Minggu, 25 Oktober 2020

Resensi Buku

 

Totalitas Guru Tentukan Keberhasilan Siswa

Oleh: Marzuki Wardi

(Resensi ini pernah dimuat di SKH Jawa Pos Radar Madura (JPRM) pada 25 Oktober 2020)

Judul               : Guru Aini

Penulis             : Andrea Hirata

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tahun Terbit   : Pertama, Februari 2020

Tebal               : 336 halaman

ISBN               : 978-602-291-686-4

Pada umumnya, orang cerdas dipahami sebagai orang yang memiliki Intelligence Quotient (IQ) tinggi, yang sejauh ini diyakini dipengaruhi oleh faktor gen. Apabila orang tua cerdas, kemungkinan keturunannya juga akan cerdas. Namun, pandangan tersebut akan terbantah ketika membaca novel prekuel “Orang-Orang Biasa” ini. Melalui novel terbarunya ini, Andrea Hirata ingin menunjukkan bahwa setiap orang sejatinya memiliki potensi menjadi manusia cerdas. Meski seseorang tersebut bodoh bahkan bebal sekalipun. Dengan catatan ia harus benar-benar gigih dalam belajar.

Namun demikian, satu hal yang tak dapat dipisahkan di sini ialah peran seorang guru. Guru yang tidak hanya cerdas, tapi tak kenal menyerah dalam mendidik. Guru yang mampu memenuhi apa yang dibutuhkan siswanya dalam rangka menumbuh kembangkan potensi tersebut. Baik itu kesungguhan niat, penguasaan metode, teknik, pendekatan, dan sentuhan emosional yang tulus. Singkatnya, totalitas pengabdian seorang guru dalam mendidik sangat mendukung keberhasilan belajar anak.

Potret seperti itulah yang ditunjukkan sosok Guru Desi Istiqomah dan Aini. Bu Desi ialah guru matematika super cerdas dan idealis di sebuah SMA di Belantik. Sementara, Aini adalah seorang siswa bodoh dan berlatar belakang keluarga miskin. Ia bahkan  dikategorikan bebal, khususnya dalam pelajaran matematika. Selain bebal, Aini pada mulanya tidak suka pelajaran matematika. Namun, ia berubah drastis sejak ayahnya mengalami sakit aneh yang konon hanya bisa diobati dengan ilmu kedokteran. Sejak itulah Aini bercita-cita menjadi dokter ahli, dan memutuskan untuk pindah ke kelas yang diampu Bu Desi.

Berbagai macam metode, pendekatan, dan teknik pun diterapkan Bu Desi untuk membangkitkan kemampuan Aini dalam pelajran matematika. Tapi, toh, selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, tidak juga membuahkan hasil. Aini, anak Dinah yang juga pernah diajarinya itu tidak menujukkan peningkatan hasil belajar sama sekali. Tak ayal, perasaan bosan, jenuh, marah, jengkel, sesal, dan berbagai perasaan negatif lainnya merundung Bu Desi. Tapi, ia harus tetap bertahan, karena pernah berjanji bahwa dirinya harus menemukan siswa cerdas di sekolah itu.

Sadar bahwa kecerdasan seseorang tidak selamanya bisa dibentuk dengan cara yang sama dengan orang lain, Bu Desi pun menempuh cara lain. Ia mengadopsi metode dalam buku The Principle of Calculus, yang merupakan buku andalannya sewaktu kuliah dulu. Perjuangan Bu Desi pun berujung manis ketika Aini pada akhirnya menjelma menjadi siswa cerdas dalam matematika. Bahkan, ia termasuk lulusan terbaik di sekolah itu. Tapi, apakah bekal itu mampu mewujudkan cita-cita Aini masuk ke fakultas kedokteran?

Ditilik dari ending cerita, novel ini sebenarnya tidak sekadar menggambarkan pengabdian sosok seorang guru, dan tekad seorang siswa dalam mengejar mimpinya. Novel ini merupakan satire terhadap ketimpangan sistem pendidikan kita yang acap kali mengebiri hak kaum proletar. Apa artinya kecerdasan jika, toh, ujung-ujungnya anak cerdas seperti Aini tidak diberi kesempatan untuk mewujudkan mimpinya? Meskpun ia lulus tes seleksi, tapi tetap saja tidak dapat berstatus mahasiswa karena ia tidak mampu membayar biaya daftar ulang yang jumlahnya sangat fantastis bagi seorang anak pedagang kaki lima sepertinya.

Satire ini terutama lebih ditonjolkan pada sekuel lanjutan “Orang-Orang Biasa”. Sebagaimana gaya tutur khas Pak Cik Ikal pada novel-novel lainnya, novel “Guru Aini” masih menjadi suguhan bacaan yang mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Namun, yang tak kalah penting untuk direnungi, bagi saya, ialah pesan mendalam yang disampaikan oleh penulis. Bahwa setiap orang sejatinya memiliki potensi besar di dalam dirinya. Dan itu perlu ditemukan dan ditempa sejak dini.

 

Lombok Tengah, ditulis pada 27 September 2020

 

 

 

Sabtu, 10 Oktober 2020

Opini

 

PERAN APBN DALAM MENDUKUNG KEBERLANGSUNGAN PENDIDIKAN PADA MASA PANDEMI

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/di-desember-2016-rupiah-terapresiasi-pada-4-mata-uang-ini/


Dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19) semakin tak terelakkan. Ia tak hanya melumpuhkan aktivitas perekonomian, tapi juga aktivitas-aktivitas sosial, budaya, agama, dan terutama yang akan kita bahas dalam tulisan ini ialah sektor pendidikan. Pada dasarnya, akan seperti apa generasi bangsa ini ke depan sangat bergantung pada proses pendidikan saat ini. Karena itu, bagaimanapun juga, aktivitas pendidikan tidak boleh mangkrak. Ia harus tetap berjalan meskipun terlunta-lunta.

Tugas lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) saat ini pun menjadi bertambah. Mereka tidak hanya berupaya memenuhi hak belajar siswa, tapi juga menjamin kesehatan dan keselamatan mereka selama proses belajar. Karena pertemuan secara langsung atau tatap muka (secara kolektif) di sekolah belum memungkinkan, maka pola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan satu-satunya pilihan yang tepat. Sejauh ini, ada dua model pembelajaran yang dikembangkan yaitu pola dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).

Pembelajaran daring dilaksanakan melalui media internet, baik dengan penugasan melalui media sosial oleh guru atau dengan mengakses sumber-sumber belajar seperti rumah belajar di link Kemdikbud, TV edukasi Kemdikbud, guru berbagi, video pembelajaran, radio edukasi, kelas daring untuk siswa dan mahasiswa, dan berbagai sumber yang disediakan oleh Kemdikbud dan platform belajar digital. Sedangkan, media dan sumber belajar luring dapat melalui televisi (program belajar TVRI), radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, dan bahan ajar cetak.[1]

Namun, pada penerapannya, PJJ ternyata tidaklah sesederhana itu. Berbagai dinamika dan problematika baru kemudian bermunculan. Dari segi kognisi siswa misalnya, transformasi pola belajar ini tentu melahirkan metode, gaya, dan teknik belajar baru. Seorang siswa yang tipe belajarnya audible-visual, dengan adanya PJJ daring, ia harus beradaptasi dengan pembelajaran tipe audible. Siswa yang tadinya terbiasa belajar dengan bimbingan atau pengarahan langsung dari guru (direct method), kini harus berupaya belajar lebih mandiri yang notabene minim pengawalan. Begitu seterusnya. Konsekuensinya, guru pun dituntut untuk meningkatkan kompetensinya agar mampu mengembangkan materi dan metode mengajar yang adaptif dengan kondisi tersebut.

Kemudian, dari segi latar belakang ekonomi keluarga, banyak siswa tidak memiliki fasilitas untuk menunjang PJJ daring. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan, PJJ Fase II ini tidak hanya terkedala listrik, internet, dan biaya. Namun, masih banyak siswa tidak memiliki gawai pintar secara pribadi, sehingga mereka tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya pada siang hari. [2]

Kondisi ini nyaris senada dengan konten berita di sebuah surat kabar beberapa saat lalu. Dua bocah kakak beradik di Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, rela menyisihkan waktunya untuk membantu orang tuanya berjualan agar bisa membeli paket data internet. Konon, mereka membutuhkan sekitar 140 ribu perbulan untuk membeli paket data demi menunjang PJJ daring. Mereka bahkan menyempatkan diri belajar di tengah aktivitas berjualan. Si adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar, terekam kamera wartawan sedang sibuk menuangkan materi pelajaran hasil jelajahan sang kakak dari internet ke buku tulisnya.[3]

Fenomena ini seakan menjadi bumerang dan tamparan bagi penyelenggara pendidikan dan pemangku kebijakan. Digitalisasi yang dipercaya mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup, di sisi lain, rupanya telah membuka jurang disparitas sosial-ekonomi. Bagaimana tidak, bagi orang tua siswa yang berlatar belakang ekonomi menengah ke atas, harga paket data sejumlah itu mungkin saja setara harga bahan bakar mobil mereka untuk sehari. Tapi, bagi mereka yang hidup serba pas-pasan, belajar seakan menjelma perhiasan mewah yang harus ditebus mahal untuk mendapatkannya.

Dalam kondisi seperti ini, penerapan belajar luring yang diharapkan menjadi solusi alternatif acap kali menemukan kejumudan teknis. Misalnya rasio jumlah guru dan siswa yang terpaut cukup jauh membuat guru kesulitan dalam penjadwalan tatap muka (home visit), biaya operasional, jarak dan lokasi rumah siswa dengan guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menyebabkan pembelajaran kurang efektif.

Carut marutnya manajemen (kelas) pendidikan seperti ini tentu berpengaruh pada keberhasilan belajar siswa. Heterogenitas pelaksanaan pembelajaran antar sekolah yang satu dengan yang lain turut menjadi penyumbang. Secara holistik, capaian tujuan pendidikan nasional, diakui atau tidak, untuk sementara ini sedikit tertatih-tatih. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis dan urgen untuk memacu laju program pendidikan di masa pandemi ini. Beberapa kasus di atas bisa menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu), selaku pengelola keuangan negara, mendapat percikan tanggung jawab atas kondisi ini. Tapi, pada masa pemulihan ekonomi di tengah pandemi, defisit anggaran bisa menjadi pertimbangan utama untuk menggelontorkan pembiayaan program di luar pagu yang sudah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga. Karenanya, bagaimana menyelesaikan masalah pembiayaan dengan tetap menjaga neraca ekonomi negara dan siklus ekonomi rakyat, menjadi tugas berat Kemenkeu saat ini.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sarana penyaluran dana negara yang disusun secara sistematis dan komprehensif, menduduki peran sentral dalam hal ini. Melirik fostur APBN tahun 2020, dana pendidikan masuk sebagai sepuluh terbesar belanja negara dengan jumlah sekitar 36.301,2 miliar rupiah khususnya melalui Kemdikbud. Secara keseluruhan, dana pendidikan mencapai 20% berdasarkan komponen anggaran, yaitu sebesar 508.084,5 triliun rupiah.[4] Dari jumlah yang cukup fantastis tersebut, tentu belum terdapat komponen pembiayaan yang mengarah pada penyelesaian persoalan pendidikan yang dipaparkan di atas. Karena memang segala jenis pembiayaan mesti melalui mekanisme perencanaan.

Namun, kebermanfaatan suatu pembiayaan, menurut saya, tidak hanya diukur dari segi nominal saja, tapi juga ketepatan momen pembiayaan tersebut digunakan. Itulah esensi pembiayaan yang tepat sasaran. Sebelum berakhirnya tahun realisasi, kalau memungkinkan, pembiayaan di sektor pendidikan dapat direalokasikan ke pembiayaan yang bersifat krusial. Beberapa komponen yang dapat dimasukkan ialah pembiayaan pendidikan dan latihan guru dalam rangka pengembangan bahan ajar selama PJJ, bantuan stimulus siswa kurang mampu untuk pengadaan fasilitas menunjang PJJ, bantuan operasional PJJ luring, pengadaan fasilitas internet di tingkat desa (melalui transfer dana desa), bantuan guru (khususnya guru non PNS) terdampak pandemi, dan beberapa komponen lain di luar pembiayaan reguler untuk melancarkan laju pendidikan.

Kita tidak tahu sampai kapan kita terperangkap dalam pandemi ini. Karenanya, bekal untuk menjaga keberlangsungan masa depan bangsa perlu dikelola dengan baik. Salah satu caranya ialah dengan mereorientasi anggaran dana pendidikan dalam APBN. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang dapat menghambat proses pendidikan di masa pandemi dapat diatasi, tanpa harus menggemukkan belanja negara.

Lombok Tengah, 8 Agustus 2020.

 

 Keterangan: Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Perpustakaan Kemenkeu 2020 bertajuk #Suratcintadariguru

 

 [1] Dikutip dari Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Senin, 05 Oktober 2020

Opini

 

Sampah dan Paradoks Desa Wisata

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari https://communication.binus.ac.id/2019/01/18/buang-sampah-sembarangan-ga-zaman-banget/



Beberapa saat yang lalu, dalam pembukaan acara desa wisata di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah, wakil gubernur NTB Hj. Sitti Rohmi Djalilah, menghimbau agar para pegiat dan masyarakat di sekitar desa wisata untuk memerhatikan sampah. Beliau menegaskan bahwa salah satu kunci pengembangan desa wisata menjadi maju dan berkembang ialah kebersihannya. “Bicara indah, Pulau Lombok dan Sumbawa ini dikatakan surga dunia, namun untuk persoalan sampah dan pengelolaannya masih minim dam tata kelolanya tidak profesional,” tukasnya.

Pernyataan Bu Wagub di atas saya kira bukan tanpa landasan. Tentu beliau berbicara berdasarkan data dan fakta di lapangan. Dan, ungkapan beliau tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa desa wisata yang sedang marak digaungkan akhir-akhir ini masih menjadi paradoks. Artinya, kita siap dari segi fisik (objek wisata), tapi belum siap secara mental. Kita punya banyak destinasi wisata (lokal) yang indah, tapi regulasi yang mengarah pada perusakan lingkungan seperti pembuangan sampah di sembarang tempat masih kurang. Jika wisata hanya persoalan keindahan alam, saya kira kita akan menemukan sebuah kejumudan.

Kenapa saya perlu mengutarakan hal ini? Sebab sampah memang masih menjadi masalah serius di daerah, bahkan termasuk di negara kita. Masyarakat kita sering kali tidak peduli dengan kondisi sampah di sekitar lingkungan. Perilaku kita terhadap sampah belum sepenuhnya merepresentasikan ajaran yang terdapat dalam agama kita. Di jalanan, di tempat-tempat pelayanan umum, di tempat ibadah, di rumah sakit, dan tempat-tempat lainnya, acap kali kita temukan orang dengan begitu entengnya membuang sampah sembarangan. Padahal sampah mencerminkan kebripadian kita. Dengan kata lain, bagaimana perlakuan seseorang terhadap sampah merupakan cerminan pola hidupnya.

Di sisi lain, masyarakat memang tidak dapat sepenuhnya dikambing hitamkan. Edukasi dan pembiasaan pola hidup bersih dan penanganan sampah di tingkat bawah (masyarakat), semisal dari unit keluarga, masih sangat minim—meskipun ini masih erat kaitannya dengan persoalan individu. Namun, percikan-percikan sikap apatis inilah yang terakumulasi menjadi gunung masalah sampah di daerah kita.

Di Provinsi NTB misalnya, menurut Syamsudin, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, terdapat 2.695 ton atau 80 persen dari total sampah tidak terurus dengan baik. Beliau mengakui bahwa volume sampah di sepuluh kabupaten/kota di NTB mencapai 3.388 ton dan sampah yang dibuang perhari mencapai 76 ton. Sedangkan, yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah 641,92 ton dan yang sudah didaur ulang hanya 51,21 ton perhari.[1]

Berapa persen jumlah yang disumbangkan oleh dunia pariwisata merupakan hal yang perlu kita pikirkan bersama. Maksud saya, dalam kaitannya dengan pengembangan wisata, khususnya wisata desa yang saat ini sedang marak diupayakan oleh banyak pemerintah desa, penanganan sampah sangat perlu mendapat perhatian khusus. Persoalan sampah seyogiyanya menjadi hal yang krusial untuk dimasukkan sebagai salah satu dari sekian prasyarat lain dalam pengembangan wisata.

Pembentukan Pokdarling

Penanganan sampah memang bukan sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah desa. Akan tetapi, sebagai bagian dari pemerintahan tekecil dalam sebuah negara, setidaknya ia memiliki beban sistemik dalam mendukung program pemerintah di atasnya, setingkat gubernur misalnya. Maka, dalam hal ini, pemerintah desa harus mendukung pogram provinsi bebas sampah (zero waste province) yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi NTB. Ia memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat untuk peduli sampah. Bahwa langkah-lagkah strategis dan konservatif perlu diupayakan mulai dari tingkat bawah. Salah satu upaya yang bisa diwujudkan ialah dengan membentuk Pokdarling (Kelompok Sadar Lingkungan) di desa.

 Unit ini nanti bisa mengakomodasi berbagai hal terkait upaya pengelolaan sampah. Mulai dari pengadaan satu dusun satu TPS (tempat pembuangan sementara) atau satu gubuk satu TPS misalnya, edukasi dan pelatihan pengelolaan sampah di masyarakat, daur ulang, dan berbagai langkah solutif lainnya. Jangan sampai masyarakat hanya ditekankan untuk tidak membuang sampah sembarangan, sementara mereka tidak difasilitasi untuk menghindari perilaku tersebut. Jadi, pokdarwis yang sudah terbentuk harus diimbangi pula dengan semangat pemeliharaan lingkungan melalui pembentukan pokdarling.

Saya tentu tidak bermaksud menghalau upaya baik pemerintah (desa) dalam memajukan pariwisata kita. Karena bagaimanapun juga pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap siklus ekonomi masyarakat. Akan tetapi, semangat pengembangan wisata desa juga harus dibarengi dengan memprioritaskan beberapa daya dukung. Salah satunya terkait pengelolaan sampah di sekitar area wisata. Sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam industri pariwisata, bukan malah meninggalkan sampah yang dapat menimbulkan citra buruk. Terlebih daerah kita telah mendapat gelar wisata halal dunia.

Jika objek wisata yang notabene sudah diakui keindahannya bisa dikomplain hanya karena persoalan sederhana itu, bagaimana dengan spot wisata lokal yang baru mau dikembangkan dan belum teruji dari segi popularitas (name branding)? Sekali lagi, persoalan sampah, baik di area wisata maupun di lingkungan masyarakat, merupakan satu dari sekian komponen penting lainnya yang perlu mendapat perhatian serius dalam agenda pengembangan desa wisata, agar kita tidak menjadi, meminjam istilah Sarie Febriane, seperti lautan cendol: banyak tapi tidak terkelola dengan baik.[2]

Jadi, kesiapan membangun desa wisata tidak hanya diukur dari indah atau tidaknya, potensial atau tidaknya sebuah spot wisata yang hendak dikelola, tapi sejauh mana pemerintah (desa) mengelola lingkungan dan meningkatkan SDM masyarakat.

Wallahua’lam bissawab.

Lombok Tengah, 25 Juli 2020.

Marzuki Wardi, menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Karya tulisnya tersebar di berbagai media massa, baik cetak maupun daring, lokal dan nasional. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

 

 



[2] Istilah ini diambil dari reportase wartawan Kompas yang berjudul “Agar kita tidak menjadi cendol” yang dimuat pada Minggu 25 Agustus 2019.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...