
monster di film-film power ranger yang sering kutonton sewaktu kecil
dulu. Dari sisi kanan dan kiri kepalanya keluar tanduk tajam-tajam yang kuanggap
dua buah tanduk setan. Dan tangannya seketika menjelma jadi tangan besi.
Malam itu aku baru pulang dari tempat kerja. Karena kebetulan aku
baru habis nerima gaji dari mandor sehingga pulang lebih awal. Dengan pikiran
akan bersenang-senang di rumah dengan Meri, maka aku memilih untuk pulang
langsung setelah sebelumnya membeli beberapa bungkus cokelat untuknya. Akan
tetapi sesampaiku di rumah, kulihat Martina sedang menjewer dan
menggampar-gampar pipi Meri yang mungil hingga dia menjerit histeris. Entah
kenapa juga ibu kebetulan tak berada di rumah.
Tanpa pikir dua kali, aku langsung mencambak rambut Martina dari
belakang lalu menyeruduknya ke tembok rumah hingga lebam dan memar. Kupikir dia
langsung pingsan atau mati, yang mestinya itu lebih bagus. Karena aku langsung
meraih dan mendekap tubuh mungil Meri yang sedang menggigil ketakutan, akan
tetapi tiba-tiba dia bangun saat kurengkuh tubuh Meri. Saat kualihkan mata ke
belakang, tahu-tahu dia sudah memegang pisau dapur. Dengan tangkas tangan
besinya itu mengayun pisau ke arahku. Aku menepisnya dengan tangan kanan, namun
karena tanganku tak kebal senjata tajam, tentu ia terluka dan mengucurkan daras
segar. Dia pun segera merebut Meri dari dekapanku dan langsung kabur. Aku
mengejarnya, tapi langkahku terhenti di dekat kamar ibu ketika kulihat dia
sudah tergeletak di dalam sana. Ternyata perempuan jalang itu juga telah
menyakiti ibu.
Belakangan ini tingkah Martina memang sering aneh. Sejak aku jarang
memberinya uang jatah mingguan, yang katanya untuk merawat kecantikan dan
jalan-jalan ke pusat hiburan, kepalanya sering dihinggapi setan. Dan malam itu
aku yakin bukan setan biasa yang menghinggapinya, namun raja setan yang gemar ke
salon dan jalan-jalan ke mall dan tempat-tempat hiburan malam lainnya sehingga
ia menjelma jadi anak buah setan.
Aku tahu dia sering ngomel-ngomel gara-gara hal itu. Tapi aku tak
lekas meresponnya. Lagi pula aku tak pernah berpikir dia akan berbuat nekat
seperti kemarin malam. Karena sejauh ini dia hanya suka melampiaskan kemarahannya
dengan tidak memasak seharian, mengabaikan dan membentak-bentak Meri, dan
kadang-kadang memecah gelas dan piring-piring di dapur. Tentu saja tidak mudah
bagiku. Membiayai keperluan anak yang masih kecil, mengisi kebutuhan rumah
tangga dan keperluan gaya hidup Martina pada saat bersamaan, membuatku bekerja
siang malam seperti seekor kerbau dicucuk tuannya. Dan toh, tetap sulit
meladeni hasrat culasnya.
-***-
Dulu memang ibu sering memintaku untuk menjauhi Martina. Tapi aku
selalu bersi keras. Waktu itu Martina belum jadi setan, melainkan seorang
bidadari cantik rupawan yang siap menyulap hidupku jadi bahagia selamanya. Dan
aku selalu membayangkan bahwa menikah dengan wanita cantik bakal meninggikan
derajatku di depan mata orang-orang kampung. Sehingga ketika setiap mata lelaki
melihat Martina, mereka akan mendoakanku agar cepat-cepat mati, lalu menikahi
Martina yang sudah berstatus janda.
“Wanita seperti dia tidak cocok dijadikan Ibu bagi anak-anakmu.
Carilah wanita lain yang keibuan,” ucap Ibu suatu hari.
“Martina itu cantik, Bu. Kapan lagi Parman bisa mendapatkan wanita
cantik seperti Martina?” timpalku padanya.
Begitulah, Ibu selalu menyarankan agar menemukan wanita lain untuk
kunikahi. Aku sendiri tak tahu kenapa Ibu menilai dia miring. Barangkali karena
Martina selalu berpenampilan stylish dan modis seperti bintang iklan.
Tapi masa bodoh, bagiku menyia-nyiakan wanita seeksotis dia adalah sebuah
kebodohan besar. Apalagi mengingat profesi kami yang jauh beda; aku seorang
kuli bangunan dan Martina seorang SPG.
Aku berkesimpulan, waktu itu Ibu pasti iri dengan penampilan
Martina yang modis dan seksi sehingga berpikir posisinya akan tersaingi di
sisiku; aku akan berhenti memuji beliau yang sudah keriput dan beralih memuji
istriku. Karena setahuku pada zaman-zaman beliau muda, perkembangan fashion tak
sebagus sekarang ini. Wajar saja di kepalanya lalu berkembang sebuah asumsi
yang tidak sedap setiap melihat wanita gaul seperti Martina. Aku tahu karena
beliau juga sering bilang; dasar perempuan jaman sekarang nggak ada malunya.
Sudah mamerin paha kemana-mana, nyari cowok ke rumahnya pula!
Lama-lama, barangkali karena tak ditanggapi atau mungkin juga
karena bosan, Ibu jadi sedikit jarang mentausiahiku soal wanita pilihan.
Seorang temanku bilang; besok kalau dia (Martina) sudah tinggal di rumahmu, tidak
ada alasan bagi ibumu untuk menolak dia. Atas dasar itulah aku nekat menikahi
Martina diluar restu Ibu.
-***-
Aku mengendarai sepeda motor dengan pelan. Udara malam ini cukup
dingin. Jalanan disesaki oleh orang-orang yang merayakan akhir pekan bersama
keluarga. Sesekali aku melipirkan mata ke pinggir jalan, dengan pikiran akan
menemukan seorang wanita berjalan menuntun seorang anak kecil. Akan tetapi perjalanan
pulangku sudah hampir sampai di rumah, aku tak jua menemukan tanda-tanda itu.
Aku bingung mesti mencari Meri ke mana? Mungkinkah Martina akan
mengajak Meri menjadi seekor setan? Aku berharap tidak demikian.
Lombok Tengah, 01 Agustus 2017.
Marzuki Wardi, lahir di
Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Cerpen dan artikel opininya tersebar
ke berbagai media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar