Sampah dan
Paradoks Desa Wisata
Oleh: Marzuki
Wardi
Diunduh dari https://communication.binus.ac.id/2019/01/18/buang-sampah-sembarangan-ga-zaman-banget/
Beberapa saat yang lalu, dalam pembukaan acara
desa wisata di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah, wakil gubernur NTB
Hj. Sitti Rohmi Djalilah, menghimbau agar para pegiat dan masyarakat di sekitar
desa wisata untuk memerhatikan sampah. Beliau menegaskan bahwa salah satu kunci
pengembangan desa wisata menjadi maju dan berkembang ialah kebersihannya. “Bicara
indah, Pulau Lombok dan Sumbawa ini dikatakan surga dunia, namun untuk
persoalan sampah dan pengelolaannya masih minim dam tata kelolanya tidak
profesional,” tukasnya.
Pernyataan Bu Wagub di atas saya kira bukan
tanpa landasan. Tentu beliau berbicara berdasarkan data dan fakta di lapangan. Dan,
ungkapan beliau tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa desa wisata yang
sedang marak digaungkan akhir-akhir ini masih menjadi paradoks. Artinya, kita siap
dari segi fisik (objek wisata), tapi belum siap secara mental. Kita punya
banyak destinasi wisata (lokal) yang indah, tapi regulasi yang mengarah pada
perusakan lingkungan seperti pembuangan sampah di sembarang tempat masih
kurang. Jika wisata hanya persoalan keindahan alam, saya kira kita akan
menemukan sebuah kejumudan.
Kenapa saya perlu mengutarakan hal ini? Sebab
sampah memang masih menjadi masalah serius di daerah, bahkan termasuk di negara
kita. Masyarakat kita sering kali tidak peduli dengan kondisi sampah di sekitar
lingkungan. Perilaku kita terhadap sampah belum sepenuhnya merepresentasikan
ajaran yang terdapat dalam agama kita. Di jalanan, di tempat-tempat pelayanan
umum, di tempat ibadah, di rumah sakit, dan tempat-tempat lainnya, acap kali
kita temukan orang dengan begitu entengnya membuang sampah sembarangan. Padahal
sampah mencerminkan kebripadian kita. Dengan kata lain, bagaimana perlakuan
seseorang terhadap sampah merupakan cerminan pola hidupnya.
Di sisi lain, masyarakat memang tidak dapat
sepenuhnya dikambing hitamkan. Edukasi dan pembiasaan pola hidup bersih dan
penanganan sampah di tingkat bawah (masyarakat), semisal dari unit keluarga,
masih sangat minim—meskipun ini masih erat kaitannya dengan persoalan individu.
Namun, percikan-percikan sikap apatis inilah yang terakumulasi menjadi gunung
masalah sampah di daerah kita.
Di Provinsi NTB misalnya, menurut Syamsudin,
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, terdapat 2.695 ton atau 80 persen dari total sampah
tidak terurus dengan baik. Beliau mengakui bahwa volume sampah di sepuluh
kabupaten/kota di NTB mencapai 3.388 ton dan sampah yang dibuang perhari
mencapai 76 ton. Sedangkan, yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
641,92 ton dan yang sudah didaur ulang hanya 51,21 ton perhari.[1]
Berapa persen jumlah yang disumbangkan oleh
dunia pariwisata merupakan hal yang perlu kita pikirkan bersama. Maksud saya,
dalam kaitannya dengan pengembangan wisata, khususnya wisata desa yang saat ini
sedang marak diupayakan oleh banyak pemerintah desa, penanganan sampah sangat
perlu mendapat perhatian khusus. Persoalan sampah seyogiyanya menjadi hal yang
krusial untuk dimasukkan sebagai salah satu dari sekian prasyarat lain dalam
pengembangan wisata.
Pembentukan
Pokdarling
Penanganan sampah memang bukan sepenuhnya
menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah desa. Akan tetapi, sebagai bagian
dari pemerintahan tekecil dalam sebuah negara, setidaknya ia memiliki beban
sistemik dalam mendukung program pemerintah di atasnya, setingkat gubernur
misalnya. Maka, dalam hal ini, pemerintah desa harus mendukung pogram provinsi
bebas sampah (zero waste province)
yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi NTB. Ia memiliki peran penting dalam
membangun kesadaran masyarakat untuk peduli sampah. Bahwa langkah-lagkah
strategis dan konservatif perlu diupayakan mulai dari tingkat bawah. Salah satu
upaya yang bisa diwujudkan ialah dengan membentuk Pokdarling (Kelompok Sadar
Lingkungan) di desa.
Unit
ini nanti bisa mengakomodasi berbagai hal terkait upaya pengelolaan sampah.
Mulai dari pengadaan satu dusun satu TPS (tempat pembuangan sementara) atau
satu gubuk satu TPS misalnya, edukasi
dan pelatihan pengelolaan sampah di masyarakat, daur ulang, dan berbagai
langkah solutif lainnya. Jangan sampai masyarakat hanya ditekankan untuk tidak
membuang sampah sembarangan, sementara mereka tidak difasilitasi untuk
menghindari perilaku tersebut. Jadi, pokdarwis yang sudah terbentuk harus
diimbangi pula dengan semangat pemeliharaan lingkungan melalui pembentukan
pokdarling.
Saya tentu tidak bermaksud menghalau upaya
baik pemerintah (desa) dalam memajukan pariwisata kita. Karena bagaimanapun
juga pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap siklus ekonomi
masyarakat. Akan tetapi, semangat pengembangan wisata desa juga harus dibarengi
dengan memprioritaskan beberapa daya dukung. Salah satunya terkait pengelolaan
sampah di sekitar area wisata. Sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam
industri pariwisata, bukan malah meninggalkan sampah yang dapat menimbulkan
citra buruk. Terlebih daerah kita telah mendapat gelar wisata halal dunia.
Jika objek wisata yang notabene sudah diakui
keindahannya bisa dikomplain hanya karena persoalan sederhana itu, bagaimana
dengan spot wisata lokal yang baru mau dikembangkan dan belum teruji dari segi
popularitas (name branding)? Sekali
lagi, persoalan sampah, baik di area wisata maupun di lingkungan masyarakat,
merupakan satu dari sekian komponen penting lainnya yang perlu mendapat
perhatian serius dalam agenda pengembangan desa wisata, agar kita tidak
menjadi, meminjam istilah Sarie Febriane, seperti lautan cendol: banyak tapi
tidak terkelola dengan baik.[2]
Jadi, kesiapan membangun desa wisata tidak
hanya diukur dari indah atau tidaknya, potensial atau tidaknya sebuah spot wisata yang hendak dikelola, tapi
sejauh mana pemerintah (desa) mengelola lingkungan dan meningkatkan SDM
masyarakat.
Wallahua’lam
bissawab.
Lombok Tengah, 25 Juli 2020.
Marzuki Wardi, menulis
cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Karya tulisnya tersebar di berbagai media
massa, baik cetak maupun daring, lokal dan nasional. Bermukim di Lombok Tengah,
NTB.
[1] https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/19/06/28/ptt8s9348-2695-ton-sampah-di-ntb-tak-terurus,
diunduh pada 23 Oktober 2019 pukul 17:50
[2] Istilah ini diambil dari reportase
wartawan Kompas yang berjudul “Agar kita tidak menjadi cendol” yang dimuat pada
Minggu 25 Agustus 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar