Mendidik
Anak untuk Mencintai Alam
Oleh:
Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Cirebon edisi Sabtu, 17 November 2018 |
Judul : Sawitri dan Tujuh Pohon
Kelahiran
Penulis : Mashdar Zainal
Penerbit : PT Pustaka Alvabet
Terbit
: Pertama, Maret 2018
Tebal
: 296 Halaman
ISBN
: 978-602-6577-22-1
Percayakah
Anda bahwa kepribadian seseorang bisa diukur dari sebatang pohon? Dengan kata
lain, bagaimana cara seseorang memperlakukan atau merawat sebatang pohon
merupakan cermin kepribadiannya. Jika dia rajin, tekun, sabar, dan optimis
dalam merawat pohon miliknya atau yang ditanamnya, maka kemungkinan orang
tersebut juga memiliki sikap-sikap itu. Demikianlah prinsip yang dipegang dan
dipercayai oleh seorang laki-laki yang bernama Syajari dalam novel ini.
Syajari
digambarkan sebagai sosok yang menaruh perhatian besar terhadap dunia pepohonan.
Ia sangat menyukai pohon. Bahkan, ketika kecil ia selalu bermain di sekitar
pohon-pohon di halaman rumahnya yang terdapat di pedesaan. Hingga ia dewasa dan
berumah tangga, kecintaannya terhadap mahkluk hidup tersebut tidak berubah. Itulah
yang menjadi alasan kenapa setiap istrinya, Sawitri, melahirkan seorang anak ia
selalu menanam pohon di depan rumahnya. Selain itu, ia juga telah berjanji jika
Sawitri bisa melahirkan anak—karena setelah setahun
menikah Sawitri belum bisa hamil—ia akan
menanam pohon.
Benar
saja. Sawitri melahirkan tujuh orang anak, dan nama mereka semua dipakai untuk
menamai pohon sesuai dengan urutan kelahiran. Pohon pertama adalah pohon mangga
yang kemudian dinamai pohon Sumaiyah: diambil dari nama anak pertama. Kedua,
pohon flamboyan yang dinamai Sumitrah. Begitu seterusnya, ada pohon asam dengan
nama Subandi, pohon sawo dengan nama Sularsih, pohon salam milik Sukaisih, pohon
jamblang milik Sunardi, dan pohon ketapang yaitu milik Sundari.
Tentu
saja tujuh pohon di atas tidak hanya sebatas penanda kelahiran. Akan tetapi,
Syajari juga meminta anak-anak mereka untuk merawat pohon kelahiran mereka
dengan baik. Bahkan, melalui hal itulah ia menanamkan banyak pelajaran hidup.
Terutama kepada Subandi, anak ketiga, yang cenderung malas mengurus pohon
miliknya. “Bapak menanam pohon asam itu di muka bumi, supaya apa…supaya kau juga
tahu terimakasih, bumi telah memberimu tanah, memberimu air, memberimu makan,
memberimu udara bersih, bahkan itu tak sebanding kalaupun kau merawat semua
pohon di bumi ini” nasihat Syajari pada Subandi (Hal. 125).
Konflik dalam
novel ini dihadirkan oleh penulis ketika tujuh bocah tersebut beranjak dewasa.
Sebagai anak manusia yang terus tumbuh dan berkembang, mereka tentu berhak
memilih jalan hidup masing-masing. Satu persatu anak-anak Sawitri dan Syajari
meninggalkan kampung halaman. Nasib mereka pun berbeda-beda. Hanya Sumitrah
yang tinggal bersama mereka. Namun, putri keduanya itu mengalami depresi berat bahkan
gangguan kejiwaan sejak peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Sehingga
Sawitri dan Syajari tetap merasa kesepian. Di saat seperti itulah pohon-pohon
kelahiran seakan menjadi obat kerinduan pada tujuh anak mereka.
Salah
satu hal yang menarik dari novel ini adalah penulis tidak hanya memosisikan
tujuh pohon kelahiran tersebut sebagai objek atau benda mati belaka. Ia juga menghidupkannya
sebagaimana layaknya tokoh lain. Dengan kata lain, ia melibatkan mereka ke
dalam plot dan konflik. Sehingga menimbulkan gejolak emosional bagi pembaca. Selain
itu, banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari karya terbaru Mashdar
Zainal ini. Salah satunya, melalui karya sastra ini, kita bisa mendidik anak
untuk mencintai alam.
Lombok
Tengah, 02 Oktober 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus
Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar