Rabu, 01 Juni 2022

Esai (Bahasa)

 

Bahasa, Keakraban, dan Kekerabatan dalam Masyarakat Sasak

                                                Oleh: Marzuki Wardi

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 10 Maret 2022


Beberapa saat lalu, perhatian saya sempat tersita pada hasil tangkapan layar (screenshot) yang disebarkan teman-teman di jagat FB. Hasil tangkapan layar tersebut tentang komentar seorang (perempuan muda) penumpang ojek online yang kesal lantaran dipanggil mbak oleh si pengendara ojol (ojek online). Don’t’ call me ‘mbak’. You are in Jkt! Say it ‘non’ or kak’ tulisnya berbahasa Inggris di aplikasi ojol tersebut.

Sontak hal itu memantik berbagai reaksi warganet; dari yang ikut mengomel, mencibir, sampai yang hanya memberi emoticon tertawa tanpa komentar panjang lebar. Saya bisa dibilang termasuk kategori yang terakhir ini. Saya memang tipikal orang yang tidak mudah berkomentar tentang berbagai kehebohan yang terjadi di medsos. Karena apa pun saat ini begitu cepat menjadi viral dan heboh. Namun, karena itu menyangkut persoalan bahasa saya jadi tertarik membahasnya.

Mengenai kata non, saya belum begitu paham konteks penggunaannya dalam peristiwa tutur sehari-hari. Saya hanya pernah mendengarnya di film-film ketika dialog antara seorang pembantu dengan majikannya. Misalnya ketika seorang pembantu tersebut mengatakan, “Maaf non, saya tidak tahu…” atau “Non, mau dibuatin teh atau apa?” sambil membungkuk tanda hormat. Jika situasi tuturnya seperti ini, maka kita bisa melihat fungsi bahasa sebagai pembeda status sosial. Dengan kata lain, si perempuan yang ingin dipanggil non tesebut secara tidak langsung ingin dihormati layaknya seorang atasan.

Sementara, jika ia dipanggil kak, apakah berarti ia ingin dihargai sebagai orang yang lebih tua? Secara leksikal, kak memang berarti panggilan untuk orang yang lebih tua. Tetapi, akhir-akhir ini, dalam ragam percakapan sehari-hari, makna panggilan tersebut sedikit bergeser menjadi panggilan keakraban. Bukan hanya untuk orang yang dari segi usia lebih besar. Singkatnya, dengan panggilan kak si perempuan muda tersebut ingin agar ia dipanggil dengan panggilan akrab. Bukankah mbak juga berarti panggilan yang cukup akrab?

Belakangan, karena penasaran, saya mencoba menelusuri etimologi kata mbak. Menurut seorang pengguna twitter dengan nama akun @sefkelik, kata mbak sudah mulai dipakai pada masa pascakolonial sebagai bentuk peleburan dari polarisasi sebutan nyonya, nyah, non, ndoro.[1] Jika demikian, kata mbak, non, dan kak memiliki fungsi yang sama pada tataran leksikon. Tapi mungkin saja maknanya berbeda secara filosofis. Sehingga menimbulkan kesan yang berbeda jika dipakai pada semua orang.

Dalam ragam tutur bahasa Sasak, kasus seperti ini juga bisa saja bahkan kerap terjadi. Tetapi, jika panggilan tersebut berbeda makna secara leksikal. Misalnya ketika seseorang yang mestinya dipanggil kak dari segi usia, tapi ia justru dipanggil saiq (bibi), maka wajar si perempuan muda tersebut merasa tersinggung. Lebih-lebih jika mitra tutur belum dikenalinya, dan bukan dalam kondisi bergurau.

Ini kondisinya masih dalam konteks panggilan keakraban, bukan kekerabatan. Masalahnya akan lebih runyam jika kasusnya dalam konteks kekerabatan. Contoh jika seorang anak memanggil saiq pada kakak kandung atau sepupu dari ayah-ibunya, maka ia bisa dicap tak tahu base (bahasa). Bahkan, ini mengindikasikan kerenggangan hubungan kerabat jika konteksnya pada keluarga jauh. Orang tua bisa dianggap tidak mengenalkan kerabat pada anak dengan baik, sehingga ia tidak bisa membedakan panggilan kekerabatan. Sebab, kita tahu panggilan yang tepat untuk posisi itu ialah inaq atau inaq kake, yang dalam bahasa Indonesia setara dengan tante. Sementara, saiq adalah untuk adik dari ayah-ibu. Begitu seterusnya dengan panggilan kerabat lainnya.

Kata base dalam bahasa Sasak juga sering dipakai secara spesifik untuk menanyakan hubungan keluarga. Seperti yang saya terjemahkan secara leterlek berikut; ape basem leq Andi (apa bahasamu pada Andi)? Basen ape Tina leq Andi (apa bahasanya Tina pada Andi)? Dua pertanyaan ini tentu bukan menanyakan bahasa yang dipakai oleh saya dan Andi, dan Tina dengan Andi. Melainkan, menanyakan status hubungan keluarga saya pada Andi, dan Tina pada Andi. Maka, jawabanya juga pasti diawali dengan kata base; basek kakak pisaq (bahasaku kakak sepupu), basen kakaq pisaq (bahasanya kakak sepupu), basek ariq pisaq (bahasaku adik sepupu), basen ariq pisaq (bahasanya adik sepupu), baseq tuaq (bahasaku paman), basen tuaq (bahasanya paman), dan hubungan keluarga tertentu.

Dalam bahasa Indonesia, kata bahasa nyaris tidak pernah digunakan untuk menanyakan hubungan kekerabatan. Kita jarang sekali mendengar orang bertanya apa bahasamu pada Andi? Atau sedang bahasa apa kamu sama Andi? Maksud saya, kenapa kegagalan dalam mengenal hubungan keluarga seolah dijadikan indikator kemampuan berbahasa seseorang? Apakah ini mengindikasikan kuatnya keterkaitan kemampuan berbahasa seseorang dengan panggilan kekerabatan? Meskipun ada kemungkinan alternatif pertanyaan apaqm Andi? untuk mengganti pertanyaan tersebut.

Cukup naif memang jika kita memaksa untuk menyeragamkan struktur kalimat di antara dua bahasa yang berbeda. Sebab, sebagaimana kata Berthold Damshauser (ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Jerman), setiap bahasa punya cara tersendiri untuk membahasakan atau menginterpretasi dunia. Dalam hal ini ialah cara menanyakan hubungan kerabat. Tetapi, jika ditilik dari kacamata internal bahasa Sasak, gejala ini tidak bertalian dengan keterampilan atau penguasaan bahasa seseorang dari segi korpus. Namun, lebih kepada faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian istilah-istilah spesifik tertentu. Dengan kata lain, si penutur dituntut untuk menguasai konteks di mana, pada situasi apa, dengan siapa, ia berbicara.

Tidak ada pembeda secara khusus untuk panggilan keakraban dan kekerabatan. Ketika seorang anak mengatakan amaq kake datang (om datang) untuk orang yang semestinya dipanggil kakek tapi di luar hubungan keluarga, maka kemungkinan ia tidak dijustifikasi sebagai anak yang tak tahu base. Sebab, ia hanya berusaha menghadirkan suasana kedekatan emosional (keakraban) dan etiket berbahasa. Namun, beda halnya jika itu terjadi dalam konteks kekerabatan. Si anak akan dicap tak tahu bebase (berbahasa), karena terkesan tak mampu mengenali kerabat dengan baik.

Dengan demikian, masyarakat Sasak, dalam konteks ini, melihat base (bahasa) secara fungsional sebagai alat untuk merekatkan hubungan dengan orang lain di luar keluarga (keakraban) dan kekerabatan yang termanifestasi dalam panggilan kekerabatan tersebut. Tugas orang tua ialah menanamkan pendidikan (bahasa) kepada anak sejak dini agar kerekatan tersebut tetap terjaga.

Lantas, apa hubungan kasus perempuan penumpang ojol di atas dengan base (bahasa) Sasak? Sebetulnya, tidak ada kaitan secara langsung dari segi lingusitik teoritis. Saya hanya membandingkan respon (sikap) si perempuan tersebut dengan penutur bahasa Sasak jika mengalami kasus serupa, yaitu ketidak tepatan dalam memanggil ‘gelar’ seseorang. Dengan kata lain, penutur bahasa Sasak juga akan kesal atau tersinggung jika dipanggil dengan ‘gelar’ atau sebutan yang salah. Dan, persoalan itu akan lebih runyam jika terjadi pada konteks kekeluargaan.

Lombok Tengah, 9 Maret 2022.

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...