Kamis, 18 Mei 2017

Cerpen

Prestise
Oleh: Marzuki Wardi
Cerpen ini dimuat di halaman Budaya Padang Ekspress, 14 Mei 2017

“Apa hadiah yang disiapkan panitia bagi pemenang lomba ini?”
Pertanyaan menggetarkan itu meluncur dari mulut seorang siswa yang sepertinya datang dari sekolah favorit di Mataram. Dengan berkacak pinggang dan nada menyepelekan, siswa itu bertanya saat mendaftarkan diri sebagai peserta speech contest yang diselenggarakan oleh OSIS SMA Harapan Bangsa, Mekar Indah. Terang saja, Ayumi yang bertugas sebagai kordinator seksi pendaftaran pagi itu tercengang kecut. Ia bingung bagaimana harus menyikapi pertanyaan yang sama sekali tak pernah diprediksi itu. Ia membisik Yuyun yang bertugas memverifikasi kelengkapan data formulir pendaftaran. Namun, Yuyun bergeming sehingga ia menatap Rahayu. Rahayu mengalihkan pandangan ke wajah Rahmat. Rahmat pun membisu, sehingga membuang mata ke Anggun. Anggun mengerlingkan mata sembari memanggil Saeful, sang ketua panitia.  
“Oh, tentunya kami telah menyiapkan reward yang sangat berharga bagi pemenang, kawan!” jawab Saeful mengulum senyum.
“Wow hebaaat! Sejak kapan sekolah swasta seperti ini bisa menyiapkan reward berharga? Nggak salah denger, nih?”
Disambut gelegak tawa rekan-rekan yang mengiringinya, siswa pendaftar itu sukses membungkam nyali beberapa panitia. Saeful menelan ludah kering, tak menyangka kalimat frontal itu bisa keluar dari mulut seorang pelajar. Tiba-tiba pula. Rahmat turun tangan menimpali. Memang, urusan adu mulut dan adu ketangkasan, serahkan saja sama Rahmat. Tapi perihal adu bijak, Saeful lah jawaranya.
“Hei bocah, mau kubikin kacamata elitmu itu jadi penghuni pasar Loak?[1] Berapa nilai pelajaran PMP-mu, hah? Ngomong kok tak tahu adat sama sekali!” timpal Rahmat mengepalkan tangan. Padahal, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah berganti jadi pelajaran PPKN sejak tahun 90-an, sejak kurikulum 1994 diperbarui dengan KBK. Rahmat mendengar cerita mengenai pelajaran mulia itu dari ayahnya.
“Weih…keren juga aktingmu, bung!” balik si pendaftar tersenyum remeh. Dengan santai ia menjentikkan tangan ke belakang, “Gut, keluarin CV-ku! Tunjukin pada si gendut ini…” maksudnya Rahmat, “biar dia tahu siapa aku!”
Seorang siswa pendamping yang tampak menjadi jongosnya, menyodorkan secarik kertas berisi identitas disertai foto, daftar prestasi yang pernah diraih, status kesiswaan, lengkap dengan tanda tangan dan nama terang.
“Sudah kau baca item?” yang dimaksud kali ini Ayumi, “kau tulis itu jadi formulir pendaftaranku!” sambungnya lagi beberapa saat kemudian.
Suasana sempat sepi sejenak, karena semua panitia memusatkan perhatian ke selebaran yang diambil  Ayumi. Mereka melongo menatap track record prestasi siswa pendaftar yang bernama Mujahanam itu. Mereka berpikir seakan-akan hadiah yang akan diberikannya besok tidak layak untuk siswa berprestasi seperti Mujahanam. Namun, benarkah kiranya prestasi itu? Apakah seperti itu adab seorang siswa berprestasi?
Well, aku nggak punya banyak waktu, sob! Aku punya pamrih, kalau nantinya aku kalah dalam lomba ini, maka aku siap pindah sekolah ke SMA kampungan ini. Sebaliknya, kalau aku berhasil juara I, kalian semua aku saranin berhenti saja sekolah. Kalian lebih baik membuat surat keterangan tidak mampu, tidak mamfunyai bakat jadi siswa berfrestasi!”
Tawa lebar tambah mengegelegar dari mulut mereka, membuat Rahmat semakin naik pitam. Andai saja tak ada Saeful, stand pendaftaran nyaris beralih fungsi jadi ring tinju.
Mujahanam kemudian merenggang pergi dengan langkah seperti seekor serigala yang habis mencaplok kepala mangsanya. Semakin tak sabar Rahmat untuk mengejar, lalu memecahkan kacamata siswa kurang ajar itu lansung di wajahnya. Tapi, Saeful lagi-lagi tampil sebagai Mario Teguhnya SMA Harapan Bangsa.
“Mat, untuk memberi pelajaran pada seseorang, tak selamanya butuh kekerasan. Ingat, untuk menangkap seekor singa, tidak harus kita menyerangnya! Lagipula, lomba ini bukan tentang kalah dan menang, bukan mengenai hadiah atau pujian, tapi tentang sebuah prestise!” bujuknya.
Rahmat menjadi sedikit tenang.
-**-
Seminggu kemudian, saat lomba.
Barangkali, Mujahanam menganggap kompetisi itu seperti sebuah pertempuran sengit, sehingga ia berusaha melumpuhkan nyali peserta lomba lainnya dengan membeberkan prestasi yang telah diraihnya. Setiap peserta yang duduk berdekatan dengannya, mulut besarnya tanpa malu membual dari telinga yang satu ke lainnya. Besar kemungkinan, dalam pikirannya hanya dia peserta yang paling jago, sementara yang lain dianggap pecundang. Tapi, mana peduli mereka dengan bualannya.  Mereka hanya fokus menampilkan yang terbaik.
Tak dinyana, skenario ofensif itu rupanya tak bertahan lama. Nyali Mujahanam justru meregang napas terakhir di serangan peserta sebelumnya. Ia terbelalak setelah menyaksikan penampilan Sami’in—utusan dari SMAN 2 Praya—peserta pembuka, Baehaki—delegasi SMAN 1 Jonggat, Nuraini—dari SMAN 3 Tampar Ampar, Rukimah—SMAN 5 Bonder, dan beberapa peserta lainnya yang rata-rata berbicara bahasa Inggris dengan sangat fasih, seolah-olah mereka terlahir dengan kemampuan bahasa Inggris digenggamannya. Aksen dan gestur mereka sangat menarik untuk dinikmati mata. Mereka bahkan membuat juri koalahan membedakan mana bule dan mana orang Indonesia jika saja tak melihat wajah yang sedang berbicara. Penonton gegap gempita menyaksikan performa mereka. Riuh tepuk tangan menggelegar menyaingi suara mikropon.
Mujahanam yang mendapatkan nomor urut 33—undian kedua terakhir—merasa tak diuntungkan dengan kondisi ini. Suatu tekanan psikis yang tak pernah diduga-duga akhirnya terjadi. Ia naik ke atas panggung dengan diberondongi rasa gugup dan kaku. Saat membuka pidato dengan ucapan my dear brother…, kata dear dibacanya seperti lafal deer. Akibatnya,semua peserta tertawa lepas. Vita suaranya jadi mengerut seperti vita tape recorder batangan, mengakibatkan suaranya lemah dan tak jelas. Alhasil, juri memintanya untuk meninggikan volume. Berkali-kali ia mencoba menaikkan volume tapi tenggorokannya terasa seperti ada yang menyumbat. Tak lain hal itu dideranya akibat rasa gugup yang semakin mencekik. Akhirnya, karena ditegur kesekian kalinya oleh juri, ia berusaha menarik nafas, menekan suara, lalu menjerit sejadi-jadinya sehingga suara yang dihasilkan seperti lolongan anjing tengah malam. Hasilnya, ia sukses membuat semua peserta, penonton dan juri tertawa terpingkal-pingkal. Tepuk tangan pun berubah menjadi gelak tawa. Mujahanam turun panggung dengan langkah kikuk. Ironisnya, ia tetap bangga dengan apa yang telah ditampilkan, dan selalu yakin bakal jadi pemenang lomba.  
-**-
Saat pemenang lomba diumukan, Firaun berseragam putih abu-abu itu terperangah setelah mendengar namanya tak disebut sebagai juara. Kesalnya ia bukan kepalang. Ia tak menerima keputusan dewan juri. Dibukanya kacamata minus yang dikenakannya untuk memastikan juri lombanya bertampang intelek tau tidak. Sayangnya, pandangannya semakin kabur. Ketiga dewan juri itu malah menjelma menjadi makhluk halus berwajah rata di matanya. Ia lupa bahwa ia tak bisa melihat dari jarak jauh tanpa kacamata. Bibir tebalnya menggerutu tak karuan. Giginya menggeletuk-geletuk macam tokek mau berbunyi, sehingga mengundang perhatian para peserta yang duduk di dekatnya. Tak ketinggalan, panitia lomba menyoroti adegan konyol siswa congkak itu. Anggun mencebikkan bibir. Ayumi menahan tawa. Rahmat mengacungkan jempol, tapi sayang acungannya ke bawah. Saeful tetap menjaga marwah bak seorang pejabat legislatif. Setan yang bersarang dalam tubuh siswa congkak bernama Mujahanam itu akhirnya keluar. Mujahanam tertunduk pasrah seperti patung The Thinker karya Auguste Rodin. Ia menerima segala kekalahannya bulat-bulat. Dan, setelah diselidiki ternyata rentetan prestasi yang tertulis pada CV-nya hanya sebuah kebohongan semata. Tujuannya adalah untuk mengecoh nyali peserta lainnya. Rahayu, teman satu sekolahnya bercerita bahwa Mujahanam adalah siswa nakal yang terobsesi menjadi siswa berprestasi.    
Benar belaka pernyataan Saeful, untuk mematahkan kesombongan seseorang tak selamanya harus dengan  kekerasan. Pada akhirnya, ia akan sadar sendiri dengan adab dan perilaku baik yang justru kita berikan padanya. Disaat itulah transfer kebaikan terjadi. Mujahanam, sebagaimana sesumbarnya pada saat mendaftar, secara de jure dan de facto ia menyatakan diri untuk berpindah sekolah ke SMA Harapan Bangsa. Rahmat menerima iktikad baik itu. Saeful menyambut dengan antusias. Anggun dan semua panitia lomba juga. Sejak itulah mereka berteman baik di satu atap sekolah. Langit bersemu merah menyaksikan kepolosan mereka!  
Lombok Tengah, 24 April 2017.

Marzuki Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Disamping menjalani tugas seharian sebagai seorang guru, dia juga aktif menulis Artikel Opini, Cerpen, dan Buku. Beberapa bukunya yang telah terbit diantaranya, Negeri Antah Berantah (Kumpulan Cerpen, penulis tunggal. Terbit di akhir tahun 2016), Kado Pernikahan (berupa Antologi Cerpen, terbit di tahun 2016), Tata Krama (Takra, berupa Antologi Cerpen, terbit di awal tahun 2017). Buku yang sedang digarap, Mahir Menulis Kalimat Bahasa Inggris Dalam Hitungan Menit (hampir rampung), Adat dan Tradisi Suku Sasak dalam Perspektif Pendidikan (hampir rampung).




[1] Sebuah pasar yang menjual barang-barang bekas yang terletak di kawasan Cakra, Mataram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...