Selasa, 28 Juni 2022

Esai Pendidikan

 

Honorer Dihapus, Asa Mahasiswa Keguruan Pupus?

Marzuki Wardi

Dimuat di SKH Radar Mandalika Lombok pada 28 Juni 2022


Pegawai Negeri Sipil (PNS) tampaknya masih menjadi profesi yang didewakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Faktanya, setiap rekrutmen CPNS diselenggarakan, pelamarnya selalu saja membeludak. Bagaimana tidak, pekerjaan santai, berseragam rapi, gaji mencukupi, status sosial diakui, dan adanya jaminan hari tua ialah sekelumit gambaran empuknya profesi tersebut. Siapa kiranya yang tidak tergiur? Jadi, tidak mengherankan banyak orang dari sejak masuk kuliah sudah menetapkan cita-cita jadi PNS.

Di satu sisi, keserba enakan tersebut berbanding lurus dengan proses yang demikian rumit untuk mendapatkannya. Untuk mencapai nilai ambang batas (passing grade) pada saat tes saja tidaklah semudah memenangkan kuis iklan produk di televisi. Selain harus menjawab soal-soal yang menguras otak, ketatnya persaingan juga membuat peluang meraih profesi ini bagai menangkap semut hitam di gelapnya malam. Saking ketatnya persaingan, tidak sedikit orang memilih merangkak jadi honorer sejak jauh-jauh hari. Bahkan, mereka rela digaji sekadarnya asal nama bisa terdaftar di instansi terkait.

Betul, ini bukan kabar burung belaka. Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang menjabat kepala sekolah. Konon, banyak sarjana lulusan baru (fresh graduate) rela tidak digaji asalkan namanya bisa masuk sebagai tenaga honorer di sistem (dapodik). Hal seperti ini tentu terjadi karena mereka menganggap honorer seperti sebuah pintu gerbang menuju status PNS. Ketika menyandang status honorer setidaknya mereka sudah berupaya menggedor pintu yang suatu waktu terbuka.

Jujur saja, saya sendiri dulu juga berpikir begitu. Karena memang pada saat kuliah strata satu saya sudah menjadi guru sukarela (honorer) di dua sekolah sekaligus; negeri dan swasta. Sehingga sedari awal saya sudah merencanakan, setelah lulus kuliah nanti, untuk mengikuti program sertfikasi guru melalui sekolah swasta. Kalaupun tidak, saya bisa mendaftarkan nama pada pendataan (data base) di sekolah negeri agar bisa diangkat menjadi guru PNS. Karena, pada saat itu pengangkatan PNS masih melalui jalur pengkategorian; kategori I dan II. Tetapi, karena jumlah jam tidak memenuhi syarat dan mata pelajaran yang saya ampu bukan pelajaran wajib, saya tidak bisa masuk pendataan.

Malangnya, pintu gerbang itu kini ditutup rapat oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permen PANRB) Nomor 20 Tahun 2022 tentang penghapusan honorer. Karena itu, ketika mendengar berita tersebut beberapa hari yang lalu, pikiran saya tidak langsung tertuju pada honorer aktif saat initetapi bukan berarti saya tidak bersimpati. Lebih-lebih setelah menggali informasi dan mencermati peraturan itu labih jauh lagi, mereka akan diusahakan untuk direkrut menjadi ASN secara bertahap melalui jalur PNS dan PPPK sampai November 2023. Pikiran saya justru tersita pada mereka yang kini masih ngampus (duduk di bangku kuliah); bagaimana mereka menyikapi Permen tersebut berkaitan dengan asa mewujdkan cita-cita mereka? Ke mana mereka mau menjajakkan kaki selepas kuliah nanti jika honor pun tak boleh?

Pada suatu kesempatan saya mencoba mewawancarai beberapa mahasiswa jurusan keguruan semester akhir. Saya meminta tanggapan mereka mengenai Permen tersebut. Benar saja, jawaban mereka ternyata tidak jauh dari perkiraan saya. Mereka rata-rata merasa khawatir tidak punya cukup peluang untuk masuk ke instansi atau sekolah negeri setelah lulus kuliah. Mereka merasa prospek kerja di bidang studi yang diambil menjadi kurang cerah. Singkatnya, asa atau cita-cita mereka terganggu dengan informasi tentang Permen itu.

Kekhawatiran mereka tentu merupakan hal yang wajar. Apalagi, persaingan kerja di sektor lain juga demikian ketat. Selain belum begitu pulih akibat hantaman pandemi Covid-19 lalu, banyak peran dan tenaga manusia juga tergantikan dengan teknologi mesin. Sebagaimana dikatakan Prof. Sulistyowati Irianto, pergeseran pekerjaan konvensional besar-besaran terjadi karena diganti oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).[1] Jadi, sempitnya peluang menerapkan ilmu baru yang didapat di bangku kuliah wajar dipersepsi sebagai sebuah momok yang cukup menakutkan.

Saya bisa merasakan apa yang mereka pikirkan ketika mereka mengutarakan harapan. Sewaktu masih duduk di bangku kuliah memang kita cenderung menganggap semua rencana bakal mulus. Lulus dengan IP memuaskan kemudian bekerja sesuai dengan jurusan merupakan bayangan masa depan yang pasti berjalan lancar. Tetapi, bayangan itu lindap manakala kita bergulat dengan realitas dunia kerja yang demikian keras. Karenanya, ketika faktor penghambat skenario itu terdeteksi sejak dini, boleh jadi mereka merasa diintai status pengangguran. Apalagi, pekerjaan berseragam (pegawai) cenderung dianggap pekerjaan ideal kaum terpelajar yang terkadang menjelma bak desakan kultural di tengah masyarakat.

Tentu saja hasil wawancara kasar saya ini tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang memang bukan ditujukan kepada mahasiswa. Untuk apa juga saya ikut-ikutan nimbrung mengurus kebijakan? Memangnya saya ini siapa?  Saya juga tidak bermaksud menggeneralisasi respon segelintir mahasiswa itu sebagai sikap mahasiswa pada umumnya. Hanya saja, respon mereka setidaknya bisa menjadi topik diskusi kami mengenai peluang-peluang penghidupan yang bisa dipilih setelah lulus. Kami bisa bertukar pengalaman dan merancang peta masa depan dalam dunia kerja.

Memang, pemerintah bukan menutup sama sekali peluang bagi sarjana lulusan baru (fresh graduate) untuk menjadi ASN. Peluang itu suatu waktu meski terbuka menyesuaikan dinamika mekanisme rekrutmen kepegawaian. Tetapi, sembari menunggu peluang itu terbuka, mereka bisa menciptakan peluang sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya membentuk lembaga non-formal atau komunitas edu-preneur (bisnis edukasi), sosi-preneur (bisnis berbasis sosial), pengembangan ilmu pengetahuan, pengelolaan lingkungan, dan semacamnya.

Komunitas seperti itu memang tidak murni berorientasi pada penghasilan. Namun, mereka malah bisa mengembangkan program berbasis kepedulian (manusia dan lingkungan). Dengan konsep seperti itu mereka justru bebas menggandeng intansi pemerintah, perusahaan, dan lembaga lain yang menyediakan dana donor atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang memang ditujukan sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial pada masyarakat dan dampak lingkungan. Mereka bisa menjadi mitra dalam rangka menjembatani program lembaga-lembaga tersebut. Dengan begitu, mereka memiliki kiprah yang justru jauh dari pada sekadar menjadi pekerja seragaman.

Satu lagi, sebagai seorang guru, hasil komunikasi dengan para mahasiswa itu setidaknya bisa saya jadikan sebagai bahan renungan dalam memetakan potensi siswa. Sehingga saya dapat memberi bayangan mengenai profesi yang mereka inginkan ke depan. Saya juga bisa memberikan mereka gambaran bahwa bekerja di instansi pemerintah bukanlah standar baku kesuksesan dalam pendidikan. Tentu saja bukan untuk menghalau cita-cita mereka, melainkan untuk menata mindset mereka sejak dini agar lebih terbuka.

Wallahua’lam bissawab

Lombok Tengah, 26 Juni 2022

Marzuki Wardi, selain berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Desa Sisik, Pringgarata, Lombok Tengah, hingga saat ini dia aktif menulis cerpen, esai, resensi buku di berbagai media cetak dan daring. Selain itu, ia juga menulis sejumlah buku di antaranya “5 Langkah Mudah Menyusun Kalimat Bahasa Inggris” “Bocah Penakluk Badai” (Kumpulan Cerita Anak, Intan Pariwara). Naskah buku cerita berbahasa Sasak Silaq Temaen Pekakas masuk sebagai finalis Sayembara Dikbud NTB 2021 dan dibukukan oleh lembaga tersebut. Laki-laki penikmat kalimat ini bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Ia bisa dihubungi di nomor ponsel/WA 08175780736. Facebook https://web.facebook.com/wardie.pena.

 

 



[1] Dikutip dari tulisan Guru Besar Hukum UI Sulistyowati Irianto dengan judul Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0 pada kolom opini Kompas edisi 04 Maret 2019

Rabu, 01 Juni 2022

Esai (Bahasa)

 

Bahasa, Keakraban, dan Kekerabatan dalam Masyarakat Sasak

                                                Oleh: Marzuki Wardi

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 10 Maret 2022


Beberapa saat lalu, perhatian saya sempat tersita pada hasil tangkapan layar (screenshot) yang disebarkan teman-teman di jagat FB. Hasil tangkapan layar tersebut tentang komentar seorang (perempuan muda) penumpang ojek online yang kesal lantaran dipanggil mbak oleh si pengendara ojol (ojek online). Don’t’ call me ‘mbak’. You are in Jkt! Say it ‘non’ or kak’ tulisnya berbahasa Inggris di aplikasi ojol tersebut.

Sontak hal itu memantik berbagai reaksi warganet; dari yang ikut mengomel, mencibir, sampai yang hanya memberi emoticon tertawa tanpa komentar panjang lebar. Saya bisa dibilang termasuk kategori yang terakhir ini. Saya memang tipikal orang yang tidak mudah berkomentar tentang berbagai kehebohan yang terjadi di medsos. Karena apa pun saat ini begitu cepat menjadi viral dan heboh. Namun, karena itu menyangkut persoalan bahasa saya jadi tertarik membahasnya.

Mengenai kata non, saya belum begitu paham konteks penggunaannya dalam peristiwa tutur sehari-hari. Saya hanya pernah mendengarnya di film-film ketika dialog antara seorang pembantu dengan majikannya. Misalnya ketika seorang pembantu tersebut mengatakan, “Maaf non, saya tidak tahu…” atau “Non, mau dibuatin teh atau apa?” sambil membungkuk tanda hormat. Jika situasi tuturnya seperti ini, maka kita bisa melihat fungsi bahasa sebagai pembeda status sosial. Dengan kata lain, si perempuan yang ingin dipanggil non tesebut secara tidak langsung ingin dihormati layaknya seorang atasan.

Sementara, jika ia dipanggil kak, apakah berarti ia ingin dihargai sebagai orang yang lebih tua? Secara leksikal, kak memang berarti panggilan untuk orang yang lebih tua. Tetapi, akhir-akhir ini, dalam ragam percakapan sehari-hari, makna panggilan tersebut sedikit bergeser menjadi panggilan keakraban. Bukan hanya untuk orang yang dari segi usia lebih besar. Singkatnya, dengan panggilan kak si perempuan muda tersebut ingin agar ia dipanggil dengan panggilan akrab. Bukankah mbak juga berarti panggilan yang cukup akrab?

Belakangan, karena penasaran, saya mencoba menelusuri etimologi kata mbak. Menurut seorang pengguna twitter dengan nama akun @sefkelik, kata mbak sudah mulai dipakai pada masa pascakolonial sebagai bentuk peleburan dari polarisasi sebutan nyonya, nyah, non, ndoro.[1] Jika demikian, kata mbak, non, dan kak memiliki fungsi yang sama pada tataran leksikon. Tapi mungkin saja maknanya berbeda secara filosofis. Sehingga menimbulkan kesan yang berbeda jika dipakai pada semua orang.

Dalam ragam tutur bahasa Sasak, kasus seperti ini juga bisa saja bahkan kerap terjadi. Tetapi, jika panggilan tersebut berbeda makna secara leksikal. Misalnya ketika seseorang yang mestinya dipanggil kak dari segi usia, tapi ia justru dipanggil saiq (bibi), maka wajar si perempuan muda tersebut merasa tersinggung. Lebih-lebih jika mitra tutur belum dikenalinya, dan bukan dalam kondisi bergurau.

Ini kondisinya masih dalam konteks panggilan keakraban, bukan kekerabatan. Masalahnya akan lebih runyam jika kasusnya dalam konteks kekerabatan. Contoh jika seorang anak memanggil saiq pada kakak kandung atau sepupu dari ayah-ibunya, maka ia bisa dicap tak tahu base (bahasa). Bahkan, ini mengindikasikan kerenggangan hubungan kerabat jika konteksnya pada keluarga jauh. Orang tua bisa dianggap tidak mengenalkan kerabat pada anak dengan baik, sehingga ia tidak bisa membedakan panggilan kekerabatan. Sebab, kita tahu panggilan yang tepat untuk posisi itu ialah inaq atau inaq kake, yang dalam bahasa Indonesia setara dengan tante. Sementara, saiq adalah untuk adik dari ayah-ibu. Begitu seterusnya dengan panggilan kerabat lainnya.

Kata base dalam bahasa Sasak juga sering dipakai secara spesifik untuk menanyakan hubungan keluarga. Seperti yang saya terjemahkan secara leterlek berikut; ape basem leq Andi (apa bahasamu pada Andi)? Basen ape Tina leq Andi (apa bahasanya Tina pada Andi)? Dua pertanyaan ini tentu bukan menanyakan bahasa yang dipakai oleh saya dan Andi, dan Tina dengan Andi. Melainkan, menanyakan status hubungan keluarga saya pada Andi, dan Tina pada Andi. Maka, jawabanya juga pasti diawali dengan kata base; basek kakak pisaq (bahasaku kakak sepupu), basen kakaq pisaq (bahasanya kakak sepupu), basek ariq pisaq (bahasaku adik sepupu), basen ariq pisaq (bahasanya adik sepupu), baseq tuaq (bahasaku paman), basen tuaq (bahasanya paman), dan hubungan keluarga tertentu.

Dalam bahasa Indonesia, kata bahasa nyaris tidak pernah digunakan untuk menanyakan hubungan kekerabatan. Kita jarang sekali mendengar orang bertanya apa bahasamu pada Andi? Atau sedang bahasa apa kamu sama Andi? Maksud saya, kenapa kegagalan dalam mengenal hubungan keluarga seolah dijadikan indikator kemampuan berbahasa seseorang? Apakah ini mengindikasikan kuatnya keterkaitan kemampuan berbahasa seseorang dengan panggilan kekerabatan? Meskipun ada kemungkinan alternatif pertanyaan apaqm Andi? untuk mengganti pertanyaan tersebut.

Cukup naif memang jika kita memaksa untuk menyeragamkan struktur kalimat di antara dua bahasa yang berbeda. Sebab, sebagaimana kata Berthold Damshauser (ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Jerman), setiap bahasa punya cara tersendiri untuk membahasakan atau menginterpretasi dunia. Dalam hal ini ialah cara menanyakan hubungan kerabat. Tetapi, jika ditilik dari kacamata internal bahasa Sasak, gejala ini tidak bertalian dengan keterampilan atau penguasaan bahasa seseorang dari segi korpus. Namun, lebih kepada faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian istilah-istilah spesifik tertentu. Dengan kata lain, si penutur dituntut untuk menguasai konteks di mana, pada situasi apa, dengan siapa, ia berbicara.

Tidak ada pembeda secara khusus untuk panggilan keakraban dan kekerabatan. Ketika seorang anak mengatakan amaq kake datang (om datang) untuk orang yang semestinya dipanggil kakek tapi di luar hubungan keluarga, maka kemungkinan ia tidak dijustifikasi sebagai anak yang tak tahu base. Sebab, ia hanya berusaha menghadirkan suasana kedekatan emosional (keakraban) dan etiket berbahasa. Namun, beda halnya jika itu terjadi dalam konteks kekerabatan. Si anak akan dicap tak tahu bebase (berbahasa), karena terkesan tak mampu mengenali kerabat dengan baik.

Dengan demikian, masyarakat Sasak, dalam konteks ini, melihat base (bahasa) secara fungsional sebagai alat untuk merekatkan hubungan dengan orang lain di luar keluarga (keakraban) dan kekerabatan yang termanifestasi dalam panggilan kekerabatan tersebut. Tugas orang tua ialah menanamkan pendidikan (bahasa) kepada anak sejak dini agar kerekatan tersebut tetap terjaga.

Lantas, apa hubungan kasus perempuan penumpang ojol di atas dengan base (bahasa) Sasak? Sebetulnya, tidak ada kaitan secara langsung dari segi lingusitik teoritis. Saya hanya membandingkan respon (sikap) si perempuan tersebut dengan penutur bahasa Sasak jika mengalami kasus serupa, yaitu ketidak tepatan dalam memanggil ‘gelar’ seseorang. Dengan kata lain, penutur bahasa Sasak juga akan kesal atau tersinggung jika dipanggil dengan ‘gelar’ atau sebutan yang salah. Dan, persoalan itu akan lebih runyam jika terjadi pada konteks kekeluargaan.

Lombok Tengah, 9 Maret 2022.

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Esai (Bahasa)

 

Menerawang Peluang Bahasa Sasak Dipelajari Khalayak Internasional

Oleh: Marzuki Wardi

Esai ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 24 Februari 2022


Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Lombok sedang gegap gempita menyambut event balap tingkat dunia MotoGP yang tinggal menghitung hari. Bagaimana tidak, dulu kita hanya bisa menyaksikan ajang bergengsi tersebut melalui layar televisi. Kini kita bisa saksikan langsung di depan mata. Betul. Bukan mimpi lagi bagi para penggemar untuk bertatap muka dengan pembalap idolanya. Kalaupun tidak, aroma semaraknya sedikit tidak bisa kita rasai.

Ini tentu saja menambah popularitas pulau Lombok yang memang sudah dikenal dengan keindahan objek wisatanya. Tidak heran, terdapat lonjakan drastis wisatawan sejak digelarnya WSBK pada November 2021 lalu. Data yang dilansir NTB Satu Data, misalnya, angka kunjungan wisatawan baik wisman (wisatawan mancanegara) dan wisnus (wisatawan nusantara) tidak kurang dari 87 ribu pada akhir Desember 2021 lalu.[1] Mande Pariwijaya selaku Head Operational the Mandalika juga memperkirakan jumlah penonton mencapai 160 ribu orang pada ajang balap MotoGP yang akan digelar bulan Maret 2022 itu.[2]

Membanggakan? Tentu saja. Bukan sekadar membanggakan, tapi juga memaslahatkan. Dan, itu tidak hanya bagi pelaku usaha atau industri pariwisata. Tapi siklus perekonomian masyarakat pada umumnya kena imbas. Jadi, tidak berlebihan jika masyarakat Lombok ber-euforia menyambutnya.

Namun, dalam suasana euforia tersebut, saya justru memikirkan hal yang jauh dari topik tersebut. Entah kenapa pikiran liar saya melesat ke hal-hal yang boleh dibilang bersifat ilusif. Misal saja, dari sekian jumlah taksiran penonton atau katakanlah pengunjung barusan, adakah kiranya yang tertarik belajar bahasa Sasak? Ini memang agak absurd, atau mungkin saja ini efek dari euforia itu. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga pikiran terkadang berseliweran begitu saja tanpa diundang. Sebentar, tapi ada baiknya kita terawang dulu, siapa tahu bahasa tuan rumah memang punya potensi itu.

Menurut seorang cendekiawan muslim, Prof. Azyumardi Azra, setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu bahasa untuk dijadikan bahasa internasional; punya banyak penutur, mudah dipelajari, digunakan di banyak negara, negara penuturnya punya stabilitas ekonomi dan politik, dan sikap warga negara terhadap bahasanya.[3] 

Syarat di atas memang untuk bahasa internasional. Meskipun demikian, setidaknya dari situ kita bisa melihat untuk apa seorang warga negara asing mempelajari sebuah bahasa. Dan, baiklah mari kita lihat apakah lima item di atas dimiliki oleh bahasa Sasak yang merupakan salah satu dari sekian ratus bahasa daerah di tanah air ini? Dari segi jumlah penutur, tentu saja ia tidak sebanding dengan bahasa daerah lain dengan jumlah penutur besar. Karena Lombok memang tergolong pulau kecil. Dari segi kompleksitas, meskipun daerah Lombok tidak begitu luas, tapi ia punya khazanah dialek, idiolek, dan logat yang jamak sehingga sedikit menyulitkan bagi pembelajar asing. Begitu juga dengan syarat ketiga sampai kelima, boleh dikatakan tidak satu pun dimiliki bahasa Sasak.

Lantas potensi apa kira-kira yang dapat menjawab pikiran absurd saya tersebut? Kalau kita cermati aspek lain seperti keunikan kegiatan, upacara, maupun pegelaran budaya Sasak misalnya, para wisatawan pada umumnya memiliki kesan yang mengagumkan. Akan tetapi, apakah itu cukup menguatkan tekad mereka untuk mempelajari bahasa Sasak? Saya pikir ini mungkin saja terjadi. Bisa saja keinginan untuk memahami lebih jauh berangkat dari ketertarikan mereka, dan menjadi medium untuk memahami budaya itu satu-satunya ialah bahasa.

Namun, rata-rata para wisatawan tidak tinggal dalam jangka waktu yang lama sehingga memerlukan interaksi atau komunikasi intens dengan masyarakat sekitar. Kalaupun ya, mereka bisa saja menggunakan jasa pemandu wisata. Saya rasa begitu juga adanya dengan penonton MotoGP yang diprediksi membeludak itu.

Lagi pula, ada bahasa Indonesia yang lebih akomodatif untuk berbagai keperluan komunikasi interaksional maupun transaksional. Kantor Bahasa sebagai lembaga fungsional Kemdikbud di wilayah Provinsi NTB, misalnya, telah merintis materi bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) sejak 2008. Materinya mencakup konteks muatan lokal seperti sosial budaya, adat, seni, kerajinan, agama, serta mitos atau legenda masyarakat NTB.[4] Artinya, kalau ada wisman yang berkeinginan mengetahui wawasan lokal dan nusantara, belajar bahasa Indonesia akan cukup menjawab keingin tahuan mereka terhadap khazanah budaya Sasak. Disamping itu, jauh lebih sederhana mempelajari satu bahasa yang bisa digunakan untuk semua kepentingan selama tinggal di tanah nusantara.

Kemudian, jika bahasa Sasak digunakan sebagai pengantar untuk menyambut tamu wisman di hotel atau di tempat wisata, rasanya agak meruwetkan karena harus diterjemah minimal ke dalam bahasa Inggris. Jangankan bahasa Sasak, bahasa Indonesia pun sangat jarang digunakan untuk keperluan itu. Seorang teman saya yang bekerja di sebuah hotel berbintang pernah saya tanya mengenai hal ini. Katanya, itu adalah hal yang sulit untuk diwujudkan, karena memang tamu rata-rata tidak paham bahasa Indonesia. Padahal, bisa saja dengan menggunakan dwibahasa; Inggris-Indonesia.

Bercermin dari kondisi ini, maka wajar bahasa Indonesia terkesan berlutut di hadapan sang raja bahasa (Inggris). Lihat saja pada hal-hal lain seperti penulisan papan nama, baliho, nama rumah makan, menu masakan, petunjuk arah, hingga buku panduan wisata pun terkesan begitu kental dengan istilah asing atau bahasa Inggris. Di sisi lain, ini adalah hal yang wajar. Pasalnya, semua itu bisa dikatakan sebagai upaya memudahkan raja yang berkunjung ke rumah kita. Lagi pula, memahami bahasa Indonesia bukanlah prasyarat tertentu untuk memasuki Indonesia. Seperti bahasa Inggris yang menjadi prasyarat wajib bagi WNI yang hendak kuliah ke luar negeri, misalnya.

Saya tidak bermaksud mengatakan ini permasalahan yang menohok perhatian kita. Hanya saja ini menunjukkan ketidak siapan komparatif kita dari segi kultural. Dengan demikian, apakah berkah di sektor ekonomi itu bisa juga menjadi berkah bagi bahasa kita, khususnya bahasa Sasak? Secara teoritis kita bisa saja menyimpulkan mustahil. Tapi, pada pratiknya tidak menutup kemungkinan ada segelintir yang tertarik untuk mempelajarinya. Mengingat beberapa saat lalu, saya sempat kaget sekaligus takjub setelah membaca berita seorang warga negara Amerika bernama Andrew Friend berhasil menyusun kamus bahasa Sasak-Indonesia-Inggris setelah beberapa lama tinggal di Lombok. Ide menyusun kamus itu konon bermula sejak ia melihat potensi objek wisata Lombok yang demikian menarik.[5]  

Jadi, ringkasnya, peluang itu saya kira tetap ada meskipun persentasenya sangat kecil. Karena minat dan ketertarikan seseorang belum dapat kita pastikan. Lebih tepatnya, barangkali diperlukan sebuah survei untuk menaksirnya. Apakah Anda setuju?

Lombok Tengah, 20 Februari 2022

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Selain mengisi waktu sebagai seorang guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, ia juga menikmati hari-harinya dengan membaca buku dan koran. Tulisannya berupa cerpen, esai, dan resensi buku sudah tersebar di berbagai media cetak dan daring.



[3] Surat Kabar Harian (SKH) Kompas edisi Sabtu 23 November 2019

[4] Artikel Materi Ajar BIPA Konteks Lokal (Sasak). Diterbitkan pada Oktober 2012

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...