Minggu, 20 Oktober 2019

Opini


Membangun Generasi Literat dari Keluarga
Oleh: Marzuki Wardi
(Ketua Bidang Literasi IGI Kabupaten Lombok Tengah, NTB)
Dimuat di SKH Media Indonesia pada 15 Juli 2019

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan PoCer.co, Linda Christanty pernah membeberkan rahasia suksesnya dalam menggapai cita-citanya. Penerima dua kali penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa itu pun sempat menceritakan awal mula ketertarikannya terhadap dunia literasi yang kemudian mengantarnya menjadi seorang jurnalis dan penulis terkemuka.
Waktu kecil dan belum bisa membaca, saya ingat Ayah dan Ibu sering membacakan buku-buku cerita untuk anak-anaknya menjelang tidur malam. Kami berkumpul di kamar mereka, di tempat tidur orangtua saya yang besar itu. Cerita yang paling saya ingat adalah Tom Si Jempol atau Tom Thumb. Tentang anak kecil yang melawan raksasa…,” paparnya panjang lebar.
Jika kita ingin menyebut tokoh-tokoh lain dengan profesi berbeda, tentu masih banyak yang sukses membangun karier mereka dengan bekal awal “tekun membaca”. Bahkan tidak hanya membangun karier, tapi juga membangun sebuah Negara. Kita sama-sama tahu bahwa tegaknya kedaulatan bangsa ini tidak terlepas dari peran sentral para tokoh yang gemar membaca (buku). Sebut saja presiden pertama kita, Bung Karno, misalnya. Menurut riwayat, beliau sangat rajin membaca buku, sampai-sampai di dalam toilet pun beliau menyediakan meja khusus yang dipakainya membaca buku. Sejak muda beliau juga sudah berani menentang kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda melalui tulisannya.
Pun demikian dengan wakil presidennya, Bung Hatta. Saking candunya membaca, sewaktu diasingkan ke Banda Neira oleh Pemerintah Hindia-Belanda, beliau membawa sepeti koleksi buku pribadinya. Ki Hajar Dewantara, sejak muda, ketika menimba ilmu di STOVIA, sudah melahap banyak buku baik di perpustakaan sekolah maupun koleksi milik sahabatnya, Ernest Douwes Dekker. Haji Agus Salim, sang diplomat yang menguasai sembilan bahasa asing, dan tokoh-tokoh bangsa lainnya merupakan sosok pejuang sekaligus pembelajar sejati yang hidupnya tidak pernah jauh dengan buku. Dari kegemaran membaca itulah kemudian mengalir ide-ide cemerlang dan melahirkan karya-karya berpengaruh. Sehingga tidak heran mereka membangun pondasi Negara ini dengan bekal intelektual yang mumpuni.
Berkaca dari para tokoh bangsa tersebut, agak miris rasanya bila kita melihat fakta rendahnya kemampuan membaca para pelajar saat ini. Jika kita mengacu pada data PISA 2015, kita patut prihatin dengan kompetensi membaca pelajar Indonesia yang belum mencapai target rata-rata Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Apalagi kita tengah berada di era banjirnya media dan bahan bacaan seperti sekarang ini. Di sisi lain, kita terus-menerus dituntut berubah. Hadirnya industri 4.0 mensyaratkan upaya peningkatan kualitas (kompetensi) diri yang bersifat berkelanjutan, yang tentunya harus ditopang referensi-referensi berkualitas pula.
Oleh karenanya, program gerakan literasi (baik gerakan literasi sekolah maupun keluarga) yang digulirkan pemerintah sudah sepatutnya menjadi prioritas, dalam rangka membangun generasi literat. Agar program ini bisa mencapai hasil yang maksimal, diperlukan peran aktif dan massif dari segenap elemen masyarakat. Terutama dari unit terkecil sebuah Negara, yaitu keluarga. Sebagai bagian dari tripusat pendidikan, keluarga harus mampu menjadi sarana pencetak generasi literat.
Dalam kaitannya dengan cerita pembuka di atas, kita bisa belajar bagaimana membentuk pribadi literat dari lingkungan keluarga. Orang tua Linda memang tidak berupaya secara langsung mengajar anak-anaknya membaca, tapi mereka berusaha sedemikian rupa untuk merangsang minat baca anak-anaknya. Sehingga dongeng-dongeng yang disampaikannya menjadi menarik dan terekam kuat dalam memori Linda. Karenanya, merangsang minat baca anak sejak dini jauh lebih penting daripada menekankan anak harus bisa membaca. Ketika minat anak telah tumbuh, maka ia akan merasa butuh dan berupaya untuk memenuhi hasrat ingin tahunya dengan membaca.
Menumbuhkan minat baca memang tidak hanya bisa dilakukan dengan mendongeng. Banyak cara lain yang dapat ditempuh oleh orang tua. Mengajak anak untuk berlibur atau jalan-jalan ke toko buku, berkunjung ke perpustakaan, menghadiahi prestasi anak dengan buku bacaaan, bermain dengan media bahan bacaan, mengunjungi festival buku, budaya, dan museum, merupakan alternatif lain yang dapat diterapkan. Ketika gairah membaca anak sudah tumbuh, maka tugas orang tua adalah menyediakan bahan dan media bacaan yang memadai di dalam rumah.
Namun, tentu orang tua juga harus menjadi model (pembaca) yang baik bagi anak. Banyak orang tua yang hanya menuntut anak untuk rajin membaca, tapi mereka sendiri enggan melakukan apa yang diperintahnya. Anak adalah peniru ulung, lebih-lebih pada masa perkembangan operasional konkret (prasekolah). Ia suka meniru apa yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Jika orang tua suka membaca, maka tidaklah sulit bagi anak untuk meniru kebiasaan tersebut. Dengan demikian, literasi keluarga harus dihidupkan mulai dari orang tua lalu mengalir ke anggota keluarga lainnya (anak).
Tidak sampai di situ. Tugas orang tua selanjutnya adalah bagaimana mengontrol bahan bacaan yang baik bagi anak. Era digitalisasi, disamping memberikan kemudahan mengakses bahan bacaan, rupanya bisa menjadi bumerang bagi harmonisasi sosial kita. Hari ini kita sama-sama tahu begitu banyak berseliweran berita bohong (hoax), fitnah, dan ujaran kebencian (hate speech) yang membuat para pengguna media sosial dengan begitu mudahnya saling hujat dan caci.
Fenomena ini jangan sampai mencuci otak anak-anak kita. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan literasi informasi sejak dini. Literasi informasi tidak hanya berarti mengajarkan anak tentang bagaimana mengakses dan memeroleh informasi, tapi yang tak kalah penting adalah bagaimana memanfaatkan informasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kita harus ingat bahwa pribadi literat tidak hanya suka membaca, tapi juga mampu menyeleksi bahan bacaan yang bermanfaat bagi dirinya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah literasi hanya berkaitan dengan aktivitas membaca? Tentu saja tidak. Membaca hanyalah langkah awal yang sangat penting dalam berliterasi. Jika membaca sudah menjadi kebutuhan, maka kegiatan literasi seperti menulis, berbicara, mengamati, mengolah informasi, dan lainnya akan mengikuti. Seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, minat baca harus ditumbuhkan sejak dini, dan ini mutlak membutuhkan peran aktif orang tua. Jadi, untuk membangun generasi literat, kita harus memulainya dari keluarga. Dari keluarga literat, masyarakat literat, generasi literat, menuju bangsa yang bermartabat. Selamat hari keluarga nasional 2019.
Lombok Tengah, 24 Juni 2019.
Marzuki Wardi, tinggal di Lombok Tengah, NTB. Hingga saat ini, ia aktif menulis Cerpen, Esai dan Resensi di berbagai media massa (cetak dan daring).

Resensi


Kiat Membangkitkan Potensi Kepemimpin
Oleh: Marzuki Wardi
Judul                : The Leader Who Had No Title
Penulis              : Robin Sharma
Penerbit            : Bentang Pustaka
Tahun Terbit     : Pertama, Januari 2018
Tebal                : 264 Halaman
ISBN               : 978-602-291-506-5
Dimuat di SKH Koran Jakarta pada 19 Juli 2019
Leader is action, not position. Kiranya ungkapan itulah yang tepat untuk mendeskripsikan isi buku ini. Banyak orang memahami bahwa ketika seseorang menduduki suatu jabatan, berarti ia sudah pasti menjadi seorang pemimpin. Atau dengan kata lain, seorang pemimpin sering kali diidentikan dengan jabatan tertentu. Padahal, banyak pejabat yang bahkan sudah mengepalai sebuah instansi pun tidak dapat menunjukkan kepemimpinan yang ideal. Hal ini membuktikan bahwa pemimpin adalah bukan soal jabatan.
Robin Sharma berupaya meluruskan pemahaman kita tentang makna pemimpin yang sebenarnya. Bahwa ia tidak dibatasi oleh profesi. Entah seorang guru, manajer, karyawan perusahaan, pedagang, pramuniaga, pelayan restoran, petugas kebersihan jalan, bahkan seorang buruh pasar pun bisa menjadi pemimpin, selama ia bisa menginspirasi dan memberi perubahan bagi kondisi dan orang-orang di sekitarnya. Jadi, setiap orang sejatinya adalah pemimpin. Namun, kita juga perlu membangkitkan potensi dan energi kepemimpinan yang terdapat dalam diri sendiri.
Untuk mencapai itu, kita harus memiliki IMAGE, yang merupakan akronim dari inovasi (innovation), menguasai (mastery), autensitas (authenticity), guts, dan etika (ethics) (hal. 77). Seorang pemimpin itu berjiwa inovatif, artinya mampu menciptakan sesuatu yang baru dan memberikan perubahan keadaan terhadap apa yang dikerjakannya. Hal ini bisa dimiliki jika kita senantiasa bertanya pada diri sendiri mengenai ‘apa yang bisa diperbaiki hari ini?’, ‘bagaimana cara mengobarkan produktivitas?’, ‘bagaimana supaya bisa kerja lebih cepat?’, dan pertanyaan-pertanyaan serupa yang bersifat membangun dan meningkatkan kinerja. Sebab, memegang aturan ini berarti kita memilki komitmen untuk menjadikan semua yang disentuh lebih baik daripada sewaktu ditemukan.
Berikutnya Menguasai, artinya berupaya menguasai bidang yang ditekuni. Sehingga orang tidak akan meragukan dan mengabaikan kemampuan kita. Seorang pemimpin tidak mungkin bisa memberikan perubahan jika ia sendiri tidak menguasai dengan baik bidang yang digelutinya. Maka, kita mesti berkomitmen untuk menjadi yang pertama, utama, satu-satunya, dan terbaik. Autensitas ialah menjadi diri sendiri. Bukan meniru kebiasaan orang lain. Sikap autentik juga bermakna menjadi andal, menjunjung tinggi misi dan nilai, berbicara terus terang, dan menjunjung bakat diri sendiri. Dengan demikian, kepercayaan orang lain akan melekat pada diri kita.
Sedangkan, Guts dalam IMAGE maksudnya adalah memiliki jiwa yang gigih dan pemberani. Pemimpin sejati haruslah memiliki keberanian yang melampaui orang berakal dan resikonya melebihi orang biasa. Yakni berani mengambil target yang tinggi dan melangkah lebih jauh lagi dalam mengerjakan sesuatu, agar mencapai hasil maksimal, tanpa takut menerima kritikan dan cermoohan orang lain. Terakhir, Etika berkaitan dengan cara bersikap dan bertindak. Kita hendaknya selalu rendah hati dan memiliki tata krama yang baik. Kita harus memastikan bahwa tindakan kita mencerminkan keyakinan, dan tampilan senada dengan suara kita (hal. 105).
Selain IMAGE, masih ada lagi beberapa poin penting yang harus dicermati jika kita ingin menjadi seorang pemimpin yang hebat dan menginspirasi. Penulis mengemasnya dengan akronim yang cukup mudah diingat. Dan, semuanya diuraikan dalam bentuk cerita yang hidup dan mengalir. Sehingga kita tidak merasa sedang membaca buku motivasi. Melainkan sebuah novel dengan alur dan plot yang menarik. Di akhir setiap bagian, buku ini juga dilengkapi dengan langkah aksi singkat untuk menerapkan materi kepemimpinan yang sudah dipelajari. Menjadikannya lebih aplikatif dan jauh dari kata teoritis belaka.
Lombok Tengah, 16 Juli 2019
Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.



Senin, 22 Juli 2019

Opini


Menjaga Marwah Pendidikan di Era Milenial
Oleh: Marzuki Wardi
(Dimuat di SKH Lombok Post pada 11 Maret 2019)


Sudah kesekian kalinya wajah pendidikan kita mendapat tamparan dari ulah segelintir generasi bangsa. Sebut saja kasus amoral seorang siswa SMP di Gersik, Jawa Timur, beberapa saat lalu. Pun, belum lindap dari ingatan kita, belakangan ini kasus serupa kembali merabak. Pada hari pertama bulan Maret ini, mata saya dibelalakkan dengan judul (headline) berita di sebuah surat kabar harian lokal tentang pengamanan seorang siswa SMA di Lombok Tengah. Si siswa tersebut dengan lantang dan beraninya menghina presiden dan aparat kepolisian dengan kata-kata kotor di media sosial.
Selain itu, beberapa saat yang lalu, sebuah saluran televisi swasta nasional menyiarkan berita puluhan pelajar SMK di kota Lampung yang hendak melakukan aksi tawuran. Untung saja polisi bergerak cepat menggagalkan rencana itu. Beberapa bentuk senjata yang hendak mereka gunakan juga berhasil diamankan petugas.
Pada saat bersamaan dan masih di stasiun televisi yang sama, kabar menyesakkan dada lainnya datang dari ibukota, di mana 61 anggota geng motor diciduk aparat kepolisian karena berbuat rusuh di jalanan, dan ketahuan mengonsumsi narkoba. Parahnya, beberapa diantara mereka masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Menyimak perilaku negatif para pelajar di atas, hati kecil saya bertanya, “Apakah urat takut dan malu anak-anak kita saat ini seakan telah terputus?” Sebagai seorang pendidik, saya tentu merasa tercengang dengan fakta ini. Pendidikan sebagai institusi yang selama ini bertanggung jawab melahirkan manusia-manusia berbudi pekerti luhur seakan kehilangan marwahnya. Agak miris rasanya jika masalah klasik ini masih saja membelit tubuh pendidikan kita. Sementara kita sudah memasuki gerbang revolusi industri 4.0, di mana kecakapan hidup merupakan hal yang mutlak diperlukan.
Di sisi lain, kita memang tidak bisa serta merta menjustifikasi bahwa semua ini salah anak. Latar belakang keluarga, lingkungan sosial, pergaulan, usia, dan media sosial, merupakan beberapa faktor yang cukup berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak. Di saluran televisi misalnya, begitu banyak tontonan yang tidak ramah anak dengan frekuensi tayang yang tinggi dan pada jam anak masih aktif di depan layar televisi. Lalu, di media sosial, bukankah hampir setiap hari kita menyaksikan para warganet dengan begitu mudahnya saling hujat hanya karena berita yang belum jelas sumbernya (hoax)? Perundungan, ujaran kebencian (hate speech), dan sekelumit problematika sosial lainnya seakan mendoktrin pikiran mereka bahwa seperti itulah adanya budaya kita.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan kita. Karenya, tantangan yang kita hadapi di era milenial ini semakin meningkat. Fungsi lembaga pendidikan tidak sekedar membekali generasi bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan dari sisi intelektual saja. Tapi, kesadaran kultural sebagai bangsa yang memiliki keluhuran budi pekerti juga harus ditanamkan secara proporsional pada diri anak. Dua dimensi pendidikan ini harus tetap seimbang. Jika tidak, konsekuensinya akan terlahir generasi robot milenial, yakni manusia-manusia yang berpengetahuan tinggi, tapi cacat dalam hal budi pekerti.

Urgensi Literasi Budaya
Hampir semua daerah di NTB memiliki kearifan (budaya) lokal yang menarik di mata masyarakat internasional. Dalam masyarakat Sasak misalnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari praktik-praktik sosial seperti berolem,[1] betabeq,[2] bebase,[3] saling tulung,[4] dan sebagainya. Demikian juga dengan masyarakat Mbojo. Mereka punya rimpu,[5] rawi rasa,[6] cafi sari[7], dan beragam tradisi lainnya.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini, tradisi-tradisi dimaksud tampak semakin memudar. Sebut saja tradisi berolem pada masyarakat Sasak. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat kekeluargaan, juga mencerminkan tingginya penghormatan masyarakat Sasak atas tamu yang akan menghadiri acara tertentu. Namun, kehadiran teknologi handphone (HP) telah mengganti peranan tradisi ini dalam tatanan masyarakat.—meskipun tidak sepenuhnya. Tradisi ngayo (silaturrahmi ke tetangga) misalnya, juga telah terwakili dengan kehadiran media sosial.
Pengaburan nilai-nilai kearifan (budaya) lokal ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali pelajaran budaya lokal di sekolah, menuangkan wawasan budaya lokal dalam bentuk karya tulis, pagelaran festival atau pameran budaya, dan cara-cara lain yang dapat melestarikan budaya lokal.
Maka, revitalisasi kearifan (budaya) lokal dalam hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.
Lombok Tengah, ditulis pada 01 Maret 2019


[1] mengundang dengan cara menyampaikan lansung (lisan) ke rumah-rumah.
[2] cara mengatakan permisi dengan menundukkan tubuh dan menurunkan tangan kanan saat lewat di depan orang.
[3] Dalam interaksi sosial, seseorang yang lebih kecil tidak boleh menyebut nama orang yang lebih tua. Sebagai gantinya adalah menyebut gelar usia seperti tuaq (paman), saik (bibik), papuk (kakek atau nenek), Inak kake (tante), amak kake (paman/kakak dari ayah atau ibu), dan sebagainya.
[4] Saling bantu setiap ada orang bangun rumah, bercocok tanam, pesta, meninggal, dan sebagainya.
[5] Memakai sarung dengan melingkarkannya pada kepala di mana yang terlihat adalah sepasang mata pemakainya.
[6] Semua kegiatan yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat.
[7] Berarti upacara menyapu lantai yang dilakukan untuk menyampaikan puji syukur karena seorang ibu telah berhasil melahirkan seorang anak dengan selamat.

Cerpen


Wanita Berwajah Kenangan
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di SKH Suara NTB edisi Sabtu, 09 Februari 2019

Wanita itu masih berdiri di sudut dapur hostel sambil menenteng sebuah cangkir yang tampaknya berisi kopi atau teh. Sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu, aku sudah menemukannya di sana bersama seorang wanita lain paruh baya berambut ikal dan berkulit agak gelap. Sementara, wanita yang kumaksud ini berkulit putih, berambut lurus dan pirang, mata sipit, dan bertubuh jenjang. Dari fostur tubuh dan penampilan, aku menduga hubungan mereka bukanlah antara anak dan ibu. Sehingga aku tidak bergitu tertarik untuk mencari tahu hal itu. Aku hanya tertarik mengamati raut wajah wanita bermata sipit yang tampak begitu menggoda ini.
Sebentar, sebenarnya bukan kecantikannya yang membuat mataku tercekat. Di zaman yang begitu pesat akan perkembangan alat kecantikan seperti saat sekarang ini, kurasa tidak sulit menemukan wanita cantik seperti dia, bahkan yang lebih cantik sekalipun. Namun, wanita ini sungguh berbeda. Di wajahnya seakan-akan terhampar padang kenangan yang seolah pernah kuarungi bersamanya suatu masa yang tak dapat kuingat secara pasti. Aku hanya dapat merasakan itu. Ya, benar sekali, aku ingat bahwa perasaan ini pernah kurakasan dulu ketika memandang wajah Meri, istriku yang meninggal lima tahun silam.
Aku menghempaskan tubuh ke sandaran kursi yang terletak di pelataran dapur hostel. Sisa-sisa pegal akibat perjalanan kemarin sore rasanya masih menempel di tubuhku. Sebab itu, pagi ini akan kuhabiskan dengan sedikit lebih santai sebelum check out. Oh ya, kedatanganku ke Negeri Merlion  ini adalah untuk melanjutkan kuliah. Dulu aku pernah berjanji melanjutkan kuliah ke sini bersama Meri. Akan tetapi, rencana kami tertunda karena kami lebih dulu menikah setahun selepas kuliah. Lagi pula, usiaku pada saat itu sudah cukup matang, sehingga menikah adalah pilihan yang tepat ketimbang menjalin hubungan tak tentu arah. Dan ambisi melanjutkan kuliah itu kini sudah kutunaikan, meski tujuanku sebenarnya lebih kepada menghabiskan sisa-sisa usia sebelum kematian menjemputku.
 Aku menyeruput segelas kopi susu yang telah kuseduh sendiri di dapur. Awan pekat yang menggelantung di atas kepalaku, menambah kenikmatan meminum kopi. Aku merapatkan kursi ke sebuah meja saji kecil di depanku, lalu kutumpuk lenganku di sana. Kehadiran wanita yang kini kusebut berwajah kenangan di depanku ini benar-benar mengundang kerinduanku pada Meri. Karena wajahnya begitu mirip dengan Meri. Dulu teman-teman kuliah sering mengatakan Meri mirip gadis Cina karena matanya yang sipit. Hanya saja kulit Meri tidak seputih wanita di depanku ini.
Kulirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Aku tersenyum-senyum sendiri. Dulu dia memberikan benda ini pada saat ulang tahunku yang ke 30. “Kamu tahu Mas, kenapa aku kasih kado ini walau kamu sudah punya model yang lain?” katanya.
Aku menggeleng tanpa sebait suara yang meluncur dari mulutku.
“Setiap Mas ingin melihat waktu, berarti Mas akan melihat jam ini. Dan itu sama saja dengan melihatku. Dengan begitu, kamu akan selalu ingat padaku setiap waktu.” Sambil tersenyum-senyum Meri mengatakan itu.
“Ah, bisa aja kamu. Tanpa jam tangan ini pun aku sudah selalu ingat padamu. Lagi pula, bukankah aku sudah bilang bahwa aku hanya akan mencintai wanita hanya sekali dalam hidup ini?”
Meri kemudian mendekapku erat malam itu, hingga pagi datang menggeser kehadiran malam. Waktu itu usia pernikahan kami sudah mencapai enam tahun. Tapi kami belum dikaruniai momongan. Dan aku sendiri tahu kenapa Meri berkata seperti itu. Usia pernikahan yang boleh dibilang cukup matang tapi belum bisa mempersembahkan seorang anak, bisa dikatakan sebuah aib bagi seorang wanita, yang suatu waktu dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Sebagai seorang wanita dan memiliki perasaan sensitif, Meri tentu paham tentang hal itu. Oleh karenanya, boleh jadi pikirannya berkata bahwa ia takut bila sewaktu-waktu aku menaruh perhatian pada wanita lain.
Meri sering bercerita tentang teman-teman kantor yang menanyainya perihal buah hati. Ia seringkali merasa kelimpungan apabila menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Pengalamannya itu lantas membuat Meri kadang merasa minder dan seolah-olah dirinya lah yang patut disalahkan atas cobaan tersebut. Lambat laun, perasaan minder tersebut membuat Meri jadi selalu menghindari pembicaraan apabila topiknya sudah menyentuh  soal anak. Bahkan, ia berusaha menjauhi perkumpulan ibu-ibu rumah tangga di dekat rumah kami. Ia merasa dirinya lah yang sedang dipergunjingkan ketika mereka berkumpul dan berkelakar riang.
“Mas, kalau boleh jujur, aku tak keberatan jika Mas menikah lagi,” katanya pada suatu malam berikutnya.
“Kenapa kamu berkata seperti itu, Meri?”
“Aku tahu Mas ingin sekali punya anak.”
“Tidak, aku tidak bisa melakukan itu, Meri.”
“Baiklah kalau Mas tak tega melakukan hal itu sekarang, tunggulah hingga pusaraku mengering.”
Kalimat Meri serasa menyumbat kerongkonganku. Pernapasanku seketika menjadi sangat berat malam itu. Sehingga aku tidak bisa menahan lelehan air dari pupil mataku. Aku bukan semata menangisinya. Akan tetapi, aku menangisi betapa besar keinginannya untuk membahagiakanku, yang ternyata tak dapat terwujud sampai saat itu.
Begitulah. Hari-hari kami jalani berdua tanpa kehadiran makhluk mungil yang kami nanti-nantikan, hingga suatu hari kata-kata Meri benar-benar menjadi nyata. Penyakit mematikan yang diidapnya telah merenggut nyawanya. Entah, apakah saat mengatakan perihal kematian malam itu Meri sudah mulai merasakan penyakitnya ataukah ia ngomomg asal-asalan saja? Aku tidak dapat memastikan hal itu. Aku hanya bisa memastikan, bahwa diriku selalu berteman dengan sepi dan kesedihan pada hari-hari berikutnya. Aku sudah memutuskan hubungan dengan bahagia. Kesedihan-kesedihan yang menguliti hari-hariku bahkan membuatku selalu berdoa agar kiamat dipercepat saja. Dengan begitu, aku dan Meri bisa dipertemukan kembali di alam keabadian. Meskipun aku sadar mana mungkin Tuhan mau mempercepat jadwal kiamat hanya gara-gara satu orang hambaNya ini.
***
Rintik hujan yang sudah mulai bertempias ke atas lantai, mengusap kesadaranku dari lamunan tentang Meri. Kakiku seakan bergerak dengan sendirinya ke dalam dapur hostel, menghindari hujan sambil membawa gelas kopi yang isinya sudah tandas.
Tanpa kusadari, rupanya si wanita bermata sipit sekarang sudah berada dengan jarak yang cukup berbisik saja kami sudah bisa saling dengarjika ingin berbicara. Wanita berambut ikal yang tengah menjentikkan sebatang rokok di jari kirinya melirik ke arahku dengan tatapan penuh selidik. Aku membalas tatapannya. Wanita cantik bermata sipit pun turut menatapku. Beberapa saat kami bertiga saling tatap secara bergantian. Degup jantungku terasa lebih kencang dari biasanya. Namun, tak lama kemudian ia berlalu begitu saja bersama wanita perokok sialan tersebut.
Ternyata benar, dari jarak dekat, wajah wanita itu mirip sekali dengan Meri. Sehingga pantas saja perhatianku sejak tadi tercocok ke arahnya. Ah, apa yang terjadi denganku? Dadaku tiba-tiba dipagut rindu pada Meri, tapi pada saat bersamaan juga terpesona dengan wanita berkulit putih dan bermata teduh tadi. Apakah ini sebuah petanda bahwa Meri memintaku jatuh cinta pada wanita lain ataukah wanita itu adalah jelmaan Meri? Tapi siapa dan dari mana asal-usulnya? Aku bergegas mengejarnya, tapi aku tak menemukan siapa-siapa diantara lorong kamar hostel. Bahkan bayangan seorang pun tidak kutemukan. Sepi. Sangat sepi.
Lombok Tengah, 1 Februari 2019.
Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi Buku. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Senin, 21 Januari 2019

Resensi

Menyingkap Keutamaan Zikir
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Singgalang edisi Minggu, 20 Januari 2019

Judul                : Jangan Cemas, Berzikirlah
Penulis              : Abdullah Al-Fakir
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Tahun Terbit     : Pertama, 2018
Tebal                : 143 Halaman
ISBN               : 978-602-04-5723-9
Kata zikir berasal dari bahasa Arab, yakni dzakara yang artinya mengingat, menyebut, menuturkan, menyucikan, memperhatikan, mengenang, mengenal, mengerti, memberi, dan menasihati. Sedangkan secara istilah, menurut Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, zikir berarti segala lafal yang disukai dengan banyak mengucapkannya untuk mengingat dan mengenang Allah, bisa berupa tahmid, tahlil, takbir, tasbih, doa-doa al-ma’tsurat, dan sebagainya (hlm. 8).
Jika kita perhatikan definisi di atas, maka berzikir pada dasarnya tergolong ibadah yang ringan dan mudah dilaksanakan, karena bisa dilakukan kapan dan di mana saja tanpa syarat yang berat. Namun, meskipun demikian, ibadah zikir sering kali diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, ia memiliki kedudukan yang mulia dan keutamaan yang luar biasa di sisi Allah SWT. Diantara keutamaan berzikir ialah dapat menghapus dan menjauhkan kita dari dosa.
Disadari atau tidak, manusia memang tidak terlepas dari perbuatan dosa. Sebagai makhluk biasa, ia sering kali terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Karena itu dapat dikatakan sudah menjadi tabiat manusia. Namun, bukan berarti hal ini kemudian menjadi alasan bagi kita untuk bebas melakukan dosa. Seorang muslim yang baik sejatinya senantiasa mengendalikan dan menyucikan diri ketika menyadari dirinya telah melakukan dosa. Salah satu caranya adalah dengan berzikir, agar Allah mengampuni dan menghindari kita dari berbuat dosa. Allah menegaskan dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 35, bahwa adz-dzakirin (laki-laki yang brzikir) dan adz-dzakirat (perempuan yang berzikir) telah dijamin akan diampuni dosanya dan diberikan pahala yang besar (hlm.39).
Manfaat lain daripada berzikir yang erat dalam kehidupan sehari-hari kita adalah mempermudah urusan dan melapangkan rezeki. Hal ini juga sudah dijamin oleh Allah dalam Alquran surat Ath-Thalaq ayat 2-3 yang berati: barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Dua manfaat yang disebut diatas, menunjukkan betapa ibadah zikir memiliki energi yang dahsyat dalam kehidupan kita. Yakni selain dapat menghapus dosa, mendapat pahala, mempermudah urusan, juga dapat menambah rezeki dari Allah. Zikir juga, menurut penulis, layaknya antivirus dalam sistem perangkat komputer. Ia tidak hanya bisa menghapus virus, tapi juga menjaga dan memelihara komputer dari jangkauan virus. Demikian adanya zikir, ia tidak hanya berfungsi menghapus dosa, tapi juga dapat menjaga dan merawat hati dari tipu daya setan yang terkutuk. Lantas, apa yang membuat kita malas untuk berzikir?
  Tentu masih banyak lagi manfaat zikir yang diuraikan oleh penulis dalam buku ini. Selain itu, ia juga menyajikan amalan, anjuran, ragam cara berzikir, dan  renungan-renungan kehidupan dalam rangka mempersiapkan diri menuju Sang Khalik, yakni mengingat kematian. Semua itu dikupas secara detail oleh penulis. Terdiri dari tujuh bagian, isi buku ini sangat baik untuk dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga kita menjadi pribadi muslim yang senantiasa mengingat Allah.

Lombok Tengah, 1 Januari 2019
Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.



Minggu, 13 Januari 2019

Resensi

Belajar Seni Berbagi Kebaikan dari Sosok Perempuan Inspiratif
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Bhirawa edisi 11 Januari 2019

Judul                : The Art of Giving Back
Penulis              : Nila Tanzil
Penerbit            : B First
Tahun Terbit     : Pertama, November 2018
Tebal                : 120 Halaman
ISBN               : 978-602-426-103-0
Nila Tanzil dikenal sebagai sosok perempuan inspiratif pendiri Taman Bacaan Pelangi, yayasan non-profit yang telah mendirikan ratusan perpustakaan anak di 17 pulau di wilayah Indonesia Timur. Sejak didirikan, yayasan ini telah berhasil menyalurkan lebih dari 200 ribu buku cerita anak kepada 30-an ribu anak, dan pelatihan kepada ratusan ribu guru di daerah pelosok. Atas kiprahnya tersebut, tidak heran ia telah dianugerahi beragam penghargaan. Diantaranya adalah Kartini Next Generation 2013, Forbes Indonesia 10 Inspiring Women 2015, 10 Iconic Women 2016, 10 EY Enterpreneur of The Year 2016, dan berbagai penghargaan lainnya.
Buku ini mengulas perjalanan Nila dalam mengarungi kiprah di dunia literasi. Satu hal yang diyakini perempuan penggila solo travelling ini adalah “kebaikan merupakan satu hal yang dapat ditularkan”. Artinya, ketika kita berbuat baik pada seorang, maka orang tersebut pasti tertanam dalam benaknya untuk berbuat baik pada orang lain. Begitu seterusnya hingga kebaikan-kebaikan lainnya menular dan berkembang. Inilah yang jadi bekal Nila dalam mendirikan Taman Bacaan Pelangi.
Berawal dari pertemuannya dengan  Timothy Forderer, seorang kapten private yatch di Labuan Bajo, ketika Nila bekerja sebagai public relation consultan di sebuah perusahaan di Jakarta. Saat itu, ia diajak untuk mengikuti seminar di sebuah sekolah terpencil, SMA Loyola di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Seminar bertema “Do What You Love” yang dibawa Timothy secara sukarela, lantas membuat hatinya tersentuh. Terlebih ketika belakangan ia mengunjungi Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Papagaran.
Dalam kunjungannya ke sekolah-sekolah di tiga pulau itu, satu hal yang amat memprihatinkan adalah tidak tersedianya perpustakaan sekolah yang dapat dinikmati anak-anak. Sejak itulah perempuan lulusan Universiteit van Amsterdam ini bertekad untuk membangun perpustakaan yang berlokasi di sebuah sekolah, SDK Roe. Akhirnya, pada 5 Desember 2009, ia resmi mendirikan Taman Bacaan Pelangi dengan koleksi pertama sebanyak 200 buku cerita. Perpustakaan tersebut mendapat sambutan antusias, baik dari pihak anak-anak, guru, pemerintah desa, maupun masyarakat setempat.
Sebagai seorang pekerja, Nila tentu tidak bisa full time dalam mengurus Taman Bacaan Pelangi. Ia harus membagi waktunya untuk dua hal yang cukup jauh berbeda, yakni pekerjaan dan dedikasi. Karena itu, pada tahun 2013, perempuan penyandang berbagai award ini hengkang dari kariernya sebagai konsultan. Ia lebih memilih untuk fokus mengelola yayasan yang didirikannya. Agar lebih sustainable dari segi finansial, ia membangun bisnis berdasar hobinya yakni Travel Spark dengan konsep Travel with a Cause: jalan-jalan sambil berbagi. Adapun destinasinya fokus ke kawasan Flores, Labuan Bajo, Taman Nasional Komodo, Danau Kelimutu, dan wilayah sekitarnya. Bisnis ini juga didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan roda perekonomian warga sekitar dan promosi pariwisata.
Nila mengakui bahwa inspirasi dalam mengembangkan Taman Bacaan Pelangi ia peroleh dari orang-orang yang ditemukan selama pergi travelling ke berbagai negara seperti Myanmar, Thailand, Kamboja, Sri Lanka, bahkan di lingkungannya sendiri. Selama berinteraksi dengan warga negara setempat, begitu banyak nilai-nilai kebaikan yang ia temukan. Terutama pelajaran berbagi, meski dalam wujud hal-hal sederhana. Melalui buku ini, Nila mengajak kita untuk berbuat baik dan menularkan kebaikan pada orang lain. Itulah yang disebutnya “Seni berbagi kebaikan”.

Lombok Tengah, 9 Januari 2019

Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...