Selasa, 20 November 2018

Resensi

Mendidik Anak untuk Mencintai Alam
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Cirebon edisi Sabtu, 17 November 2018

Judul                : Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran
Penulis              : Mashdar Zainal
Penerbit            : PT Pustaka Alvabet
Terbit               : Pertama, Maret 2018
Tebal                : 296 Halaman
ISBN               : 978-602-6577-22-1
Percayakah Anda bahwa kepribadian seseorang bisa diukur dari sebatang pohon? Dengan kata lain, bagaimana cara seseorang memperlakukan atau merawat sebatang pohon merupakan cermin kepribadiannya. Jika dia rajin, tekun, sabar, dan optimis dalam merawat pohon miliknya atau yang ditanamnya, maka kemungkinan orang tersebut juga memiliki sikap-sikap itu. Demikianlah prinsip yang dipegang dan dipercayai oleh seorang laki-laki yang bernama Syajari dalam novel ini.
Syajari digambarkan sebagai sosok yang menaruh perhatian besar terhadap dunia pepohonan. Ia sangat menyukai pohon. Bahkan, ketika kecil ia selalu bermain di sekitar pohon-pohon di halaman rumahnya yang terdapat di pedesaan. Hingga ia dewasa dan berumah tangga, kecintaannya terhadap mahkluk hidup tersebut tidak berubah. Itulah yang menjadi alasan kenapa setiap istrinya, Sawitri, melahirkan seorang anak ia selalu menanam pohon di depan rumahnya. Selain itu, ia juga telah berjanji jika Sawitri bisa melahirkan anakkarena setelah setahun menikah Sawitri belum bisa hamilia akan menanam pohon.
Benar saja. Sawitri melahirkan tujuh orang anak, dan nama mereka semua dipakai untuk menamai pohon sesuai dengan urutan kelahiran. Pohon pertama adalah pohon mangga yang kemudian dinamai pohon Sumaiyah: diambil dari nama anak pertama. Kedua, pohon flamboyan yang dinamai Sumitrah. Begitu seterusnya, ada pohon asam dengan nama Subandi, pohon sawo dengan nama Sularsih, pohon salam milik Sukaisih, pohon jamblang milik Sunardi, dan pohon ketapang yaitu milik Sundari.
Tentu saja tujuh pohon di atas tidak hanya sebatas penanda kelahiran. Akan tetapi, Syajari juga meminta anak-anak mereka untuk merawat pohon kelahiran mereka dengan baik. Bahkan, melalui hal itulah ia menanamkan banyak pelajaran hidup. Terutama kepada Subandi, anak ketiga, yang cenderung malas mengurus pohon miliknya. “Bapak menanam pohon asam itu di muka bumi, supaya apa…supaya kau juga tahu terimakasih, bumi telah memberimu tanah, memberimu air, memberimu makan, memberimu udara bersih, bahkan itu tak sebanding kalaupun kau merawat semua pohon di bumi ini” nasihat Syajari pada Subandi (Hal. 125).
Konflik dalam novel ini dihadirkan oleh penulis ketika tujuh bocah tersebut beranjak dewasa. Sebagai anak manusia yang terus tumbuh dan berkembang, mereka tentu berhak memilih jalan hidup masing-masing. Satu persatu anak-anak Sawitri dan Syajari meninggalkan kampung halaman. Nasib mereka pun berbeda-beda. Hanya Sumitrah yang tinggal bersama mereka. Namun, putri keduanya itu mengalami depresi berat bahkan gangguan kejiwaan sejak peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Sehingga Sawitri dan Syajari tetap merasa kesepian. Di saat seperti itulah pohon-pohon kelahiran seakan menjadi obat kerinduan pada tujuh anak mereka.
Salah satu hal yang menarik dari novel ini adalah penulis tidak hanya memosisikan tujuh pohon kelahiran tersebut sebagai objek atau benda mati belaka. Ia juga menghidupkannya sebagaimana layaknya tokoh lain. Dengan kata lain, ia melibatkan mereka ke dalam plot dan konflik. Sehingga menimbulkan gejolak emosional bagi pembaca. Selain itu, banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari karya terbaru Mashdar Zainal ini. Salah satunya, melalui karya sastra ini, kita bisa mendidik anak untuk mencintai alam.
Lombok Tengah, 02 Oktober 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.



Resensi

Membentengi Generasi Bangsa dari Bahaya Hoaks
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Cirebon edisi Sabtu, 3 November 2018

Judul                : Klarifikasi Al-Qur’an atas Berita Hoax
Penulis              : Idnan A Idris
Penerbit            : Elex Media Komputindo
Terbit               : Pertama, 2018
Tebal                : 192 Halaman
ISBN               : 978-602-04-8001-5
Kasus kebohongan yang dilakukan oleh seorang aktivis berinisial RS tak lama ini, sempat mengalihkan jutaan mata masyarakat Indonesia yang tengah berduka atas beberapa musibah yang terjadi di sejumlah daerah. Kerukunan dan persatuan bangsa nyaris menjadi tumbal jika saja tindakan culas tersebut tidak terungkap. Oleh karena itu, keputusan tegas pihak kepolisian untuk menjadikannya sebagai tersangka patut kita apresiasi.
Penindakan kasus berita bohong (hoaks) memang bukanlah yang pertama kali di Negeri ini. Beberapa tahun terakhir polisi telah berhasil membongkar berbagai sindikat penyebar hoaks. Sebut saja kasus Saracen tahun lalu, yang konon memiliki akun media sosial sampai 800.000. Jaringan ini sangat aktif memproduksi dan menebar hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) melalui media sosial. Ada juga penangkapan 18 orang tersangka yang berasal dari beberapa kota dengan kasus serupa pada awal 2018 lalu. Kemudian, tentu masih segar dalam ingatan kita mengenai penangkapan beberapa anggota Muslim Cyber Army (MCA) yang juga dilakukan pada awal tahun ini.
Ditinjau dari sudut pandang mana pun, entah dari segi hukum, sosial maupun agama, perilaku penyebaran hoaks memang tidak dapat dibenarkan. Dalam ajaran Islam khususnya, perbuatan ini sangat dilarang. Allah mengharamkan perbuatan memproduksi atau menyebarkan berita palsu atau hoaks. Tidak hanya itu, pelakunya bahkan diancam mendapat siksa kelak di akhirat.  
Namun, di era kebebasan interaksi dan komunikasi seperti sekarang ini, rasanya agak sulit menghidari kehadiran hoaks. Karena beragam berita dan informasi yang belum kita kenal jelas sumbernya, berseliweran di media sosial. Sehingga kita seringkali terjebak dalam keraguan akan keabsahan berita tersebut. Untuk itu, kita perlu menjadi konsumen media sosial yang cerdas. Jika kita ingin membagikan (share) berita-berita tersebut, perlu kita telusuri keabsahannya dengan teliti. Alquran sebagai pedoman hidup ummat Islam telah mengajarkan kita prinsip atau cara untuk menghadapi persoalan ini.
Pertama, tabayyun, berarti menuntut seorang penerima berita untuk berhati-hati dalam mencari penjelasan, sampai jelas betul keshahihannya, dan jangan tergesa-gesa menerimanya. Hal yang harus kita perhatikan ketika menerima berita adalah memerhatikan siapa yang membawa dan apa konten atau maksud penyebaran berita tersebut. Jika buruk maka tentu kita tidak boleh menyebar luaskannya (hlm. 158).
Prinsip kedua adalah tawaqquf, artinya menahan diri untuk tidak langsung memercayai atau menolak suatu berita. Kaidah ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 36 yang artinya, “Dan jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggung jawaban (hmn. 164).
Ketiga, Tajannub Al-Zhann, yaitu menjauhi asumsi atau prasangka buruk. Dalam Islam, kita dilarang untuk berprasangka buruk. Kita dianjurkan untuk selalu berprasangka baik. Karenanya, dalam merespon berita di dunia maya, kita hendaknya mengedepankan prasangka baik dulu agar tidak terjebak dalam kecerobohan.
 Keempat, melakukan pembinaan dalam tubuh umat Islam sendiri. Artinya pembinaan dalam hal pendidikan, sosial, dan berbagai hal bermanfaat lainnya yang dapat dilakukan di tempat ibadah. Kelima, budaya literasi (Iqra), yakni membaca, meneliti, mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu (berita). Cara ini memungkinkan kita untuk lebih teliti dalam menelusuri konten dan sumber berita yang kita peroleh. Sehingga kita akan mudah mengenal berita tersebut hoaks atau benar. Jika kelima langkah di atas terpenuhi, barulah kita bisa memerangi hoaks (langkah keenam).
Buku ini memiliki cakupan pembahasan yang luas. Hoaks dalam berbagai peristiwa sejarah Islam, pengertian, motif penyebaran, ciri-ciri, dampak, dan solusi menghadapi hoaks terangkum apik dalam buku berjudul Klarifikasi Alquran atas Berita Hoax ini. Dalam rangka membentengi generasi bangsa, khususnya generasi muslim, dari bahaya hoaks, buku ini sangat layak untuk disuguhkan.
Lombok Tengah, 13 Oktober 2018.

Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Hingga saat ini ia bermukim di tanah kelahiran, Lombok Tengah, NTB.

Resensi

Menjadi Pribadi yang Bermanfaat Bagi Orang Lain
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Kabar Madura edisi Kamis, 25 Oktober 2018

Judul                : Guru Kehidupan: Memetik Hikmah, Menebar Maslahah
Penulis              : Agus Salim
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Terbit               : Pertama, 2018
Tebal                : 181 Halaman
ISBN               : 978-602-045-399-6
Pada hakikatnya, kita diciptakan agar menjadi orang yang bermanfaat untuk bumi ini. Terutama kepada sesama manusia. Bahkan, dalam ajaran agama Islam khususnya, kita diperintahkan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “…Allah menolong hambaNya, selama seorang hamba menolong saudaranya…” Oleh karena itu, sebagai pengikut beliau, kita harus menjadikan ajaran beliau sebagai kompas agar selalu dalam koridor menebar kebaikan (manfaat) dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Agus Salim, penulis buku ini, ada beberapa hal yang dapat kita jadikan acuan atau barometer agar kita senantiasa mengamalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW di atas. Pertama, apakah ucapan dan perbuatan yang akan kita lakukan dapat memperkokoh silaturrahmi atau justru akan mencederainya? Kedua, apakah ucapan atau perbuatan yang akan kita lakukan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain ataukah justru akan merugikan? Ketiga, apakah ucapan atau perbuatan yang akan kita lakukan itu benar atau salah, tepat atau justru tidak tepat? (hlm. 27).
Kemudian, berikut upaya yang dapat kita terapkan untuk menjadi orang yang bermanfaat dalam kehidupan sosial. Pertama, memperbaiki diri dan peran diri menjadi lebih baik. Adapun cara memperbaiki diri di sini adalah dengan melakukan perbaikan dengan perbuatan, dan melakukan perbaikan dengan belajar. Kedua, memetik hikmah dari setiap peristiwa. Memetik hikmah berarti mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi. Ketiga, yakin bahwa Allah SWT akan memberikan pertolongan. Kita harus meyakini bahwa Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama ia berbuat kebaikan (hlm. 45).
Ketiga upaya yang diuraikan di atas tentu tidak terlepas dari pedoman ayat suci Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Bahkan, inilah yang membuat buku berjudul Guru Kehidupan: Memetik Hikmah, Menebar Maslahah ini lebih menarik dan sarat akan pelajaran hidup. Jadi, apa yang diuraikan penulis merupakan manifestasi dari dua sumber utama hukum Islam tersebut. Pada bab lain misalnya, Semangat Menjadi Manusia Bermanfaat (hlm. 54). Ia mengutip firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha mengetahui.
Adapun, ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk merealisasikan Ayat di atas agar menjadi manusia bermanfaat. Pertama, bersedekah jariah, yaitu dengan mengeluarkan sebagian harta yang kita peroleh untuk perjuangan di jalan Allah. Kedua, menuntut ilmu yang bermanfaat. Dan terakhir, menyiapkan anak kita dengan memberi bekal ilmu yang baik.
Sebagaimana judulnya, melalui buku ini penulis akan mengajak kita untuk menelusuri berbagai makna dan hikmah yang terjadi dalam setiap etape kehidupan ini. Membaca bab demi bab akan membuat kita merenungi makna hidup yang sesungguhnya. Buku ini sangat layak untuk dijadikan bahan introspeksi diri dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang madani.
Lombok Tengah, 23 September 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.


Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...