Senin, 22 Mei 2017

Artikel Opini

Paradigma Baru dalam Mendidik Anak
(Tinjauan Analitis-Solutif Terhadap Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak)
Oleh: Marzuki Wardi

Dimuat pada Media Harian Lombok Post edisi hari Jumat, 19 Mei 2017
Artikel Opini ini masuk nominator 10 terbaik pada Lomba Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Sahabat Keluarga Kemdikbud RI tahun 2017 dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan


Orang-orang Sasak (masyarakat Lombok), jika melihat seorang anak melakukan pelanggaran sosial, yang paling pertama mereka tanyakan adalah, “Siapa orang tua dari anak tersebut?” Dan barangkali, hal serupa juga berlaku pada masyarakat di daerah-daerah lain di tanah air.
Stereotip ini sebenarnya mengindisikan kuatnya hubungan antara pendidikan anak dengan orang tua (keluarga). Bukan sekedar persoalan orang tua mengajarkan hal yang buruk pada anaknya. Sebab, penulis yakin semua orang tua bisa dikatakan tidak mungkin mengajari anak untuk melakukan tindakan tercela. Dengan kata lain, keterkaitan antara peran sentral orang tua (keluarga) dengan pendidikan anak merupakah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Melihat kedudukan tersebut, bahkan para ulama (dalam agama Islam) mengibaratkan Ibu sebagai Madrasah (pendidikan) pertama bagi seorang anak. Penulis sangat yakin bahwa pada agama-agama lain juga tentu memiliki doktrin yang kuat mengenai pendidikan anak oleh orang tua.
Karena itu, timbulnya beberapa problematika anak di lingkungan sosial, seperti anak bermasalah dengan hukum, anak bermasalah dalam interaksi sosial, perilaku amoral atau kenakalan anak, pelecehan seksual, kekerasan (psikis maupun fisik), miskin prestasi dan putus sekolah, anak tak terurus (jalanan), dan persoalan pelik lainnya tidak terlepas dari tanggung jawab moral orang tua. Berbeda halnya jika anak bermasalah dengan kondisi fisik dan psikis seperti (maaf) penyandang disabilitas, sakit jiwa, dan sejenisnya yang memang terjadi secara alamiah atau bawaan sejak lahir.
Tanggung jawab sendiri berhubungan dengan latar belakang. Faktor ke-tidak bertanggung jawaban orang tua bisa berasal dari latar belakang pendidikan, ekonomi, psikis, lingkungan, kesehatan, status kekeluargaan dan sosial, usia, dan rutinitas atau kebiasaan.
Orang tua yang secara psikis telah matang dan dewasa, akan memiliki pola asuh terhadap anak yang jauh berbeda dengan orang tua yang dari segi kejiwaan masih labil. Orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas (awam) akan berbeda cara mendidik anak dengan orang tua yang pendidikannya tinggi. Kondisi mental seorang anak yang berasal dari keluarga korban perceraian orang tua, tentu berbeda dengan mental seorang anak yang masih tinggal serumah dengan orang tuanya. Begitu seterusnya faktor-faktor yang lain di atas.
Pengalaman penulis dalam menjalankan tugas keseharian sebagai seorang guru, ketika menangani masalah terkait prestasi siswa, sebagian besar dari mereka yang bermasalah berasal dari keluarga bermasalah. Misalnya berupa masalah perceraian, perhatian orang tua terhadap prestasi anak, dan masalah ekonomi. Sekitar 6 dari 10 orang siswa, mengaku tidak memiliki motivasi belajar lantaran orang tua telah pisah ranjang (bercerai). Ada juga yang tidak bercerai, tapi ayah dan ibu mereka sama-sama pergi merantau, sehingga si anak tinggal dengan kakeknya.  Sisanya, menyangkut kurangnya perhatian orang tua terhadap prestasi anak, dan sedikit anak sering dilibatkan bekerja oleh orang tua mereka.
Fakta lainnya, menurut laporan KPAI, jumlah anak yang tertimpa masalah pola asuh sangat banyak, mencapai 4,1 juta. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawangsa menyatakan, dari 4,1 juta anak bermasalah tersebut, 5.900 terkait korban kekerasan, 34.000 anak jalanan, 3.600 anak berhadapan dengan hukum (ABH).[1]
Fakta di atas cukup mambuat dada pemerintah, kementrian sosial, KPAI, pendidik dan pemangku masalah anak lainnya tersedak, bukan? Jika problematika ini diperam terus menerus, sudah barang tentu berakibat fatal bagi masa depan bangsa Indonesia. Ada beberapa strategi sederhana, yang menurut penulis, dapat diterapkan setidaknya untuk mengurangi masalah ini.
Parenting Education (Pendidikan/tuntunan menjadi orang tua).
Banyak anak tumbuh dengan karakter atau jiwa pemberani, tapi karena orang tua suka menakut-nakuti, memarahi dan membentak, mereka besar sebagai orang penakut. Banyak anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tapi karena terlalu sering bertanya, orang tua malah bosan dan menganggap anaknya cerewet. Pada akhirnya, anak tumbuh menjadi pribadi pemalu dan kaku. Banyak pula orang tua yang sejak dini sudah mendidik anak menjadi pribadi yang suka meng-kambing hitamkan dan menyalahkan orang lain. Contohnya, ketika anak terjatuh, konon ada kodok yang diinjak oleh anak tersebut, sehingga kakinya terpeleset. Padahal, dari dulu sampai hari ini bahkan sampai hari kiamat, tidak pernah kita temukan kodok mati gara-gara diinjak oleh seorang anak yang kakinya masih mungil.
Jika disimak secara seksama, kasus di atas sebenarnya berkaitan dengan ketidak tahuan orang tua mengenai konsep dalam mendidik anak. Jadi, kasus ini sebetulnya memiliki sumbangsih yang cukup potensial terhadap perkembangan kognitif dan mental anak. Karenanya, orang tua sedini mungkin, jauh sebelum memutuskan untuk menjadi orang tua,  harus memiliki konsep mengenai pendidikan anak. Dan ini dimungkinkan bisa tercapai melalui pengayaan atau tuntunan menjadi orang tua (parenting education).
Reformasi pola interaksi orang tua dengan anak.
Penulis sering mengamati pola interaksi antara orang tua dengan anak, di kampung tempat tinggalnya. Dari pengamatan tersebut, penulis menemukan beragam pola interaksi yang menurutnya kurang edukatif. Misal seperti orang tua dan anak sangat jarang berkomunikasi, kalaupun berkomunikasi hanya sebatas keperluan saja; orang tua menyuruh anak, atau sebaliknya anak berkomunikasi hanya pada saat meminta uang, hubungan emosional anak renggang sehingga anak terkadang merasa kebutuhannya terabaikan—baik kebutuhan materil maupun kebutuhan moril, motivasi, gagasan, dan pujian.
Selain itu, ada juga orang tua yang terkesan tidak mempercayai kemampuan dan potensi pada diri anaknya. Sebagai contoh, seorang ayah meminta anak untuk melakukan suatu pekerjaan, tapi ketika si anak melakukannya secara tidak sesuai dengan keinginan orang tua, maka pekerjaan tersebut lekas diambil alih orang tua sambil berkata, “Begitu saja tidak bisa, sini biar saya saja yang kerjakan.” Perlakuan semacam ini dapat membunuh karakter anak, dan memasung kemandiriannya.
Pola interaksi antara orang tua dengan anak harus variatif, berjalan secara alamiah, hangat, cair, dan komunikatif. Ada kalanya orang tua berperan sebagai sahabat yang sedia kala mendegar curhatan anak. Ada kalanya sebagai ahli atau guru, motivator, inspirator, instruktur, dan posisi positif lainnya. Komunikasi verbal negatif seperti kata-kata “tidak” atau “jangan” agar sebisa mungkin diganti dengan kata-kata positif bermakna negatif seperti “belum”, “jarang”, “lebih baik begini”, “hindari”. Pujian harus dilakukan dengan tulus. Perintah dikemas dalam bentuk ajakan atau anjuran. Larangan dapat dialihkan dengan meminta anak melakukan hal-hal positif lainnya
Sinergi orang tua dengan pihak sekolah (lembaga penyelenggara pendidikan).
Kerja sama orang tua dengan pihak sekolah dimaksudkan untuk mendukung prestasi anak dalam belajar. Dan pihak sekolah seyogiyanya lebih pro aktif dalam hal ini. Ada beberapa contoh kerja sama yang dapat dijalin orang tua dengan pihak sekolah. Seperti model formulir kesepakatan orang tua dengan pihak sekolah di bawah ini.
·      Menghargai dan mendukung anak, guru-guru dan sekolah.
·      Mendukung kebijakan kedisiplinan sekolah dan peraturan yang berlaku di kelas.
·      Menyediakan tempat yang tenang bagi anak untuk belajar dan mengawasi anak dalam menyelesaikan PR.
·      Berpartisipasi dalam pertemuan orang tua-guru-siswa, baik yang formal maupun informal.
·      Berdiskusi dengan anak setiap hari mengenai kegiatan sekolahnya.
·      Mengawasi tontonan televisi dan kegiatan lain yang mungkin mengganggu waktu belajar anak.
·      Membantu pelaksanaan kegiatan sekolah atau kelas setidaknya satu kali dalam semester.
·      Meluangkan waktu bersama anak untuk membaca setidaknya 10 menit dalam sehari.[2]

Penguasaan Teknologi (Informasi dan Komunikasi).
Pesatnya perkembangan teknologi (khususnya teknologi informasi dan komunikasi) menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup masyarakat. Tak dapat dipungkiri, dewasa ini pengguna media internet (media sosial) telah mencakup hampir semua lapisan masyarakat, dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini tentu menuntut orang tua untuk berpikir lebih dinamis lagi. Mau tidak mau, orang tua masa kini juga harus menguasai pemakaian teknologi (internet). Upaya ini dimaksudkan agar orang tua dapat mengawasi anak dalam pemakaian atau aktifitas negatif dunia maya. Dengan begitu, mereka bebas mengontrol anak kapan dan di mana saja.
Mencermati uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa mendidik anak memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab utama dari orang tua atau keluarga. Selama ini, banyak orang tua berpandangan bahwa tugas mereka  hanya membesarkan anak saja, sementara urusan pendidikan diserahkan sepenuhnya ke guru atau pihak sekolah. Patutlah kemudian mereka menyalahkan sekolah jika anak mereka gagal dalam pendidikannya. Karena itu, jauh sebelum berstatus orang tua, penulis berkeyakinan kuat, bahwa orang tua yang sukses mendidik anak adalah mereka yang memiliki konsep mendidik sejak dini. Mau tidak mau, mereka harus mengubah mindset lama mereka di atas.
Lombok Tengah, 16 Mei 2017.
Marzuki Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Disamping menjalani tugas seharian sebagai seorang guru, dia juga aktif menulis Esai, Artikel Opini, Cerpen, dan Buku. Karyanya sudah tersebar ke berbagai koran lokal dan nasional.





[1] www.kpai.go.id/berita/kpai-jutaan-anak-alami-masalah-sosial. Diakses pada tanggal 15/04/2017. Pukul 20:37
[2] (http://www.education-world.com/a_curr/curr155.shtml. (dalam TUKLIT LIRP  UNESCO Bangkok. 2006).

Kamis, 18 Mei 2017

Cerpen

Prestise
Oleh: Marzuki Wardi
Cerpen ini dimuat di halaman Budaya Padang Ekspress, 14 Mei 2017

“Apa hadiah yang disiapkan panitia bagi pemenang lomba ini?”
Pertanyaan menggetarkan itu meluncur dari mulut seorang siswa yang sepertinya datang dari sekolah favorit di Mataram. Dengan berkacak pinggang dan nada menyepelekan, siswa itu bertanya saat mendaftarkan diri sebagai peserta speech contest yang diselenggarakan oleh OSIS SMA Harapan Bangsa, Mekar Indah. Terang saja, Ayumi yang bertugas sebagai kordinator seksi pendaftaran pagi itu tercengang kecut. Ia bingung bagaimana harus menyikapi pertanyaan yang sama sekali tak pernah diprediksi itu. Ia membisik Yuyun yang bertugas memverifikasi kelengkapan data formulir pendaftaran. Namun, Yuyun bergeming sehingga ia menatap Rahayu. Rahayu mengalihkan pandangan ke wajah Rahmat. Rahmat pun membisu, sehingga membuang mata ke Anggun. Anggun mengerlingkan mata sembari memanggil Saeful, sang ketua panitia.  
“Oh, tentunya kami telah menyiapkan reward yang sangat berharga bagi pemenang, kawan!” jawab Saeful mengulum senyum.
“Wow hebaaat! Sejak kapan sekolah swasta seperti ini bisa menyiapkan reward berharga? Nggak salah denger, nih?”
Disambut gelegak tawa rekan-rekan yang mengiringinya, siswa pendaftar itu sukses membungkam nyali beberapa panitia. Saeful menelan ludah kering, tak menyangka kalimat frontal itu bisa keluar dari mulut seorang pelajar. Tiba-tiba pula. Rahmat turun tangan menimpali. Memang, urusan adu mulut dan adu ketangkasan, serahkan saja sama Rahmat. Tapi perihal adu bijak, Saeful lah jawaranya.
“Hei bocah, mau kubikin kacamata elitmu itu jadi penghuni pasar Loak?[1] Berapa nilai pelajaran PMP-mu, hah? Ngomong kok tak tahu adat sama sekali!” timpal Rahmat mengepalkan tangan. Padahal, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah berganti jadi pelajaran PPKN sejak tahun 90-an, sejak kurikulum 1994 diperbarui dengan KBK. Rahmat mendengar cerita mengenai pelajaran mulia itu dari ayahnya.
“Weih…keren juga aktingmu, bung!” balik si pendaftar tersenyum remeh. Dengan santai ia menjentikkan tangan ke belakang, “Gut, keluarin CV-ku! Tunjukin pada si gendut ini…” maksudnya Rahmat, “biar dia tahu siapa aku!”
Seorang siswa pendamping yang tampak menjadi jongosnya, menyodorkan secarik kertas berisi identitas disertai foto, daftar prestasi yang pernah diraih, status kesiswaan, lengkap dengan tanda tangan dan nama terang.
“Sudah kau baca item?” yang dimaksud kali ini Ayumi, “kau tulis itu jadi formulir pendaftaranku!” sambungnya lagi beberapa saat kemudian.
Suasana sempat sepi sejenak, karena semua panitia memusatkan perhatian ke selebaran yang diambil  Ayumi. Mereka melongo menatap track record prestasi siswa pendaftar yang bernama Mujahanam itu. Mereka berpikir seakan-akan hadiah yang akan diberikannya besok tidak layak untuk siswa berprestasi seperti Mujahanam. Namun, benarkah kiranya prestasi itu? Apakah seperti itu adab seorang siswa berprestasi?
Well, aku nggak punya banyak waktu, sob! Aku punya pamrih, kalau nantinya aku kalah dalam lomba ini, maka aku siap pindah sekolah ke SMA kampungan ini. Sebaliknya, kalau aku berhasil juara I, kalian semua aku saranin berhenti saja sekolah. Kalian lebih baik membuat surat keterangan tidak mampu, tidak mamfunyai bakat jadi siswa berfrestasi!”
Tawa lebar tambah mengegelegar dari mulut mereka, membuat Rahmat semakin naik pitam. Andai saja tak ada Saeful, stand pendaftaran nyaris beralih fungsi jadi ring tinju.
Mujahanam kemudian merenggang pergi dengan langkah seperti seekor serigala yang habis mencaplok kepala mangsanya. Semakin tak sabar Rahmat untuk mengejar, lalu memecahkan kacamata siswa kurang ajar itu lansung di wajahnya. Tapi, Saeful lagi-lagi tampil sebagai Mario Teguhnya SMA Harapan Bangsa.
“Mat, untuk memberi pelajaran pada seseorang, tak selamanya butuh kekerasan. Ingat, untuk menangkap seekor singa, tidak harus kita menyerangnya! Lagipula, lomba ini bukan tentang kalah dan menang, bukan mengenai hadiah atau pujian, tapi tentang sebuah prestise!” bujuknya.
Rahmat menjadi sedikit tenang.
-**-
Seminggu kemudian, saat lomba.
Barangkali, Mujahanam menganggap kompetisi itu seperti sebuah pertempuran sengit, sehingga ia berusaha melumpuhkan nyali peserta lomba lainnya dengan membeberkan prestasi yang telah diraihnya. Setiap peserta yang duduk berdekatan dengannya, mulut besarnya tanpa malu membual dari telinga yang satu ke lainnya. Besar kemungkinan, dalam pikirannya hanya dia peserta yang paling jago, sementara yang lain dianggap pecundang. Tapi, mana peduli mereka dengan bualannya.  Mereka hanya fokus menampilkan yang terbaik.
Tak dinyana, skenario ofensif itu rupanya tak bertahan lama. Nyali Mujahanam justru meregang napas terakhir di serangan peserta sebelumnya. Ia terbelalak setelah menyaksikan penampilan Sami’in—utusan dari SMAN 2 Praya—peserta pembuka, Baehaki—delegasi SMAN 1 Jonggat, Nuraini—dari SMAN 3 Tampar Ampar, Rukimah—SMAN 5 Bonder, dan beberapa peserta lainnya yang rata-rata berbicara bahasa Inggris dengan sangat fasih, seolah-olah mereka terlahir dengan kemampuan bahasa Inggris digenggamannya. Aksen dan gestur mereka sangat menarik untuk dinikmati mata. Mereka bahkan membuat juri koalahan membedakan mana bule dan mana orang Indonesia jika saja tak melihat wajah yang sedang berbicara. Penonton gegap gempita menyaksikan performa mereka. Riuh tepuk tangan menggelegar menyaingi suara mikropon.
Mujahanam yang mendapatkan nomor urut 33—undian kedua terakhir—merasa tak diuntungkan dengan kondisi ini. Suatu tekanan psikis yang tak pernah diduga-duga akhirnya terjadi. Ia naik ke atas panggung dengan diberondongi rasa gugup dan kaku. Saat membuka pidato dengan ucapan my dear brother…, kata dear dibacanya seperti lafal deer. Akibatnya,semua peserta tertawa lepas. Vita suaranya jadi mengerut seperti vita tape recorder batangan, mengakibatkan suaranya lemah dan tak jelas. Alhasil, juri memintanya untuk meninggikan volume. Berkali-kali ia mencoba menaikkan volume tapi tenggorokannya terasa seperti ada yang menyumbat. Tak lain hal itu dideranya akibat rasa gugup yang semakin mencekik. Akhirnya, karena ditegur kesekian kalinya oleh juri, ia berusaha menarik nafas, menekan suara, lalu menjerit sejadi-jadinya sehingga suara yang dihasilkan seperti lolongan anjing tengah malam. Hasilnya, ia sukses membuat semua peserta, penonton dan juri tertawa terpingkal-pingkal. Tepuk tangan pun berubah menjadi gelak tawa. Mujahanam turun panggung dengan langkah kikuk. Ironisnya, ia tetap bangga dengan apa yang telah ditampilkan, dan selalu yakin bakal jadi pemenang lomba.  
-**-
Saat pemenang lomba diumukan, Firaun berseragam putih abu-abu itu terperangah setelah mendengar namanya tak disebut sebagai juara. Kesalnya ia bukan kepalang. Ia tak menerima keputusan dewan juri. Dibukanya kacamata minus yang dikenakannya untuk memastikan juri lombanya bertampang intelek tau tidak. Sayangnya, pandangannya semakin kabur. Ketiga dewan juri itu malah menjelma menjadi makhluk halus berwajah rata di matanya. Ia lupa bahwa ia tak bisa melihat dari jarak jauh tanpa kacamata. Bibir tebalnya menggerutu tak karuan. Giginya menggeletuk-geletuk macam tokek mau berbunyi, sehingga mengundang perhatian para peserta yang duduk di dekatnya. Tak ketinggalan, panitia lomba menyoroti adegan konyol siswa congkak itu. Anggun mencebikkan bibir. Ayumi menahan tawa. Rahmat mengacungkan jempol, tapi sayang acungannya ke bawah. Saeful tetap menjaga marwah bak seorang pejabat legislatif. Setan yang bersarang dalam tubuh siswa congkak bernama Mujahanam itu akhirnya keluar. Mujahanam tertunduk pasrah seperti patung The Thinker karya Auguste Rodin. Ia menerima segala kekalahannya bulat-bulat. Dan, setelah diselidiki ternyata rentetan prestasi yang tertulis pada CV-nya hanya sebuah kebohongan semata. Tujuannya adalah untuk mengecoh nyali peserta lainnya. Rahayu, teman satu sekolahnya bercerita bahwa Mujahanam adalah siswa nakal yang terobsesi menjadi siswa berprestasi.    
Benar belaka pernyataan Saeful, untuk mematahkan kesombongan seseorang tak selamanya harus dengan  kekerasan. Pada akhirnya, ia akan sadar sendiri dengan adab dan perilaku baik yang justru kita berikan padanya. Disaat itulah transfer kebaikan terjadi. Mujahanam, sebagaimana sesumbarnya pada saat mendaftar, secara de jure dan de facto ia menyatakan diri untuk berpindah sekolah ke SMA Harapan Bangsa. Rahmat menerima iktikad baik itu. Saeful menyambut dengan antusias. Anggun dan semua panitia lomba juga. Sejak itulah mereka berteman baik di satu atap sekolah. Langit bersemu merah menyaksikan kepolosan mereka!  
Lombok Tengah, 24 April 2017.

Marzuki Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Disamping menjalani tugas seharian sebagai seorang guru, dia juga aktif menulis Artikel Opini, Cerpen, dan Buku. Beberapa bukunya yang telah terbit diantaranya, Negeri Antah Berantah (Kumpulan Cerpen, penulis tunggal. Terbit di akhir tahun 2016), Kado Pernikahan (berupa Antologi Cerpen, terbit di tahun 2016), Tata Krama (Takra, berupa Antologi Cerpen, terbit di awal tahun 2017). Buku yang sedang digarap, Mahir Menulis Kalimat Bahasa Inggris Dalam Hitungan Menit (hampir rampung), Adat dan Tradisi Suku Sasak dalam Perspektif Pendidikan (hampir rampung).




[1] Sebuah pasar yang menjual barang-barang bekas yang terletak di kawasan Cakra, Mataram.

Resensi Buku

sumber; dokumen pribadi penulis
Judul Buku           : 101 Dosa Penulis Pemula
Penulis                  : Isa Alamsyah
Penerbit                : Asma Nadia Publishing House
ISBN                    : 978-602-9055-24-5
Cetakan I              : Juni 2014
Tebal buku            : 350 halaman
Dimensi buku       : 14 x 20,5 cm


PANDUAN MENULIS (FIKSI) BAGI CALON PENULIS DAN PENULIS PEMULA
Karya: Marzuki Wardi
(Guru, Penulis)
Barangkali, sangatlah tidak etis untuk memperkenalkan karya seorang penulis kawakan, yang juga seorang wartawan senior seperti Pak Isa Alamsyah. Namun, demi menumbuhkan dan melestarikan budaya membaca, mewujudkan rasa cinta terhadap dunia tulis menulis, dan dalam rangka meningkatkan kompetensi penulis pemula, maka buku berjudul “101 Dosa Penulis Pemula” ini patut disuguhkan ke tengah ruang baca Anda.
Setelah sebelumnya menelurkan 50-an buku lintas disiplin, sekitar tiga tahun lalu kembali Pak Isa menunjukkan gaungnya sebagai penulis multi talenta, melalui—yang saya sendiri menyebutnya—bimbingan dan panduan bagi calon penulis dan penulis pemula. Meskipun bukan termasuk ke dalam kategori buku up to date, karya ini masih sangat layak untuk dijadikan buku rujukan utama dalam menulis (khususnya fiksi).
Sisi menarik dari buku ini adalah, judulnya yang terkesan amat sakral dan mengerikan, seolah-olah mencerminkan bahwa membuat kesalahan dalam menulis ialah sebuah dosa besar dan harus segera bertobat. Karena menurut saya, siapapun yang mendengar kata “dosa” tentulah orientasinya pada hal-hal berbau syar’i (agama). Padahal, sebenarnya tidak demikian. Bahkan, di bagian awal buku juga beliau sudah mengemukakan bahwa yang dimaksud “dosa” dalam judul tersebut adalah “kesalahan”.
Namun demikian, menilai suatu karya dari judul saja tentu bukan sebuah tindakan yang bijak. Atas dasar itu, saya akan mengajak Anda untuk mengulas isi buku tersebut secara ringkas. Sesuai dengan judulnya, buku ini memang terdiri dari 101 dosa yang diuraikan ke dalam tujuh belas bab (bagian).
Bagian pertama terdiri dari lima dosa dalam pengulangan kata atau gaya yang sama. Bagian 2, menguraikan lima dosa akibat kalimat tidak efektif atau tidak selektif. Bagian 3, menjabarkan empat dosa dalam ide. Bagian 4, memaparkan delapan dosa dalam judul. Bagian 5, mendeskripsikan delapan dosa dalam opening. Bagian 6, merincikan sembilan dosa dalam konflik. Bagian 7, sembilan dosa dalam konflik. Bagian 8, tiga dosa dalam opening. Bagian 9, lima dosa dalam narasi atau deskripsi. Bagian 10, sebelas dosa dalam karakter. Bagian 11, lima dosa dalam diksi dan kosakata. Bagian 12, tiga dosa dalam setting. Bagian 13, sembilan dosa dalam dialog. Bagian 14, empat dosa dalam point of view (pov). Bagian 15, empat dosa dalam alur dan plot. Bagian 16, empat dosa dalam pesan. Bagian terakhir (17), lima dosa terkait mental dan sikap penulis.
Sebagai seorang penulis pemula, diakui atau tidak, kita seringkali merasa puas dan bangga atas pencapaian sejauh ini, terutama ketika karya tulis kita telah berhasil dimuat di media masa atau media online misalnya. Pada saat itu pula terkadang seorang penulis berhenti mempelajari teknik menulis yang baik. Memang, keterampilan menulis dimungkinkan tercapai apabila seseorang terus menerus berlatih (jam terbang), walau secara otodidak. Namun, kapan kita dapat mengetahui kesalahan atau kekeliruan yang kita perbuat, jika kita tidak berkeinginan untuk mendeteksi kesalahan itu sendiri? Dan jikalau kesalahan itu terus-menerus dipelihara, maka dia akan menjadi beku dan menjelma menjadi sebuah kegagalan dalam karier menulis.
Adapun kesalahan dimaksud dalam buku ini sebenarnya tidak melulu tentang kesalahan ejaan (EYD atau EBI), diksi, kalimat, dan aspek struktur kempenulisan belaka. Akan tetapi, kesalahan tersebut dapat berupa kebiasaan-kebiasaan dalam mengulang kata, mengulang pola kalimat yang sama, menerangkan sesuatu yang sudah jelas, dialog berulang-ulang, judul tak menarik, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang menjadikan karya tulis tidak menarik dan tidak memiliki nilai jual.
Karena itu, membaca bab demi bab dalam buku ini, membuat kita segera menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan sepele dan tak terduga itu ternyata seringkali kita lakukan setiap menulis. Jadi, jangan heran jika pada saat membaca buku ini, Anda lalu mengangguk-anggukkan kepala atau mungkin tersenyum-senyum sendiri, mengakui kesalahan. Kesalahan atau kebiasaan dimaksud misalnya pada dosa ke 23 (Bagian 5), mengenai serangan cuaca. Di situ penulis memberi contoh dengan mengutip salah satu karya, misalnya sebuah opening seperti berikut:
Siang ini cuaca begitu terik. Sang surya menampakkan kegagahan dengan kemilau garis-garis emas yang indah. Keringat bercucuran mengalir keluar dari celah pori-pori mengeluarkan zat racun dari tubuh sehat (halaman 69).
Disamping itu, ada pula beberapa dosa lain seperti yang penulis sebut dialog ping pong. Yang dimaksud dialog ping pong di sini adalah dialog dengan pola yang sama persis dan diulang-ulangi, seperti penulis contohkan pada halaman 239.
“Hei, Put, Kok melamun?” tanya Bang Joni.
“Gak apa-apa, kok bang,” ujar putri.  
“Gak apa-apa gimana? Lo melamun gitu, cerita dong ada apa?” tanya bang Joni.
“Gini bang, Mukena Bunda udah gak layak pakai lagi, Bang, Putri ingin membelikan Bunda mukena, tapi penghasilan putri pas-pasan, jangankan untuk membeli mukena, untuk makan sehar-hari saja kami susah,” ujar Putri.
“Gue ngerti Put, Gue minta maaf kemarin bentak-bentak loe, gara-gara setoran loe sedikit, tapi gimana lagi? gak mungkin kan loe gak gue marahin, pemulung lain yang dapat sedikit gue marahin, masak loe enggak, gak adil kan tu namanya?” ujar bang Joni.
“Iya, Putri ngerti kok, Bang,” ujar Putri.
Tentu masih bayak lagi dosa-dosa dan kebiasaan-kebiasaan buruk menulis yang tanpa disadari sering kita lakukan, diulas secara lugas dan tuntas dalam buku setebal 350 halaman ini.
Jika ditinjau secara ekstensif dan komprehensif, buku ini pada dasarnya berupaya memberikan bimbingan atau semacam panduan menulis karya fiksi kepada penulis pemula atau calon penulis. Sebab, bagian-bagiannya memuat meteri tentang unsur-unsur karya fiksi (Cerpen atau Novel), seperti unsur intrinsik berupa tema yang terdapat pada bagian 3 halaman 29, alur dan plot pada bagian 15 halaman 255, latar atau setting pada bagian 12 halaman 207, tokoh atau perwatakan pada bagain 10 halaman 169, sudut pandang pada bagian 14 halaman 243. Sedangkan, unsur ekstrinsik seperti pesan terdapat pada bagian 16 halaman 279.
Lebih detail lagi, bagian-bagian lainnya menyuguhkan beragam teknik menulis yang dapat diaplikasikan secara lansung, tips-tips menghindari dosa menulis yang akan dibahas, dan bahkan penulis—di bagian akhir buku—, memberikan suntikan motivasi dalam menulis. Untuk itu, buku ini bukan sekedar memaparkan dosa atau kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh penulis pemula belaka. Lebih dari itu, penulis sebetulnya bermaksud untuk membimbing dan memandu setiap penulis pemula dan siapa saja yang tertarik dalam dunia tulis menulis literasi. Karenanya, merekomendasikan buku ini kepada para penulis pemula maupun calon penulis, bukanlah tindakan yang berlebihan.
Lombok Tengah, 11 April 2017.
Marzuki Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Menulis Cerpen, Esai dan Buku. Beberapa bukunya yang telah terbit, Negeri Antah Berantah (Kumpulan Cerpen, penulis tunggal. Terbit di akhir tahun 2016), Kado Pernikahan (berupa Antologi Cerpen, terbit di tahun 2016), Tata Krama (Takra, berupa Antologi Cerpen, terbit di awal tahun 2017).

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...