Keluarga
dan Spirit Indonesia Emas 2045
(Refleksi
dari Hari Keluarga Nasional)
Oleh:
Marzuki Wardi
Dimuat di Media Lombok Post Edisi Hari Rabu, 4 Juli 2018 |
Tantangan
pendidikan yang kita hadapi saat ini semakin meningkat. Generasi bangsa berusaha
dirusak dari berbagai lini. Setelah beberapa kasus kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap anak mulai lindap dari ingatan kita, kini ancaman narkoba
kembali merebak di berbagai daerah di Nusantara. Sebut saja penyelundupan 1 ton
sabu yang digagalkan aparat pada Februari lalu, penangkapan 44,7 kg narkoba
jenis sabu dan 58 butir pil ekstasi di Medan, Binjai dan Aceh pada akhir Maret
lalu, menunjukkan bahwa negeri ini masih menjadi sasaran empuk gembong narkoba.
Tidak hanya itu. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 27,32
persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan
mahasiswa. Angka tersebut kemungkinan meningkat kembali karena beredarnya
sejumlah narkotika jenis baru ungkap Kepala Subdirektorat Lingkungan Pendidikan
BNN, Agus Sutanto.[1]
Selain
narkoba, ancaman lainnya yang tak kalah meresahkan kita hari ini adalah konflik
sosial. Tentu kita sama-sama sering menyaksikan bagaimana para pengguna media
sosial, khususnya di kalangan generasi muda, saat ini dengan begitu mudahnya
saling hujat hanya karena berita yang belum jelas sumbernya (hoax). Perundungan, persekusi, dan
ujaran kebencian (hate speech) yang acap
kali menghiasi jejaring sosial, merupakan sekelumit problematika sosial yang
dapat mengikis nilai-nilai persatuan dan kesatuan kita. Fenomena ini sekaligus
membuktikan belum siapnya mental generasi bangsa kita menghadapai era digital.
Di
sisi lain, pemerintah telah menggulirkan berbagai program demi mewujudkan Indonesia
emas 2045. Akan tetapi, mungkinkah agenda besar tersebut tercapai bila generasi
bangsa masih belum sepenuhnya aman dari jangkauan narkoba dan masih terbelenggu
dalam perpecahan? Oleh karena itu, disamping persiapan secara sistemis dan
sistematik dari pemerintah (top-bottom),
kerja sama yang baik dari elemen masyarakat (bottom-up) juga sangat dibutuhkan. Dan di sinilah keluarga
memainkan peran sentralnya sebagai lembaga terkecil dari sebuah Negara.
Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan untuk menjawab semua tantangan tersebut?
Otoritas Keluarga
Tidak
sedikit para pengguna narkoba bermula dari pergaulan bebas. Oleh karena itu, keluarga
harus hadir sebagai benteng perlindungan anak dari hiruk pikuk pergaulan bebas.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan otoritas
keluarga, yakni berupa aturan-aturan yang harus dipatuhi bersama (orang tua dan
anak). Misalnya, melaksanakan ibadah pada waktunya, tidak pulang pada larut
malam, jam wajib belajar, mengerjakan tugas (pekerjaan) sendiri, menghormati
anggota keluarga yang lebih tua, menggunakan tindak tutur yang sopan, toleransi
terhadap tetangga, dan hal-hal lainnya. Namun, pemahaman terhadap kenapa harus
mematuhi aturan-aturan tersebut kepada anak merupakan hal yang tak kalah
penting sebelum menerapkannya.
Kemudian,
ketika otoritas keluarga sudah berhasil diterapkan, hal berikutnya yang mesti
disepakati adalah ganjaran yang akan diterima apabila melanggar aturan
tersebut. Tapi, tentu saja orang tua harus menghindari tindakan otoriter
terhadap anak. Ganjaran dalam hal ini adalah upaya preventif agar anak tidak
mengulangi perbuatannya yang tidak baik. Selain itu, pemberian ganjaran
bertujuan untuk menanamkan sikap tanggung jawab sejak dini pada anak.
Otoritas
keluarga memungkinkan anak lebih menaati orang tua. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter dari Amerika
Serikat, para orang tua yang memberikan pendidikan moral dengan efektif adalah
mereka yang “autoritatif” membimbing anak untuk patuh terhadap mereka (otoritas
keluarga). Disamping itu, penyelenggaraan program sikap pengambilan keputusan
yang bertanggung jawab bagi siswa di sebuah SMP di California, menunjukkan
penurunan penyalahgunaan narkoba dan kehamilan pada siswa. Sementara, di sisi
lain, prestasi siswa semakin meningkat. Oleh sebab itu, penguatan otoritas
keluarga salah satu hal yang cukup penting diterapkan dewasa ini.
Pendidikan Anti Narkoba Sejak Dini
Siti
Hikmawati, Komisioner KPAI bidang kesehatan, mengungkapkan bahwa akhir-akhir
ini sindikat narkoba mengincar anak-anak berprestasi. Ia menerangkan temuannya
mengenai modus baru para pengedar adalah dengan memberikan narkotika secara
cuma-cuma sehingga anak merasa kecanduan. Dan tujuannya adalah untuk merusak
agar tidak tercapainya bonus demografi pada 2025.[2]
Fakta
ini mengindikasikan betapa pentingnya mebentengi anak sejak dini dari jerat
narkoba. Oleh karenanya, orang tua harus memberikan edukasi tentang bahaya
narkoba pada anak. Dan ini tidak hanya diperlukan bagi anak usia remaja, tapi
juga bagi anak usia dini. Anak harus dibekali dengan pemahaman tentang bentuk,
jenis, dampak nyata, dan bagaimana menghindari barang terlarang tersebut dalam
kehidupan kita. Dengan demikian, upaya pencegahan pengguna narkoba telah
dimulai dari lingkup keluarga.
Literasi Keluarga
Salah
satu fungsi keluarga menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BkkbN) adalah fungsi sosialisasi dan pendidikan. Keluarga diharapkan tidak
hanya melahirkan generasi yang cerdas dan tanggap terhadap perkembangan zaman,
tapi juga tanggap terhadap kondisi sosial yang terjadi di lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu, literasi keluarga dalam
hal ini dimaksudkan juga untuk membendung konflik sosial seperti yang diuraikan
di atas.
Literasi keluarga dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama,
membangun literasi inti (basic literacy).
Literasi ini mengacu pada pembelajaran bagaimana cara membaca, cara menulis,
dan bagaimana melakukan tugas penghitungan sederhana yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari.[3] Dengan menerapkan literasi ini, daya dan kebiasaan membaca anak
akan terbentuk. Sehingga ia akan lebih teliti dalam membaca segala bentuk bahan
bacaan.
Selanjutnya, apabila literasi dasar anak sudah terbentuk, orang tua
harus mengenalkan literasi media (media
literacy) dan informasi (information
media). Literasi media berkaitan dengan kecakapan menggunakan teknologi
media, baik lama atau terbaru, seperti media televisi, radio, internet, dan
lainnya. Dengan kata lain, orang tua harus membekali anak tentang cara
mengakses dan mengekspresikan diri di media-media tersebut. Sedangkan, literasi
informasi berkaitan dengan cara mengakses, memperoleh, memanfaatkan, dan
membuat informasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan konflik sosial yang telah disebutkan di
atas, maka hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan literasi media dan
informasi ini adalah penekanan tentang tata cara bergiat di media sosial. Agar
anak menjadi pegiat sosial yang ramah dan cerdas, mereka harus dibekali pemahaman
tentang tidak sekedar menggunakan, tapi bagaimana memanfaatkan media sosial
yang baik.
Jadi
spirit menyambut Indonesia emas 2045 yang digaungkan pemerintah harus pula
diimbangi dengan pergerakan secara komunal dari bawah (bottom-up). Disamping program yang didesain secara sistemis dan
sistematik dalam bidang pendidikan khususnya, peran serta keluarga juga sangat
dibutuhkan.
Lombok
Tengah, 295 Juni 2018
Marzuki Wardi,
selain berprofesi sebagai guru di sebuah SMP di Lombok Tengah, ia juga aktif
menulis Cerpen, Opini dan Resensi di berbagai Surat Kabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar