Tetangga Baru Reihan
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di Kompas Klasika edisi Minggu 6 Agustus 2017 |
Yana kesal pada Reihan. Akhir-akhir ini dia merasa telah kehilangan
teman dekat. Karena Reihan kelihatan lebih sering bermain dengan tetangga
barunya ketimbang dengannya.
“Kenapa sih kamu jarang mau main denganku lagi?” tanya Yana sore
ini.
Reihan hanya tersenyum. Dia menyadari bahwa teman satu kelas dan
satu kampungnya itu cuma salah paham
saja.
“Kok kamu malah senyum?” Yana tampak mulai kesal. Belum saja Reihan
menjawab, dia sudah bertanya lagi.
“Yang tidak mau main denganmu itu siapa, Na? aku kan selalu
ngajakin kamu gabung saat aku dan Wayan sedang main. Tapi kamu kan selalu
menghindar,” timpal Reihan dengan santai.
Yana terdiam sejenak sembari memikirkan kalimat untuk merespon
pertanyaan balik dari Reihan, “Emang kenapa sih kamu suka sekali bermain dengan
anak Bali itu?”
Mendengar ucapan Yana, Reihan sedikit terkejut lantas balik
bertanya, “Loh, dia kan teman baru kita. Kenapa kamu bilang begitu, Na?”
“Ya tapi…?” kata Yana menggantung.
“Tapi apa?”
“Dia beda adat dan agama. Apa kamu tidak takut…?”
“Pindah agama, gitu?” belum lengkap kalimat Yana, Reihan keburu
balik bertanya, “Yan…Yan, apa kamu tidak ingat kata Bu Sinta. Sebagai warga
negara Indonesia yang baik, kita harus tetap saling menghargai antar pemeluk agama
yang satu dengan yang lainnya. Tidak hanya itu, kita juga harus menjalin tali
persaudaraan antar sesama anak bangsa. Lagi pula, semakin kita punya banyak
teman beda adat, budaya dan agama dari beragam daerah, kita jadi lebih mengenal
kekayaan negeri kita. Bukankah itu yang dikatakan Bineka Tunggal Ika?” lanjut
Reihan menjelaskan.
Yana pun tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. “Iya ya, tapi
apa Ustad Baihaki tak akan marah pada kita?” tanyanya.
“Yana, Yana, beliau justru akan sangat senang melihat kita berteman
dengan siapa saja. Bahkan, beliau selalu menganjurkan kita untuk beramah-tamah
dengan siapapun. Termasuk pada Wayan.”
“Kalau begitu, ayo kita pergi?”
“Pergi ke mana?”
“Ke rumah Wayan,” jawab Yana tak sabaran.
“Loh, ini kan sudah mau magrib. Kita ngaji dulu, yuk? Nanti selepas
ngaji, kita belajar bareng ke rumahnya.”
“Oh, iya lupa. Hehe. Iya deh kalau gitu.”
Reihan menertawai tingkah lucu temannya. Yana menertawai dirinya.
Mereka sama-sama tertawa. Senja bersemu merah menyaksikan tingkah polos Yana
dan Reihan.
Marzuki Wardi, lahir pada 15
Juni 1986. Selain menjalani tugas keseharian sebagai seorang guru, ia juga
aktif menulis esai dan cerpen. Beberapa sudah tersebar ke berbagai media. Buku
terbarunya berupa antologi (bersama) berjudul “Tata Krama” terbit 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar