Senin, 22 Mei 2017

Artikel Opini

Paradigma Baru dalam Mendidik Anak
(Tinjauan Analitis-Solutif Terhadap Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak)
Oleh: Marzuki Wardi

Dimuat pada Media Harian Lombok Post edisi hari Jumat, 19 Mei 2017
Artikel Opini ini masuk nominator 10 terbaik pada Lomba Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Sahabat Keluarga Kemdikbud RI tahun 2017 dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan


Orang-orang Sasak (masyarakat Lombok), jika melihat seorang anak melakukan pelanggaran sosial, yang paling pertama mereka tanyakan adalah, “Siapa orang tua dari anak tersebut?” Dan barangkali, hal serupa juga berlaku pada masyarakat di daerah-daerah lain di tanah air.
Stereotip ini sebenarnya mengindisikan kuatnya hubungan antara pendidikan anak dengan orang tua (keluarga). Bukan sekedar persoalan orang tua mengajarkan hal yang buruk pada anaknya. Sebab, penulis yakin semua orang tua bisa dikatakan tidak mungkin mengajari anak untuk melakukan tindakan tercela. Dengan kata lain, keterkaitan antara peran sentral orang tua (keluarga) dengan pendidikan anak merupakah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Melihat kedudukan tersebut, bahkan para ulama (dalam agama Islam) mengibaratkan Ibu sebagai Madrasah (pendidikan) pertama bagi seorang anak. Penulis sangat yakin bahwa pada agama-agama lain juga tentu memiliki doktrin yang kuat mengenai pendidikan anak oleh orang tua.
Karena itu, timbulnya beberapa problematika anak di lingkungan sosial, seperti anak bermasalah dengan hukum, anak bermasalah dalam interaksi sosial, perilaku amoral atau kenakalan anak, pelecehan seksual, kekerasan (psikis maupun fisik), miskin prestasi dan putus sekolah, anak tak terurus (jalanan), dan persoalan pelik lainnya tidak terlepas dari tanggung jawab moral orang tua. Berbeda halnya jika anak bermasalah dengan kondisi fisik dan psikis seperti (maaf) penyandang disabilitas, sakit jiwa, dan sejenisnya yang memang terjadi secara alamiah atau bawaan sejak lahir.
Tanggung jawab sendiri berhubungan dengan latar belakang. Faktor ke-tidak bertanggung jawaban orang tua bisa berasal dari latar belakang pendidikan, ekonomi, psikis, lingkungan, kesehatan, status kekeluargaan dan sosial, usia, dan rutinitas atau kebiasaan.
Orang tua yang secara psikis telah matang dan dewasa, akan memiliki pola asuh terhadap anak yang jauh berbeda dengan orang tua yang dari segi kejiwaan masih labil. Orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas (awam) akan berbeda cara mendidik anak dengan orang tua yang pendidikannya tinggi. Kondisi mental seorang anak yang berasal dari keluarga korban perceraian orang tua, tentu berbeda dengan mental seorang anak yang masih tinggal serumah dengan orang tuanya. Begitu seterusnya faktor-faktor yang lain di atas.
Pengalaman penulis dalam menjalankan tugas keseharian sebagai seorang guru, ketika menangani masalah terkait prestasi siswa, sebagian besar dari mereka yang bermasalah berasal dari keluarga bermasalah. Misalnya berupa masalah perceraian, perhatian orang tua terhadap prestasi anak, dan masalah ekonomi. Sekitar 6 dari 10 orang siswa, mengaku tidak memiliki motivasi belajar lantaran orang tua telah pisah ranjang (bercerai). Ada juga yang tidak bercerai, tapi ayah dan ibu mereka sama-sama pergi merantau, sehingga si anak tinggal dengan kakeknya.  Sisanya, menyangkut kurangnya perhatian orang tua terhadap prestasi anak, dan sedikit anak sering dilibatkan bekerja oleh orang tua mereka.
Fakta lainnya, menurut laporan KPAI, jumlah anak yang tertimpa masalah pola asuh sangat banyak, mencapai 4,1 juta. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawangsa menyatakan, dari 4,1 juta anak bermasalah tersebut, 5.900 terkait korban kekerasan, 34.000 anak jalanan, 3.600 anak berhadapan dengan hukum (ABH).[1]
Fakta di atas cukup mambuat dada pemerintah, kementrian sosial, KPAI, pendidik dan pemangku masalah anak lainnya tersedak, bukan? Jika problematika ini diperam terus menerus, sudah barang tentu berakibat fatal bagi masa depan bangsa Indonesia. Ada beberapa strategi sederhana, yang menurut penulis, dapat diterapkan setidaknya untuk mengurangi masalah ini.
Parenting Education (Pendidikan/tuntunan menjadi orang tua).
Banyak anak tumbuh dengan karakter atau jiwa pemberani, tapi karena orang tua suka menakut-nakuti, memarahi dan membentak, mereka besar sebagai orang penakut. Banyak anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tapi karena terlalu sering bertanya, orang tua malah bosan dan menganggap anaknya cerewet. Pada akhirnya, anak tumbuh menjadi pribadi pemalu dan kaku. Banyak pula orang tua yang sejak dini sudah mendidik anak menjadi pribadi yang suka meng-kambing hitamkan dan menyalahkan orang lain. Contohnya, ketika anak terjatuh, konon ada kodok yang diinjak oleh anak tersebut, sehingga kakinya terpeleset. Padahal, dari dulu sampai hari ini bahkan sampai hari kiamat, tidak pernah kita temukan kodok mati gara-gara diinjak oleh seorang anak yang kakinya masih mungil.
Jika disimak secara seksama, kasus di atas sebenarnya berkaitan dengan ketidak tahuan orang tua mengenai konsep dalam mendidik anak. Jadi, kasus ini sebetulnya memiliki sumbangsih yang cukup potensial terhadap perkembangan kognitif dan mental anak. Karenanya, orang tua sedini mungkin, jauh sebelum memutuskan untuk menjadi orang tua,  harus memiliki konsep mengenai pendidikan anak. Dan ini dimungkinkan bisa tercapai melalui pengayaan atau tuntunan menjadi orang tua (parenting education).
Reformasi pola interaksi orang tua dengan anak.
Penulis sering mengamati pola interaksi antara orang tua dengan anak, di kampung tempat tinggalnya. Dari pengamatan tersebut, penulis menemukan beragam pola interaksi yang menurutnya kurang edukatif. Misal seperti orang tua dan anak sangat jarang berkomunikasi, kalaupun berkomunikasi hanya sebatas keperluan saja; orang tua menyuruh anak, atau sebaliknya anak berkomunikasi hanya pada saat meminta uang, hubungan emosional anak renggang sehingga anak terkadang merasa kebutuhannya terabaikan—baik kebutuhan materil maupun kebutuhan moril, motivasi, gagasan, dan pujian.
Selain itu, ada juga orang tua yang terkesan tidak mempercayai kemampuan dan potensi pada diri anaknya. Sebagai contoh, seorang ayah meminta anak untuk melakukan suatu pekerjaan, tapi ketika si anak melakukannya secara tidak sesuai dengan keinginan orang tua, maka pekerjaan tersebut lekas diambil alih orang tua sambil berkata, “Begitu saja tidak bisa, sini biar saya saja yang kerjakan.” Perlakuan semacam ini dapat membunuh karakter anak, dan memasung kemandiriannya.
Pola interaksi antara orang tua dengan anak harus variatif, berjalan secara alamiah, hangat, cair, dan komunikatif. Ada kalanya orang tua berperan sebagai sahabat yang sedia kala mendegar curhatan anak. Ada kalanya sebagai ahli atau guru, motivator, inspirator, instruktur, dan posisi positif lainnya. Komunikasi verbal negatif seperti kata-kata “tidak” atau “jangan” agar sebisa mungkin diganti dengan kata-kata positif bermakna negatif seperti “belum”, “jarang”, “lebih baik begini”, “hindari”. Pujian harus dilakukan dengan tulus. Perintah dikemas dalam bentuk ajakan atau anjuran. Larangan dapat dialihkan dengan meminta anak melakukan hal-hal positif lainnya
Sinergi orang tua dengan pihak sekolah (lembaga penyelenggara pendidikan).
Kerja sama orang tua dengan pihak sekolah dimaksudkan untuk mendukung prestasi anak dalam belajar. Dan pihak sekolah seyogiyanya lebih pro aktif dalam hal ini. Ada beberapa contoh kerja sama yang dapat dijalin orang tua dengan pihak sekolah. Seperti model formulir kesepakatan orang tua dengan pihak sekolah di bawah ini.
·      Menghargai dan mendukung anak, guru-guru dan sekolah.
·      Mendukung kebijakan kedisiplinan sekolah dan peraturan yang berlaku di kelas.
·      Menyediakan tempat yang tenang bagi anak untuk belajar dan mengawasi anak dalam menyelesaikan PR.
·      Berpartisipasi dalam pertemuan orang tua-guru-siswa, baik yang formal maupun informal.
·      Berdiskusi dengan anak setiap hari mengenai kegiatan sekolahnya.
·      Mengawasi tontonan televisi dan kegiatan lain yang mungkin mengganggu waktu belajar anak.
·      Membantu pelaksanaan kegiatan sekolah atau kelas setidaknya satu kali dalam semester.
·      Meluangkan waktu bersama anak untuk membaca setidaknya 10 menit dalam sehari.[2]

Penguasaan Teknologi (Informasi dan Komunikasi).
Pesatnya perkembangan teknologi (khususnya teknologi informasi dan komunikasi) menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup masyarakat. Tak dapat dipungkiri, dewasa ini pengguna media internet (media sosial) telah mencakup hampir semua lapisan masyarakat, dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini tentu menuntut orang tua untuk berpikir lebih dinamis lagi. Mau tidak mau, orang tua masa kini juga harus menguasai pemakaian teknologi (internet). Upaya ini dimaksudkan agar orang tua dapat mengawasi anak dalam pemakaian atau aktifitas negatif dunia maya. Dengan begitu, mereka bebas mengontrol anak kapan dan di mana saja.
Mencermati uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa mendidik anak memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab utama dari orang tua atau keluarga. Selama ini, banyak orang tua berpandangan bahwa tugas mereka  hanya membesarkan anak saja, sementara urusan pendidikan diserahkan sepenuhnya ke guru atau pihak sekolah. Patutlah kemudian mereka menyalahkan sekolah jika anak mereka gagal dalam pendidikannya. Karena itu, jauh sebelum berstatus orang tua, penulis berkeyakinan kuat, bahwa orang tua yang sukses mendidik anak adalah mereka yang memiliki konsep mendidik sejak dini. Mau tidak mau, mereka harus mengubah mindset lama mereka di atas.
Lombok Tengah, 16 Mei 2017.
Marzuki Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Disamping menjalani tugas seharian sebagai seorang guru, dia juga aktif menulis Esai, Artikel Opini, Cerpen, dan Buku. Karyanya sudah tersebar ke berbagai koran lokal dan nasional.





[1] www.kpai.go.id/berita/kpai-jutaan-anak-alami-masalah-sosial. Diakses pada tanggal 15/04/2017. Pukul 20:37
[2] (http://www.education-world.com/a_curr/curr155.shtml. (dalam TUKLIT LIRP  UNESCO Bangkok. 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...