PERAN APBN DALAM MENDUKUNG KEBERLANGSUNGAN
PENDIDIKAN PADA MASA PANDEMI
Oleh: Marzuki Wardi
Diunduh dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/di-desember-2016-rupiah-terapresiasi-pada-4-mata-uang-ini/
Dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19) semakin tak terelakkan. Ia tak
hanya melumpuhkan aktivitas perekonomian, tapi juga aktivitas-aktivitas sosial,
budaya, agama, dan terutama yang akan kita bahas dalam tulisan ini ialah sektor
pendidikan. Pada dasarnya, akan seperti apa generasi bangsa ini ke depan sangat
bergantung pada proses pendidikan saat ini. Karena itu, bagaimanapun juga,
aktivitas pendidikan tidak boleh mangkrak. Ia harus tetap berjalan meskipun
terlunta-lunta.
Tugas lembaga-lembaga pendidikan (sekolah)
saat ini pun menjadi bertambah. Mereka tidak hanya berupaya memenuhi hak
belajar siswa, tapi juga menjamin kesehatan dan keselamatan mereka selama
proses belajar. Karena pertemuan secara langsung atau tatap muka (secara
kolektif) di sekolah belum memungkinkan, maka pola Pembelajaran Jarak Jauh
(PJJ) merupakan satu-satunya pilihan yang tepat. Sejauh ini, ada dua model
pembelajaran yang dikembangkan yaitu pola dalam jaringan (daring) dan luar
jaringan (luring).
Pembelajaran daring dilaksanakan melalui
media internet, baik dengan penugasan
melalui media sosial oleh guru atau dengan mengakses sumber-sumber belajar
seperti rumah belajar di link Kemdikbud,
TV edukasi Kemdikbud, guru berbagi, video pembelajaran, radio edukasi, kelas
daring untuk siswa dan mahasiswa, dan berbagai sumber yang disediakan oleh
Kemdikbud dan platform belajar
digital. Sedangkan, media dan sumber belajar luring dapat melalui televisi
(program belajar TVRI), radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, dan
bahan ajar cetak.[1]
Namun, pada penerapannya, PJJ ternyata
tidaklah sesederhana itu. Berbagai dinamika dan problematika baru kemudian
bermunculan. Dari segi kognisi siswa misalnya, transformasi pola belajar ini
tentu melahirkan metode, gaya, dan teknik belajar baru. Seorang siswa yang tipe
belajarnya audible-visual, dengan
adanya PJJ daring, ia harus beradaptasi dengan pembelajaran tipe audible. Siswa yang tadinya terbiasa belajar
dengan bimbingan atau pengarahan langsung dari guru (direct method), kini harus berupaya belajar lebih mandiri yang
notabene minim pengawalan. Begitu seterusnya. Konsekuensinya, guru pun dituntut
untuk meningkatkan kompetensinya agar mampu mengembangkan materi dan metode
mengajar yang adaptif dengan kondisi tersebut.
Kemudian, dari segi latar belakang ekonomi
keluarga, banyak siswa tidak memiliki fasilitas untuk menunjang PJJ daring. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Wasekjen
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan, PJJ
Fase II ini tidak hanya terkedala listrik, internet, dan biaya. Namun, masih
banyak siswa tidak memiliki gawai pintar secara
pribadi, sehingga mereka tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya
pada siang hari. [2]
Kondisi ini nyaris senada dengan konten
berita di sebuah surat kabar beberapa saat lalu. Dua
bocah kakak beradik di Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, rela menyisihkan
waktunya untuk membantu orang tuanya berjualan agar bisa membeli paket data
internet. Konon, mereka membutuhkan sekitar 140 ribu perbulan untuk membeli
paket data demi menunjang PJJ daring. Mereka bahkan menyempatkan diri
belajar di tengah aktivitas berjualan. Si adik yang masih duduk di bangku
sekolah dasar, terekam kamera wartawan sedang sibuk menuangkan materi pelajaran
hasil jelajahan sang kakak dari internet ke buku tulisnya.[3]
Fenomena ini seakan menjadi
bumerang dan tamparan bagi penyelenggara pendidikan dan pemangku kebijakan.
Digitalisasi yang dipercaya mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup, di
sisi lain, rupanya telah membuka jurang disparitas sosial-ekonomi. Bagaimana
tidak, bagi orang tua siswa yang berlatar belakang ekonomi menengah ke atas,
harga paket data sejumlah itu mungkin saja setara harga bahan bakar mobil mereka
untuk sehari. Tapi, bagi mereka yang hidup serba pas-pasan, belajar seakan
menjelma perhiasan mewah yang harus ditebus mahal untuk mendapatkannya.
Dalam kondisi seperti ini, penerapan belajar
luring yang diharapkan menjadi solusi alternatif acap kali menemukan kejumudan
teknis. Misalnya rasio jumlah guru dan siswa yang terpaut cukup jauh membuat
guru kesulitan dalam penjadwalan tatap muka (home visit), biaya operasional, jarak dan lokasi rumah siswa dengan
guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menyebabkan pembelajaran kurang
efektif.
Carut marutnya manajemen (kelas) pendidikan
seperti ini tentu berpengaruh pada keberhasilan belajar siswa. Heterogenitas
pelaksanaan pembelajaran antar sekolah yang satu dengan yang lain turut menjadi
penyumbang. Secara holistik, capaian tujuan pendidikan nasional, diakui atau
tidak, untuk sementara ini sedikit tertatih-tatih. Oleh karena itu, diperlukan
upaya strategis dan urgen untuk memacu laju program pendidikan di masa pandemi
ini. Beberapa kasus di atas bisa menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam
menentukan arah kebijakan.
Kementerian Keuangan
(Kemenkeu), selaku pengelola keuangan negara, mendapat percikan tanggung jawab
atas kondisi ini. Tapi, pada masa pemulihan ekonomi di tengah pandemi, defisit
anggaran bisa menjadi pertimbangan utama untuk menggelontorkan pembiayaan
program di luar pagu yang sudah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga. Karenanya,
bagaimana menyelesaikan masalah pembiayaan
dengan tetap menjaga neraca ekonomi negara dan siklus ekonomi rakyat, menjadi
tugas berat Kemenkeu saat ini.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sebagai sarana penyaluran dana negara yang disusun secara sistematis dan
komprehensif, menduduki peran sentral dalam hal ini. Melirik fostur APBN tahun 2020, dana pendidikan masuk sebagai sepuluh
terbesar belanja negara dengan jumlah sekitar 36.301,2 miliar rupiah khususnya
melalui Kemdikbud. Secara keseluruhan, dana pendidikan mencapai 20% berdasarkan
komponen anggaran, yaitu sebesar 508.084,5 triliun rupiah.[4] Dari jumlah yang cukup
fantastis tersebut, tentu belum terdapat komponen pembiayaan yang mengarah pada
penyelesaian persoalan pendidikan yang dipaparkan di atas. Karena memang segala
jenis pembiayaan mesti melalui mekanisme perencanaan.
Namun, kebermanfaatan
suatu pembiayaan, menurut saya, tidak hanya diukur dari segi nominal saja, tapi
juga ketepatan momen pembiayaan tersebut digunakan. Itulah esensi pembiayaan
yang tepat sasaran. Sebelum berakhirnya tahun realisasi, kalau memungkinkan,
pembiayaan di sektor pendidikan dapat direalokasikan ke pembiayaan yang
bersifat krusial. Beberapa komponen yang dapat dimasukkan ialah pembiayaan
pendidikan dan latihan guru dalam rangka pengembangan bahan ajar selama PJJ,
bantuan stimulus siswa kurang mampu untuk pengadaan fasilitas menunjang PJJ,
bantuan operasional PJJ luring, pengadaan fasilitas internet di tingkat desa
(melalui transfer dana desa), bantuan guru (khususnya guru non PNS) terdampak
pandemi, dan beberapa komponen lain di luar pembiayaan reguler untuk
melancarkan laju pendidikan.
Kita tidak tahu sampai kapan
kita terperangkap dalam pandemi ini. Karenanya, bekal untuk menjaga
keberlangsungan masa depan bangsa perlu dikelola dengan baik. Salah satu
caranya ialah dengan mereorientasi anggaran dana pendidikan dalam APBN. Dengan
demikian, persoalan-persoalan yang dapat menghambat proses pendidikan di masa
pandemi dapat diatasi, tanpa harus menggemukkan belanja negara.
Lombok Tengah, 8 Agustus
2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar