Hujan yang
Mengguyur Hatimu
Oleh: Wardie
Pena
Dimuat di SKH Medan Pos 20 September 2020
Kamu membuang
mata ke luar jendela. Hujan masih saja tampak berguyur deras. Sudah sekian
menit kamu duduk termenung di kursi kerja sore ini. Namun tak banyak hal yang
dapat kamu lakukan. Ujung polpen yang kamu gigit tak terasa nyaris melesung.
Apa yang kamu harapkan sekaligus yang dikhawatirkan selama ini rupanya benar-benar
terjadi.
Bukan. Bukan kamu
takut pulang terlambat atau pun tak bisa pulang karena hujan. Karena semua
orang tahu bahwa kamu mengendarai mobil ke kampus, sehingga kamu bisa pulang
kapan pun tanpa takut terkena basah. Akan tetapi, hujan, selalu saja mampu
mengundang rindumu pada Beni, lelaki desa yang kemudian kamu panggil pawang
hujan itu. Rintik-rintiknya bagai kepingan kenangan yang telah kamu lalui
bersama lelaki itu beberapa tahun silam.
Kamu menghela
napas dalam dan sesekali melirik ke meja kerja yang penuh dengan tumpukan map
milik mahasiswa. Sebenarnya masih banyak pekerjaan yang mesti kamu selesaikan.
Tapi hujan telah merajai pikiran dan tubuhmu untuk melepas segala macam
kesibukan di depan mata.
“Ada beberapa mahasiswa
yang mau konsultasi, Bu.”
Martini,
seorang asistenmu, setengah membuka pintu ruangan. Kedatangannya lantas
membuyarkan lamunanmu. “Kamu ambil saja dan taruh map mereka di atas meja
kerjaku. Bilang, besok sore ambil skripsi mereka,” sahutmu mengarahkan telunjuk
ke luar pintu.
Dengan raut
kecut Martini kemudian keluar dan kembali meletakkan beberapa map warna biru ke
onggokan map sebelumnya.
Kamu kemudian memutar
kursi ke arah semula dan sekarang lebih menempeli jendela ruang kerjamu yang
terletak di lantai tiga. Kembali kamu menghela napas dan memilin ujung rambutmu
yang agak ikal. Kamu baru menyadari bahwa apa yang dilakukan barusan adalah
bukan etika seorang dosen. Suasana hati memang terkadang bisa menuntun seseorang
berbuat diluar kebiasaan. Apalagi kamu masih terbilang cukup muda. Jadi, apa
yang keluar dari mulutmu mudah terbawa emosi.
-***-
Senja itu kamu
tengah duduk di sudut taman desa, menekuri hujan yang tak turun lagi. Dan, kamu
merasa terganggu ketika lelaki bernama Beni yang juga teman sekolahmu saat itu tiba-tiba
menghampiri.
“Hayooo, kamu mikirin
apa?” tegurnya.
Kamu pun lebih
memilih diam.
“Hey?” sahut
lelaki itu lagi mengipas-ngipas telapak tangan yang kemudian diikuti gerakan
matamu naik turun, “kamu lamunin aku, ya?” lanjutnya menggoda.
“Pede banget.
Mau siapa-siapa, bukan urusanmu!” jawabmu ketus. Lalu laki-laki itu dengan
langkah ringan merenggang meninggalkanmu sehingga membuatmu merasa kesal. Mulai
saat itu sebenarnya kamu tahu bahwa dirimu sedang butuh perhatian. Hanya saja
kamu terlalu gengsi untuk mengakui itu. Buktinya kamu memanggilnya.
Lelaki itu
membalikkan badan setelah beberapa meter menyeret kaki, “Lah, tadi aku tanya
kamu jawabnya ketus. Ya sudah…”
“Hey…tunggu. Iya
maaf, aku lagi sedih,” jawabmu singkat. Beni tersenyum puas atas kekalahanmu.
Dan kamu sendiri semakin kesal.
“Boleh kutahu
apa yang membuatmu bersedih hati nona cantik?” rayunya, sebuah rayuan kolot dan
norak di telingamu.
“Kenapa akhir-akhir
ini hujan tak turun lagi?”
Pemuda itu tersenyum
simpul mendengar alasan kesedihanmu. Terdengar sepele memang. Tapi bagi orang
yang menggilai sesuatu dan ketika yang digilainya itu tak di depan mata, pada
saat itulah kerinduan bermula. Dan kerinduan sendiri selalu menyiratkan
kesedihan.
“Kenapa kau
tersenyum?” balikmu dengan perasaan heran dan masih kesal.
“Kamu suka
hujan?”
Kalian seperti
saling tawar menawar pertanyaan.
“Ya,” jawabmu
ketus lantaran pertanyaanmu tak dijawab langsung.
“Sekarang
memang bukan musim hujan, tapi bukan berarti hujan tak bisa turun. Maukah kamu
melihat hujan turun?”
Mulutmu mulai mengembang
senyum mendengar pertanyaan Beni. Tapi kamu masih terdiam. Di satu sisi seolah
tak percaya dengan apa yang didengar telingamu.
“Kenapa kamu
tak mengundangnya saja?” balas Beni.
“Mengundang
hujan? Emang bisa?” Suaramu mulai terdengar antusias.
“Kenapa
tidak?”
“Bagaimana
caranya?”
“Maukah kamu
mengikutiku?”
“Mau.” Senyummu
semakin lebar.
“Tengadahkan
kepalamu ke langit dan tangkuplah mulutmu dengan kedua tangan. Lalu, bukalah
ketika mengeluarkan suara, agar suaramu sampai pada awan.”
“Apa yang akan
kita lakukan?” kamu masih cerewet bertanya.
“Ikuti saja
aku!”
Kamu pun
akhirnya mengikuti apa saja yang dikatakan Beni.
“Sekarang kita
lantunkan syair ini; wahai angin yang baik hati tolong jemputlah awan, wahai
awan yang baik hati tolong jemputlah hujan, wahai hujan yang baik hati aku
merindukanmu, datanglah kemari agar kekasihku tak bersedih lagi. Lalu setelah
itu bersiullah sampai angin terasa menghelai rambutmu.”
Kamu mengikuti
perintahnya dengan baik, tapi sayang kamu tak bisa bersiul. “Syair apa namanya
yang tadi itu?” Kamu justru bertanya.
“Itu syair pengundang
hujan. Ayo coba bersiul lagi, buruan!” serunya.
Lagi, kamu
coba bersiul. Tapi berkali-kali kamu mencoba memonyongkan mulut, tetap saja tak
menghasilkan bunyi siulan. Mulutmu yang mungil hanya bisa menghembuskan angin
lembut.
“Aku tak
bisa,” sambarmu menunjukkan mulut yang masih monyong.
Tawa Beni pun
pecah meihat gelagatmu yang polos.
“Kenapa kau
tertawa?” jengkel.
“Kamu lucu.
Lucu sekali.”
Kamu kesal dan
berpura-pura ngambek, “Kamu ngerjain aku, ya?”
“Tidak.
Tepatnya menghibur kamu,” kata Beni.
“Dasar
menyebalkan,” balasmu dengan raut marah yang dibuat-buat.
Kelakar pun
meledak di antara kalian. Dan, kalian saling kejar-kejaran di antara pepohonan taman
desa. Sore itu hujan tidak turun, tapi setidaknya kesedihanmu hilang. Dan kamu
sendiri tak menyadari bahwa kehadiran Beni mampu mengganti hujan. Bahkan lebih
dari itu, pemuda bermata cerlang itu dapat membuat mulutmu tertawa lebih lebar
daripada tawamu saat hujan turun.
Sejak saat
itu, lambat laun apa yang kamu rasakan kepada Beni berbuah perasaan suka. Kamu
merasa tenang dan bahagia ketika melihatnya. Kamu merasa kehadiran laki-laki
kampung itu mampu menghapus kesedihan atas absennya hujan. Rupanya tanpa kamu
sadari, Beni telah mampu mengganti kehadiran hujan. Hingga akhirnya suatu hari kalian
menjalin hubungan asmara. Kalian saling mencintai satu sama lain.
Akan tetapi
perasaan itu tak berlangsung lama setelah papamu tak mengizinkan kalian walau
sekedar untuk bertemu. Papamu tak suka pada Beni, si lelaki desa berparas rupawan
yang membuatmu selalu ceria ketika hujan tak turun. “Kamu tak bisa mengharapkan
apa-apa dari seorang anak petani, Risty. Ia tak punya masa depan,” ucap papamu suatu
hari.
Kamu begitu
sedih dengn keadaan itu. Akan tetapi kamu tak berani menentang sikap papamu
yang intimidatif. Karena menurutnya, soal pasangan tak bisa ditolerir. Itu menyangkut
masalah kehidupan. Dan karena pacaran merupakan jembatan yang suatu saat dapat mengantar
pada pernikahan, papamu pun sangat khawatir jikalau kalian tetap nekat menjalin
kasih.
Kamu pun
dipindahkan sekolah ke ibu kota, yang pada saat itu kamu baru menginjak kelas
XI SMA. Di sana kamu tinggal bersama nenek, keluarga dari pihak ibumu. Karena
kamu lagi-lagi tak bisa membantah kemauan papa, maka kamu pun menelan keputusan
itu mentah-mentah. Suka tak suka, mau tak mau, kemauan papa harus tetap kamu
turuti.
***
Bibirmu
tersenyum-senyum mengenang syair pengundang hujan yang selalu kamu rapalkan
bersama lelaki kampung yang kemudian kamu panggil pawang hujan itu. Kini kamu
menyadarai bahwa apa yang dirasakan saat ini adalah tak sekedar soal hujan,
sebagaimana yang kamu alami ketika masih belia dulu. Dan, kamu memahami bahwa
cinta tak ubahnya seperti air hujan. Di mana pun kamu berada, selama kakimu masih
berpijak pada tanah, selalu ada kemungkinan hujan turun. Dan, ketika itu
terjadi, selalu saja ia mampu menguap rindu di dinding hatimu.
Tanganmu
meraih tas jinjing yang digeletakkan di atas meja kerja, lalu keluar dan turun
ke lantai satu di mana pintu masuk utama berada di sana. Kamu mendongak. Tak
lama kemudian, kamu memecah hujan dengan tubuhmu yang jenjang dan seksi sambil
merapal syair pengundang hujan persis seperti yang kamu lakukan dulu bersama
lelaki pawang hujan itu. Hujan sore ini tak sekedar mengguyur tubuhmu tapi juga
hatimu, kamu akhirnya menyatu dengannya. Menyatu dengan cintamu.
Lombok Tengah,
04 September 2020.
Wardie Pena, menulis
cerpen, esai, dan resensi buku. Beberapa karyanya sudah dimuat di media lokal
dan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar