Rabu, 01 Juni 2022

Esai (Bahasa)

 

Menerawang Peluang Bahasa Sasak Dipelajari Khalayak Internasional

Oleh: Marzuki Wardi

Esai ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 24 Februari 2022


Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Lombok sedang gegap gempita menyambut event balap tingkat dunia MotoGP yang tinggal menghitung hari. Bagaimana tidak, dulu kita hanya bisa menyaksikan ajang bergengsi tersebut melalui layar televisi. Kini kita bisa saksikan langsung di depan mata. Betul. Bukan mimpi lagi bagi para penggemar untuk bertatap muka dengan pembalap idolanya. Kalaupun tidak, aroma semaraknya sedikit tidak bisa kita rasai.

Ini tentu saja menambah popularitas pulau Lombok yang memang sudah dikenal dengan keindahan objek wisatanya. Tidak heran, terdapat lonjakan drastis wisatawan sejak digelarnya WSBK pada November 2021 lalu. Data yang dilansir NTB Satu Data, misalnya, angka kunjungan wisatawan baik wisman (wisatawan mancanegara) dan wisnus (wisatawan nusantara) tidak kurang dari 87 ribu pada akhir Desember 2021 lalu.[1] Mande Pariwijaya selaku Head Operational the Mandalika juga memperkirakan jumlah penonton mencapai 160 ribu orang pada ajang balap MotoGP yang akan digelar bulan Maret 2022 itu.[2]

Membanggakan? Tentu saja. Bukan sekadar membanggakan, tapi juga memaslahatkan. Dan, itu tidak hanya bagi pelaku usaha atau industri pariwisata. Tapi siklus perekonomian masyarakat pada umumnya kena imbas. Jadi, tidak berlebihan jika masyarakat Lombok ber-euforia menyambutnya.

Namun, dalam suasana euforia tersebut, saya justru memikirkan hal yang jauh dari topik tersebut. Entah kenapa pikiran liar saya melesat ke hal-hal yang boleh dibilang bersifat ilusif. Misal saja, dari sekian jumlah taksiran penonton atau katakanlah pengunjung barusan, adakah kiranya yang tertarik belajar bahasa Sasak? Ini memang agak absurd, atau mungkin saja ini efek dari euforia itu. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga pikiran terkadang berseliweran begitu saja tanpa diundang. Sebentar, tapi ada baiknya kita terawang dulu, siapa tahu bahasa tuan rumah memang punya potensi itu.

Menurut seorang cendekiawan muslim, Prof. Azyumardi Azra, setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu bahasa untuk dijadikan bahasa internasional; punya banyak penutur, mudah dipelajari, digunakan di banyak negara, negara penuturnya punya stabilitas ekonomi dan politik, dan sikap warga negara terhadap bahasanya.[3] 

Syarat di atas memang untuk bahasa internasional. Meskipun demikian, setidaknya dari situ kita bisa melihat untuk apa seorang warga negara asing mempelajari sebuah bahasa. Dan, baiklah mari kita lihat apakah lima item di atas dimiliki oleh bahasa Sasak yang merupakan salah satu dari sekian ratus bahasa daerah di tanah air ini? Dari segi jumlah penutur, tentu saja ia tidak sebanding dengan bahasa daerah lain dengan jumlah penutur besar. Karena Lombok memang tergolong pulau kecil. Dari segi kompleksitas, meskipun daerah Lombok tidak begitu luas, tapi ia punya khazanah dialek, idiolek, dan logat yang jamak sehingga sedikit menyulitkan bagi pembelajar asing. Begitu juga dengan syarat ketiga sampai kelima, boleh dikatakan tidak satu pun dimiliki bahasa Sasak.

Lantas potensi apa kira-kira yang dapat menjawab pikiran absurd saya tersebut? Kalau kita cermati aspek lain seperti keunikan kegiatan, upacara, maupun pegelaran budaya Sasak misalnya, para wisatawan pada umumnya memiliki kesan yang mengagumkan. Akan tetapi, apakah itu cukup menguatkan tekad mereka untuk mempelajari bahasa Sasak? Saya pikir ini mungkin saja terjadi. Bisa saja keinginan untuk memahami lebih jauh berangkat dari ketertarikan mereka, dan menjadi medium untuk memahami budaya itu satu-satunya ialah bahasa.

Namun, rata-rata para wisatawan tidak tinggal dalam jangka waktu yang lama sehingga memerlukan interaksi atau komunikasi intens dengan masyarakat sekitar. Kalaupun ya, mereka bisa saja menggunakan jasa pemandu wisata. Saya rasa begitu juga adanya dengan penonton MotoGP yang diprediksi membeludak itu.

Lagi pula, ada bahasa Indonesia yang lebih akomodatif untuk berbagai keperluan komunikasi interaksional maupun transaksional. Kantor Bahasa sebagai lembaga fungsional Kemdikbud di wilayah Provinsi NTB, misalnya, telah merintis materi bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) sejak 2008. Materinya mencakup konteks muatan lokal seperti sosial budaya, adat, seni, kerajinan, agama, serta mitos atau legenda masyarakat NTB.[4] Artinya, kalau ada wisman yang berkeinginan mengetahui wawasan lokal dan nusantara, belajar bahasa Indonesia akan cukup menjawab keingin tahuan mereka terhadap khazanah budaya Sasak. Disamping itu, jauh lebih sederhana mempelajari satu bahasa yang bisa digunakan untuk semua kepentingan selama tinggal di tanah nusantara.

Kemudian, jika bahasa Sasak digunakan sebagai pengantar untuk menyambut tamu wisman di hotel atau di tempat wisata, rasanya agak meruwetkan karena harus diterjemah minimal ke dalam bahasa Inggris. Jangankan bahasa Sasak, bahasa Indonesia pun sangat jarang digunakan untuk keperluan itu. Seorang teman saya yang bekerja di sebuah hotel berbintang pernah saya tanya mengenai hal ini. Katanya, itu adalah hal yang sulit untuk diwujudkan, karena memang tamu rata-rata tidak paham bahasa Indonesia. Padahal, bisa saja dengan menggunakan dwibahasa; Inggris-Indonesia.

Bercermin dari kondisi ini, maka wajar bahasa Indonesia terkesan berlutut di hadapan sang raja bahasa (Inggris). Lihat saja pada hal-hal lain seperti penulisan papan nama, baliho, nama rumah makan, menu masakan, petunjuk arah, hingga buku panduan wisata pun terkesan begitu kental dengan istilah asing atau bahasa Inggris. Di sisi lain, ini adalah hal yang wajar. Pasalnya, semua itu bisa dikatakan sebagai upaya memudahkan raja yang berkunjung ke rumah kita. Lagi pula, memahami bahasa Indonesia bukanlah prasyarat tertentu untuk memasuki Indonesia. Seperti bahasa Inggris yang menjadi prasyarat wajib bagi WNI yang hendak kuliah ke luar negeri, misalnya.

Saya tidak bermaksud mengatakan ini permasalahan yang menohok perhatian kita. Hanya saja ini menunjukkan ketidak siapan komparatif kita dari segi kultural. Dengan demikian, apakah berkah di sektor ekonomi itu bisa juga menjadi berkah bagi bahasa kita, khususnya bahasa Sasak? Secara teoritis kita bisa saja menyimpulkan mustahil. Tapi, pada pratiknya tidak menutup kemungkinan ada segelintir yang tertarik untuk mempelajarinya. Mengingat beberapa saat lalu, saya sempat kaget sekaligus takjub setelah membaca berita seorang warga negara Amerika bernama Andrew Friend berhasil menyusun kamus bahasa Sasak-Indonesia-Inggris setelah beberapa lama tinggal di Lombok. Ide menyusun kamus itu konon bermula sejak ia melihat potensi objek wisata Lombok yang demikian menarik.[5]  

Jadi, ringkasnya, peluang itu saya kira tetap ada meskipun persentasenya sangat kecil. Karena minat dan ketertarikan seseorang belum dapat kita pastikan. Lebih tepatnya, barangkali diperlukan sebuah survei untuk menaksirnya. Apakah Anda setuju?

Lombok Tengah, 20 Februari 2022

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Selain mengisi waktu sebagai seorang guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, ia juga menikmati hari-harinya dengan membaca buku dan koran. Tulisannya berupa cerpen, esai, dan resensi buku sudah tersebar di berbagai media cetak dan daring.



[3] Surat Kabar Harian (SKH) Kompas edisi Sabtu 23 November 2019

[4] Artikel Materi Ajar BIPA Konteks Lokal (Sasak). Diterbitkan pada Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...