Wanita Berwajah Kenangan
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di SKH Suara NTB edisi Sabtu, 09 Februari 2019 |
Wanita
itu masih berdiri di sudut dapur hostel sambil menenteng sebuah cangkir yang
tampaknya berisi kopi atau teh. Sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu,
aku sudah menemukannya di sana bersama seorang wanita lain paruh baya berambut
ikal dan berkulit agak gelap. Sementara, wanita yang kumaksud ini berkulit
putih, berambut lurus dan pirang, mata sipit, dan bertubuh jenjang. Dari fostur
tubuh dan penampilan, aku menduga hubungan mereka bukanlah antara anak dan ibu.
Sehingga aku tidak bergitu tertarik untuk mencari tahu hal itu. Aku hanya
tertarik mengamati raut wajah wanita bermata sipit yang tampak begitu menggoda
ini.
Sebentar,
sebenarnya bukan kecantikannya yang membuat mataku tercekat. Di zaman yang
begitu pesat akan perkembangan alat kecantikan seperti saat sekarang ini,
kurasa tidak sulit menemukan wanita cantik seperti dia, bahkan yang lebih
cantik sekalipun. Namun, wanita ini sungguh berbeda. Di wajahnya seakan-akan terhampar
padang kenangan yang seolah pernah kuarungi bersamanya suatu masa yang tak
dapat kuingat secara pasti. Aku hanya dapat merasakan itu. Ya, benar sekali,
aku ingat bahwa perasaan ini pernah kurakasan dulu ketika memandang wajah Meri,
istriku yang meninggal lima tahun silam.
Aku
menghempaskan tubuh ke sandaran kursi yang terletak di pelataran dapur hostel.
Sisa-sisa pegal akibat perjalanan kemarin sore rasanya masih menempel di
tubuhku. Sebab itu, pagi ini akan kuhabiskan dengan sedikit lebih santai
sebelum check out. Oh ya,
kedatanganku ke Negeri Merlion ini adalah
untuk melanjutkan kuliah. Dulu aku pernah berjanji melanjutkan kuliah ke sini
bersama Meri. Akan tetapi, rencana kami tertunda karena kami lebih dulu menikah
setahun selepas kuliah. Lagi pula, usiaku pada saat itu sudah cukup matang,
sehingga menikah adalah pilihan yang tepat ketimbang menjalin hubungan tak
tentu arah. Dan ambisi melanjutkan kuliah itu kini sudah kutunaikan, meski
tujuanku sebenarnya lebih kepada menghabiskan sisa-sisa usia sebelum kematian
menjemputku.
Aku menyeruput segelas kopi susu yang telah
kuseduh sendiri di dapur. Awan pekat yang menggelantung di atas kepalaku,
menambah kenikmatan meminum kopi. Aku merapatkan kursi ke sebuah meja saji
kecil di depanku, lalu kutumpuk lenganku di sana. Kehadiran wanita yang kini
kusebut berwajah kenangan di depanku ini benar-benar mengundang kerinduanku
pada Meri. Karena wajahnya begitu mirip dengan Meri. Dulu teman-teman kuliah
sering mengatakan Meri mirip gadis Cina karena matanya yang sipit. Hanya saja
kulit Meri tidak seputih wanita di depanku ini.
Kulirik
jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Aku tersenyum-senyum sendiri. Dulu
dia memberikan benda ini pada saat ulang tahunku yang ke 30. “Kamu tahu Mas,
kenapa aku kasih kado ini walau kamu sudah punya model yang lain?” katanya.
Aku
menggeleng tanpa sebait suara yang meluncur dari mulutku.
“Setiap
Mas ingin melihat waktu, berarti Mas akan melihat jam ini. Dan itu sama saja
dengan melihatku. Dengan begitu, kamu akan selalu ingat padaku setiap waktu.”
Sambil tersenyum-senyum Meri mengatakan itu.
“Ah,
bisa aja kamu. Tanpa jam tangan ini pun aku sudah selalu ingat padamu. Lagi
pula, bukankah aku sudah bilang bahwa aku hanya akan mencintai wanita hanya
sekali dalam hidup ini?”
Meri
kemudian mendekapku erat malam itu, hingga pagi datang menggeser kehadiran
malam. Waktu itu usia pernikahan kami sudah mencapai enam tahun. Tapi kami
belum dikaruniai momongan. Dan aku sendiri tahu kenapa Meri berkata seperti
itu. Usia pernikahan yang boleh dibilang cukup matang tapi belum bisa
mempersembahkan seorang anak, bisa dikatakan sebuah aib bagi seorang wanita,
yang suatu waktu dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Sebagai
seorang wanita dan memiliki perasaan sensitif, Meri tentu paham tentang hal
itu. Oleh karenanya, boleh jadi pikirannya berkata bahwa ia takut bila
sewaktu-waktu aku menaruh perhatian pada wanita lain.
Meri
sering bercerita tentang teman-teman kantor yang menanyainya perihal buah hati.
Ia seringkali merasa kelimpungan apabila menghadapi pertanyaan-pertanyaan
semacam itu. Pengalamannya itu lantas membuat Meri kadang merasa minder dan
seolah-olah dirinya lah yang patut disalahkan atas cobaan tersebut. Lambat
laun, perasaan minder tersebut membuat Meri jadi selalu menghindari pembicaraan
apabila topiknya sudah menyentuh soal
anak. Bahkan, ia berusaha menjauhi perkumpulan ibu-ibu rumah tangga di dekat
rumah kami. Ia merasa dirinya lah yang sedang dipergunjingkan ketika mereka
berkumpul dan berkelakar riang.
“Mas,
kalau boleh jujur, aku tak keberatan jika Mas menikah lagi,” katanya pada suatu
malam berikutnya.
“Kenapa
kamu berkata seperti itu, Meri?”
“Aku
tahu Mas ingin sekali punya anak.”
“Tidak,
aku tidak bisa melakukan itu, Meri.”
“Baiklah
kalau Mas tak tega melakukan hal itu sekarang, tunggulah hingga pusaraku
mengering.”
Kalimat
Meri serasa menyumbat kerongkonganku. Pernapasanku seketika menjadi sangat
berat malam itu. Sehingga aku tidak bisa menahan lelehan air dari pupil mataku.
Aku bukan semata menangisinya. Akan tetapi, aku menangisi betapa besar
keinginannya untuk membahagiakanku, yang ternyata tak dapat terwujud sampai
saat itu.
Begitulah.
Hari-hari kami jalani berdua tanpa kehadiran makhluk mungil yang kami
nanti-nantikan, hingga suatu hari kata-kata Meri benar-benar menjadi nyata.
Penyakit mematikan yang diidapnya telah merenggut nyawanya. Entah, apakah saat
mengatakan perihal kematian malam itu Meri sudah mulai merasakan penyakitnya
ataukah ia ngomomg asal-asalan saja? Aku tidak dapat memastikan hal itu. Aku
hanya bisa memastikan, bahwa diriku selalu berteman dengan sepi dan kesedihan
pada hari-hari berikutnya. Aku sudah memutuskan hubungan dengan bahagia.
Kesedihan-kesedihan yang menguliti hari-hariku bahkan membuatku selalu berdoa
agar kiamat dipercepat saja. Dengan begitu, aku dan Meri bisa dipertemukan
kembali di alam keabadian. Meskipun aku sadar mana mungkin Tuhan mau
mempercepat jadwal kiamat hanya gara-gara satu orang hambaNya ini.
***
Rintik
hujan yang sudah mulai bertempias ke atas lantai, mengusap kesadaranku dari
lamunan tentang Meri. Kakiku seakan bergerak dengan sendirinya ke dalam dapur
hostel, menghindari hujan sambil membawa gelas kopi yang isinya sudah tandas.
Tanpa
kusadari, rupanya si wanita bermata sipit sekarang sudah berada dengan jarak
yang cukup berbisik saja kami sudah bisa saling dengar—jika ingin berbicara. Wanita berambut
ikal yang tengah menjentikkan sebatang rokok di jari kirinya melirik ke arahku
dengan tatapan penuh selidik. Aku membalas tatapannya. Wanita cantik bermata
sipit pun turut menatapku. Beberapa saat kami bertiga saling tatap secara
bergantian. Degup jantungku terasa lebih kencang dari biasanya. Namun, tak lama
kemudian ia berlalu begitu saja bersama wanita perokok sialan tersebut.
Ternyata
benar, dari jarak dekat, wajah wanita itu mirip sekali dengan Meri. Sehingga pantas
saja perhatianku sejak tadi tercocok ke arahnya. Ah, apa yang terjadi denganku?
Dadaku tiba-tiba dipagut rindu pada Meri, tapi pada saat bersamaan juga
terpesona dengan wanita berkulit putih dan bermata teduh tadi. Apakah ini
sebuah petanda bahwa Meri memintaku jatuh cinta pada wanita lain ataukah wanita
itu adalah jelmaan Meri? Tapi siapa dan dari mana asal-usulnya? Aku bergegas
mengejarnya, tapi aku tak menemukan siapa-siapa diantara lorong kamar hostel.
Bahkan bayangan seorang pun tidak kutemukan. Sepi. Sangat sepi.
Lombok
Tengah, 1 Februari 2019.
Wardie Pena, Menulis
Cerpen, Esai dan Resensi Buku. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar