Islam, Radikalisme, dan Tribalisme (Bahasa)
Oleh:
Marzuki Wardi
(Dimuat di SKH Lombok Post, 06 November 2019)
Kata
radikalisme sedang menjadi trending topic akhir-akhir ini. Sejak
menteri Agama Fachrul Razi melempar bola panas ke ruang publik beberapa saat
lalu, hampir semua kalangan tidak mau ketinggalan membicarakan isu radikalisme.
Mulai dari kaum agamais, akademisi, politisi, birokrat, teknokrat, aparat,
hingga rakyat kecil pun turut ambil bagian. Rupanya rencana mengenai larangan
penggunaan cadar, celana cingkrang bagi ASN (di lingkup Kementerian Agama), dan
agenda kontroversial lainnya seakan menimbulkan polemik endemik di tubuh bangsa
Indonesia. Bagaimana tidak, baru saja hubungan emosional antara dua kubu yang berseteru
akibat pilpres dan beberapa isu krusial lainnya berhasil direkat, kini kembali berpotensi
menganga.
Isu
radikalisme memang bukan hanya kali ini mengemuka. Kasus penusukan mantan Menko
Polhukam beberapa saat lalu juga sempat dikait-kaitkan dengan isu radikal. Menko
Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengomentari kasus penusukan Wiranto
tersebut sebagai bukti bahwa radikalisme masih eksis di Indonesia. Presiden
Joko Widodo menyerukan untuk perang melawan radikalisme. Hasil penyelidikan kepolisian
pun menemukan bahwa si pelaku terpapar paham radikalisme.
Beberapa
media memberitakan bahwa si pelaku konon seseroang yang rajin salat berjamaah
dan bertampang islami. Sehingga rencana Menteri Agama di atas juga merupakan reaksi
dari buntut kasus tersebut. Pertanyaannya, kenapa persoalan radikalisme selalu identik
dengan Islam? Seperti apa kriteria atau tolok ukur yang digunakan untuk mengecap
seseorang atau kelompok radikal? Apa makna radikal yang sesungguhnya? Memang,
tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini acap kali kita temukan oknum yang
melakukan kekerasan dengan dalih agama, yang dalam hal ini Islam. Akan tetapi,
hal itu tidak selamanya dapat dijadikan generalisasi bahwa radikal itu identik
dengan Islam. Faktanya banyak tokoh atau kelompok radikal yang jauh dari ciri
islami.
Bila
kita tengok sejarah, para tokoh PKI dulu tidak berpenampilan islami, tapi
mereka sangat keras ingin merombak ideologi negara. Mereka bahkan tidak segan
berlaku anarkis terhadap kelompok yang bertentangan dengan mereka. Peristiwa pada
1964, misalnya, para pemuda palu arit CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia), IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), dan PR (Pemuda Rakyat) yang
mendukung PAPFIAS (Panitia Aksi Penggayangan Film Imperialis Amerika Serikat)
pernah mengobrak-abrik gedung Bioskop Dewi di Bandung, karena menayangkan film
Amerika berjudul Beau Geste.[1] Dan, masih ada lagi beberapa peristiwa
serupa lainnya.
Pun
dari sisi positif, beberapa tokoh bangsa kita dulu juga disebut radikal dan
membahayakan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dan, tidak semua di antara mereka identik
dengan Islam. Ciri khas mereka bahkan lekat dengan budaya setempat (lokal).
Sebut saja Ki Hajar Dewantara, dr. Cipto Mangunkusumo, Tan Malaka, dan beberapa
tokoh bangsa lainnya. Akan tetapi, tentu saja sikap radikal mereka ini tidak
dapat disamakan dengan segelintir pihak yang bertindak inkonstitusional saat
ini. Mereka (para pejuang) menolak dan melawan kebijakan-kebijakan pemerintah
Hindia-Belanda yang tidak pro-rakyat untuk mengangkat martabat bangsa. Mereka memilih
jalan radikal semata-mata untuk memperjuangkan tegaknya Negara Indonesia.
Maksud
saya, saya hanya ingin menyatakan bahwa yang membedakan radikal dengan tidak
radikalnya seseorang atau suatu kelompok adalah pikiran dan tindakannya. Bukan
dinilai dari aspek lahiriah semata seperti gaya pakaian. Seseorang yang tidak
memakai cadar, celana cingkrang, dan atribut serba Islam pun tidak menjadi
jaminan ia bukan dari kelompok radikal. Boleh jadi mereka yang tidak bercirikan
serba Islam juga beridealisme radikal seperti yang saya contohkan di atas.
Lantas,
apa makna kata radikal sesungguhnya? Jika kita tinjau dari segi linguistis,
secara etimologis, kata radikal pada
dasarnya berasal dari bahasa latin, yaitu radix
yang berarti akar. Kemudian dalam bahasa Inggris tidak
jauh berbeda, istilah ini diserap menjadi radical
yang berarti akar, sampai ke akar-akarnya. Dalam KBBI
sendiri, radikal berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip):
perubahan yang mendasar, amat keras menuntut perubahan (undang-undang
pemerintahan), maju dalam berpikir atau bertindak.
Dari
pengertian sederhana di atas, jelas bahwa radikal adalah sebuah kata netral
yang maknanya tidak melekat hanya pada satu kata tertentu. Maka, dalam tataran
ini, siapa pun dia, entah itu pejabat, politikus, aparat, birokrat, dan dari
agama dan kelompok apa pun jika menyelisihi undang-undang, maka ia berhak dicap
radikal. Lebih jauh lagi, Kepala BNPT Suhardi
Alius menyatakan bahwa radikalisme adalah paham yang sudah mengarah kepada
intoleransi, anti Negara Kesatuan Republik Indonesia, anti Pancasila dan paham
yang mengandung takfiri (mengkafirkan orang).[2]
Artinya,
jika penyerangan fisik terhadap seseorang atau pejabat seperti pada kasus
penyerangan Pak Wiranto dijadikan legitimasi paham radikalisme, maka ada
semacam inkonsistensi penggunaan istilah radikalisme. Kata radikalisme yang berkaitan
erat dengan ideologi tentu tidak pas jika dimaknai sebagai penyerangan fisik
secara individu. Kenapa kasus tersebut tidak disebut tindakan anarkis, brutal, kriminal,
atau kata lain yang menunjukkan keajahatan? Sementara, dalam kasus kekerasan
lain, seperti penyerangan yang (maaf) menewaskan beberapa orang di Wamena
beberapa saat lalu misalnya, pihak pemerintah seakan menghindari penggunaan
kata radikal.
Di
sisi lain pula, istilah apa kiranya yang tepat bagi pejabat yang tidak pernah
mendengar aspirasi rakyat dan pakar dalam penyusunan revisi undang-undang? Istilah
apa yang tepat bagi aparat yang bertindak sekehendak mereka terhadap para
pendemo (mahasiswa) beberapa saat lalu, bahkan telah menelan beberapa orang korban
jiwa? Dalam hal ini, para penguasa seolah telah mengakuisisi bahasa (istilah
radikal) untuk melancarkan kepentingan mereka. Mungkinkah penguasa mengeksploitasi
bahasa untuk menutupi berbagai isu-isu lain yang justru lebih urgen untuk
diselesaikan. Kita sepakat menolak radikalisme, tapi tentu dengan cara yang lebih
substantif dan tidak menimbulkan kegaduhan.
Lombok
Tengah, 06 November 2019
Marzuki Wardi, menulis
cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Karya tulisnya tersebar di berbagai media
massa, baik cetak maupun daring, lokal dan nasional. Bermukim di Lombok Tengah,
NTB.
[1] Diambil dari Esai Bahasa karya Remy
Sylado berjudul Anarkhia yang terbit
di Jawa Pos edisi Minggu 06 Oktober 2019, hlm.15.
[2]
Diunduh dari https://nasional.tempo.co/read/1103273/bnpt-dikritik-soal-pemakaian-kata-radikalisme-oleh-sekjen-pbb/full&view=ok,
pada 04 November 2019, pukul 12.14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar