Kamis, 14 Desember 2017

Cerpen

Kepulangan Jupri
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Radar Lampung Edisi 3 Desember 2017

Ketika malam datang, Arimi selalu teringat pada Jupri. Keping saat-saat kebersamaan yang hampir usang di kepalanya, sesekali berurai menggores rindu di dadanya. Dan kerinduan itu akan semakin membuncah manakala ia melihat tetangganya berkumpul dengan anak cucu; makan bersama, bercengkrama, tertawa bersama, sedih bersama, bahkan mungkin mati akan terasa menggembirakan bila bersama-sama. “Kapan aku bisa seperti itu lagi?” lirihnya dalam hati. Seketika  perasaan itu muncul, ia merasa bahwa dirinya telah gagal menjadi seorang istri. Dulu, momen-momen itulah yang selalu ia nantikan dengan Jupri, suaminya.
“Bagaimana kabar Bang Jupri, Mak? Kapan pulangnya?” tanya Yem, seorang warga kampung yang membeli sayur.
Pagi ini Arimi berjualan keliling ke rumah-rumah warga seperti biasanya. Mendengar pertanyaan itu, mulutnya menyungging senyum kecut, menyembunyikan rasa kecewa pada Jupri yang akhir-akhir ini belum ada angin menghembuskan kabarnya.
“Ah, kalau tak ada halangan, tak lama ini dia akan pulang. Tahulah Yem, ongkos dari luar negeri ke sini kan mahal. Belum lagi beli oleh-oleh dan ini itu.” Kalimat yang diucapkan Jupri beberapa tahun lalu, seketika berkelebat dalam kepala Arimi.
 “Wah, pasti bawa banyak duit, dong? Kan perginya udah lama gitu,” balas Yem menyelidik, sebagaimana kebiasaan ibu-ibu rumah tangga lain pada umumnya.
 “Ya, semoga aja Yem. Oh ya, Mak keliling dulu ya? Sudah hampir jam sembilan ini.” Arimi sengaja menebas pembicaraan dengan Yem untuk menghindari pertanyaan lanjutan. Ia pun segera merenggang dari rumah perempuan beranak satu itu.
Di perjalanan, Arimi masih meraba-raba kalimat terakhir yang diucapkan suaminya bertahun-tahun lalu, yang barusan jadi perisainya di depan Yem. Kalimat yang dirasakan cukup menusuk hati itu selalu membuatnya menghindari pembicaraan dengan orang lain. Karena hingga saat ini, bertahun-tahun lamanya, janji itu belum jua terwujud. Sementara, dirinya harus menanggung dua beban sekaligus: beban rindu dan malu atas stigma buruk suaminya sebagai laki-laki tak bertanggung jawab.
Arimi kesal. Andai waktu seperti sebuah jalan yang kapan saja boleh dilalui kembali, ia tentu akan menelusuri pori-pori waktu meski sejauh apapun, hingga menemukan sebuah titik yang memisahkannya dulu dengan Jupri. Kemudian, di titik itulah ia akan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak membiarkan suaminya pergi. Tapi sayang, waktu adalah waktu dan jalan tetaplah sebuah jalan, sehingga ia tak berdaya melakukan semua itu.
Kondisi itu pun menyeret pikiran Arimi ke masa lalu. Sembilan tahun silam, Jupri pergi merantau ke tanah jiran. Bersama tiga orang teman kampung, Sukri, Tarman dan Nasri, dia berangkat dengan membawa segudang mimpi dan rencana besar. Dan Arimi sendiri melepaskan kepergian sang suami dengan harapan kelak ia akan kembali dalam kondisi berbeda. Meski sebenarnya waktu itu ia merasa berat melepas kepergian laki-laki tersayangnya, namun kondisi ekonomi yang menghimpit ditambah dua tanggungan yang harus dihidupi memaksanya harus rela hidup jauh dari suami.
Tapi, kenyataan hidup memang terkadang senyatanya. Di tanah rantau Jupri menemukan selimutnya. Beberapa tahun di negeri rantau, ia merasakan kenyamanan yang seolah tak didapati di kampung halaman. Di sana ia menghabiskan hari-harinya bagai tiada lagi yang perlu dicari di rumah. Sehingga teman-temannya sudah pulang beberapa kali dan berhasil membuat rumah dan menyekolahkan anak, Jupri hilang kabar.
Sementara, di rumah, Arimi menunggu-nunggu kabar darinya, akan tetapi kenyataan telah menipu harapan Arimi. Jupri terlena dengan kehidupan di negeri seberang. Seringkali Arimi menengok ke langit jika ada pesawat terbang lewat. Kalau-kalau itu pesawat yang membawa Bang Jupri pulang, pikirnya. Terkadang sesekali sore ia menengok ujung gang di depan rumah yang menghubungkan ke jalan umum. Hati kecilnya berkata; siapa tahu Bang Jupri tiba-tiba muncul di sana, dan sengaja tak memberikan kabar kepulangan dengan tujuan memberi kejutan. Tapi, tetap saja jasad suami tercintanya itu berada di bawah langit rantauan.
***
Mak kenapa?” tanya Birin, anak pertama Arimi yang baru beranjak usia remaja, ketika melihat raut wajahnya pulang dalam keadaan kuyu.
Arimi bergeming dan segera meletakkan ranjang yang dipakai menjual sayur ke meja dapur.
“Mak capek, ya?” Leni yang baru saja pulang sekolah, mengekori pertanyaan kakaknya.
“Ndak kok, nak. Biasa saja.”
Birin melihat ada sesuatu yang beda dari raut wajah Maknya. Semacam rahasia yang sulit untuk diungkapkan, membuatnya tak mau bertanya lebih lanjut. Birin takut jikalau pertanyaannya nanti malah menyinggung perasaan Mak.
“Oh, ya, Ayah kapan pulangnya, ya?” Leni menyahut lagi, “sudah lama sekali Ayah tak menelpon.”
“Ah, sudahlah. Besok juga kalau Ayah kangen, pasti telpon dan bicara sama kalian.” Arimi membuang mata ke pohon mangga di halaman rumah sambil mengerutkan dahi. Barangkali ia berusaha menyandarkan ingatannya di sana, lalu mengurai usia pohon tersebut dengan kepergian suaminya. Seingatnya, tiga bulan setelah Bang Jupri meninggalkan rumah, pohon itu di tanam dan kini ia sudah pandai berbuah.
“Tapi firasatku kok tidak enak ya, Mak?” Birin menimpal lagi setelah tadi terdiam. Pertanyaan Leni seolah memancingnya untuk mengeluarkan perasaannya.
“Tidak enak bagaimana maksud kamu, Rin?”
“Ya, aku khawatir saja terjadi apa-apa dengan Ayah. Semalam aku bermpimpi ia dikejar seekor burung raksasa. Dan semakin Ayah berlari, burung itu terus-menerus mengejarnya, hingga akhirnya dia tertangkap dan tak bisa memberontak. Sampai di situ aku bangun.”
“Ah, biasa, mimpi kan kadang bunga tidur, Rin.”
 “Yah, semoga Ayah baik-baik saja.”
Arimi kemudian menyeret kakinya ke dapur yang tak jauh dari ruang tengah tempat mereka tidur. Rumah itu memang tidak besar. Dan barangkali lebih tepat disebut gubuk ketimbang rumah. Meski dindingnya terdiri dari bahan bata, tapi ia tampak hampir roboh. Warna catnya, selain sudah kusam, juga sudah melepuh hampir di semua sisi. Daun pintu, kusen dan bingkai jendela sebagian telah mengelupas digrogoti rayap. Kehadiran beranda di depannya tak mampu memperindah arsitektur bangunan.
Tiba-tiba langkah Arimi tercekat dengan kedatangan Pak Sadri, tetangganya yang datang membawa HP dan mengabarkan bahwa Jupri baru saja menelpon dan ingin berbicara dengannya. Arimi segera meraih HP tersebut dari tangan Pak Sadri. Wajahnya sekonyong-konyong menunjukkan roman riang, seakan apa yang dinanti-nantinya selama ini telah terjawab. Benda itu pun mampu menarik sudut bibir Arimi menjadi senyum, sampai-sampai rengekan dua anaknya yang ingin berbicara dengan Ayah tak ia hiraukan sama sekali. Dua bocah itu kemudian menempeli tubuh Maknya, menguping pembicaraan dalam HP. Namun, selang beberapa saat, alat komunikasi canggih itu dimatikan. Arimi berlunjak-lunjak riang dan merengkuh tubuh Birin dan Leni. Mereka heran dan menatap wajah Mak dengan penuh tanda tanya.
***
Esok harinya Arimi memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin mengadakan sedikit acara penyambutan atas kepulangan suaminya. Juga sebagai luapan rasa syukurnya. Tak sabar rasanya ia bertemu lalu memeluk suami tercintanya. Betapa perpisahan selama bertahun-tahun membuat Arimi seolah menyambut tamu kehormatan. Padahal, Jupri tak lain adalah belahan hatinya yang dengannya ia menjalani hidup selama berpuluh-puluh tahun.
Menjelang senja, semua masakan ala kadarnya sudah berceceran di atas tikar. Ini adalah makan bersama setelah berpuluh tahun berpisah, pikir Arimi. Ia pun mulai menengok-nengok ujung gang, tempat di mana tubuh Jupri akan mulai tampak. Berkali-kali ia menengok dan celingukan, tapi Jupri masih berstatus makhluk gaib di gang itu. Hanya, orang-orang hilir mudik dan beberapa pedagang es buah dan pentol mangkring di sana. Andai kakinya masih seenergik saat kepergian suami dan punya kendaraan tentunya, barangkali sudah dari siang tadi ia menyusul laki-lakinya ke bandara. Sementara, dua buah hatinya terus-terusan mengungkapkan satu pertanyaan: ayah mana?
Barulah beberapa saat kemudian, tubuh Jupri tampak menyeruak dari keramaian gang itu. Ia melangkah agak gontai digayuti tas ransel besar di punggungnya. Tangan kirinya dikepit oleh seorang perempuan tiga puluhan tahun, dan tangan kirinya menuntun seorang bocah perempuan seumuran anak TK.
“Siapa perempuan ini, Bang?” tanya Arimi ketika Jupri sampai di depan rumah.
Mulut Jupri tampak berat terbuka, “Dia yang akan membantu kamu mengerjakan pekerjaan rumah, Mi,” jawabnya beberapa detik geming. Sebaliknya, perempuan di samping Jupri terlihat bingung melihat Arimi, Birin dan Leni.
“Maksud, Abang?”
Jupri melepas ranselnya dan mendekatkan wajah ke telinga Arimi. Ia membisikkan sesuatu yang tak dapat dideteksi oleh empat pasang telinga di sampingnya. Tubuh Arimi seketika limbung dan luruh ke lantai setelah tak lama bisikan itu sampai ke telinganya. Jupri segera meraih tubuh Arimi. Sementara, empat pasang mata menatap dengan penuh keheranan.

Lombok Tengah, 30 Nopember 2017.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Buku tunggalnya, Negeri Antah Berantah (2016). Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...