Rabu, 20 Desember 2017

Artikel Opini

Pariwisata Sebagai Sebuah Strategi Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Oleh: Wardie Pena
Sumber ilustrasi: https://www.google.co.id/search?q=gambar+pantai+di+lombok
Artikel ini mendapat predikat Terbaik pada Lomba Desain Poster, Fotografi, Film Pendek, dan Penulisan Kreatif untuk kategori Penulisan Kreatif yang diselenggarakan Dinas Kominfotik NTB tahun 2017 dan mendapat penghargaan dari Gubernur Propinsi NTB

Dalam suatu kesempatan, saya pernah berkunjung ke beberapa objek wisata yang terdapat di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang akan saya ceritakan ini adalah bukan panoramanya, jumlah pengunjung, pelayanan, ataupun kenyamanan berwisata di tempat-tempat tersebut. Karena hal-hal semacam itu tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, yang saya maksud ini adalah atmosfir lingkungan yang terdapat di sana, di mana dominasi bahasa Inggris yang demikian terasa. Mulai dari papan nama tempat wisata, nama rumah makan, menu masakan, petunjuk arah, hingga buku panduan wisata, yang terkesan sangat kental dengan istilah asing atau bahasa Inggris.
Saya berpikir, kalau terus-menerus seperti ini, kapan bahasa Indonesia akan mampu bersaing menjadi bahasa internasional? Jikapun penggunaan-penggunaan istilah tersebut ditujukan agar memudahkan wisatawan mancanegara (wisman), lalu untuk apa mereka berkunjung jauh-jauh bila suasana yang mereka temukan justru persis seperti di kampung halaman mereka?
Artinya, saya bukan berarti anti terhadap bahasa Inggris. Karena memang kita tidak bisa pungkiri peranannya sebagai bahasa Internasional saat ini. Namun hal ini menunjukkan masih belum siapnya mental kita untuk mengomunikasikan budaya kita menggunakan bahasa Indonesia ke masyarakat internasional. Dengan kata lain, kita masih belum percaya diri untuk bersanding di panggung rivalitas global.
Sektor pariwisata, yang berperan mengantarai interkasi verbal antara masyarakat dengan para wisman, pada dasarnya memiliki potensi besar menjadi bagian dalam upaya internasionalisasi bahasa Indonesia. Mengingat, para wisman tersebut dapat secara langsung menyaksikan budaya yang kita miliki. Bahkan, salah faktor ketertarikan mereka disamping keindahan alam adalah keunikan dan keragaman budaya kita. Terlebih, branding Wisata Halal Dunia (World Halal Tourism) yang diraih beberapa objek wisata NTB di Abu Dhabi tahun lalu, bisa menjadi daya tarik dalam peningkatan jumlah wisman. Lantas apalagi yang kita ragukan?
Namun, untuk mendukung agenda besar tersebut, gagasan yang perlu dikemukakan saat ini adalah bagaimana membekali anak bangsa dengan fondasi kultural yang kuat, dan merancang sebuah strategi kebudayaan melalui sektor pariwisata, yang tentunya dengan misi internasionalisasi bahasa Indonesia.
 Revitalisasi kearifan (budaya) lokal
Hampir semua daerah di NTB memiliki kearifan (budaya) lokal yang menarik di mata masyarakat internasional. Dalam masyarakat Sasak misalnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari praktik-praktik sosial seperti berolem,[1] betabeq,[2] bebase,[3] saling tulung,[4] dan sebagainya. Demikian juga dengan masyarakat Mbojo. Mereka punya rimpu,[5] rawi rasa,[6] cafi sari[7], dan beragam tradisi lainnya.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini, tradisi-tradisi dimaksud tampak semakin memudar. Sebut saja tradisi berolem pada masyarakat Sasak. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat kekeluargaan, juga mencerminkan tingginya penghormatan masyarakat Sasak atas tamu yang akan menghadiri acara tertentu. Namun, kehadiran teknologi handphone (HP) telah mengganti peranan tradisi ini dalam tatanan masyarakat.—meskipun tidak sepenuhnya. Tradisi ngayo (silaturrahmi ke tetangga) misalnya, juga telah terwakili dengan kehadiran media sosial.
Pengaburan nilai-nilai kearifan (budaya) lokal ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali pelajaran budaya lokal di sekolah, menuangkan wawasan budaya lokal dalam bentuk karya tulis, pagelaran festival atau pameran budaya, dan cara-cara lain yang dapat melestarikan budaya lokal.
Maka, revitalisasi kearifan (budaya) lokal dalam hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.
Pendidikan bahasa yang lebih visioner
Salah satu dampak yang kemungkinan muncul dari pemberdayaan budaya di atas adalah primordialisme. Tapi, hal ini bukanlah sebuah ancaman serius. Kebinekaan tidak akan terurai hanya karena soal primordialisme. Bahasa Indonesia masih dapat dijadikan sebagai magnet perekat bangsa. Jadi, pertanyaannya adalah, bagaimana mengomunikasikan budaya yang sudah terbentuk di atas dengan budaya asing?
Mau tidak mau, untuk mengejawantahkan tawar menawar budaya, bahasa asing memang harus dipelajari. Dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Tidaklah mungkin interakasi kultural tersebut akan berlansung tanpa perantara media komunikasi. Namun, selama ini bahasa Inggris cenderung dipelajari hanya karena adanya tuntutan dari isntitusi pendidikan (sekolah), dunia kerja, atau sebatas keperluan untuk memenuhi syarat melamar pekerjaan saja. Mentok sampai di sana. Sangat jarang kemudian kita temukan seseorang belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan tujuan lebih dari sekedar memenuhi tuntutan tersebut. Misalnya, mengenalkan atau mengajari bahasa Indonesia kepada para wisman.
Selain karena sudah diserahkan ke lembaga penyelenggara kursus Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing (BIPA),  kondisi ini menunjukkan kesadaran komparatif masyarakat kita masih sangat rendah. Karenanya, meminjam istilah Profesor Alwasilah, pendidikan bahasa dewasa ini harus mengusung visi “Keunggulan Komparatif”.
Orientasi pendidikan bahasa sudah seyogiyanya tak sekedar membentuk keterampilan dan kecakapan berbahasa asing semata, tapi juga lebih kepada membangun kesadaran generasi bangsa untuk mengomunikasikan budayanya sendiri ke khalayak internasional. Saya memiliki mimpi besar ke depan, dari visi ini terlahirlah kemudian kurikulum, khususnya dalam hal ini bahasa Indonesia, yang mengakomodir pelajaran muatan (budaya) lokal bagi penutur asing. Ini cukup prospektif mengingat semakin terbuka lebarnya interaksi sosial antar bangsa sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Peningkatan jumlah wisatawan asing dari tahun ke tahun setidaknya jadi satu contoh.
Maka, apa yang saya maksud mengenai pariwisata, kearifan (budaya) lokal dan pendidikan bahasa, jika dipandang secara holistik, merupakan sebuah strategi kebudayaan dalam meng-internasionalisasikan bahasa Indonesia. Pariwisata merupakan gerbang yang cukup potensial menuju panggung rivalitas global. Bahasa Indonesia sebagai jembatan penghubung yang mengomunikasikan kearifan-kearifan (budaya) lokal dengan budaya asing. Dengan begitu, khazanah kebinekaan akan memenuhi ruang kebangsaan. Kemudian, di mata internasional, patutlah kemudian Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan kekayaan budaya.
Jika seorang guru besar bahasa Indonesia berkebangsaan Jerman, Profesor Berthold Damshauser, sangat yakin akan peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional karena kekayaan budaya dan keluhuran budi penuturnya, lantas kenapa kita tidak percaya diri?
Lombok Tengah, 22 Oktober 2017.




[1] mengundang dengan cara menyampaikan lansung (lisan) ke rumah-rumah.
[2] cara mengatakan permisi dengan menundukkan tubuh dan menurunkan tangan kanan saat lewat di depan orang.
[3] Dalam interaksi sosial, seseorang yang lebih kecil tidak boleh menyebut nama orang yang lebih tua. Sebagai gantinya adalah menyebut gelar usia seperti tuaq (paman), saik (bibik), papuk (kakek atau nenek), Inak kake (tante), amak kake (paman/kakak dari ayah atau ibu), dan sebagainya.
[4] Saling bantu setiap ada orang bangun rumah, bercocok tanam, pesta, meninggal, dan sebagainya.
[5] Memakai sarung dengan melingkarkannya pada kepala di mana yang terlihat adalah sepasang mata pemakainya.
[6] Semua kegiatan yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat.
[7] Berarti upacara menyapu lantai yang dilakukan untuk menyampaikan puji syukur karena seorang ibu telah berhasil melahirkan seorang anak dengan selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...