Menerawang Masa Depan (Budaya) Bangsa
Melalui Kebijakan Merdeka Belajar
Oleh:
Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Lombok Post pada Senin 07 September 2020 |
Ada
kabar baik bagi dunia perbukuan dan budaya bangsa kita. Beberapa saat yang
lalu, Ketua Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji Laura Prinsloo, menuturkan bahwa
konten Indoenesia akhir-akhir ini semakin diminati di luar negeri. Sementara
ini, konten berupa buku fiksi dan nonfiksi masih menjadi dominasi. Karenanya, ia
menargetkan lebih banyak penerbit yang terlibat dalam Content Con/Week yang
akan digelar pada November 2020 mendatang bersama Frankfurt Book Fairs di Jakarta.
[1]
Pada
bulan Maret 2019 lalu, Indonesia juga menjadi negara tujuan pemasaran (market focus country) pada perhelatan London Books Fair 2019 di London,
Inggris. Terdapat 450 judul buku, 20 penerbit, dan 12 penulis yang hadir pada
ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia itu. Kabar baiknya lagi, promosi warisan budaya bangsa berupa
mode, kuliner, musik, film, dan minuman tradisional mendapat sambutan hangat
publik Inggris pada saat itu. [2]
Saya
merasa tertarik menguliti dan mengurai topik berita ini, karena di sisi lain
isu rendahnya minat baca masyarakat (khususnya siswa) kita akhir-akhir ini
semakin santer dipergunjingkan. Lalu, apakah dengan meningkatnya minat terhadap
konten-konten tersebut bisa menghapus stigma “malas baca” kita, bahkan
mendominasi pasar internasional? Barangkali terdengar sedikit ilusif, tapi
setidaknya kita bisa jadikan isu ini sebagai titik tolak dalam memetakan dan
merancang masa depan (budaya) bangsa kita.
Lembaga-lembaga
pendidikan sebagai penderma ilmu pengetahuan sebenarnya memiliki kedudukan
penting dalam hal ini. Terutama dalam mencetak generasi yang responsif terhadap
peradaban. Kebijakan merdeka belajar yang baru-baru ini dikeluarkan oleh
Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim cukup relevan dalam upaya mendukung
program tersebut secara berkesinambungan.
Merdeka
belajar mengusung semangat pembelajaran yang berorientasi pada proses, bukan hanya
pada hasil berupa angka-angka di atas kertas (sistem rangking). Dengan
memosisikan sebagai subjek, siswa diberikan ruang untuk menggali potensi dan
belajar mengekspresikan diri dan gagasan mereka. Sehingga kemampuan bernalar
mereka akan terasah sejak dini. Ada beberapa alasan logis lainnya kenapa saya
melihat kebijakan “merdeka belajar” ini cukup potensial dalam mendukung program
di atas.
Potensi Melahirkan Penulis Masa Depan
Ditinjau
secara komprehensif, kebijakan ini memiliki implikasi yang cukup luas bagi sistem
pendidikan kita. Tapi, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada soal literasi
dan budaya saja. Substansi salah satu komponen Asesmen Kompetensi Minimum dan
Survei Karakter (AKM) yang menekankan pada kemampuan literasi (bernalar dengan
menggunakan bahasa), secara tidak langsung akan mengarah pada upaya menumbuhkan minat baca siswa
sejak dini.
Perlu
diingat, minat baca masyarakat kita masih dipandang sebagai masalah yang cukup
besar saat ini. Bahkan tidak hanya masalah minat, tapi juga kemampuan memahami
isi bacaan. Indra Charismiadji, seorang pengamat pendidikan Indonesia, menyatakan
bahwa banyak orang Indonesia saat ini sudah mulai suka membaca, tapi masih
kurang dalam memahami apa yang mereka baca. Mengutip Journal of British, ia
menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu gejala komplasensi. Artinya kita
menganggap tidak ada masalah terhadap apa yang dikerjakan, tapi sebenarnya ada masalah
yang dapat menghalangi tujuan. Ia kemudian merujuk hasil tes Program for International Student Assessment
(PISA) untuk memperkuat statmennya.[3]
Namun
bagaimanapun juga, hal ini bukan berarti upaya menumbuhkan minat baca dapat
dikesampingkan. Bahkan, menurut saya, merangsang keinginan untuk membaca lebih penting
dilakukan di usia dini alih-alih menekankan kemampuan memahami isi bacaan. Sebab,
ketika minat anak telah tumbuh, maka ia akan merasa butuh dan berupaya untuk
memenuhi hasrat ingin tahunya dengan membaca. Jika membaca sudah menjadi
kebutuhan dan kebiasaan, daya (kemampuan) baca perlahan-lahan akan terasah. Dan
ini adalah bekal awal yang baik bagi mereka.
Tugas guru kemudian ialah
bagaimana menempa siswa agar mampu mengekspresikan diri, ide, dan pengetahuan
mereka ke dalam bentuk tulisan, sesuai dengan jenjang dan tingkat
intelegensinya. Sehingga seiring perkembangan dan kematangan
intelektual, mereka akan tumbuh menjadi pribadi literat yang pandai menuangkan
gagasannya. Dengan demikian, para penulis masa depan akan terlahir dari rahim pendidikan,
khususnya dari kebijakan merdeka belajar.
Merawat Pendidikan Karakter dan
Budaya Bangsa
Selain
berpotensi melahirkan penulis masa depan, substansi “survei karakter” dalam AKM
juga berimplikasi pada upaya merawat pendidikan karakter anak secara
berkesinambungan (dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas). Pendidikan
karakter memang dilaksanakan secara tersirat atau terintergrasi dalam setiap
mata pelajaran. Dan, karena berupa perilaku, maka ia tidak dapat diukur secara
kuantitatif. Namun, “survei karakter” bisa menjadi reminder bagi pendidik untuk merefleksi sejauh mana upaya menumbuh
kembangkan karakter anak telah dilakukan di setiap jenjang pendidikan.
Ketika
nilai-nilai karakter, seperti karakter gotong royong, toleransi, musyawarah,
kebhinekaan, dan karakter lainnya yang diajarkan di sekolah, sudah terpatri dalam
diri anak, maka ia akan menjadikannya sebagai pola hidup. Dan, ketika setiap
individu menerapkan karakter tersebut dalam kehidupan sosial-masyarakat, maka
ia akan menjelma menjadi budaya. Hal ini mengacu pada pengertian budaya menurut
Koentjoroningrat, bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
miliknya dengan belajar.[4]
Dalam
kaitannya dengan produk-produk budaya yang dikontestasikan di panggung global
di atas, pemerintah hendaknya mengakomodasinya dalam kurikulum sekolah. Tidak hanya
dipelajari secara teoritis—dengan jam pelajaran yang minim—, tapi lebih kepada
pendekatan praktis. Dinas Pendidikan di daerah, sebagai perpanjangan tangan
Kemdikbud, bisa diberdayakan untuk menyelenggarakan beragam agenda kebudayaan,
dengan melibatkan siswa dan guru. Dengan demikian, generasi bangsa tidak akan
kehilangan identitas budayanya sendiri. Mengingat kencangnya gelombang difusi
budaya di era disrupsi ini.
Jadi,
upaya menduniakan produk intelektual dan budaya bangsa perlu didukung oleh
pemerintah melalui sektor pendidikan. Dan, kebijakan “merdeka belajar” yang
baru-baru ini dicanangkan Kemdikbud bisa menjadi kendaraan baru yang dapat mempercepat
lajunya perjalanan menuju terminal masa depan bangsa. Namun demikian, tentu
saja kunci keberhasilan kebijakan tidak terletak pada keistimewaan konsepnya,
melainkan sejauh mana kebijakan tersebut dapat diterapkan. Apalah artinya
kendaraan mewah jika hanya diparkir di dalam garasi. Bukankah begitu?
Lombok
Tengah, ditulis pada 22 Agustus 2020
[1]https://www.antaranews.com/berita/1302426/konten-dari-indonesia-diminati-luar-negeri,
diunduh pada 18 Agustus 2020, pukul 19:57
[2] Surat Kabar Harian Kompas edisi
Senin, 11 Maret 2019.
[3] Hal tersebut disampaiakan pada
forum Indonesia Lawyers Club (ILC) pada tanggal 28 Juli 2020 dengan tema “NU,
Muhammadiyah, dan PGRI Mundur”.
[4] Koentjoronongrat dalam buku Ilmu
Budaya Dasar karya Ramdani Wahyu, hal. 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar