PEMBERDAYAAN SURAT KABAR DALAM MENUMBUHKAN
MINAT BACA ANAK SEJAK DINI
Oleh: Marzuki Wardi
Membaca merupakan kemampuan yang sangat penting untuk dikuasai oleh
setiap manusia. Bahkan, dapat dikatakan bahwa membaca adalah proses awal
terbentuknya sebuah peradaban. Horton, Jr, dalam sebuah bukunya yang
diterbitkan oleh UNESCO, mengklasifikasikan membaca ke dalam literasi inti atau
dasar (basic or core literacy). Menurutnya, istilah tersebut mengacu
pada pembelajaran bagaimana cara membaca, cara menulis, dan bagaimana melakukan
tugas penghitungan sederhana yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.[1] Mengingat kedudukan penting tersebut, tidak heran jika membaca
dijadikan sebagai pelajaran pertama yang diajarkan kepada peserta didik ketika
memasuki pendidikan formal.
Idealnya, sebagai kompetensi pertama dan utama yang diajarkan di
Sekolah Dasar (SD), membaca seharusnya lebih dikuasi dibanding bidang-bidang
yang lain. Namun, realitanya tidak demikian. Perkembangan kemampuan membaca
rata-rata siswa di Indonesia malah lebih buruk jika dibandingkan dengan
kemampuan di bidang lain seperti sains dan matematika.
Perbandingan tersebut dapat dilihat dari hasil survey Programme for
International Student Assessment (PISA) yang dilakukan dua periode terakhir,
tahun 2012 dan 2015. Pada tahun 2012 misalnya, kemampuan rata-rata siswa
Indonesia di bidang membaca adalah 396 poin. Sedangkan, pada tahun 2015,
rata-rata tersebut hanya mampu meningkat satu angka menjadi 397 poin.
Sementara, hal tersebut tidak terjadi di dua bidang lainnya. Kompetensi sains,
382 poin pada tahun 2012 dan meningkat drastis pada tahun 2015 menjadi 403.
Kemudian, pada kompetensi matematika, dari 375 pada tahun 2012 menjadi 386 poin
pada tahun 2015.[2]
Lebih parah lagi, dengan capaian dalam bidang membaca tersebut,
Indonesia hanya mampu menempati posisi ke 64 dari 65 negara yang tergabung
dalam PISA pada tahun 2012. Hanya, pada tahun 2015, kemampuan membaca siswa
Indonesia naik ke posisi 62 dari 70 negara. Sayangnya, angka tersebut bukan berarti
telah memenuhi target rata-rata Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD), di mana untuk kemampuan membaca adalah 493.[3]
Fakta di atas menunjukkan bahwa kegiatan membaca di kalangan
pelajar masih sangat minim. Hal tersebut tidak lain disebabkan karena kurangnya
minat baca pelajar. Senada dengan yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini, Dr. Harris Iskandar. Menurut data penelitian yang beliau rujuk,
hanya 0,001 orang Indonesia yang suka membaca. Atau dengan kata lain, dari
1.000 orang Indonesia, hanya satu yang suka membaca.[4]
Kurangnya minat baca menjadi sebuah ironi ketika akses sumber
bacaan dapat diperoleh dengan begitu mudah sekarang ini. Oleh sebab itu, kurangnya
bahan atau sumber bacaan tentu tidak dapat dijadikan faktor penyebab kurangnya
kemampuan baca tersebut. Dan ini merupakan tantangan besar bagi dunia
pendidikan. Bagaimana menumbuhkan minat baca anak sejak dini, bagaimana
mengembangkan lingkungan belajar yang memungkinkan peserta didiknya tak sekedar
bisa membaca tapi juga biasa membaca, merupakan agenda utama untuk diejawantahkan.
Surat Kabar Sebagai Media dalam Menumbuhkan Minat Baca Siswa.
Banyak orang mengidentikkan surat kabar (newspaper) sebagai
bacaan bagi kalangan-kalangan tertentu. Misalnya pegawai kantoran, guru, pejabat
pemerintah, penulis, dan profesi resmi lainnya. Padahal, seperti namanya “media
massa”, merupakan bacaan yang dapat dikonsumsi oleh siapa saja tanpa batasan profesi.
Bahkan, dengan kehadiran internet seperti saat sekarang ini, banyak
surat kabar hadir dalam bentuk digital sehingga dapat dinikmati melalui telepon
pintar maupun laptop. Dengan demikian, membaca bisa dilakukan di mana saja dan
kapan saja tanpa harus mengeluarkan banyak biaya dan waktu.
Sebagai bahan bacaan yang mudah didapatkan, eksistensi surat kabar
di sekolah pun dapat dikatakan sudah familiar. Sejak dulu, hampir semua
sekolah berlangganan dengan surat kabar. Bahkan, untuk edisi cetak, tidak
sedikit pihak sekolah yang berlangganan lebih dari satu surat kabar. Namun,
selama ini, fungsinya terkesan hanya sebatas bacaan sesaat lalu ditumpuk di rak
perpustakaan. Tak lebih dari sekedar bacaan sekilas. Padahal, jika kita mau,
banyak jenis tulisan bermanfaat yang dapat dikenalkan kepada siswa, bahkan
untuk siswa sekelas Sekolah Dasar (SD) sekalipun. Salah satunya yang cocok dan
menarik adalah cerita anak (cernak).
Sejauh ini, geliat literasi di surat kabar semakin marak. Setiap
pekan, jumlah media (pers) yang menyuguhkan kolom literasi di seluruh tanah air,
khususnya cernak, terus bertambah. Maka, dengan kehadiran rubrik untuk anak
tersebut, surat kabar dapat dimanfaatkan sebagai umpan dalam memancing minat
baca siswa. Dalam hal ini, guru tentu harus mampu mengemas umpan tersebut dengan
beragam teknik dan kegiatan kreatif. Misalnya, dengan mengemas cerita menjadi
ceria, membaca bersama dan membuat kliping cernak siswa.
Mengemas Cerita Menjadi Ceria
Bagi siswa di kelas rendah, untuk tahap awal atau pembiasaan, guru
bisa membaca dan menguasai cerita terlebih dahulu kemudian dikemas menjadi
cerita yang ceria. Ceria dalam arti bukan harus membuat siswa tertawa
lebar-lebar dengan cerita yang disampaikan. Tapi, menghibur, mengena dan
berkesan di dalam benak mereka. Dan tentu guru butuh upaya kreatif dalam hal
ini. Misalnya, memeragakan tokoh-tokoh dalam cerita, mengaitkan isi cerita
dengan kondisi atau latar belakang siswa, memodifikasi latar tempat yang
terdengar lebih akrab, sehingga mereka merasa bahwa isi cerita benar-benar
tidak jauh dari dunia mereka.
Hal tersebut tentu saja dilakukan untuk mencapai tujuan, yaitu
merangsang minat siswa agar tertarik untuk membaca. Apabila siswa sudah
tertarik untuk mengetahui konten cerita sepenuhnya, maka guru sudah berhasil
menarik minat mereka. Pada tahap ini, mereka boleh saja megobati rasa penasaran
dengan membaca cerita yang disajikan, baik secara bergantian maupun bersama-sama
teman.
Membaca Bersama
Kegiatan yang paling lumrah dan umum diterapkan dalam Gerakan
Literasi Sekolah adalah membaca bersama. Jika koleksi surat kabar yang memuat
kolom cernak sudah cukup banyak di perpustakaan sekolah, guru bisa mengajak
siswa untuk mencari sendiri (dengan tetap didampingi guru) cernak yang mereka
inginkan. Kemudian, guru dan siswa bisa membaca bersama-sama, baik dengan
nyaring (reading aloud) maupun membaca dalam hati (sustained silent
reading). Apabila koleksi perpustakaan kurang lengkap, guru dapat mengunduh
cernak versi digital di media daring. Lalu dicetak dan disuguhkan kepada siswa.
Kegiatan tersebut tidak lain bertujuan untuk membiasakan siswa membaca.
Karenanya, teknik ini lebih sesuai untuk diterapkan di kelas tinggi yang
kemampuan bacanya sudah cukup baik.
Kliping Cernak Siswa
Selain kedua teknik di atas, guru juga dapat menugaskan siswa
secara berkelompok untuk membuat kliping cernak. Kegiatan ini memang cukup
menyita waktu, mengingat tugas dari mata pelajaran lain yang cukup banyak. Sebab
itu, kegiatan ini dapat dilakuakan sesekali dalam satu pekan atau akhir bulan,
dengan tetap dibimbing dan didampingi oleh guru. Selanjutnya, cernak yang sudah
disusun menjadi kliping, dapat diceritakan ulang (story telling) sesuai
dengan kemampuan mereka. Atau dapat pula membahas pesan cerita, penokohan,
latar cerita, dan unsur-unsur pembentuk cernak lainnya. Kegiatan ini ditujukan
untuk menjaga minat baca dan meningkatkan kecakapan literasi siswa yang telah
dibangun sejak awal tadi. Dengan demikian, langkah ini juga lebih tepat untuk
diterapkan di kelas tinggi.
Langkah-langkah di atas merupakan gambaran umum yang dapat
diterapkan di sekolah. Guru boleh saja menerapkan kegiatan yang lebih variatif yang
dapat memancing minat baca siswa. Termasuk dari segi tulisannya, ketika minat
baca siswa sudah tumbuh, jenis tulisan lain di surat kabar boleh saja
diperkenalkan. Karena cernak memang bukan satu-satunya bacaan yang dapat
dikonsumsi siswa. Dalam hal ini, cernak dimanfaatkan sebagai media pembangkit minat
baca mereka. Dengan demikian, ketika fondasi kebiasaan membaca sudah terbentuk
pada diri anak, ketertarikan pada bacaan-bacaan lainnya akan mengembang dengan
sendirinya. Dan mereka boleh saja menentukan bacaan sendiri yang dinilai menarik
dan bermanfaat.
Lebih dari itu, dengan memberdayakan cernak di surat kabar, secara
tidak langsung kita telah membentuk siklus literasi (literacy cycle). Artinya,
ketika jumlah pembaca surat kabar semakin bertambah, maka para penulis sudah mencapai
tujuannya. Pada saat bersamaan, kita telah berkontribusi bagi perkembangan
dunia Pers. Sementara, upaya mendongkrak kemampuan membaca pelajar Indonesia
akan berhasil. Begitu seterusnya, semakin banyak pembaca, semakin banyak
penulis yang akan terlahir. Bukankah penulis terlahir dari pembaca yang baik?
Marzuki Wardi, lahir di Desa
Sintung, Lombok Tengah, pada tanggal 15 Juni 1986. Menulis Cerpen, Esai, dan
Resensi. Pada Agustus 2017 lalu, ia masuk nominasi 10 finalis juara menulis
artikel opini yang diselenggarakan oleh Sahabat Keluarga Kemdikbud RI.
[1] Forest W.H,
Jr. 2007. Understanding Information Literacy: A Primer. France: UNESCO.
[2] https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/12/peningkatan-dan-capaian-pisa-indonesia-mengalami-peningkatan.
Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017, pukul 23.20.
[3] www.oecd.org.edu/pisa. Diakses pada
tanggal 19 Agustus 2017, pukul 11.54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar