Jumat, 22 Desember 2017

Cerpen

Romantika Sepucuk Edelweis
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Info Timur edisi Sabtu, 22 Desember 2017

Jam dinding sudah menginjak angka 8. Di luar hujan mulai turun. Beberapa menu makanan yang kumasak tadi sudah berjejeran di atas meja saji. Aku duduk sendirian di sofa, mengelus-elus perutku yang semakin hari kian membuncit sambil menunggu kepulangan suamiku, Mas Pandi. Sesekali aku melirik keluar dan menyingkap tirai jendela dengan harapan dia sudah berada di depan gerbang. Akan tetapi, beberapa jam aku sudah menunggu, tubuhnya yang jangkung itu belum jua hinggap di mataku.
Akhir-akhir ini, dia memang sering pulang terlambat. Bahkan, dia sesekali pulang larut malam. Tentu saja aku tahu dia tak pergi hura-hura, poya-poya, atau entah aktifitas lain yang tidak bermanfaat. Melainkan, Mas Pandi pergi bekerja untukku dan seorang anak yang masih kukandung dalam perutku. Dan barangkali, saat ini dia sedang banyak job sehingga jadwal kerjanya jadi sedikit berantakan.
Tetangga-tetanggaku bilang aku beruntung menikah dengan dia. “Pandi itu selain orangnya ganteng dan baik hati, dia juga pekerja keras,” kata mereka. Tentu, sebagai seorang istri, aku senang mendengar hal itu. Namun, di sisi lain, ketidak hadiran Mas Pandi di sampingku saat ini membuat pikiranku bukan merasa seperti wanita beruntung itu. Bagaimanapun, ada satu hal yang lebih penting dari sekedar soal materi, yaitu kebersamaan. Dan orang-orang tahu itu. Apalagi, kami masih tergolong pasangan baru.
Aku kembali menghempaskan tubuh ke atas sofa dan membuka WA lalu menulis pesan, tapi tampaknya WA Mas Pandi aktif beberapa jam yang lalu. Kucoba jejaring sosial yang lain seperti BBM, fecbook, twitter, dengan pikiran kali saja Mas Pandi sedang istirahat lalu berkesempatan membuka salah satu diantara media sosial tersebut. Namun, hasilnya tetap sama. Berkali-kali aku juga sudah menghubungi nomor ponselnya, tapi masih tetap tidak aktif. Aku pun resah dan bosan menghadapi situasi seperti ini.
Mataku kini terseret ke sepucuk edelweis yang terletak di atas almari ruang tamu. Hanya benda itu satu-satunya yang dapat membuatku sedikit tenang dan tersenyum saat ini. Sebenarnya aku tidak suka bunga atau mengoleksi bunga-bunga lain. Akan tetapi, karena bunga itu pemberian dari Mas Pandi saat kami pacaran dulu, aku jadi menyukainya. Kau tahu, salah satu hal yang pasti kau cari di saat orang yang kau sayangi tak berada di sisimu adalah benda yang paling berkesan saat kau bersamanya. Dan itulah kenapa, beberapa tangkai edelweis yang direndam air dengan vas transparan itu, mampu mengobati rinduku sementara waktu Mas Pandi tak di sisiku.
“Bunga ini tak bisa mati, Na. Karena itu, dia adalah pelambang keabadian. Jadi, kau paham kenapa aku kasih bunga ini padamu, bukan mawar yang harum?” tulis Mas Pandi pada secarik kertas suatu sore. Aku ingat, waktu itu adalah akhir-akhir masa kuliah kami.
Senyumku tambah melebar mengingat itu. Yang membuatku tersenyum sebetulnya bukan kata-kata Mas Pandi, akan tetapi lebih kepada caranya menyampaikan perasaannya padaku. Dulu Mas Pandi memberikan bunga itu bukan secara langsung berhadapan. Tapi, dia mengirimiku melalui jasa post kilat lengkap dengan cap post di sampulnya. Tentu aneh, bukan? Kau tahu, aku bilang itu aneh karena hampir setiap hari kami bertemu di kampus. Namun, kenapa Mas Pandi tak memberiku secara langsung saja?
Siang menjelang sore itu aku baru pulang kuliah ketika seorang laki-laki berkumis dengan seragam oranye mendatangiku dan mengulurkan sebuah kotak terbungkus kertas berwarna cokelat muda polos. Seperti kotak kado ulang tahun, tapi minim dekorasi. Aku penasaran. Waktu kutanya juru antar post itu isinya apa? Dia bilang tidak tahu, karena tugasnya hanya mengantar barang-barang saja tanpa mengetahui detail isi barang. Dan setelah kubuka, baru kutahu rupanya kotak itu dari Mas Pandi dan berisi sepucuk edelweis di dalamnya disertai selembar kertas.
Mulutku tak henti-hentinya mengulum senyum sehingga apabila ada orang yang melihatku waktu itu, pastilah mengganggapku alumni rumah rehabilitasi jiwa. Maka, kulanjutkan senyumku ke dalam kamar dengan membaca secarik kertas yang menyertai bunga edelweis itu sendirian. Di sana Mas Pandi menuliskan segala tentang perasaannya padaku. “Maaf ya, aku melakukannya dengan cara ini? Kamu boleh tak suka, asal kamu jangan murka padaku,” tulisnya di bagian awal.
Aku tahu dia melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Mas Pandi itu adalah satu-satunya mahasiswa paling pemalu di kampus. Tapi, pemalunya hanya pada saat berhadapan dengan wanita yang dia sukai, katanya. Barangkali itulah alasan Mas Pandi selalu merah mukanya jika berbicara denganku saat kami sesekali mendiskusikan tugas kampus. Kata-katanya putus-putus layaknya seorang bayi yang masih cadel belajar ngomong. Lalu tak tahan lama-lama duduk di dekatku, lalu tiba-tiba dia sudah beralih ke dekat teman lain yang cowok. Di saat-saat seperti itu, teman-teman selalu tertawa dibuatnya. Maka semakin Mas Pandi ditertawai, makin pucatlah wajahnya seperti orang habis kena setrum.   
Kami memang sudah berteman cukup lama. Dia adalah seorang teman kelas di kampus. Namun, layaknya teman-teman cowok lain di kelas, kami hanya berteman dan bahkan sulit untuk dikatakan akrab. Sebab, begitulah adanya sikap Mas Pandi padaku. Kemudian, mengenai kenapa dia memberikanku setangkai bunga edelweis, bukan bunga mawar atau bunga-bunga lainnya yang asri, adalah tidak lain karena Mas Pandi itu seorang pemuncak. Ya, dia sangat suka memuncak. Jadi, setiap kali berbicara, kata-kata perihal gunung pastilah sesekali terucap dari mulutnya yang tipis.
Dan sejak Mas Pandi mengirimiku edelweis itu, entah kenapa sikapnya jadi sedikit berubah padaku. Dia semakin jarang kutemui di kampus. Kecuali hanya pada saat belajar, kemudian dia keluar entah ke mana? Aku sering menghubunginya melalui sms, telpon, tapi seringkali tak terbalas. Kondisi itu membuatku jadi penasaran dan bertanya-tanya, ada apa dengannya? Aku pun selalu menghampiri dan mengajaknya bicara seolah aku yang benar-benar membutuhkan Mas Pandi, tapi dia suka berkelit sambil tersenyum tanpa alasan yang pasti. Itulah saat-saat pertama di mana aku tak sadar diriku telah terjerambab cinta laki-laki pemalu.
Kau tahu, orang pemalu itu ternyata berbahaya. Karena dia suka menyatakan sesuatu yang membuatnya malu dengan cara yang tak sama dengan orang lain yang percaya diri. Hal tersebutlah yang kemudian membuatnya unik dan berbeda dan membuat seorang wanita terkesan. Sebab itu, kawan, hati-hatilah dengan orang pemalu. Ia pandai membuat kejutan dengan seribu cara yang tak diduga. Dan itulah yang kualami pada Mas Pandi. Aku yang selalu mengajaknya untuk bicara lebih dahulu. Aku yang setiap pagi menunggu kedatangannya di dekat gerbang kampus. Diam-diam aku mulai benci bila melihatnya bicara dengan gadis lain. Padahal dia sendiri tak pernah melakukan itu padaku.   
Hingga suatu hari di penghujung semester, aku mengajak Mas Pandi bertemu empat mata di sudut taman kota. Aku ingin tahu alasan kenapa hal itu dilakukannya padaku.
“Maafin aku, Gina…” katanya terputus mengawali percakapan kami sore itu, yang kuduga kalimat lanjutanya seperti ini: aku sudah punya tunangan atau aku sudah punya pacar, atau kalimat-kalimat lain yang serupa.
 “Aku tahu, mungkin kamu tak suka dengan caraku atau malah tak suka dengan bunga itu sehingga kamu ngajakin ketemu lebih dulu. Kau tahu sendiri kan aku ini hanyalah seorang laki-laki pemuncak. Eh, tapi kau tahu, memetik bunga itu sekarang resikonya berat, bisa dipidana, karena itu bunga langka dan dilindungi pemerintah,” katanya melanjutkan pembicaraan.
“Wah, kalau begitu kita bisa dipidana dan dipenjara, dong?” jawabku.
“Ah, nggak apa-apa, kok. Tenang saja, yang penting di penjara kita bisa bersama. Hehe.”
Runtuhlah rasanya langit di atasku dengan kalimat Mas Pandi. Ingin saja kugeser tempat dudukku lalu bicara lebih dekat tanpa jarak dengannya. Tapi, kursi yang kududki dibuat permanen dengan bahan beton, sehingga aku tak mungkin bisa melakukan itu. Aku hanya bisa menunduk dengan mulut bungkam. Dia juga turut menunduk. Kami sama-sama saling melihat ujung sepatu yang berkutik-kutik di bawah meja taman. Untuk pertama kalinya aku tertunduk dengan kata-kata yang keluar dari mulut seorang pemalu. Dan mulutku seketika serasa berpindah fungsi menjadi telinga, yang hanya siap menerima, tak mampu mengeluarkan kata-kata.
“Lalu…apa jawabanmu, Gina?” balasnya menyerangku dengan pertanyaan. Sepertinya kepercayaan dirinya mulai menguar.
“Jawaban?” tanyaku mengulangi.
“Iya, j…a…w…a…b…a…n,” katanya perlahan mendekatkan wajahnya, “kamu ngerti apa maksud surat yang kukirim berasama dengan edelweis itu?” lanjutnya.
Aku benar-benar merasa tidak sedang berbicara dengan Mas Pandi. Ia tampak bukan seperti yang kupikir sebelumnya. Selain jago membuat penasaran, cowok pemalu ternyata bisa romantis juga, pikirku. Dan kalimat yang dimaksud tentu perihal kata-kata “abadi” di surat itu.
“Aku nggak tahu mesti jawab apa, Pan.”
 “Aku ingin seperti edelweis itu, Na. Aku ingin abadi untukmu.”
Tak berkedip mata Mas Pandi menatapku. Demikian juga aku, kulihat mataku di sana, menyatu dengan matanya. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah dia mengungkapkan keinginannya untuk memilikiku sepenuhnya. Dan kami pun mengikat sebuah janji untuk saling setia selamanya.
***
Tak terasa, edelweis yang kini sudah berada di genggamanku, telah membawaku mengembara selama satu jam lebih ke masa lalu. Sementara, Mas Pandi masih belum juga sampai rumah. Hujan pun sudah mulai reda. Perasaanku semakin tak menentu. Untuk kesekian kalinya kubuang mata keluar jendela. Jalanan di depan rumah tampak mulai lengang. Bau khas tanah yang telah diguyur hujan menguar, menusuk indra penciumanku.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Muncul nama Mas Retno di sana, teman sekantor Mas Pandi.
“Maaf, ini dengan Gina?” tanyanya. Suaranya sedikit tersendat dan kurang jelas. Barangkali ia sedang berada di jalan sehingga jelas terdengar suara angin.
“Iya, kenapa, Mas?”
“Begini, Gina…kamu…”
“Iya, kenapa, Mas, tolong jangan buat saya penasaran begitu?”
“Pandi mengalami kecelakaan saat pulang dari kantor. Dan sekarang kami sedang dalam perjalanan pulang…” kata-kata Mas Retno yang seterusnya tak begitu jelas kudengar. Karena selain bunyi sirine ambulance yang bertalu-talu, handphone-ku juga spontan terjatuh ke lantai. Bunga-bunga edelweis melorot dari tanganku.
Ketika aku terbangun, Mas Pandi sudah kutemukan dalam keadaan tak bernyawa. Air mataku tumpah ruah tanpa bisa melakukan gerakan yang berarti. Karena selain berusaha menahan perutku, tubuhku serasa kaku dan sudah tak bisa digerakkan lagi. Ini semua sungguh terlalu cepat. Tapi, aku berjanji untuk mengabadikan cinta pada Mas Pandi pada sepucuk edelweis yang diberikannya.
Lombok Tengah, 19 Desember 2017.

Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai, dan Resensi. Pada awal Agustus 2017 lalu, ia meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayan RI sebagai nominator juara artikel opini tentang pendidikan yang diselenggarakan oleh Sahabat Keluarga Kemdikbud RI. Bukunya, Kado Pernikahan (Antologi Cerpen, 2016), Negeri Antah Berantah (Kumpulan Cerpen, 2016), Tata Krama (Antologi Cerpen, 2017).



Rabu, 20 Desember 2017

Artikel Opini

Pariwisata Sebagai Sebuah Strategi Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Oleh: Wardie Pena
Sumber ilustrasi: https://www.google.co.id/search?q=gambar+pantai+di+lombok
Artikel ini mendapat predikat Terbaik pada Lomba Desain Poster, Fotografi, Film Pendek, dan Penulisan Kreatif untuk kategori Penulisan Kreatif yang diselenggarakan Dinas Kominfotik NTB tahun 2017 dan mendapat penghargaan dari Gubernur Propinsi NTB

Dalam suatu kesempatan, saya pernah berkunjung ke beberapa objek wisata yang terdapat di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang akan saya ceritakan ini adalah bukan panoramanya, jumlah pengunjung, pelayanan, ataupun kenyamanan berwisata di tempat-tempat tersebut. Karena hal-hal semacam itu tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, yang saya maksud ini adalah atmosfir lingkungan yang terdapat di sana, di mana dominasi bahasa Inggris yang demikian terasa. Mulai dari papan nama tempat wisata, nama rumah makan, menu masakan, petunjuk arah, hingga buku panduan wisata, yang terkesan sangat kental dengan istilah asing atau bahasa Inggris.
Saya berpikir, kalau terus-menerus seperti ini, kapan bahasa Indonesia akan mampu bersaing menjadi bahasa internasional? Jikapun penggunaan-penggunaan istilah tersebut ditujukan agar memudahkan wisatawan mancanegara (wisman), lalu untuk apa mereka berkunjung jauh-jauh bila suasana yang mereka temukan justru persis seperti di kampung halaman mereka?
Artinya, saya bukan berarti anti terhadap bahasa Inggris. Karena memang kita tidak bisa pungkiri peranannya sebagai bahasa Internasional saat ini. Namun hal ini menunjukkan masih belum siapnya mental kita untuk mengomunikasikan budaya kita menggunakan bahasa Indonesia ke masyarakat internasional. Dengan kata lain, kita masih belum percaya diri untuk bersanding di panggung rivalitas global.
Sektor pariwisata, yang berperan mengantarai interkasi verbal antara masyarakat dengan para wisman, pada dasarnya memiliki potensi besar menjadi bagian dalam upaya internasionalisasi bahasa Indonesia. Mengingat, para wisman tersebut dapat secara langsung menyaksikan budaya yang kita miliki. Bahkan, salah faktor ketertarikan mereka disamping keindahan alam adalah keunikan dan keragaman budaya kita. Terlebih, branding Wisata Halal Dunia (World Halal Tourism) yang diraih beberapa objek wisata NTB di Abu Dhabi tahun lalu, bisa menjadi daya tarik dalam peningkatan jumlah wisman. Lantas apalagi yang kita ragukan?
Namun, untuk mendukung agenda besar tersebut, gagasan yang perlu dikemukakan saat ini adalah bagaimana membekali anak bangsa dengan fondasi kultural yang kuat, dan merancang sebuah strategi kebudayaan melalui sektor pariwisata, yang tentunya dengan misi internasionalisasi bahasa Indonesia.
 Revitalisasi kearifan (budaya) lokal
Hampir semua daerah di NTB memiliki kearifan (budaya) lokal yang menarik di mata masyarakat internasional. Dalam masyarakat Sasak misalnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari praktik-praktik sosial seperti berolem,[1] betabeq,[2] bebase,[3] saling tulung,[4] dan sebagainya. Demikian juga dengan masyarakat Mbojo. Mereka punya rimpu,[5] rawi rasa,[6] cafi sari[7], dan beragam tradisi lainnya.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini, tradisi-tradisi dimaksud tampak semakin memudar. Sebut saja tradisi berolem pada masyarakat Sasak. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat kekeluargaan, juga mencerminkan tingginya penghormatan masyarakat Sasak atas tamu yang akan menghadiri acara tertentu. Namun, kehadiran teknologi handphone (HP) telah mengganti peranan tradisi ini dalam tatanan masyarakat.—meskipun tidak sepenuhnya. Tradisi ngayo (silaturrahmi ke tetangga) misalnya, juga telah terwakili dengan kehadiran media sosial.
Pengaburan nilai-nilai kearifan (budaya) lokal ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali pelajaran budaya lokal di sekolah, menuangkan wawasan budaya lokal dalam bentuk karya tulis, pagelaran festival atau pameran budaya, dan cara-cara lain yang dapat melestarikan budaya lokal.
Maka, revitalisasi kearifan (budaya) lokal dalam hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.
Pendidikan bahasa yang lebih visioner
Salah satu dampak yang kemungkinan muncul dari pemberdayaan budaya di atas adalah primordialisme. Tapi, hal ini bukanlah sebuah ancaman serius. Kebinekaan tidak akan terurai hanya karena soal primordialisme. Bahasa Indonesia masih dapat dijadikan sebagai magnet perekat bangsa. Jadi, pertanyaannya adalah, bagaimana mengomunikasikan budaya yang sudah terbentuk di atas dengan budaya asing?
Mau tidak mau, untuk mengejawantahkan tawar menawar budaya, bahasa asing memang harus dipelajari. Dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Tidaklah mungkin interakasi kultural tersebut akan berlansung tanpa perantara media komunikasi. Namun, selama ini bahasa Inggris cenderung dipelajari hanya karena adanya tuntutan dari isntitusi pendidikan (sekolah), dunia kerja, atau sebatas keperluan untuk memenuhi syarat melamar pekerjaan saja. Mentok sampai di sana. Sangat jarang kemudian kita temukan seseorang belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan tujuan lebih dari sekedar memenuhi tuntutan tersebut. Misalnya, mengenalkan atau mengajari bahasa Indonesia kepada para wisman.
Selain karena sudah diserahkan ke lembaga penyelenggara kursus Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing (BIPA),  kondisi ini menunjukkan kesadaran komparatif masyarakat kita masih sangat rendah. Karenanya, meminjam istilah Profesor Alwasilah, pendidikan bahasa dewasa ini harus mengusung visi “Keunggulan Komparatif”.
Orientasi pendidikan bahasa sudah seyogiyanya tak sekedar membentuk keterampilan dan kecakapan berbahasa asing semata, tapi juga lebih kepada membangun kesadaran generasi bangsa untuk mengomunikasikan budayanya sendiri ke khalayak internasional. Saya memiliki mimpi besar ke depan, dari visi ini terlahirlah kemudian kurikulum, khususnya dalam hal ini bahasa Indonesia, yang mengakomodir pelajaran muatan (budaya) lokal bagi penutur asing. Ini cukup prospektif mengingat semakin terbuka lebarnya interaksi sosial antar bangsa sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Peningkatan jumlah wisatawan asing dari tahun ke tahun setidaknya jadi satu contoh.
Maka, apa yang saya maksud mengenai pariwisata, kearifan (budaya) lokal dan pendidikan bahasa, jika dipandang secara holistik, merupakan sebuah strategi kebudayaan dalam meng-internasionalisasikan bahasa Indonesia. Pariwisata merupakan gerbang yang cukup potensial menuju panggung rivalitas global. Bahasa Indonesia sebagai jembatan penghubung yang mengomunikasikan kearifan-kearifan (budaya) lokal dengan budaya asing. Dengan begitu, khazanah kebinekaan akan memenuhi ruang kebangsaan. Kemudian, di mata internasional, patutlah kemudian Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan kekayaan budaya.
Jika seorang guru besar bahasa Indonesia berkebangsaan Jerman, Profesor Berthold Damshauser, sangat yakin akan peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional karena kekayaan budaya dan keluhuran budi penuturnya, lantas kenapa kita tidak percaya diri?
Lombok Tengah, 22 Oktober 2017.




[1] mengundang dengan cara menyampaikan lansung (lisan) ke rumah-rumah.
[2] cara mengatakan permisi dengan menundukkan tubuh dan menurunkan tangan kanan saat lewat di depan orang.
[3] Dalam interaksi sosial, seseorang yang lebih kecil tidak boleh menyebut nama orang yang lebih tua. Sebagai gantinya adalah menyebut gelar usia seperti tuaq (paman), saik (bibik), papuk (kakek atau nenek), Inak kake (tante), amak kake (paman/kakak dari ayah atau ibu), dan sebagainya.
[4] Saling bantu setiap ada orang bangun rumah, bercocok tanam, pesta, meninggal, dan sebagainya.
[5] Memakai sarung dengan melingkarkannya pada kepala di mana yang terlihat adalah sepasang mata pemakainya.
[6] Semua kegiatan yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat.
[7] Berarti upacara menyapu lantai yang dilakukan untuk menyampaikan puji syukur karena seorang ibu telah berhasil melahirkan seorang anak dengan selamat.

Selasa, 19 Desember 2017

Esai Bahasa

Move on
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Pikiran Rakyat Edisi 22 Oktober 2017

Move on, tidak lain merupakan frasa kata kerja dalam bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni kata kerja move yang berarti pindah, dan on merupakan kata depan yang berarti di atau di atas. Namun, mengartikan kata tersebut tentu saja tidak bisa secara perkata. Misalnya menjadi pindah di atau pindah di atas. Untuk mengartikan frasa tersebut haruslah menyesuaikan dengan konteks di mana frasa tersebut digunakan. Dan memang frasa juga telah memiliki arti secara khsus untuk digunakan dalam kondisi tertentu.
Dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia, frasa tersebut seringkali saya temukan digunakan secara tidak lazim dengan arti aslinya. Misalnya, seorang gadis yang mengatakan “Saya sudah move on dengan pacarku” untuk menunjukkan bahwa ia sudah ganti pacar. Atau, “Move on…move on dong, hari gini masih belum punya WA?” untuk meminta seseorang membuat akun WA. Bahkan, dalam lingkungan formal pun saya pernah mendengar seorang pemateri seminar mengatakan “move on” untuk menegaskan bahwa dia ingin pindah materi yang satu ke materi berikutnya.
Fenomena campur kode atau mixing code dalam kegiatan berbahasa sehari-hari itu, akhir-akhir ini memang semakin marak. Dan tentu itu tidak perlu dipersoalkan. Namun, bukan berarti kita harus mengabaikan dan merubah makna sesungguhnya dari bahasa sumbernya, sehingga penggunaan frasa tersebut tidak terkesan asal dan bermakna rancu.
Move on, dalam kamus Cambridge Advance Learner’s Dictionary (CALD 3) dirangkai dengan dua kondisi, yakni tempat dan aktifitas. Maka, move on akan berarti meninggalkan tempat lama dan pergi atau pindah ke tempat lainnya jika digunakan untuk menerangkan tempat. Misalnya, saya sudah tinggal di kontrakan ini selama sepuluh tahun, saya pikir ini sudah waktunya untuk move on. Jelas, ini berarti si penghuni kontrakan akan berhenti tinggal di tempat lama, dan akan tinggal di rumah baru yang lain dan lingkungan yang berbeda. Dan, apabila digunakan untuk menerangkan suatu aktifitas, maka move on berarti memulai aktifitas baru. Contoh, saya sudah menjadi guru di sekolah ini selama lima belas tahun, bulan depan saya akan move on. Kondisi ini menerangkan bahwa si guru tersebut akan berpindah profesi menjadi profesi lainnya yang bukan guru.
Dua contoh tersebut menunjukkan adanya penekanan pada arti “baru” terhadap farasa move on. Maka, apabila dihubungkan dengan temuan saya di atas. Kondisi pertama, kenapa tidak si gadis tersebut mengatakan “Saya sudah break dengan pacar lama saya, dan sudah punya pacar baru?” Pada contoh yang kedua, kalimat tersebut sebenarnya dapat saja diganti dengan ungkapan “Buat akun WA dong, hari gini belum punya WA?”. Terakhir, kenapa si pemateri tidak menggunakan kata next saja untuk menunjukkan pindah materi. Atau dapat juga dengan kata move tanpa on.

Maksud saya, campur kode memang sudah menjadi hal yang galib dalam bahasa keseharian kita. Namun, alangkah baiknya jika kita memahami arti sesungguhnya sehingga tidak mengurangi maksud ungkapan yang disampaikan, dan tidak menimbulkan kesalah tafsiran bagi lawan bicara.

Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Beberapa diantaranya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Buku tunggalnya, Negeri Antah Berantah (Penerbit MM, 2016).

Kamis, 14 Desember 2017

Cerpen

Kepulangan Jupri
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Radar Lampung Edisi 3 Desember 2017

Ketika malam datang, Arimi selalu teringat pada Jupri. Keping saat-saat kebersamaan yang hampir usang di kepalanya, sesekali berurai menggores rindu di dadanya. Dan kerinduan itu akan semakin membuncah manakala ia melihat tetangganya berkumpul dengan anak cucu; makan bersama, bercengkrama, tertawa bersama, sedih bersama, bahkan mungkin mati akan terasa menggembirakan bila bersama-sama. “Kapan aku bisa seperti itu lagi?” lirihnya dalam hati. Seketika  perasaan itu muncul, ia merasa bahwa dirinya telah gagal menjadi seorang istri. Dulu, momen-momen itulah yang selalu ia nantikan dengan Jupri, suaminya.
“Bagaimana kabar Bang Jupri, Mak? Kapan pulangnya?” tanya Yem, seorang warga kampung yang membeli sayur.
Pagi ini Arimi berjualan keliling ke rumah-rumah warga seperti biasanya. Mendengar pertanyaan itu, mulutnya menyungging senyum kecut, menyembunyikan rasa kecewa pada Jupri yang akhir-akhir ini belum ada angin menghembuskan kabarnya.
“Ah, kalau tak ada halangan, tak lama ini dia akan pulang. Tahulah Yem, ongkos dari luar negeri ke sini kan mahal. Belum lagi beli oleh-oleh dan ini itu.” Kalimat yang diucapkan Jupri beberapa tahun lalu, seketika berkelebat dalam kepala Arimi.
 “Wah, pasti bawa banyak duit, dong? Kan perginya udah lama gitu,” balas Yem menyelidik, sebagaimana kebiasaan ibu-ibu rumah tangga lain pada umumnya.
 “Ya, semoga aja Yem. Oh ya, Mak keliling dulu ya? Sudah hampir jam sembilan ini.” Arimi sengaja menebas pembicaraan dengan Yem untuk menghindari pertanyaan lanjutan. Ia pun segera merenggang dari rumah perempuan beranak satu itu.
Di perjalanan, Arimi masih meraba-raba kalimat terakhir yang diucapkan suaminya bertahun-tahun lalu, yang barusan jadi perisainya di depan Yem. Kalimat yang dirasakan cukup menusuk hati itu selalu membuatnya menghindari pembicaraan dengan orang lain. Karena hingga saat ini, bertahun-tahun lamanya, janji itu belum jua terwujud. Sementara, dirinya harus menanggung dua beban sekaligus: beban rindu dan malu atas stigma buruk suaminya sebagai laki-laki tak bertanggung jawab.
Arimi kesal. Andai waktu seperti sebuah jalan yang kapan saja boleh dilalui kembali, ia tentu akan menelusuri pori-pori waktu meski sejauh apapun, hingga menemukan sebuah titik yang memisahkannya dulu dengan Jupri. Kemudian, di titik itulah ia akan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak membiarkan suaminya pergi. Tapi sayang, waktu adalah waktu dan jalan tetaplah sebuah jalan, sehingga ia tak berdaya melakukan semua itu.
Kondisi itu pun menyeret pikiran Arimi ke masa lalu. Sembilan tahun silam, Jupri pergi merantau ke tanah jiran. Bersama tiga orang teman kampung, Sukri, Tarman dan Nasri, dia berangkat dengan membawa segudang mimpi dan rencana besar. Dan Arimi sendiri melepaskan kepergian sang suami dengan harapan kelak ia akan kembali dalam kondisi berbeda. Meski sebenarnya waktu itu ia merasa berat melepas kepergian laki-laki tersayangnya, namun kondisi ekonomi yang menghimpit ditambah dua tanggungan yang harus dihidupi memaksanya harus rela hidup jauh dari suami.
Tapi, kenyataan hidup memang terkadang senyatanya. Di tanah rantau Jupri menemukan selimutnya. Beberapa tahun di negeri rantau, ia merasakan kenyamanan yang seolah tak didapati di kampung halaman. Di sana ia menghabiskan hari-harinya bagai tiada lagi yang perlu dicari di rumah. Sehingga teman-temannya sudah pulang beberapa kali dan berhasil membuat rumah dan menyekolahkan anak, Jupri hilang kabar.
Sementara, di rumah, Arimi menunggu-nunggu kabar darinya, akan tetapi kenyataan telah menipu harapan Arimi. Jupri terlena dengan kehidupan di negeri seberang. Seringkali Arimi menengok ke langit jika ada pesawat terbang lewat. Kalau-kalau itu pesawat yang membawa Bang Jupri pulang, pikirnya. Terkadang sesekali sore ia menengok ujung gang di depan rumah yang menghubungkan ke jalan umum. Hati kecilnya berkata; siapa tahu Bang Jupri tiba-tiba muncul di sana, dan sengaja tak memberikan kabar kepulangan dengan tujuan memberi kejutan. Tapi, tetap saja jasad suami tercintanya itu berada di bawah langit rantauan.
***
Mak kenapa?” tanya Birin, anak pertama Arimi yang baru beranjak usia remaja, ketika melihat raut wajahnya pulang dalam keadaan kuyu.
Arimi bergeming dan segera meletakkan ranjang yang dipakai menjual sayur ke meja dapur.
“Mak capek, ya?” Leni yang baru saja pulang sekolah, mengekori pertanyaan kakaknya.
“Ndak kok, nak. Biasa saja.”
Birin melihat ada sesuatu yang beda dari raut wajah Maknya. Semacam rahasia yang sulit untuk diungkapkan, membuatnya tak mau bertanya lebih lanjut. Birin takut jikalau pertanyaannya nanti malah menyinggung perasaan Mak.
“Oh, ya, Ayah kapan pulangnya, ya?” Leni menyahut lagi, “sudah lama sekali Ayah tak menelpon.”
“Ah, sudahlah. Besok juga kalau Ayah kangen, pasti telpon dan bicara sama kalian.” Arimi membuang mata ke pohon mangga di halaman rumah sambil mengerutkan dahi. Barangkali ia berusaha menyandarkan ingatannya di sana, lalu mengurai usia pohon tersebut dengan kepergian suaminya. Seingatnya, tiga bulan setelah Bang Jupri meninggalkan rumah, pohon itu di tanam dan kini ia sudah pandai berbuah.
“Tapi firasatku kok tidak enak ya, Mak?” Birin menimpal lagi setelah tadi terdiam. Pertanyaan Leni seolah memancingnya untuk mengeluarkan perasaannya.
“Tidak enak bagaimana maksud kamu, Rin?”
“Ya, aku khawatir saja terjadi apa-apa dengan Ayah. Semalam aku bermpimpi ia dikejar seekor burung raksasa. Dan semakin Ayah berlari, burung itu terus-menerus mengejarnya, hingga akhirnya dia tertangkap dan tak bisa memberontak. Sampai di situ aku bangun.”
“Ah, biasa, mimpi kan kadang bunga tidur, Rin.”
 “Yah, semoga Ayah baik-baik saja.”
Arimi kemudian menyeret kakinya ke dapur yang tak jauh dari ruang tengah tempat mereka tidur. Rumah itu memang tidak besar. Dan barangkali lebih tepat disebut gubuk ketimbang rumah. Meski dindingnya terdiri dari bahan bata, tapi ia tampak hampir roboh. Warna catnya, selain sudah kusam, juga sudah melepuh hampir di semua sisi. Daun pintu, kusen dan bingkai jendela sebagian telah mengelupas digrogoti rayap. Kehadiran beranda di depannya tak mampu memperindah arsitektur bangunan.
Tiba-tiba langkah Arimi tercekat dengan kedatangan Pak Sadri, tetangganya yang datang membawa HP dan mengabarkan bahwa Jupri baru saja menelpon dan ingin berbicara dengannya. Arimi segera meraih HP tersebut dari tangan Pak Sadri. Wajahnya sekonyong-konyong menunjukkan roman riang, seakan apa yang dinanti-nantinya selama ini telah terjawab. Benda itu pun mampu menarik sudut bibir Arimi menjadi senyum, sampai-sampai rengekan dua anaknya yang ingin berbicara dengan Ayah tak ia hiraukan sama sekali. Dua bocah itu kemudian menempeli tubuh Maknya, menguping pembicaraan dalam HP. Namun, selang beberapa saat, alat komunikasi canggih itu dimatikan. Arimi berlunjak-lunjak riang dan merengkuh tubuh Birin dan Leni. Mereka heran dan menatap wajah Mak dengan penuh tanda tanya.
***
Esok harinya Arimi memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin mengadakan sedikit acara penyambutan atas kepulangan suaminya. Juga sebagai luapan rasa syukurnya. Tak sabar rasanya ia bertemu lalu memeluk suami tercintanya. Betapa perpisahan selama bertahun-tahun membuat Arimi seolah menyambut tamu kehormatan. Padahal, Jupri tak lain adalah belahan hatinya yang dengannya ia menjalani hidup selama berpuluh-puluh tahun.
Menjelang senja, semua masakan ala kadarnya sudah berceceran di atas tikar. Ini adalah makan bersama setelah berpuluh tahun berpisah, pikir Arimi. Ia pun mulai menengok-nengok ujung gang, tempat di mana tubuh Jupri akan mulai tampak. Berkali-kali ia menengok dan celingukan, tapi Jupri masih berstatus makhluk gaib di gang itu. Hanya, orang-orang hilir mudik dan beberapa pedagang es buah dan pentol mangkring di sana. Andai kakinya masih seenergik saat kepergian suami dan punya kendaraan tentunya, barangkali sudah dari siang tadi ia menyusul laki-lakinya ke bandara. Sementara, dua buah hatinya terus-terusan mengungkapkan satu pertanyaan: ayah mana?
Barulah beberapa saat kemudian, tubuh Jupri tampak menyeruak dari keramaian gang itu. Ia melangkah agak gontai digayuti tas ransel besar di punggungnya. Tangan kirinya dikepit oleh seorang perempuan tiga puluhan tahun, dan tangan kirinya menuntun seorang bocah perempuan seumuran anak TK.
“Siapa perempuan ini, Bang?” tanya Arimi ketika Jupri sampai di depan rumah.
Mulut Jupri tampak berat terbuka, “Dia yang akan membantu kamu mengerjakan pekerjaan rumah, Mi,” jawabnya beberapa detik geming. Sebaliknya, perempuan di samping Jupri terlihat bingung melihat Arimi, Birin dan Leni.
“Maksud, Abang?”
Jupri melepas ranselnya dan mendekatkan wajah ke telinga Arimi. Ia membisikkan sesuatu yang tak dapat dideteksi oleh empat pasang telinga di sampingnya. Tubuh Arimi seketika limbung dan luruh ke lantai setelah tak lama bisikan itu sampai ke telinganya. Jupri segera meraih tubuh Arimi. Sementara, empat pasang mata menatap dengan penuh keheranan.

Lombok Tengah, 30 Nopember 2017.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Buku tunggalnya, Negeri Antah Berantah (2016). Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.


Cernak

Kado untuk Bu Muniarti
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Suara Merdeka Edisi Minggu, 5 Nopember 2017

“Pa, boleh Tari nanya, nggak?”
“Boleh sayang. Emang ada apa?” jawab Papa.
“Kalau orang biasa membaca sambil memicingkan mata itu kenapa ya, Pa?”
Papa tersenyum sambil mengelus rambut Tari. Setiap malam sebelum tidur dia biasa menceritakan pengalamannya di sekolah kepada Papa. Terutama tentang Bu Muniarti, guru sekaligus wali kelas IV yang sangat diidolakannya. Tapi malam ini agak berbeda dari biasanya. Ia mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan menggantung.
“Oh ya, emang siapa yang membaca seperti itu, nak?” sahut Papa beberapa saat kemudian.
“Bu guru, Pa. Bu Muniarti. Beliau akhir-akhir ini sering Tari lihat membaca sambil memicingkan mata, lalu beberapa kali mengucek matanya. Seperti orang kesulitan baca gitu, Pa.”
“Oh begitu. Biasanya sih kalau sudah tua, itu gejala hiperopia atau yang disebut juga rabun dekat. Karena salah satu penyebab penyakit mata itu adalah faktor usia nak,” jelas Papa yang memang seorang dokter di sebuah rumah sakit di kota Mataram. Tapi, beliau adalah seorang dokter umum.
“Lalu bagaimana cara mengatasinya, Pa?” selidik Tari.
“Diantaranya bisa dikurangi dengan memakai kacamata berlensa cembung atau kacamata plus, nak. Tapi Papa sarankan beliau untuk memeriksa atau tes penglihatan dulu ke dokter mata,” terang Papa.
“Oh begitu ya, Pa?”
“Ya nak. Oleh karena itu, sejak dini kita harus menjaga kesehatan mata kita. Setidaknya dengan banyak mengonsumsi vitamin A seperti buah pepaya, apel, nanas, anggur, dan lain-lain.”
Dari penjelasan Papa tentang penyakit mata, Tari mendapat ide, yakni memberikan Bu Muniarti kado berupa kacamata pada Hari Guru esok. Sebagai bendahara kelas, Tari akan mengusulkan idenya itu kepada ketua kelas, Joni.
Akhirnya, di suatu kesempatan, mereka berkumpul di rumah Joni untuk merembuk rencana mulia itu. Semua teman kelas IV pun sepakat dengan ide Tari tersebut. Namun, mengingat harga kacamata yang relatif tinggi, Joni mengajak teman-teman untuk menyisihkan uang saku selama beberapa minggu. Dan itu bisa diserahkan lansung kepada Tari selaku bendahara.
-***-
Pagi itu mentari bersinar cerah, secerah rencana siswa-siswa kelas IV SD Harapan Bangsa. Ruang kelas didekorasi indah oleh semua siswa. Khususnya di kelas Tari, kelas dihiasi dengan vita-vita yang tersulur sepanjang kelas. Ada vita kelap-kelip, balon orin, dan spanduk yang ditulis dengan tangan sendiri. Lagu hymne guru menggema di ruang kelas.
Selepas upacara peringatan Hari Guru atau di puncak acara, teman-teman Tari berkumpul di dalam kelas. Kacamata itu dikemas di dalam kotak kado yang cukup besar dan diletakkan di sebuah nampan. Tari sendiri yang membawa kado itu. Sementara, Joni selaku ketua kelas bertugas untuk menyerahkannya ke Bu Muniarti.
“Selamat Hari Guru Bu. Terimalah kado kecil dari kami sebagai ungkapan terimakasih kami,” ucap Joni.
Muka Bu Muniarti memerah dan tersenyum bahagia.
“Ayo Bu, dibuka dong kadonya?” pekik teman-teman kelas.
Kado itu pun dibuka lansung oleh Bu Muniarti di depan semua siswa. Sontak dia terkejut, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Terimakasih, nak!” lirihnya beberapa saat kemudian.
“Kami seharusnya yang berterima kasih Bu atas ilmu yang Ibu ajarkan pada kami semua,” balas Joni, “oh ya bu, ini ide dari Tari kok,” lanjutnya.
Bu Muniarti merengkuh dan memeluk tubuh mungil Tari. Semua siswa mengitari mereka berdua sambil menyanyikan lagu hymne guru. Beberapa tetes air kemudian membasahi baju bagian pundak Tari. Tapi Tari tak menyadari itu. Ia larut dalam gegap gempita kawan-kawan semua.

Lombok Tengah, 20 Oktober 2017.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Buku tunggalnya, Negeri Antah Berantah (Penerbit MM, 2016).





Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...