Membangun Generasi Literat dari
Keluarga
Oleh: Marzuki Wardi
(Ketua Bidang
Literasi IGI Kabupaten Lombok Tengah, NTB)
Dimuat di SKH Media Indonesia pada 15 Juli 2019 |
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan
PoCer.co, Linda Christanty pernah membeberkan rahasia suksesnya dalam menggapai
cita-citanya. Penerima dua kali penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa itu pun
sempat menceritakan awal mula ketertarikannya terhadap dunia literasi yang
kemudian mengantarnya menjadi seorang jurnalis dan penulis terkemuka.
“Waktu kecil
dan belum bisa membaca, saya ingat Ayah dan Ibu sering membacakan buku-buku
cerita untuk anak-anaknya menjelang tidur malam. Kami berkumpul di kamar
mereka, di tempat tidur orangtua saya yang besar itu. Cerita yang paling saya
ingat adalah Tom Si Jempol atau Tom
Thumb. Tentang anak kecil yang melawan raksasa…,” paparnya panjang lebar.
Jika kita ingin menyebut
tokoh-tokoh lain dengan profesi berbeda, tentu masih banyak yang sukses membangun
karier mereka dengan bekal awal “tekun membaca”. Bahkan tidak hanya membangun
karier, tapi juga membangun sebuah Negara. Kita sama-sama tahu bahwa tegaknya kedaulatan
bangsa ini tidak terlepas dari peran sentral para tokoh yang gemar membaca
(buku). Sebut saja presiden pertama kita, Bung Karno, misalnya. Menurut riwayat,
beliau sangat rajin membaca buku, sampai-sampai di dalam toilet pun beliau menyediakan
meja khusus yang dipakainya membaca buku. Sejak muda beliau juga sudah berani menentang
kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda melalui tulisannya.
Pun demikian dengan wakil presidennya,
Bung Hatta. Saking candunya membaca, sewaktu diasingkan ke Banda Neira oleh
Pemerintah Hindia-Belanda, beliau membawa sepeti koleksi buku pribadinya. Ki
Hajar Dewantara, sejak muda, ketika menimba ilmu di STOVIA, sudah melahap banyak
buku baik di perpustakaan sekolah maupun koleksi milik sahabatnya, Ernest
Douwes Dekker. Haji Agus Salim, sang diplomat yang menguasai sembilan bahasa asing,
dan tokoh-tokoh bangsa lainnya merupakan sosok pejuang sekaligus pembelajar
sejati yang hidupnya tidak pernah jauh dengan buku. Dari kegemaran membaca itulah
kemudian mengalir ide-ide cemerlang dan melahirkan karya-karya berpengaruh.
Sehingga tidak heran mereka membangun pondasi Negara ini dengan bekal
intelektual yang mumpuni.
Berkaca dari para tokoh
bangsa tersebut, agak miris rasanya bila kita melihat fakta rendahnya kemampuan
membaca para pelajar saat ini. Jika kita mengacu pada data PISA 2015, kita patut prihatin dengan kompetensi membaca pelajar Indonesia
yang belum mencapai target rata-rata Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD). Apalagi kita tengah berada di era banjirnya media dan bahan bacaan
seperti sekarang ini. Di sisi lain, kita terus-menerus dituntut berubah. Hadirnya
industri 4.0 mensyaratkan upaya peningkatan kualitas (kompetensi) diri yang
bersifat berkelanjutan, yang tentunya harus ditopang referensi-referensi berkualitas
pula.
Oleh karenanya, program
gerakan literasi (baik gerakan literasi sekolah maupun keluarga) yang
digulirkan pemerintah sudah sepatutnya menjadi prioritas, dalam rangka
membangun generasi literat. Agar program ini bisa mencapai hasil yang maksimal,
diperlukan peran aktif dan massif dari segenap elemen masyarakat. Terutama dari
unit terkecil sebuah Negara, yaitu keluarga. Sebagai bagian dari tripusat
pendidikan, keluarga harus mampu menjadi sarana pencetak generasi literat.
Dalam kaitannya dengan
cerita pembuka di atas, kita bisa belajar bagaimana membentuk pribadi literat
dari lingkungan keluarga. Orang tua Linda memang tidak berupaya secara langsung
mengajar anak-anaknya membaca, tapi mereka berusaha sedemikian rupa untuk merangsang
minat baca anak-anaknya. Sehingga dongeng-dongeng yang disampaikannya menjadi
menarik dan terekam kuat dalam memori Linda. Karenanya, merangsang minat baca
anak sejak dini jauh lebih penting daripada menekankan anak harus bisa membaca.
Ketika minat anak telah tumbuh, maka ia akan merasa butuh dan berupaya untuk memenuhi
hasrat ingin tahunya dengan membaca.
Menumbuhkan minat baca
memang tidak hanya bisa dilakukan dengan mendongeng. Banyak cara lain yang
dapat ditempuh oleh orang tua. Mengajak anak untuk berlibur atau jalan-jalan ke
toko buku, berkunjung ke perpustakaan, menghadiahi prestasi anak dengan buku
bacaaan, bermain dengan media bahan bacaan, mengunjungi festival buku, budaya,
dan museum, merupakan alternatif lain yang dapat diterapkan. Ketika gairah
membaca anak sudah tumbuh, maka tugas orang tua adalah menyediakan bahan dan
media bacaan yang memadai di dalam rumah.
Namun, tentu orang tua juga harus
menjadi model (pembaca) yang baik bagi anak. Banyak orang tua yang hanya
menuntut anak untuk rajin membaca, tapi mereka sendiri enggan melakukan apa
yang diperintahnya. Anak adalah peniru ulung, lebih-lebih pada masa
perkembangan operasional konkret (prasekolah).
Ia suka meniru apa yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Jika orang
tua suka membaca, maka tidaklah sulit bagi anak untuk meniru kebiasaan
tersebut. Dengan demikian, literasi keluarga harus dihidupkan mulai dari orang
tua lalu mengalir ke anggota keluarga lainnya (anak).
Tidak sampai di situ. Tugas
orang tua selanjutnya adalah bagaimana mengontrol bahan bacaan yang baik bagi
anak. Era digitalisasi, disamping memberikan kemudahan mengakses bahan bacaan,
rupanya bisa menjadi bumerang bagi harmonisasi sosial kita. Hari ini kita sama-sama tahu begitu
banyak berseliweran berita bohong (hoax),
fitnah, dan ujaran kebencian (hate speech)
yang membuat para pengguna media sosial dengan begitu mudahnya
saling hujat dan caci.
Fenomena
ini jangan sampai mencuci otak anak-anak kita. Oleh karena itu, orang tua harus
memberikan literasi informasi sejak dini. Literasi informasi tidak hanya
berarti mengajarkan anak tentang bagaimana mengakses dan memeroleh informasi,
tapi yang tak kalah penting adalah bagaimana memanfaatkan informasi yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kita harus ingat bahwa pribadi literat tidak hanya suka
membaca, tapi juga mampu menyeleksi bahan bacaan yang bermanfaat bagi dirinya
dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah literasi hanya
berkaitan dengan aktivitas membaca? Tentu saja tidak. Membaca hanyalah langkah awal
yang sangat penting dalam berliterasi. Jika membaca sudah menjadi kebutuhan, maka
kegiatan literasi seperti menulis, berbicara, mengamati, mengolah informasi,
dan lainnya akan mengikuti. Seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang disebutkan
di atas. Oleh karena itu, minat baca harus ditumbuhkan sejak dini, dan ini mutlak
membutuhkan peran aktif orang tua. Jadi, untuk membangun generasi literat, kita
harus memulainya dari keluarga. Dari keluarga literat, masyarakat literat,
generasi literat, menuju bangsa yang bermartabat. Selamat hari keluarga
nasional 2019.
Lombok
Tengah, 24 Juni 2019.
Marzuki
Wardi, tinggal di Lombok Tengah, NTB.
Hingga saat ini, ia aktif menulis Cerpen, Esai dan Resensi di berbagai media
massa (cetak dan daring).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar