Menjaga
Marwah Pendidikan di Era Milenial
Oleh:
Marzuki Wardi
(Dimuat di SKH Lombok Post pada 11 Maret 2019)
|
Sudah
kesekian kalinya wajah pendidikan kita mendapat tamparan dari ulah segelintir
generasi bangsa. Sebut saja kasus amoral seorang siswa SMP di Gersik, Jawa
Timur, beberapa saat lalu. Pun, belum lindap dari ingatan kita, belakangan ini
kasus serupa kembali merabak. Pada hari pertama bulan Maret ini, mata saya
dibelalakkan dengan judul (headline) berita di sebuah surat kabar harian
lokal tentang pengamanan seorang siswa SMA di Lombok Tengah. Si siswa tersebut
dengan lantang dan beraninya menghina presiden dan aparat kepolisian dengan
kata-kata kotor di media sosial.
Selain
itu, beberapa saat yang lalu, sebuah saluran televisi swasta nasional
menyiarkan berita puluhan pelajar SMK di kota Lampung yang hendak melakukan
aksi tawuran. Untung saja polisi bergerak cepat menggagalkan rencana itu. Beberapa
bentuk senjata yang hendak mereka gunakan juga berhasil diamankan petugas.
Pada
saat bersamaan dan masih di stasiun televisi yang sama, kabar menyesakkan dada
lainnya datang dari ibukota, di mana 61 anggota geng motor diciduk aparat
kepolisian karena berbuat rusuh di jalanan, dan ketahuan mengonsumsi narkoba.
Parahnya, beberapa diantara mereka masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Menyimak
perilaku negatif para pelajar di atas, hati kecil saya bertanya, “Apakah urat
takut dan malu anak-anak kita saat ini seakan telah terputus?” Sebagai seorang pendidik,
saya tentu merasa tercengang dengan fakta ini. Pendidikan sebagai institusi
yang selama ini bertanggung jawab melahirkan manusia-manusia berbudi pekerti
luhur seakan kehilangan marwahnya. Agak miris rasanya jika masalah klasik ini masih
saja membelit tubuh pendidikan kita. Sementara kita sudah memasuki gerbang revolusi
industri 4.0, di mana kecakapan hidup merupakan hal yang mutlak diperlukan.
Di
sisi lain, kita memang tidak bisa serta merta menjustifikasi bahwa semua ini
salah anak. Latar belakang keluarga, lingkungan sosial, pergaulan, usia, dan media
sosial, merupakan beberapa faktor yang cukup berpengaruh terhadap pembentukan
perilaku anak. Di saluran televisi misalnya, begitu banyak tontonan yang tidak
ramah anak dengan frekuensi tayang yang tinggi dan pada jam anak masih aktif di
depan layar televisi. Lalu, di media sosial, bukankah hampir setiap hari kita menyaksikan
para warganet dengan begitu mudahnya saling hujat hanya karena berita yang
belum jelas sumbernya (hoax)? Perundungan,
ujaran kebencian (hate speech), dan
sekelumit problematika sosial lainnya seakan mendoktrin pikiran mereka bahwa
seperti itulah adanya budaya kita.
Kondisi
ini jelas tidak menguntungkan kita. Karenya, tantangan yang kita hadapi di era
milenial ini semakin meningkat. Fungsi lembaga pendidikan tidak sekedar
membekali generasi bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan dari sisi
intelektual saja. Tapi, kesadaran kultural sebagai bangsa yang memiliki
keluhuran budi pekerti juga harus ditanamkan secara proporsional pada diri
anak. Dua dimensi pendidikan ini harus tetap seimbang. Jika tidak,
konsekuensinya akan terlahir generasi robot milenial, yakni manusia-manusia
yang berpengetahuan tinggi, tapi cacat dalam hal budi pekerti.
Urgensi Literasi Budaya
Hampir semua daerah di NTB memiliki kearifan (budaya) lokal yang
menarik di mata masyarakat internasional. Dalam masyarakat Sasak
misalnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari praktik-praktik
sosial seperti berolem,[1] betabeq,[2] bebase,[3] saling tulung,[4] dan sebagainya.
Demikian juga dengan masyarakat Mbojo. Mereka punya rimpu,[5] rawi rasa,[6] cafi sari[7], dan beragam
tradisi lainnya.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini,
tradisi-tradisi dimaksud tampak semakin memudar. Sebut saja tradisi berolem pada
masyarakat Sasak. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat
kekeluargaan, juga mencerminkan tingginya penghormatan masyarakat Sasak
atas tamu yang akan menghadiri acara tertentu. Namun, kehadiran teknologi handphone
(HP) telah mengganti peranan tradisi ini dalam tatanan
masyarakat.—meskipun tidak sepenuhnya. Tradisi ngayo (silaturrahmi ke
tetangga) misalnya, juga telah terwakili dengan kehadiran media sosial.
Pengaburan nilai-nilai kearifan (budaya) lokal ini tentu menjadi
ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas
budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang
dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali pelajaran budaya lokal di sekolah,
menuangkan wawasan budaya lokal dalam bentuk karya tulis, pagelaran festival
atau pameran budaya, dan cara-cara lain yang dapat melestarikan budaya lokal.
Maka, revitalisasi kearifan (budaya) lokal dalam hal ini
dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan
kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali,
mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.
Lombok
Tengah, ditulis pada 01 Maret 2019
[1] mengundang
dengan cara menyampaikan lansung (lisan) ke rumah-rumah.
[2] cara
mengatakan permisi dengan menundukkan tubuh dan menurunkan tangan kanan saat
lewat di depan orang.
[3] Dalam
interaksi sosial, seseorang yang lebih kecil tidak boleh menyebut nama orang
yang lebih tua. Sebagai gantinya adalah menyebut gelar usia seperti tuaq (paman),
saik (bibik), papuk (kakek atau nenek), Inak kake (tante),
amak kake (paman/kakak dari ayah atau ibu), dan sebagainya.
[4] Saling bantu
setiap ada orang bangun rumah, bercocok tanam, pesta, meninggal, dan
sebagainya.
[5] Memakai sarung
dengan melingkarkannya pada kepala di mana yang terlihat adalah sepasang mata
pemakainya.
[6] Semua kegiatan
yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat.
[7] Berarti
upacara menyapu lantai yang dilakukan untuk menyampaikan puji syukur karena
seorang ibu telah berhasil melahirkan seorang anak dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar