Sabtu, 19 November 2022

Esai Pendidikan

Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala Sekolah Ideal?

(bagian 2)

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber gambar: https://arwiranews.com/kampus/manajerial-kepala-sekolah-dalam-pelaksanaan-pembelajaran-blended-learning-di-era-new-normal/


Beberapa saat lalu, teman-teman Calon Guru Penggerak (selanjutnya disebut CGP) ribut di grup WA Guru Penggerak Kabupaten Lombok Tengah. Sebetulnya bukan ribut, tetapi mereka membincangkan mutasi dan pengangkatan kepala sekolah baru. Konon, ada beberapa kepala sekolah yang tidak memenuhi syarat administratif, seperti tidak adanya sertifikat pendidikan dan latihan (Diklat) calon kepala sekolah dan sejenisnya. Barangkali mereka keberatan, bagaimana bisa seorang yang tidak memenuhi syarat bisa lolos menjadi kepala sekolah? Hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran. Karena rekrutmen kepala sekolah, seperti kita tahu, erat kaitannya dengan dunia politik—meskipun tidak semua dan sepenuhnya begitu.

Masa bodoh! Mana peduli saya dengan hal tersebut. Hanya saja saya cukup tertarik dengan ajakan seorang teman CGP. Saya merasa teman itu seperti seorang peserta uji nyali yang mengangkat tangan, butuh pertolongan. Sebab, ia berkali-kali meminta teman lain untuk ikut berkomentar soal pernyataan salah seorang pejabat atau entah kepala sekolah baru saat itu. Komentar tersebut mengenai tidak adanya jaminan kualitas seorang CGP jika menjadi kepala sekolah. Intinya teman itu merasa geram dan ingin agar teman-teman lain turut membela program yang sedang kami ikuti. Karena itu, saya kemudian membagi link esai saya yang berjudul “Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala Sekolah Ideal?” yang saya tulis di SKH Radar Mandalika pada Januari 2022.

Tentu saja isi esai tersebut mewakili pembelaan saya. Pembelaan seperti ini saya kira lebih intelektual ketimbang komentar di bawah pengaruh emosi. Akan tetapi, perlu saya kabari esai itu ditulis ketika saya masih menjadi lalat di balik jendela.[1] Ya, betul, saya waktu itu belum mengikuti Diklat Guru Penggerak. Jadi, saya hanya menatap program tersebut dari balik jendela (membaca dari modul). Saya mungkin saja melihat dan memahaminya dengan jelas, tetapi saya tidak pernah langsung bisa menyentuh, menghidu aromanya, apalagi langsung melahap dan menyerap gizinya. Sehingga tentu saja tulisan tersebut, saya kira, masih terasa hambar dan tawar. Karena itu, saya menulis esai bagian dua ini untuk membubuhi garam, penyedap rasa, dan bahan lainnya yang saya dapatkan selama mengikuti Diklat CGP.

Jadi, langsung saja, benarkah program Guru Penggerak tidak menjadi jaminan mutu guru jika kelak ia menjabat kepala sekolah? Jika menjamin, apa saja yang dapat menjaminnya? Bagaimana ia bisa menjadi jaminan? Kenapa ia dikatakan dapat menjadi jaminan? Bila kita cermati, materi pada modul CGP sebetulnya secara sistematis sudah mencakup kepemimpinan (sekolah). Tetapi, di sini kita ambil beberapa poin atau materi modul yang mengarah ke pembentukan mental kepemimpian (leadership) yang mana itu dibutuhkan oleh seorang kepala sekolah.

Pertama, coaching untuk supervisi. Sebagaimana kita ketahui supervisi merupakan elemen yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang kepala sekolah harus memiliki kemampuan supervisi yang baik agar bisa memastikan pembelajaran yang dilakukan guru sudah baik atau tidak. Sebab, pembelajaran yang baik adalah hulu keberhasilan sebuah pendidikan. Tetapi, supervisi pada materi ini bukan sekadar kegiatan mengawasi proses pembelajaran yang bersifat administratif dan kaku sebagaimana yang dipahami selama ini. Ia mencakup kegiatan perencanaan, pengawasan, pemberian umpan balik, dan refleksi yang dilakukan secara bersama (kolaboratif) oleh seorang pemimpin dengan guru atau rekan sejawat melalui praktik coaching.

Materi coaching ini melatih kemampuan CGP untuk membantu rekan sejawat mencapai tujuan yang ingin dicapai yang sudah ditetapkannya. Posisi coach dalam hal ini bukan (bermakna) orang yang lebih tinggi, senior (dari segi usia atau jabatan), superior, dan sejenisnya, melainkan berperan sebagai mitra berpikir rekan sejawat dalam mengembangkan potensi dirinya. Ia bukan pencari dan pemberi solusi, melainkan solusi dihasilkan dari kemampuannya menggali potensi coachee[2] dengan pertanyaan-pertanyaan berbobot. Sehingga ia menemukan sendiri solusi dari masalah yang dialaminya dalam proses pembelajaran. 

Kemampuan ini saya kira sangat penting dimiliki seorang kepala sekolah untuk menghindari kekakuan hubungan (profesionalitas) dalam manajemen sekolah. Dengan kemampuan coaching, hubungannya dengan guru lebih koordinatif, positif, solid, dan cair. Dengan begitu, guru akan memiliki keleluasaan untuk mengembangkan diri tanpa merasa ditekan, digurui, dan sejenisnya. Seorang pemimpin yang mampu melejitkan semangat kerja rekan sesama bukankah akan sangat mendukung pengembangan lembaga yang dipimpinnya?

Kedua, Pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin. Seorang kepala sekolah sudah pasti dihadapkan dengan masalah yang kompleks dan beragam. Karenanya, ia dituntut untuk memiliki kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Akan tetapi, apakah hal tersebut cukup mudah? Sering kali masalah yang sama pada situasi berbeda, tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan yang sama. Demikian pula sebaliknya, masalah yang berbeda terkadang bisa saja diselesaikan dengan cara yang sama. Untuk itulah seorang CGP dibekali kejelian dalam mengidentifikasi, menganilisis, dan mengambil keputusan yang tepat melalui paradigma dilema etika agar ia bisa mengambil langkah yang tepat bagi pengembangan sekolah.

Ketiga, pemimpin dalam pengelolaan sumber daya. Selain kemampuan pengembangan sekolah yang bersifat internal, seorang kepala sekolah tentu dituntut menjalin kerja sama dengan pihak lain (luar) untuk mengembangkan program sekolahnya. Materi pada modul 3.2 ini melatih kemampuan CGP dalam mengelola sumber daya untuk mengembangkan program sekolah melalui pendekatakan asset based community development (pengembangan komunitas berbasis asset). Di sini CGP diajak untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memanfaatkan berbagai jenis asset biotik (unsur hidup) dan abiotik (unsur tidak hidup), baik yang terdapat di lingkungan atau di luar sekolah, untuk mengembangkan ekosistem sekolah.

Dengan pendekatan ini, seorang pemimpin akan memiliki keluasan dan keluwesan berpikir, bahwa sebetulnya begitu banyak potensi asset di sekitar kita yang terkadang cenderung diabaikan, tapi justru sangat mendukung jika diberdayakan. Kemampuan untuk menggali, menemukan, dan menyesuaikan asset tersebut dengan kebutuhan sekolah adalah salah satu hal yang ditempa di sini.

Terakhir, pengelolaan program yang berdampak pada murid. Pada modul ini seorang CGP dibekali dengan kemampuan mendorong student agency (kepemimpinan murid) melalui program intra, ko, dan ekstrakurikuler. Dengan pendekatan voice (suara), choice (pilihan), dan ownership (kepemilikan), murid dilibatkan untuk mengembangkan program positif yang diinginkan dan dapat mengasah potensi yang dimilikinya.

Memang, kemampuan ini tidak hanya harus dimiliki oleh kepala sekolah, dalam arti guru juga bisa saja menerapkannya. Tetapi, karena bersinggungan dengan pengembangan program sekolah yang berpihak pada murid, kepala sekolah memiliki peran sangat strategis, mengingat posisi dan kedudukannya secara otoritatif sebagai seorang pemimpin sekolah.

Poin satu sampai empat di atas adalah dukungan secara substansi materi. Sementara, dari segi metodik, pengalaman pembelajaran Program Guru Penggerak jauh lebih komprehensif dari pada program lain. Pada Learning Management System (LMS), misalnya, kegiatan mulai dari diri dan eksplorasi konsep memberi kesempatan pada CGP untuk memahami materi yang akan dipelajari secara mandiri. Kemudian, kegiatan ruang kolaborasi, mengasah kemampuan bekerja sama dan diskusi dengan peserta lain untuk menyamakan persepsi dan pemahaman mengenai materi yang dipelajari sendiri. Dengan bimbingan fasilitator, di sini pemahaman yang sudah terbentuk diperkuat lagi dan selanjutnya dibuktikan dengan tugas demonstrasi kontekstual dan aksi nyata.

Kemudian, pada kegiatan refleksi pada setiap pertemuan dan setiap akhir modul, CGP dilatih untuk me-recall (mengingat ulang) dan menyampaikan kesan materi yang sudah dipelajari. Terakhir, pada kegiatan koneksi antar materi, CGP diminta untuk menyimpulkan dan mengaitkan pemahaman mereka dari modul satu dengan lainnya. Dengan cara inilah program ini memastikan pesertanya sejauh mana ia telah menguasai materi semua modul yang telah dipelajari.

Tidak cukup sampai di situ, bimbingan yang diberikan secara langsung melalui pendampingan individu oleh Pengajar Praktik (PP) memastikan apakah pemahaman yang telah diperoleh sudah diterapkan dan diimbaskan ke rekan guru lain atau tidak, sudah dikomunikasikan dengan kepala sekolah dan warga sekolah lainnya atau tidak. Kemudian hasil pendampingan tersebut diulas dan diperkuat pada kegiatan lokakarya bersama peserta-peserta lainnya.

Dengan demikian, Diklat Guru Penggerak sangat praktis, holistik, dan komprehensif. Sehingga ia akan membentuk pemimpin yang pemikir (inovatif) dan tangguh, bukan pemimpin bermental kasir[3] yang hanya memikirkan kemasukan dan pengeluaran (berpikir monoton dan rigid). Jadi, bagaimana mungkin orang yang tidak pernah mengikuti program ini mengatakan bahwa Program Guru Penggerak tidak bisa menjadi jaminan mutu calon pemimpin? Barangkali maksudnya mengikuti program tersebut tidak menjamin guru bisa menjadi kepala sekolah. Ungkapan ini mungkin ada benarnya. Lagi pula, menjadi kepala sekolah adalah sebuah jabatan. Bukankah kita tidak harus menjabat orang nomor satu untuk meningkatkan mutu pendidikan kita?

Wallahua’lam bissawab.

Lombok Tengah, 15 November



[1] Istilah ini saya pinjam dari Pak Edy Mulyono yang menganggap seorang penulis yang tidak terjun langsung untuk meriset dan sejenisnya ibarat lalat di balik jendela.

[2] orang yang di-coaching

[3] Pemimpin bermental kasir ini saya kutip dari pernyataan Prof. Habibie dalam buku The Power of Ideas 

Esai Bahasa

Bagaimana Memaknai Frasa “Menghamba pada Anak”?


Sumber gambar: https://sekolahmenyenangkan.or.id/pendidikan-yang-berhamba-pada-anak/

Seorang teman CGP saya dari kelas lain tidak sepakat dengan kata menghamba pada anak (murid) yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara (selanjutnya disebut KHD). Sebenarnya, ia mendengar kata itu dari instruktur yang mengutip pernyataan KHD saat menyampaikan materi. Menurutnya, kata menghamba itu agak kurang pas untuk kondisi pendidikan saat ini. Sebab, anak-anak sekarang banyak yang kurang hormat pada guru. Perilaku siswa zaman ini jauh berbeda dari zaman dulu. Sudah begitu, eksistensi HAM seakan menjadi perisai ketika mereka diberi hukuman (secara fisik) oleh guru. Begitu kira-kira kritiknya.

Hal itu ia sampaikan pada acara sinkronus elaborasi pemahaman modul.1.1 beberapa saat lalu. Padahal, waktu itu instruktur sudah meminta salah seorang peserta untuk melakukan pernyataan penutup. Artinya, acara sinkronus hendak selesai. Tetapi, pernyataan itu lantas menjadi pemantik diskusi kembali. Seakan pertandingan sepakbola pada menit-menit injury time, diskusi kami kembali jual beli serangan. “Banyak siswa yang disentuh sedikit saja, mereka langsung melaporkan guru tersebut. Karena itu saya lebih suka dengan kurikulum zaman dulu yang memberikan hak dan wewenang guru sepenuhnya untuk mendidik anak dengan caranya sendiri,” sambungnya lebih lengkap.

Sebagai kawan satu profesi, saya memahami apa yang disuarakan teman itu. Kasus lapor-malapor guru ke aparat penegak hukum memang sudah jamak kita saksikan akhir-akhir ini. Bahkan hal itu acap kali memancing amarah kita. Tetapi, apakah ini berkaitan secara langsung dengan kurikulum? Saya kira tidak demikian. Persoalan ini lebih bersifat pedagogis. Sebab, cakupan kurikulum lebih luas dari sekadar itu: ada seperangkat rencana, visi, standar kompetensi, pendidik, media pembelajaran, alokasi waktu, daya dukung, dan berbagai komponen lainnya. Sepertinya kurang pas bila dikaitkan dengan dinamika perubahan kurikulum. Lagi pula, HAM bukan termasuk sistem pendidikan, melainkan supra-sistem.

Lantas, bagaimana kita maknai kata menghamba pada frasa menghamba pada anak dalam konteks ini? Apakah ini tidak terbalik? Kenapa guru yang menghamba? Bukankah seharusnya murid yang menghamba pada guru? Barangkali karena pemakaiannya cenderung dilekatkan pada istilah keagamaan, teman itu merasa kata menghamba tidak cocok dalam konteks ini. Misalnya, hamba Allah, menghamba pada Allah, menghambakan diri pada Tuhan, dan seterusnya. Atau, setidaknya dulu ia juga dipakai pada zaman perbudakan, dan di lingkungan kerajaan: oleh rakyat atau pelayan kepada raja, keluarga, dan pejabat kerajaan (tuturan mendaki). Tetapi, seperti yang kita tahu, saat ini zaman perbudakan dan sistem kerajaan sudah tidak ada sehingga pemakaiannya pun terkesan tidak berterima lagi.  

Meskipun demikian, ada baiknya kita tengok sedikit ke belakang. Sebab, bagaimanapun juga, mempelajari makna bahasa berarti mempelajari latar (waktu) kapan suatu bahasa, khususnya kata, digunakan dalam komunikasi. KHD, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, memang memakai diksi menghamba/berhamba. Dan, ini termasuk juga pada beberapa buku biografi beliau. Bila kita amati secara sinkronis, boleh jadi itulah lema yang hidup pada masa itu untuk merealisasikan totalitas kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam mendidik anak.

Namun, saya tidak berani mengambil kesimpulan buru-buru terhadap hal ini. Saya tidak punya cukup banyak ilmu dalam sub-disiplin ilmu linguistik tersebut (lingusitik sinkronik). Hanya, ini pandangan spekulatif setelah saya mencoba membandingkannya dengan kasus (pada tataran lema) lain. Kata cacat, misalnya, pada era 90-an atau sebelumnya masih terkesan lumrah untuk menggambarkan kondisi fisik seseorang. Kata itu cukup intens dipakai baik dalam ragam tulis maupun lisan. Beberapa tokoh bangsa yang pernah memakai kata ini di antaranya Prof. Daoed Joesoef (dalam sebuah tulisannya),[1] Presiden Soeharto (dalam pidatonya),[2] dan sejumlah tokoh lainnya.

Seiring waktu kata ini dirasa tidak layak dipakai (peyoratif) sehingga diganti dengan disabilitas atau difabel (different ability). Bahkan, itu diperkuat dengan rekayasa korpus bahasa melalui Undang-Undang.[3] Mungkin saja saat ini kita mendengar seseorang terpelajar memakai kata tersebut, tetapi itu cenderung untuk menggambarkan kondisi yang bertentangan dengan nilai tertentu, bukan fisik seseorang. Misalnya, cacat hukum, cacat moral, cacat naskah, dan sebagainya.

Kata menghamba memang bukan bermakna peyoratif, dan tidak ada upaya rekayasa korpus untuk mengganti pemakaiannya di lingkup formal. Dan, memang ada beberapa orang atau tokoh (pendidikan) memakai kata itu saat ini, termasuk pada Mars Guru Penggerak, misalnya. Tetapi, itu cenderung mengacu atau merujuk ungkapan atau pemikiran KHD di atas. Karenanya, kata ini saya kira lebih kepada ungkapan khas tokoh pendidikan kita untuk menunjukkan kesakralan hubungan guru dengan murid dalam pendidikan.

Hal ini tampak jelas bila kita membaca pemikiran atau paradigma pendidikan KHD, khususnya yang berkaitan dengan praktik mendidik atau interaksi guru dengan anak. Salah satunya ialah konsep “Tiga Mong”. Mong yang pertama ialah momong yaitu merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang. Mong yang kedua ialah among yakni memberi contoh tentang baik dan buruk tanpa mengambil hak anak agar bisa tumbuh dan berkembang secara merdeka sesuai dasarnya. Terakhir, ngemong berarti proses mengamati, menjaga dan merawat agar anak bisa mengembangkan dirinya, bertanggung jawab, dan disiplin berdasar nilai-nilai yang diperolehnya sesuai kodratnya.[4]

Jadi, menghamba di sini tidaklah bisa disamakan dengan konteks hubungan pembantu dengan majikan. Seorang pembantu melayani segala keperluan majikan sebagai bentuk tugasnya, sedangkan guru tidak demikian adanya. Ia melayani segala hal yang diperlukan murid untuk mendukung tumbuh kembangnya sebagai bentuk tanggung jawab moral keilmuan. Seorang pembantu harus tunduk pada keinginan majikan, sementara guru tidak memiliki kewajiban tunduk pada apa yang dikehendaki murid. Ia hanya tunduk atau terikat pada nilai pedagogis (pedagogical value) yang berlaku dalam pendidikan.

Intinya kita tidak bisa mengartikan frasa menghamba pada anak secara literal. Jika dengan memakai kata menghamba kita merasa khawatir mengarah pada upaya destruktif pada istilah keagamaan, maka kita bisa saja mengucap mengabdi pada anak sebagai alternatif. Apakah masih terkesan sama? Mungkin ya, tetapi setidaknya itu lebih terdengar eufemistis. Lagi pula, meminjam kalimat Prof. Fatimah Djajasudarma, hanya orang awam yang melihat makna kata dari kamus atau secara leksikal.

Lombok Tengah, 2 November 2022



[1] Daoed Joesoef, Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018), hal. 237.

[2] Dikutip dari buku berbahasa indonesia dengan logis dan gembira karya Iqbal Aji Daryono.

[3]  Holy Adib, Perca-Perca Bahasa, (Yogyakarta: Diva Press, 2020), hal. 109

[4] Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara; Biografi singkat 1889-1959, (Yogyakarta: Penerbit garasi, 2014), hal. 71

Esai Pendidikan

 

The Learning Law of Interaction

Sebuah renungan

sumber gambar: https://cermin-dunia.github.io/denah/post/gambar-guru-dan-murid/


Sudah beberapa kali saya menjadi pemateri pada kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) di sekolah kami. Bukan sombong, boleh jadi rekan-rekan guru melihat rekam jejak (prestasi) saya yang bagi mereka mungkin lebih tinggi dari pada guru lainnya. Sehinga mereka merekomendasikan saya mengisi materi dengan topik bimbingan belajar efektif, meskipun saya sendiri belum merasa maksimal dalam hal itu. Tetapi, mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga, kan, saya tolak permintaan itu? Singkat cerita, akhirnya saya iya-kan saja.

Hal pertama yang kemudian muncul dalam benak saya ialah bagaimana membuat siswa-siswa itu terkesan dengan saya sejak pertemuan pertama. Bukankah pepatah mengatakan kesan pertama paling lama diingat? Saya pun berupaya mengail kesan mereka dengan memajang foto-foto prestasi yang pernah saya raih di PPT presentasi: dari foto saat menerima penghargaan di Jakarta, beberapa karya tulis yang pernah muat media, buku, hingga beberapa capaian lainnya. Dan, itu saya bumbui dengan cerita-cerita yang sedap-sedap pedas layaknya seorang motivator betulan. Di samping untuk menarik kesan, sebagai seorang guru baru di mata mereka, saya tentu ingin terlihat berwibawa juga. Dengan begitu, mereka percaya bahwa saya guru yang mampu membawa mereka berhasil pada mata pelajaran yang saya ampu.

Namun, apa yang terjadi? Rupanya tanggapan mereka biasa-biasa saja, bahkan terkesan dingin. Sebagian memang mengangguk-angguk sambil memerhatikan, tetapi mereka tidak tampak tertarik dengan opening story (cerita pembuka) yang saya kira mengagumkan. Ada tepuk tangan, juga kesannya tidak lepas dan cenderung untuk menghargai saja. Saya jadi berpikir apakah ada yang salah dengan cara penyampaian saya? Apakah gaya bicara saya kurang asyik? Ataukah mereka memang kurang tertarik dengan topik yang saya sampaikan? Padahal saya sudah berusah-payah menyiapkan materi presentasi yang menurut saya menarik. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bermunculan hingga saya memutuskan mengulanginya di kelas pada saat kegiatan belajar-mengajar (KBM). Dan hasilnya ternyata tidak jauh berbeda, respon mereka tetap saja acuh tak acuh.

Di sisi lain, seorang teman saya yang dari segi karier dan prestasi biasa-biasa saja justru selalu dikerumuni siswa (baru) tersebut. Hampir setiap jadwal mengajar kosong, dia selalu dihampiri siswa. Bahkan, ruangannya selalu ramai, karena kebetulan dia juga seorang kepala perpustakaan. Intinya, banyak siswa datang kepadanya dengan berbagai keperluan; dari meminta pendapat, penjelasan materi, saran, hingga curhat soal masalah pribadi. Dan, semua itu pun dia layani selama sempat dan mampu.

Ini cukup mengejutkan. Saya sebagai guru yang digadang-gadang sejak awal sebagai motivator, kok tidak dikejar-kejar siswa? Kenapa hal ini bisa terjadi? batin saya. Diam-diam saya jadi sering mengamati gerak-gerik teman tersebut. Saya sering mencuri dengar dan pandang ketika berada di ruangannya. Saya memerhatikan pola komunikasinya dengan siswa, termasuk gaya mengajarnya jika sesekali saya melewati kelasnya. Dan, dari apa yang saya lakukan itu saya mengambil kesimpulan bahwa rahasia rekan saya itu ialah “ketertarikan”. Ya, betul, dia memiliki ketertarikan yang cukup besar pada siswa.

Rupanya benar apa yang dikatakan Dale Carnegie, kita bisa mendapat lebih banyak teman dalam dua bulan dengan secara murni menaruh perhatian kepada orang lain dibandingkan dengan dua tahun berusaha membuat orang lain tertarik pada diri kita.[1] Ya, jadi kuncinya adalah ketertarikan. Tentu saja ketertarikan dalam arti yang positif. Terdengar sederhana, bukan? Tetapi, lihat, dengan ketertarikan seseorang jadi punya perhatian kepada orang lain. Dengan ketertarikan kita jadi peduli dengan orang lain. Dengan ketertarikan, komunikasi jadi berlangsung hangat, cair, dan mengalir.

Demikian yang saya lihat pada diri rekan saya itu. Ketertarikan mendorongnya untuk menggali minat, potensi, bahkan masalah siswa. Ketertarikan membuatnya enggan menolak ketika dia dibawakan seabrek masalah sekalipun. Ketertarikan itu melahirkan kepedulian yang akhirnya mendorong dirinya untuk mencarikan mereka solusi atas permasalahan yang mereka keluhkan. Ketertarikan pada (dunia) siswa membuatnya menjadi pribadi terbuka bagi mereka yang ingin menyampaikan keluh kesahnya, Singkatnya, pada orang seperti dialah saya melihat law of interaction,[2] yakni hukum ketertarikan dalam interaksi: seorang akan cenderung tertarik pada orang yang tertarik (menaruh perhatian) padanya.

Dalam law of attraction, semesta akan mendukung apa yang benar-benar pikiran kita pusatkan. Sebab, dengan begitu segala energi yang kita miliki akan kita curahkan padanya. Dalam hal interaction (interaksi), seseorang yang dari dalam hatinya sudah ada ketertarikan kepada orang lain, perhatiannya cenderung tertaut padanya. Sehingga tanpa disadari dia juga akan mengalirkan sebagian besar energi padanya. Ketika hal itu dia lakukan maka orang lain akan memberi reaksi yang sama. Sederhananya, seseorang akan membalas apa yang telah kita lakukan padanya, yang dalam hal ini berupa perilaku, bukan sebatas imbalan atau jasa.

Sejak saat itu saya memahami bahwa siswa ternyata tidak memerlukan sosok guru yang membesar-besarkan diri di hadapan mereka. Melainkan mereka tertarik dengan guru berjiwa besar yang bebesar hati memahami mereka. Karena mereka percaya sosok guru seperti itulah yang mampu memberinya solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Mereka memang tidak akan pernah menanggalkan rasa bakti kepada guru, tetapi hati mereka tertambat pada tipikal guru seperti itu.

Saya tentu tidak perlu berubah menjadi rekan saya itu untuk mendapat simpati siswa. Hanya, dari dia saya belajar makna law of interaction, bahwa menjalin interaksi hangat dan intens dengan siswa merupakan hal yang penting dalam menunjang ekosistem pembelajaran di sekolah. Sebentar, apakah kondisi ini berdampak pada keberhasilan KBM?

Lombok Tengah, 8 Agustus 2022



[1] Dikutip dari buku How to Win Friends and Influence People, hal. 56

[2] Istilah ini dipinjam dari teori Rhonda Byrne. Istilah aslinya Law of Attraction (hukum ketertarikan), yaitu semesta akan mendukung apa yang kita benar-benar upayakan.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...