Sabtu, 19 November 2022

Esai Pendidikan

Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala Sekolah Ideal?

(bagian 2)

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber gambar: https://arwiranews.com/kampus/manajerial-kepala-sekolah-dalam-pelaksanaan-pembelajaran-blended-learning-di-era-new-normal/


Beberapa saat lalu, teman-teman Calon Guru Penggerak (selanjutnya disebut CGP) ribut di grup WA Guru Penggerak Kabupaten Lombok Tengah. Sebetulnya bukan ribut, tetapi mereka membincangkan mutasi dan pengangkatan kepala sekolah baru. Konon, ada beberapa kepala sekolah yang tidak memenuhi syarat administratif, seperti tidak adanya sertifikat pendidikan dan latihan (Diklat) calon kepala sekolah dan sejenisnya. Barangkali mereka keberatan, bagaimana bisa seorang yang tidak memenuhi syarat bisa lolos menjadi kepala sekolah? Hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran. Karena rekrutmen kepala sekolah, seperti kita tahu, erat kaitannya dengan dunia politik—meskipun tidak semua dan sepenuhnya begitu.

Masa bodoh! Mana peduli saya dengan hal tersebut. Hanya saja saya cukup tertarik dengan ajakan seorang teman CGP. Saya merasa teman itu seperti seorang peserta uji nyali yang mengangkat tangan, butuh pertolongan. Sebab, ia berkali-kali meminta teman lain untuk ikut berkomentar soal pernyataan salah seorang pejabat atau entah kepala sekolah baru saat itu. Komentar tersebut mengenai tidak adanya jaminan kualitas seorang CGP jika menjadi kepala sekolah. Intinya teman itu merasa geram dan ingin agar teman-teman lain turut membela program yang sedang kami ikuti. Karena itu, saya kemudian membagi link esai saya yang berjudul “Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala Sekolah Ideal?” yang saya tulis di SKH Radar Mandalika pada Januari 2022.

Tentu saja isi esai tersebut mewakili pembelaan saya. Pembelaan seperti ini saya kira lebih intelektual ketimbang komentar di bawah pengaruh emosi. Akan tetapi, perlu saya kabari esai itu ditulis ketika saya masih menjadi lalat di balik jendela.[1] Ya, betul, saya waktu itu belum mengikuti Diklat Guru Penggerak. Jadi, saya hanya menatap program tersebut dari balik jendela (membaca dari modul). Saya mungkin saja melihat dan memahaminya dengan jelas, tetapi saya tidak pernah langsung bisa menyentuh, menghidu aromanya, apalagi langsung melahap dan menyerap gizinya. Sehingga tentu saja tulisan tersebut, saya kira, masih terasa hambar dan tawar. Karena itu, saya menulis esai bagian dua ini untuk membubuhi garam, penyedap rasa, dan bahan lainnya yang saya dapatkan selama mengikuti Diklat CGP.

Jadi, langsung saja, benarkah program Guru Penggerak tidak menjadi jaminan mutu guru jika kelak ia menjabat kepala sekolah? Jika menjamin, apa saja yang dapat menjaminnya? Bagaimana ia bisa menjadi jaminan? Kenapa ia dikatakan dapat menjadi jaminan? Bila kita cermati, materi pada modul CGP sebetulnya secara sistematis sudah mencakup kepemimpinan (sekolah). Tetapi, di sini kita ambil beberapa poin atau materi modul yang mengarah ke pembentukan mental kepemimpian (leadership) yang mana itu dibutuhkan oleh seorang kepala sekolah.

Pertama, coaching untuk supervisi. Sebagaimana kita ketahui supervisi merupakan elemen yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang kepala sekolah harus memiliki kemampuan supervisi yang baik agar bisa memastikan pembelajaran yang dilakukan guru sudah baik atau tidak. Sebab, pembelajaran yang baik adalah hulu keberhasilan sebuah pendidikan. Tetapi, supervisi pada materi ini bukan sekadar kegiatan mengawasi proses pembelajaran yang bersifat administratif dan kaku sebagaimana yang dipahami selama ini. Ia mencakup kegiatan perencanaan, pengawasan, pemberian umpan balik, dan refleksi yang dilakukan secara bersama (kolaboratif) oleh seorang pemimpin dengan guru atau rekan sejawat melalui praktik coaching.

Materi coaching ini melatih kemampuan CGP untuk membantu rekan sejawat mencapai tujuan yang ingin dicapai yang sudah ditetapkannya. Posisi coach dalam hal ini bukan (bermakna) orang yang lebih tinggi, senior (dari segi usia atau jabatan), superior, dan sejenisnya, melainkan berperan sebagai mitra berpikir rekan sejawat dalam mengembangkan potensi dirinya. Ia bukan pencari dan pemberi solusi, melainkan solusi dihasilkan dari kemampuannya menggali potensi coachee[2] dengan pertanyaan-pertanyaan berbobot. Sehingga ia menemukan sendiri solusi dari masalah yang dialaminya dalam proses pembelajaran. 

Kemampuan ini saya kira sangat penting dimiliki seorang kepala sekolah untuk menghindari kekakuan hubungan (profesionalitas) dalam manajemen sekolah. Dengan kemampuan coaching, hubungannya dengan guru lebih koordinatif, positif, solid, dan cair. Dengan begitu, guru akan memiliki keleluasaan untuk mengembangkan diri tanpa merasa ditekan, digurui, dan sejenisnya. Seorang pemimpin yang mampu melejitkan semangat kerja rekan sesama bukankah akan sangat mendukung pengembangan lembaga yang dipimpinnya?

Kedua, Pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin. Seorang kepala sekolah sudah pasti dihadapkan dengan masalah yang kompleks dan beragam. Karenanya, ia dituntut untuk memiliki kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Akan tetapi, apakah hal tersebut cukup mudah? Sering kali masalah yang sama pada situasi berbeda, tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan yang sama. Demikian pula sebaliknya, masalah yang berbeda terkadang bisa saja diselesaikan dengan cara yang sama. Untuk itulah seorang CGP dibekali kejelian dalam mengidentifikasi, menganilisis, dan mengambil keputusan yang tepat melalui paradigma dilema etika agar ia bisa mengambil langkah yang tepat bagi pengembangan sekolah.

Ketiga, pemimpin dalam pengelolaan sumber daya. Selain kemampuan pengembangan sekolah yang bersifat internal, seorang kepala sekolah tentu dituntut menjalin kerja sama dengan pihak lain (luar) untuk mengembangkan program sekolahnya. Materi pada modul 3.2 ini melatih kemampuan CGP dalam mengelola sumber daya untuk mengembangkan program sekolah melalui pendekatakan asset based community development (pengembangan komunitas berbasis asset). Di sini CGP diajak untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memanfaatkan berbagai jenis asset biotik (unsur hidup) dan abiotik (unsur tidak hidup), baik yang terdapat di lingkungan atau di luar sekolah, untuk mengembangkan ekosistem sekolah.

Dengan pendekatan ini, seorang pemimpin akan memiliki keluasan dan keluwesan berpikir, bahwa sebetulnya begitu banyak potensi asset di sekitar kita yang terkadang cenderung diabaikan, tapi justru sangat mendukung jika diberdayakan. Kemampuan untuk menggali, menemukan, dan menyesuaikan asset tersebut dengan kebutuhan sekolah adalah salah satu hal yang ditempa di sini.

Terakhir, pengelolaan program yang berdampak pada murid. Pada modul ini seorang CGP dibekali dengan kemampuan mendorong student agency (kepemimpinan murid) melalui program intra, ko, dan ekstrakurikuler. Dengan pendekatan voice (suara), choice (pilihan), dan ownership (kepemilikan), murid dilibatkan untuk mengembangkan program positif yang diinginkan dan dapat mengasah potensi yang dimilikinya.

Memang, kemampuan ini tidak hanya harus dimiliki oleh kepala sekolah, dalam arti guru juga bisa saja menerapkannya. Tetapi, karena bersinggungan dengan pengembangan program sekolah yang berpihak pada murid, kepala sekolah memiliki peran sangat strategis, mengingat posisi dan kedudukannya secara otoritatif sebagai seorang pemimpin sekolah.

Poin satu sampai empat di atas adalah dukungan secara substansi materi. Sementara, dari segi metodik, pengalaman pembelajaran Program Guru Penggerak jauh lebih komprehensif dari pada program lain. Pada Learning Management System (LMS), misalnya, kegiatan mulai dari diri dan eksplorasi konsep memberi kesempatan pada CGP untuk memahami materi yang akan dipelajari secara mandiri. Kemudian, kegiatan ruang kolaborasi, mengasah kemampuan bekerja sama dan diskusi dengan peserta lain untuk menyamakan persepsi dan pemahaman mengenai materi yang dipelajari sendiri. Dengan bimbingan fasilitator, di sini pemahaman yang sudah terbentuk diperkuat lagi dan selanjutnya dibuktikan dengan tugas demonstrasi kontekstual dan aksi nyata.

Kemudian, pada kegiatan refleksi pada setiap pertemuan dan setiap akhir modul, CGP dilatih untuk me-recall (mengingat ulang) dan menyampaikan kesan materi yang sudah dipelajari. Terakhir, pada kegiatan koneksi antar materi, CGP diminta untuk menyimpulkan dan mengaitkan pemahaman mereka dari modul satu dengan lainnya. Dengan cara inilah program ini memastikan pesertanya sejauh mana ia telah menguasai materi semua modul yang telah dipelajari.

Tidak cukup sampai di situ, bimbingan yang diberikan secara langsung melalui pendampingan individu oleh Pengajar Praktik (PP) memastikan apakah pemahaman yang telah diperoleh sudah diterapkan dan diimbaskan ke rekan guru lain atau tidak, sudah dikomunikasikan dengan kepala sekolah dan warga sekolah lainnya atau tidak. Kemudian hasil pendampingan tersebut diulas dan diperkuat pada kegiatan lokakarya bersama peserta-peserta lainnya.

Dengan demikian, Diklat Guru Penggerak sangat praktis, holistik, dan komprehensif. Sehingga ia akan membentuk pemimpin yang pemikir (inovatif) dan tangguh, bukan pemimpin bermental kasir[3] yang hanya memikirkan kemasukan dan pengeluaran (berpikir monoton dan rigid). Jadi, bagaimana mungkin orang yang tidak pernah mengikuti program ini mengatakan bahwa Program Guru Penggerak tidak bisa menjadi jaminan mutu calon pemimpin? Barangkali maksudnya mengikuti program tersebut tidak menjamin guru bisa menjadi kepala sekolah. Ungkapan ini mungkin ada benarnya. Lagi pula, menjadi kepala sekolah adalah sebuah jabatan. Bukankah kita tidak harus menjabat orang nomor satu untuk meningkatkan mutu pendidikan kita?

Wallahua’lam bissawab.

Lombok Tengah, 15 November



[1] Istilah ini saya pinjam dari Pak Edy Mulyono yang menganggap seorang penulis yang tidak terjun langsung untuk meriset dan sejenisnya ibarat lalat di balik jendela.

[2] orang yang di-coaching

[3] Pemimpin bermental kasir ini saya kutip dari pernyataan Prof. Habibie dalam buku The Power of Ideas 

Esai Bahasa

Bagaimana Memaknai Frasa “Menghamba pada Anak”?


Sumber gambar: https://sekolahmenyenangkan.or.id/pendidikan-yang-berhamba-pada-anak/

Seorang teman CGP saya dari kelas lain tidak sepakat dengan kata menghamba pada anak (murid) yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara (selanjutnya disebut KHD). Sebenarnya, ia mendengar kata itu dari instruktur yang mengutip pernyataan KHD saat menyampaikan materi. Menurutnya, kata menghamba itu agak kurang pas untuk kondisi pendidikan saat ini. Sebab, anak-anak sekarang banyak yang kurang hormat pada guru. Perilaku siswa zaman ini jauh berbeda dari zaman dulu. Sudah begitu, eksistensi HAM seakan menjadi perisai ketika mereka diberi hukuman (secara fisik) oleh guru. Begitu kira-kira kritiknya.

Hal itu ia sampaikan pada acara sinkronus elaborasi pemahaman modul.1.1 beberapa saat lalu. Padahal, waktu itu instruktur sudah meminta salah seorang peserta untuk melakukan pernyataan penutup. Artinya, acara sinkronus hendak selesai. Tetapi, pernyataan itu lantas menjadi pemantik diskusi kembali. Seakan pertandingan sepakbola pada menit-menit injury time, diskusi kami kembali jual beli serangan. “Banyak siswa yang disentuh sedikit saja, mereka langsung melaporkan guru tersebut. Karena itu saya lebih suka dengan kurikulum zaman dulu yang memberikan hak dan wewenang guru sepenuhnya untuk mendidik anak dengan caranya sendiri,” sambungnya lebih lengkap.

Sebagai kawan satu profesi, saya memahami apa yang disuarakan teman itu. Kasus lapor-malapor guru ke aparat penegak hukum memang sudah jamak kita saksikan akhir-akhir ini. Bahkan hal itu acap kali memancing amarah kita. Tetapi, apakah ini berkaitan secara langsung dengan kurikulum? Saya kira tidak demikian. Persoalan ini lebih bersifat pedagogis. Sebab, cakupan kurikulum lebih luas dari sekadar itu: ada seperangkat rencana, visi, standar kompetensi, pendidik, media pembelajaran, alokasi waktu, daya dukung, dan berbagai komponen lainnya. Sepertinya kurang pas bila dikaitkan dengan dinamika perubahan kurikulum. Lagi pula, HAM bukan termasuk sistem pendidikan, melainkan supra-sistem.

Lantas, bagaimana kita maknai kata menghamba pada frasa menghamba pada anak dalam konteks ini? Apakah ini tidak terbalik? Kenapa guru yang menghamba? Bukankah seharusnya murid yang menghamba pada guru? Barangkali karena pemakaiannya cenderung dilekatkan pada istilah keagamaan, teman itu merasa kata menghamba tidak cocok dalam konteks ini. Misalnya, hamba Allah, menghamba pada Allah, menghambakan diri pada Tuhan, dan seterusnya. Atau, setidaknya dulu ia juga dipakai pada zaman perbudakan, dan di lingkungan kerajaan: oleh rakyat atau pelayan kepada raja, keluarga, dan pejabat kerajaan (tuturan mendaki). Tetapi, seperti yang kita tahu, saat ini zaman perbudakan dan sistem kerajaan sudah tidak ada sehingga pemakaiannya pun terkesan tidak berterima lagi.  

Meskipun demikian, ada baiknya kita tengok sedikit ke belakang. Sebab, bagaimanapun juga, mempelajari makna bahasa berarti mempelajari latar (waktu) kapan suatu bahasa, khususnya kata, digunakan dalam komunikasi. KHD, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, memang memakai diksi menghamba/berhamba. Dan, ini termasuk juga pada beberapa buku biografi beliau. Bila kita amati secara sinkronis, boleh jadi itulah lema yang hidup pada masa itu untuk merealisasikan totalitas kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam mendidik anak.

Namun, saya tidak berani mengambil kesimpulan buru-buru terhadap hal ini. Saya tidak punya cukup banyak ilmu dalam sub-disiplin ilmu linguistik tersebut (lingusitik sinkronik). Hanya, ini pandangan spekulatif setelah saya mencoba membandingkannya dengan kasus (pada tataran lema) lain. Kata cacat, misalnya, pada era 90-an atau sebelumnya masih terkesan lumrah untuk menggambarkan kondisi fisik seseorang. Kata itu cukup intens dipakai baik dalam ragam tulis maupun lisan. Beberapa tokoh bangsa yang pernah memakai kata ini di antaranya Prof. Daoed Joesoef (dalam sebuah tulisannya),[1] Presiden Soeharto (dalam pidatonya),[2] dan sejumlah tokoh lainnya.

Seiring waktu kata ini dirasa tidak layak dipakai (peyoratif) sehingga diganti dengan disabilitas atau difabel (different ability). Bahkan, itu diperkuat dengan rekayasa korpus bahasa melalui Undang-Undang.[3] Mungkin saja saat ini kita mendengar seseorang terpelajar memakai kata tersebut, tetapi itu cenderung untuk menggambarkan kondisi yang bertentangan dengan nilai tertentu, bukan fisik seseorang. Misalnya, cacat hukum, cacat moral, cacat naskah, dan sebagainya.

Kata menghamba memang bukan bermakna peyoratif, dan tidak ada upaya rekayasa korpus untuk mengganti pemakaiannya di lingkup formal. Dan, memang ada beberapa orang atau tokoh (pendidikan) memakai kata itu saat ini, termasuk pada Mars Guru Penggerak, misalnya. Tetapi, itu cenderung mengacu atau merujuk ungkapan atau pemikiran KHD di atas. Karenanya, kata ini saya kira lebih kepada ungkapan khas tokoh pendidikan kita untuk menunjukkan kesakralan hubungan guru dengan murid dalam pendidikan.

Hal ini tampak jelas bila kita membaca pemikiran atau paradigma pendidikan KHD, khususnya yang berkaitan dengan praktik mendidik atau interaksi guru dengan anak. Salah satunya ialah konsep “Tiga Mong”. Mong yang pertama ialah momong yaitu merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang. Mong yang kedua ialah among yakni memberi contoh tentang baik dan buruk tanpa mengambil hak anak agar bisa tumbuh dan berkembang secara merdeka sesuai dasarnya. Terakhir, ngemong berarti proses mengamati, menjaga dan merawat agar anak bisa mengembangkan dirinya, bertanggung jawab, dan disiplin berdasar nilai-nilai yang diperolehnya sesuai kodratnya.[4]

Jadi, menghamba di sini tidaklah bisa disamakan dengan konteks hubungan pembantu dengan majikan. Seorang pembantu melayani segala keperluan majikan sebagai bentuk tugasnya, sedangkan guru tidak demikian adanya. Ia melayani segala hal yang diperlukan murid untuk mendukung tumbuh kembangnya sebagai bentuk tanggung jawab moral keilmuan. Seorang pembantu harus tunduk pada keinginan majikan, sementara guru tidak memiliki kewajiban tunduk pada apa yang dikehendaki murid. Ia hanya tunduk atau terikat pada nilai pedagogis (pedagogical value) yang berlaku dalam pendidikan.

Intinya kita tidak bisa mengartikan frasa menghamba pada anak secara literal. Jika dengan memakai kata menghamba kita merasa khawatir mengarah pada upaya destruktif pada istilah keagamaan, maka kita bisa saja mengucap mengabdi pada anak sebagai alternatif. Apakah masih terkesan sama? Mungkin ya, tetapi setidaknya itu lebih terdengar eufemistis. Lagi pula, meminjam kalimat Prof. Fatimah Djajasudarma, hanya orang awam yang melihat makna kata dari kamus atau secara leksikal.

Lombok Tengah, 2 November 2022



[1] Daoed Joesoef, Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018), hal. 237.

[2] Dikutip dari buku berbahasa indonesia dengan logis dan gembira karya Iqbal Aji Daryono.

[3]  Holy Adib, Perca-Perca Bahasa, (Yogyakarta: Diva Press, 2020), hal. 109

[4] Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara; Biografi singkat 1889-1959, (Yogyakarta: Penerbit garasi, 2014), hal. 71

Esai Pendidikan

 

The Learning Law of Interaction

Sebuah renungan

sumber gambar: https://cermin-dunia.github.io/denah/post/gambar-guru-dan-murid/


Sudah beberapa kali saya menjadi pemateri pada kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) di sekolah kami. Bukan sombong, boleh jadi rekan-rekan guru melihat rekam jejak (prestasi) saya yang bagi mereka mungkin lebih tinggi dari pada guru lainnya. Sehinga mereka merekomendasikan saya mengisi materi dengan topik bimbingan belajar efektif, meskipun saya sendiri belum merasa maksimal dalam hal itu. Tetapi, mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga, kan, saya tolak permintaan itu? Singkat cerita, akhirnya saya iya-kan saja.

Hal pertama yang kemudian muncul dalam benak saya ialah bagaimana membuat siswa-siswa itu terkesan dengan saya sejak pertemuan pertama. Bukankah pepatah mengatakan kesan pertama paling lama diingat? Saya pun berupaya mengail kesan mereka dengan memajang foto-foto prestasi yang pernah saya raih di PPT presentasi: dari foto saat menerima penghargaan di Jakarta, beberapa karya tulis yang pernah muat media, buku, hingga beberapa capaian lainnya. Dan, itu saya bumbui dengan cerita-cerita yang sedap-sedap pedas layaknya seorang motivator betulan. Di samping untuk menarik kesan, sebagai seorang guru baru di mata mereka, saya tentu ingin terlihat berwibawa juga. Dengan begitu, mereka percaya bahwa saya guru yang mampu membawa mereka berhasil pada mata pelajaran yang saya ampu.

Namun, apa yang terjadi? Rupanya tanggapan mereka biasa-biasa saja, bahkan terkesan dingin. Sebagian memang mengangguk-angguk sambil memerhatikan, tetapi mereka tidak tampak tertarik dengan opening story (cerita pembuka) yang saya kira mengagumkan. Ada tepuk tangan, juga kesannya tidak lepas dan cenderung untuk menghargai saja. Saya jadi berpikir apakah ada yang salah dengan cara penyampaian saya? Apakah gaya bicara saya kurang asyik? Ataukah mereka memang kurang tertarik dengan topik yang saya sampaikan? Padahal saya sudah berusah-payah menyiapkan materi presentasi yang menurut saya menarik. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bermunculan hingga saya memutuskan mengulanginya di kelas pada saat kegiatan belajar-mengajar (KBM). Dan hasilnya ternyata tidak jauh berbeda, respon mereka tetap saja acuh tak acuh.

Di sisi lain, seorang teman saya yang dari segi karier dan prestasi biasa-biasa saja justru selalu dikerumuni siswa (baru) tersebut. Hampir setiap jadwal mengajar kosong, dia selalu dihampiri siswa. Bahkan, ruangannya selalu ramai, karena kebetulan dia juga seorang kepala perpustakaan. Intinya, banyak siswa datang kepadanya dengan berbagai keperluan; dari meminta pendapat, penjelasan materi, saran, hingga curhat soal masalah pribadi. Dan, semua itu pun dia layani selama sempat dan mampu.

Ini cukup mengejutkan. Saya sebagai guru yang digadang-gadang sejak awal sebagai motivator, kok tidak dikejar-kejar siswa? Kenapa hal ini bisa terjadi? batin saya. Diam-diam saya jadi sering mengamati gerak-gerik teman tersebut. Saya sering mencuri dengar dan pandang ketika berada di ruangannya. Saya memerhatikan pola komunikasinya dengan siswa, termasuk gaya mengajarnya jika sesekali saya melewati kelasnya. Dan, dari apa yang saya lakukan itu saya mengambil kesimpulan bahwa rahasia rekan saya itu ialah “ketertarikan”. Ya, betul, dia memiliki ketertarikan yang cukup besar pada siswa.

Rupanya benar apa yang dikatakan Dale Carnegie, kita bisa mendapat lebih banyak teman dalam dua bulan dengan secara murni menaruh perhatian kepada orang lain dibandingkan dengan dua tahun berusaha membuat orang lain tertarik pada diri kita.[1] Ya, jadi kuncinya adalah ketertarikan. Tentu saja ketertarikan dalam arti yang positif. Terdengar sederhana, bukan? Tetapi, lihat, dengan ketertarikan seseorang jadi punya perhatian kepada orang lain. Dengan ketertarikan kita jadi peduli dengan orang lain. Dengan ketertarikan, komunikasi jadi berlangsung hangat, cair, dan mengalir.

Demikian yang saya lihat pada diri rekan saya itu. Ketertarikan mendorongnya untuk menggali minat, potensi, bahkan masalah siswa. Ketertarikan membuatnya enggan menolak ketika dia dibawakan seabrek masalah sekalipun. Ketertarikan itu melahirkan kepedulian yang akhirnya mendorong dirinya untuk mencarikan mereka solusi atas permasalahan yang mereka keluhkan. Ketertarikan pada (dunia) siswa membuatnya menjadi pribadi terbuka bagi mereka yang ingin menyampaikan keluh kesahnya, Singkatnya, pada orang seperti dialah saya melihat law of interaction,[2] yakni hukum ketertarikan dalam interaksi: seorang akan cenderung tertarik pada orang yang tertarik (menaruh perhatian) padanya.

Dalam law of attraction, semesta akan mendukung apa yang benar-benar pikiran kita pusatkan. Sebab, dengan begitu segala energi yang kita miliki akan kita curahkan padanya. Dalam hal interaction (interaksi), seseorang yang dari dalam hatinya sudah ada ketertarikan kepada orang lain, perhatiannya cenderung tertaut padanya. Sehingga tanpa disadari dia juga akan mengalirkan sebagian besar energi padanya. Ketika hal itu dia lakukan maka orang lain akan memberi reaksi yang sama. Sederhananya, seseorang akan membalas apa yang telah kita lakukan padanya, yang dalam hal ini berupa perilaku, bukan sebatas imbalan atau jasa.

Sejak saat itu saya memahami bahwa siswa ternyata tidak memerlukan sosok guru yang membesar-besarkan diri di hadapan mereka. Melainkan mereka tertarik dengan guru berjiwa besar yang bebesar hati memahami mereka. Karena mereka percaya sosok guru seperti itulah yang mampu memberinya solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Mereka memang tidak akan pernah menanggalkan rasa bakti kepada guru, tetapi hati mereka tertambat pada tipikal guru seperti itu.

Saya tentu tidak perlu berubah menjadi rekan saya itu untuk mendapat simpati siswa. Hanya, dari dia saya belajar makna law of interaction, bahwa menjalin interaksi hangat dan intens dengan siswa merupakan hal yang penting dalam menunjang ekosistem pembelajaran di sekolah. Sebentar, apakah kondisi ini berdampak pada keberhasilan KBM?

Lombok Tengah, 8 Agustus 2022



[1] Dikutip dari buku How to Win Friends and Influence People, hal. 56

[2] Istilah ini dipinjam dari teori Rhonda Byrne. Istilah aslinya Law of Attraction (hukum ketertarikan), yaitu semesta akan mendukung apa yang kita benar-benar upayakan.

Sabtu, 15 Oktober 2022

Esai Bahasa

 

Menilik Pemakaian Kiasan dalam Tindak Tutur Masyarakat Sasak

Marzuki Wardi

Esai ini pernah dimuat di kolom Selasa Bahasa SKH Lombok Post pada 4 Oktober 2022


Masyarakat Sasak sangat suka memakai kiasan dalam tindak tutur sehari-hari. Untuk memahami ungkapan mereka, diperlukan kejelian dan kemampuan (pengalaman) berbahasa yang cukup memadai. Karenanya, tidak heran seorang teman saya yang masih cukup muda, bila hari, sontak kaget ketika ditanya, “Ye tabah kupi, ne?”[1] oleh teman saya yang lebih senior. Kebetulan pagi itu dia membuat dua gelas kopi: satu untuknya sendiri dan satunya lagi untuk teman yang lain. Pagi itu hanya ada kami bertiga di dalam ruang perpustakaan sekolah, dan saya sendiri tidak sedang minum kopi.

Setelah cukup lama melongo, dia menimpali, “Ape kenem? (Maksudnya apa?)”

Ndeq araq baturn ne? (Ndak ada temannya ini?),” balas teman satunya lagi. Namun, lagi-lagi teman yang membuat kopi tersenyum, belum bisa memahami pertanyaan tersebut. Sontak saya tertawa. Teman yang sudah dua kali bertanya itu juga tertawa. Tidak ketinggalan, si pembuat kopi juga, meskipun lebih tepatnya ia menertawai kedongkolannya.

Teman saya itu bukanlah penutur bahasa daerah lain. Dia juga seorang penutur bahasa Sasak. Bahkan, dia tergolong penutur Sasak tulen. Saya bilang begitu karena kami berdialek sama meriak-meriku, tapi aksen dialeknya nyangket (sangat kental). Kalau di Jawa mungkin disebut medok. Maksud saya, bagaimana mungkin dia tidak memahami ungkapan itu? Tetapi, dia memang masih relatif muda dari kami berdua. Lagi pula, kesamaan bahasa, lebih khusus dialek, saya kira bukan berarti otomatis menunjukkan kesamaan kompetensi berbahasa seseorang. Lebih-lebih kalimat di atas memang berupa kiasan.

Hal ini saya kira cukup menarik untuk dibahas. Sejauh pengamatan saya, ciri khas tindak tutur masyarakat Sasak memang sangat lekat dengan penggunaan bahasa sindiran, majas, dan peribahasa dalam menyampaikan pesan atau tujuannya. Dan, itu berlaku hampir di semua ragam kondisi tutur atau komunikasi. Dalam interaksi jual beli misalnya, sering kita mendengar seorang pembeli mengungkapkan segerah maraq paku Belande laloq[2] untuk menyindir sikap kukuh seorang penjual yang mempertahankan harga penjualan barang.

Pertanyaannya, kenapa mesti paku Belanda? Kenapa bukan paku Indonesia, paku Jerman, paku Inggris, dan lainnya? Tentu saja karena ini merujuk ke pengetahuan masyarakat Sasak mengenai paku Belanda yang kuat dan kokoh. Dari mana mereka tahu kuat dan kokoh? Mungkin saja karena mereka melihat banyak sekali bangunan peninggalan Belanda yang saat ini masih berdiri kokoh di gumi Sasak.

Salah satu contoh ungkapan dalam konteks bertamu yang lebih mirip dengan pertanyaan ye tabah kupi ne? adalah ye dalem sumur leq te? ‘apa di sini sumurnya dalam’. Pertanyaan ini sering kali digunakan sebagai gurauan atau sindiran manakala tuan rumah tidak menyuguhkan air atau kopi kepada tamunya. Sumur yang dalam berarti airnya sulit dijangkau. Karena sulit dijangkau, jadi wajar air tak disediakan di sana. Barangkali maknanya bisa ditafsirkan seperti ini.

Mari kita amati konsekuensi yang mungkin terjadi pada dua contoh ungkapan di atas. Pada ungkapan paku Belande, andai saja si penjual baru pertama kali mendengar ungkapan tersebut, dan tidak mengetahui sifat paku Belande yang kuat dan kokoh, bisa saja pesan yang dia tangkap ialah kualitas barang dagangannya dipuji bagus sehingga boleh jadi dia semakin mempertahankan harganya. Apakah ini mungkin? Mungkin saja ya, mungkin juga tidak. Tetapi, kalau si penjual tidak memahinya, kemungkinan dia tidak akan menggubrisnya.

Pada pertanyaan ye dalem sumur leq te? maknanya dapat dengan mudah dipahami si pendengar. Akan tetapi, karena terdengar mudah dan biasa, bisa saja dia akan menyahut ya atau tidak tanpa beranjak mengambil minuman atau kopi. Artinya, dia memahami kalimat itu sebagai makna literal atau harfiah, bukan sebagai sebuah sindiran agar dia segera menyuguhkan air minum. Jika kondisi ini terjadi, lawan bicara biasanya akan memilih menyampaikan maksud yang sebenarnya secara langsung, yakni meminta air secara terang-terangan. Itu pun kalau hubungan mereka cukup akrab.

Artinya, jika kita tidak bisa menangkap pesan yang disampaikan oleh penutur, baik pada contoh satu maupun dua, maka komunikasi tidak dapat berjalan efektif. Dalam kaitannya dengan kasus teman saya di atas, jika posisinya sebagai seorang penutur, barangkali kasus ini termasuk kategori mistake. Artinya, dia memang betul-betul tidak memahami ungkapan itu. Bukan berarti dia lupa atau kurang perhatian. Sebab, ketika ditanya kupi doang, ndeq araq sedaq? (hanya kopi, tidak ada jajan?), dia baru ketawa dan tahu bahwa maksud pertanyaan pertama itu ialah menanyakan penganan atau kudapan untuk menyertai kopi.

Mengamati fenomena berbahasa seperti ini, seketika hal-hal yang muskil terbayang di benak saya. Misalnya, kenapa pada saat penganan atau kudapan yang tidak disertai kopi, kita tidak mengatakan la tabah jaje ne.[3] Saya yakin Anda pasti juga tidak pernah mengatakan hal tersebut, atau minimal pernah mendengarnya. Apakah ini menandakan bahwa kopi merupakan sajian wajib bagi tamu? Saya kira demikian adanya. Mengingat orang Sasak lebih cenderung mengatakan ngupi ne[4] ketimbang bejaje ne[5] untuk menawari orang yang lewat di depan rumahnya, meskipun dua-duanya tersedia di depannya: kopi dan jajan.

Apakah Anda sepakat? Kalau tidak, dan kalau Anda penutur Sasak cobalah sesekali menawari orang dengan ungkapan bejaje ne, atau katakan pada tamu Anda silaq keloran jaje tie, laguq ye tabah[6]  ketika tidak ada kopi atau minuman lain di sampingnya. Bukankah itu terdengar aneh, asing, dan lucu? Tentu masih banyak contoh ekspresi seperti ini yang acap dipakai dalam tindak tutur keseharian masyarakat Sasak. Namun, karena keterbatasan ruang pada media, kita akan membahasnya di lain kesempatan.

Lombok Tengah, 4 September 2022.

12:20 am

 

 



[1] Kopi ini pemberani, ya?

[2] Masa seperti paku Belanda

[3] Wah jajan ini pemberani

[4] Mari ngopi (bahasa Sasak)

[5] Mari makan jajan (bahasa Sasak)

[6] Silakan makan jajannya, tapi dia pemberani

Selasa, 28 Juni 2022

Esai Pendidikan

 

Honorer Dihapus, Asa Mahasiswa Keguruan Pupus?

Marzuki Wardi

Dimuat di SKH Radar Mandalika Lombok pada 28 Juni 2022


Pegawai Negeri Sipil (PNS) tampaknya masih menjadi profesi yang didewakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Faktanya, setiap rekrutmen CPNS diselenggarakan, pelamarnya selalu saja membeludak. Bagaimana tidak, pekerjaan santai, berseragam rapi, gaji mencukupi, status sosial diakui, dan adanya jaminan hari tua ialah sekelumit gambaran empuknya profesi tersebut. Siapa kiranya yang tidak tergiur? Jadi, tidak mengherankan banyak orang dari sejak masuk kuliah sudah menetapkan cita-cita jadi PNS.

Di satu sisi, keserba enakan tersebut berbanding lurus dengan proses yang demikian rumit untuk mendapatkannya. Untuk mencapai nilai ambang batas (passing grade) pada saat tes saja tidaklah semudah memenangkan kuis iklan produk di televisi. Selain harus menjawab soal-soal yang menguras otak, ketatnya persaingan juga membuat peluang meraih profesi ini bagai menangkap semut hitam di gelapnya malam. Saking ketatnya persaingan, tidak sedikit orang memilih merangkak jadi honorer sejak jauh-jauh hari. Bahkan, mereka rela digaji sekadarnya asal nama bisa terdaftar di instansi terkait.

Betul, ini bukan kabar burung belaka. Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang menjabat kepala sekolah. Konon, banyak sarjana lulusan baru (fresh graduate) rela tidak digaji asalkan namanya bisa masuk sebagai tenaga honorer di sistem (dapodik). Hal seperti ini tentu terjadi karena mereka menganggap honorer seperti sebuah pintu gerbang menuju status PNS. Ketika menyandang status honorer setidaknya mereka sudah berupaya menggedor pintu yang suatu waktu terbuka.

Jujur saja, saya sendiri dulu juga berpikir begitu. Karena memang pada saat kuliah strata satu saya sudah menjadi guru sukarela (honorer) di dua sekolah sekaligus; negeri dan swasta. Sehingga sedari awal saya sudah merencanakan, setelah lulus kuliah nanti, untuk mengikuti program sertfikasi guru melalui sekolah swasta. Kalaupun tidak, saya bisa mendaftarkan nama pada pendataan (data base) di sekolah negeri agar bisa diangkat menjadi guru PNS. Karena, pada saat itu pengangkatan PNS masih melalui jalur pengkategorian; kategori I dan II. Tetapi, karena jumlah jam tidak memenuhi syarat dan mata pelajaran yang saya ampu bukan pelajaran wajib, saya tidak bisa masuk pendataan.

Malangnya, pintu gerbang itu kini ditutup rapat oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permen PANRB) Nomor 20 Tahun 2022 tentang penghapusan honorer. Karena itu, ketika mendengar berita tersebut beberapa hari yang lalu, pikiran saya tidak langsung tertuju pada honorer aktif saat initetapi bukan berarti saya tidak bersimpati. Lebih-lebih setelah menggali informasi dan mencermati peraturan itu labih jauh lagi, mereka akan diusahakan untuk direkrut menjadi ASN secara bertahap melalui jalur PNS dan PPPK sampai November 2023. Pikiran saya justru tersita pada mereka yang kini masih ngampus (duduk di bangku kuliah); bagaimana mereka menyikapi Permen tersebut berkaitan dengan asa mewujdkan cita-cita mereka? Ke mana mereka mau menjajakkan kaki selepas kuliah nanti jika honor pun tak boleh?

Pada suatu kesempatan saya mencoba mewawancarai beberapa mahasiswa jurusan keguruan semester akhir. Saya meminta tanggapan mereka mengenai Permen tersebut. Benar saja, jawaban mereka ternyata tidak jauh dari perkiraan saya. Mereka rata-rata merasa khawatir tidak punya cukup peluang untuk masuk ke instansi atau sekolah negeri setelah lulus kuliah. Mereka merasa prospek kerja di bidang studi yang diambil menjadi kurang cerah. Singkatnya, asa atau cita-cita mereka terganggu dengan informasi tentang Permen itu.

Kekhawatiran mereka tentu merupakan hal yang wajar. Apalagi, persaingan kerja di sektor lain juga demikian ketat. Selain belum begitu pulih akibat hantaman pandemi Covid-19 lalu, banyak peran dan tenaga manusia juga tergantikan dengan teknologi mesin. Sebagaimana dikatakan Prof. Sulistyowati Irianto, pergeseran pekerjaan konvensional besar-besaran terjadi karena diganti oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).[1] Jadi, sempitnya peluang menerapkan ilmu baru yang didapat di bangku kuliah wajar dipersepsi sebagai sebuah momok yang cukup menakutkan.

Saya bisa merasakan apa yang mereka pikirkan ketika mereka mengutarakan harapan. Sewaktu masih duduk di bangku kuliah memang kita cenderung menganggap semua rencana bakal mulus. Lulus dengan IP memuaskan kemudian bekerja sesuai dengan jurusan merupakan bayangan masa depan yang pasti berjalan lancar. Tetapi, bayangan itu lindap manakala kita bergulat dengan realitas dunia kerja yang demikian keras. Karenanya, ketika faktor penghambat skenario itu terdeteksi sejak dini, boleh jadi mereka merasa diintai status pengangguran. Apalagi, pekerjaan berseragam (pegawai) cenderung dianggap pekerjaan ideal kaum terpelajar yang terkadang menjelma bak desakan kultural di tengah masyarakat.

Tentu saja hasil wawancara kasar saya ini tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang memang bukan ditujukan kepada mahasiswa. Untuk apa juga saya ikut-ikutan nimbrung mengurus kebijakan? Memangnya saya ini siapa?  Saya juga tidak bermaksud menggeneralisasi respon segelintir mahasiswa itu sebagai sikap mahasiswa pada umumnya. Hanya saja, respon mereka setidaknya bisa menjadi topik diskusi kami mengenai peluang-peluang penghidupan yang bisa dipilih setelah lulus. Kami bisa bertukar pengalaman dan merancang peta masa depan dalam dunia kerja.

Memang, pemerintah bukan menutup sama sekali peluang bagi sarjana lulusan baru (fresh graduate) untuk menjadi ASN. Peluang itu suatu waktu meski terbuka menyesuaikan dinamika mekanisme rekrutmen kepegawaian. Tetapi, sembari menunggu peluang itu terbuka, mereka bisa menciptakan peluang sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya membentuk lembaga non-formal atau komunitas edu-preneur (bisnis edukasi), sosi-preneur (bisnis berbasis sosial), pengembangan ilmu pengetahuan, pengelolaan lingkungan, dan semacamnya.

Komunitas seperti itu memang tidak murni berorientasi pada penghasilan. Namun, mereka malah bisa mengembangkan program berbasis kepedulian (manusia dan lingkungan). Dengan konsep seperti itu mereka justru bebas menggandeng intansi pemerintah, perusahaan, dan lembaga lain yang menyediakan dana donor atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang memang ditujukan sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial pada masyarakat dan dampak lingkungan. Mereka bisa menjadi mitra dalam rangka menjembatani program lembaga-lembaga tersebut. Dengan begitu, mereka memiliki kiprah yang justru jauh dari pada sekadar menjadi pekerja seragaman.

Satu lagi, sebagai seorang guru, hasil komunikasi dengan para mahasiswa itu setidaknya bisa saya jadikan sebagai bahan renungan dalam memetakan potensi siswa. Sehingga saya dapat memberi bayangan mengenai profesi yang mereka inginkan ke depan. Saya juga bisa memberikan mereka gambaran bahwa bekerja di instansi pemerintah bukanlah standar baku kesuksesan dalam pendidikan. Tentu saja bukan untuk menghalau cita-cita mereka, melainkan untuk menata mindset mereka sejak dini agar lebih terbuka.

Wallahua’lam bissawab

Lombok Tengah, 26 Juni 2022

Marzuki Wardi, selain berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Desa Sisik, Pringgarata, Lombok Tengah, hingga saat ini dia aktif menulis cerpen, esai, resensi buku di berbagai media cetak dan daring. Selain itu, ia juga menulis sejumlah buku di antaranya “5 Langkah Mudah Menyusun Kalimat Bahasa Inggris” “Bocah Penakluk Badai” (Kumpulan Cerita Anak, Intan Pariwara). Naskah buku cerita berbahasa Sasak Silaq Temaen Pekakas masuk sebagai finalis Sayembara Dikbud NTB 2021 dan dibukukan oleh lembaga tersebut. Laki-laki penikmat kalimat ini bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Ia bisa dihubungi di nomor ponsel/WA 08175780736. Facebook https://web.facebook.com/wardie.pena.

 

 



[1] Dikutip dari tulisan Guru Besar Hukum UI Sulistyowati Irianto dengan judul Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0 pada kolom opini Kompas edisi 04 Maret 2019

Rabu, 01 Juni 2022

Esai (Bahasa)

 

Bahasa, Keakraban, dan Kekerabatan dalam Masyarakat Sasak

                                                Oleh: Marzuki Wardi

Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 10 Maret 2022


Beberapa saat lalu, perhatian saya sempat tersita pada hasil tangkapan layar (screenshot) yang disebarkan teman-teman di jagat FB. Hasil tangkapan layar tersebut tentang komentar seorang (perempuan muda) penumpang ojek online yang kesal lantaran dipanggil mbak oleh si pengendara ojol (ojek online). Don’t’ call me ‘mbak’. You are in Jkt! Say it ‘non’ or kak’ tulisnya berbahasa Inggris di aplikasi ojol tersebut.

Sontak hal itu memantik berbagai reaksi warganet; dari yang ikut mengomel, mencibir, sampai yang hanya memberi emoticon tertawa tanpa komentar panjang lebar. Saya bisa dibilang termasuk kategori yang terakhir ini. Saya memang tipikal orang yang tidak mudah berkomentar tentang berbagai kehebohan yang terjadi di medsos. Karena apa pun saat ini begitu cepat menjadi viral dan heboh. Namun, karena itu menyangkut persoalan bahasa saya jadi tertarik membahasnya.

Mengenai kata non, saya belum begitu paham konteks penggunaannya dalam peristiwa tutur sehari-hari. Saya hanya pernah mendengarnya di film-film ketika dialog antara seorang pembantu dengan majikannya. Misalnya ketika seorang pembantu tersebut mengatakan, “Maaf non, saya tidak tahu…” atau “Non, mau dibuatin teh atau apa?” sambil membungkuk tanda hormat. Jika situasi tuturnya seperti ini, maka kita bisa melihat fungsi bahasa sebagai pembeda status sosial. Dengan kata lain, si perempuan yang ingin dipanggil non tesebut secara tidak langsung ingin dihormati layaknya seorang atasan.

Sementara, jika ia dipanggil kak, apakah berarti ia ingin dihargai sebagai orang yang lebih tua? Secara leksikal, kak memang berarti panggilan untuk orang yang lebih tua. Tetapi, akhir-akhir ini, dalam ragam percakapan sehari-hari, makna panggilan tersebut sedikit bergeser menjadi panggilan keakraban. Bukan hanya untuk orang yang dari segi usia lebih besar. Singkatnya, dengan panggilan kak si perempuan muda tersebut ingin agar ia dipanggil dengan panggilan akrab. Bukankah mbak juga berarti panggilan yang cukup akrab?

Belakangan, karena penasaran, saya mencoba menelusuri etimologi kata mbak. Menurut seorang pengguna twitter dengan nama akun @sefkelik, kata mbak sudah mulai dipakai pada masa pascakolonial sebagai bentuk peleburan dari polarisasi sebutan nyonya, nyah, non, ndoro.[1] Jika demikian, kata mbak, non, dan kak memiliki fungsi yang sama pada tataran leksikon. Tapi mungkin saja maknanya berbeda secara filosofis. Sehingga menimbulkan kesan yang berbeda jika dipakai pada semua orang.

Dalam ragam tutur bahasa Sasak, kasus seperti ini juga bisa saja bahkan kerap terjadi. Tetapi, jika panggilan tersebut berbeda makna secara leksikal. Misalnya ketika seseorang yang mestinya dipanggil kak dari segi usia, tapi ia justru dipanggil saiq (bibi), maka wajar si perempuan muda tersebut merasa tersinggung. Lebih-lebih jika mitra tutur belum dikenalinya, dan bukan dalam kondisi bergurau.

Ini kondisinya masih dalam konteks panggilan keakraban, bukan kekerabatan. Masalahnya akan lebih runyam jika kasusnya dalam konteks kekerabatan. Contoh jika seorang anak memanggil saiq pada kakak kandung atau sepupu dari ayah-ibunya, maka ia bisa dicap tak tahu base (bahasa). Bahkan, ini mengindikasikan kerenggangan hubungan kerabat jika konteksnya pada keluarga jauh. Orang tua bisa dianggap tidak mengenalkan kerabat pada anak dengan baik, sehingga ia tidak bisa membedakan panggilan kekerabatan. Sebab, kita tahu panggilan yang tepat untuk posisi itu ialah inaq atau inaq kake, yang dalam bahasa Indonesia setara dengan tante. Sementara, saiq adalah untuk adik dari ayah-ibu. Begitu seterusnya dengan panggilan kerabat lainnya.

Kata base dalam bahasa Sasak juga sering dipakai secara spesifik untuk menanyakan hubungan keluarga. Seperti yang saya terjemahkan secara leterlek berikut; ape basem leq Andi (apa bahasamu pada Andi)? Basen ape Tina leq Andi (apa bahasanya Tina pada Andi)? Dua pertanyaan ini tentu bukan menanyakan bahasa yang dipakai oleh saya dan Andi, dan Tina dengan Andi. Melainkan, menanyakan status hubungan keluarga saya pada Andi, dan Tina pada Andi. Maka, jawabanya juga pasti diawali dengan kata base; basek kakak pisaq (bahasaku kakak sepupu), basen kakaq pisaq (bahasanya kakak sepupu), basek ariq pisaq (bahasaku adik sepupu), basen ariq pisaq (bahasanya adik sepupu), baseq tuaq (bahasaku paman), basen tuaq (bahasanya paman), dan hubungan keluarga tertentu.

Dalam bahasa Indonesia, kata bahasa nyaris tidak pernah digunakan untuk menanyakan hubungan kekerabatan. Kita jarang sekali mendengar orang bertanya apa bahasamu pada Andi? Atau sedang bahasa apa kamu sama Andi? Maksud saya, kenapa kegagalan dalam mengenal hubungan keluarga seolah dijadikan indikator kemampuan berbahasa seseorang? Apakah ini mengindikasikan kuatnya keterkaitan kemampuan berbahasa seseorang dengan panggilan kekerabatan? Meskipun ada kemungkinan alternatif pertanyaan apaqm Andi? untuk mengganti pertanyaan tersebut.

Cukup naif memang jika kita memaksa untuk menyeragamkan struktur kalimat di antara dua bahasa yang berbeda. Sebab, sebagaimana kata Berthold Damshauser (ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Jerman), setiap bahasa punya cara tersendiri untuk membahasakan atau menginterpretasi dunia. Dalam hal ini ialah cara menanyakan hubungan kerabat. Tetapi, jika ditilik dari kacamata internal bahasa Sasak, gejala ini tidak bertalian dengan keterampilan atau penguasaan bahasa seseorang dari segi korpus. Namun, lebih kepada faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian istilah-istilah spesifik tertentu. Dengan kata lain, si penutur dituntut untuk menguasai konteks di mana, pada situasi apa, dengan siapa, ia berbicara.

Tidak ada pembeda secara khusus untuk panggilan keakraban dan kekerabatan. Ketika seorang anak mengatakan amaq kake datang (om datang) untuk orang yang semestinya dipanggil kakek tapi di luar hubungan keluarga, maka kemungkinan ia tidak dijustifikasi sebagai anak yang tak tahu base. Sebab, ia hanya berusaha menghadirkan suasana kedekatan emosional (keakraban) dan etiket berbahasa. Namun, beda halnya jika itu terjadi dalam konteks kekerabatan. Si anak akan dicap tak tahu bebase (berbahasa), karena terkesan tak mampu mengenali kerabat dengan baik.

Dengan demikian, masyarakat Sasak, dalam konteks ini, melihat base (bahasa) secara fungsional sebagai alat untuk merekatkan hubungan dengan orang lain di luar keluarga (keakraban) dan kekerabatan yang termanifestasi dalam panggilan kekerabatan tersebut. Tugas orang tua ialah menanamkan pendidikan (bahasa) kepada anak sejak dini agar kerekatan tersebut tetap terjaga.

Lantas, apa hubungan kasus perempuan penumpang ojol di atas dengan base (bahasa) Sasak? Sebetulnya, tidak ada kaitan secara langsung dari segi lingusitik teoritis. Saya hanya membandingkan respon (sikap) si perempuan tersebut dengan penutur bahasa Sasak jika mengalami kasus serupa, yaitu ketidak tepatan dalam memanggil ‘gelar’ seseorang. Dengan kata lain, penutur bahasa Sasak juga akan kesal atau tersinggung jika dipanggil dengan ‘gelar’ atau sebutan yang salah. Dan, persoalan itu akan lebih runyam jika terjadi pada konteks kekeluargaan.

Lombok Tengah, 9 Maret 2022.

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...