Pentingnya Mengenal Latar Belakang (Psikologis) Siswa
Oleh: Marzuki Wardi
Mengetahui
atau mengenal latar belakang siswa merupakan bagian yang tak kalah penting yang
harus dilakukan oleh guru disamping mengetahui apa yang akan diajarkan kepada
siswa sebelum memasuki kelas. Sebab, dengan mengetahui latar belakang siswa,
kita akan tahu bagaimana harus menyikapi perilakunya, masalah belajar yang
dialami, dan menentukan tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah yang dialami
tersebut. Terutama dalam hal ini ialah latar belakang psikologis siswa, yang
akan menjadi fokus tulisan ini.
Sewaktu duduk
di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dulu, ada seorang guru saya yang sering
mengolok-olok atau mengatai-ngatai siswa ketika tidak mampu menjawab pertanyaan
yang ditujukan padanya. Terutama pada siswa yang tidak menonjol dalam hal prestasi
akademik di kelas. Dengan kepiawaian meniru (bergaya parodi), beliau menirukan raut
wajah siswa ketika melontarkan jawaban yang salah, sehingga si siswa terkesan
demikian bodoh dan konyol.
Kesan lain
yang ditunjukkan ialah seolah-olah beliaulah satu-satunya di dunia orang yang
menguasai mata pelajaran yang diampunya, dan si siswa ialah kebalikannya. Alih-alih
memberikan saran positif agar siswa mampu mejawab soal pada pertemuan
berikutnya, guru tersebut acap kali memberikan saran aneh yang kadang sulit
dicerna akal seusia siswa SMP.
Sampai saat
ini saya ingat betul bagaimana mimik beliau ketika sedang menjalankan aksi
semacam itu. Sehingga sering kali saya bayangkan, jangan-jangan kepribadian
saya sedikit tidak terpengaruh dari percikan-percikan hal semacam itu—meskipun terlalu naif mengatakan kepribadian saya terbentuk dari faktor
eksternal (orang lain). Tapi, maksud saya begini, bayangkan kalau hal itu
dialami oleh seorang anak yang berkepribadian pemalu dan lugu misalnya—termasuk saya sendiri dulu. Bukan tidak mungkin ia akan bertambah
malu dan minder, sehingga ia merasa semakin kaku dan berujung kapok dalam belajar
mata pelajaran tersebut. Bahkan bisa berbuah benci pada guru beserta mata
pelajaran yang diampunya.
Atau,
bagaimana kalau hal itu juga dialami oleh seorang anak underachiever yang sebenarnya punya bakat dan intelegensi tinggi?
Mendapat perlakuan semacam itu tentu akan membuatnya malah semakin malas
belajar dan tidak menghiraukan prestasi akademik lagi. Ia bisa jadi akan
menarik diri dan membentuk dunia sendiri untuk menghindari perasaan terganggu
oleh orang yang justru harus dekat dengan dirinya. Kalau anak yang memiliki
tingkat percaya diri tinggi dan bermental baja mungkin akan menganggap hal itu oke-oke saja, atau katakanlah cuma angin
sore yang lewat saja.
Saya jadi
teringat tulisan Pak Samuel Mulia di surat kabar Kompas beberapa saat lalu.[1]
Beliau pernah mengalami semacam perundungan oleh kepala sekolahnya dulu atas
kebodohannya. Menurut cerita beliau, dirinya bahkan sempat dikatai tak punya otak
seperti ayam. Sejak saat itulah beliau merasa tak perlu punya cita-cita terlalu
tinggi karena menganggap tidak mungkin bisa mencapainya dengan bekal kemampuan
yang dimilikinya.
Kondisi ini
pada dasarnya tidak beliau inginkan, hanya saja beliau kehilangan kepercayaan
diri dan merasa tidak punya kemampuan apa-apa selain kebodohan. Kondisi inilah
yang disebutnya sebagai settle for less. Akan
tetapi, lambat-laun seiring perkembangan (psikologisnya), beliau merasa perlu
untuk menggali potensi yang ada pada dirinya, sehingga pada akhirnya beliau
menemukan jati diri yang sebenarnya. Kabar baiknya, saat ini beliau adalah
seorang penulis tamu yang mengisi kolom Parodi
di SKH Kompas.
Dalam
kaitannya dengan permasalahan di atas, siswa seusia sekolah dasar dan menengah
ialah anak yang (bisa jadi) belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menunjang
prestasi akademiknya. Sebagian besar dari mereka belum punya motivasi dari
dalam diri untuk menguasai suatu pelajaran tertentu. Mereka hanya tahu bahwa
diri mereka datang ke sekolah untuk diberikan pelajaran, dengan alasan menuruti
perintah orang tua (keluarga). Sementara, guru adalah individu dewasa yang
memiliki segudang ilmu dan pengalaman menuntut ilmu. Jadi, membandingkan diri dengan
kondisi siswa yang serba polos merupakan sebuah bentuk arogansi belaka.
Kita sering
kali mendengar seorang guru berkata “siswa A sekarang berubah drastis”, “siswa
B kok semakin susah mendengar omongan”, “siswa C memang luar biasa, tapi siswa
D malah terpuruk”, dan berbagai ungkapan yang bernada menghakimi siswa. Namun, cukup
jarang kita dengar guru mengungkapkan “Bagaimana mengatasi masalah ini?” “Langkah-langkah
apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan motivasi belajar mereka?” Jika
demikian adanya, berarti kita, sebagai seorang guru, lebih fokus pada perilaku negatif
dan kesalahan anak. Sementara, di sisi lain, ketika dia melakukan tindakan
positif, jarang kita mau memujinya.
Jadi, lagi-lagi
menurut saya, sebelum memasuki kelas, kita perlu menanggalkan egoisme (intelektual)
kita. Selain menyiapkan persiapan materi, persiapan mental untuk menhadapi anak
dari sisi psikologis merupakan hal yang sangat perlu dilakukan. Kita harus tanamkan
dalam diri bahwa kita akan berhadapan dengan anak-anak dengan beragam latar
belakang (psikologis). Bahkan dengan beragam suasana emosional pada saat itu:
sedih, susah, murung, ceria, senang, dan sebagainya. Ada yang sedang galau
karena orang tua tidak akur, ada yang sedang tidak mood karena dijauhi teman, ada
yang sedang terpuruk, ada yang ke sekolah setelah ribut-ribut kecil dengan
saudara, dan berbagai masalah emosional lainnya.
Dalam hal kasus di atas (guru saya), tentu
saja saya tidak menganggap beliau punya niat buruk untuk menjatuhkan siswa. Bahkan
hal itu bisa disebut mustahil. Tapi, seorang dokter tentu akan memeriksa dan
mengecek penyakit apa yang diidap oleh pasiennya sebelum menentukan obat apa
yang cocok untuk mengeluarkan penyakit di dalam tubuhnya. Jika tidak, obat yang
diberikan bukan akan menyembuhkan penyakit, malah bisa saja membunuh si pasien.
Kalau dokter melakukan itu untuk menyelamatkan seorang pasien, lantas kenapa guru
tidak bercermin dari peristiwa itu untuk menyelamatkan masa depan bangsa?
Wallahua’lam bissawab
Lombok Tengah, 16 Agutsus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar