Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala Sekolah Ideal?
(bagian 2)
Oleh: Marzuki Wardi
Sumber gambar: https://arwiranews.com/kampus/manajerial-kepala-sekolah-dalam-pelaksanaan-pembelajaran-blended-learning-di-era-new-normal/ |
Beberapa saat lalu, teman-teman Calon Guru Penggerak
(selanjutnya disebut CGP) ribut di grup WA Guru Penggerak Kabupaten Lombok
Tengah. Sebetulnya bukan ribut, tetapi mereka membincangkan mutasi dan
pengangkatan kepala sekolah baru. Konon, ada beberapa kepala sekolah yang tidak
memenuhi syarat administratif, seperti tidak adanya sertifikat pendidikan dan
latihan (Diklat) calon kepala sekolah dan sejenisnya. Barangkali mereka keberatan,
bagaimana bisa seorang yang tidak memenuhi syarat bisa lolos menjadi kepala
sekolah? Hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran. Karena rekrutmen kepala
sekolah, seperti kita tahu, erat kaitannya dengan dunia politik—meskipun tidak
semua dan sepenuhnya begitu.
Masa bodoh! Mana peduli saya dengan hal tersebut. Hanya
saja saya cukup tertarik dengan ajakan seorang teman CGP. Saya merasa teman itu
seperti seorang peserta uji nyali yang mengangkat tangan, butuh pertolongan. Sebab,
ia berkali-kali meminta teman lain untuk ikut berkomentar soal pernyataan salah
seorang pejabat atau entah kepala sekolah baru saat itu. Komentar tersebut mengenai
tidak adanya jaminan kualitas seorang CGP jika menjadi kepala sekolah. Intinya teman
itu merasa geram dan ingin agar teman-teman lain turut membela program yang
sedang kami ikuti. Karena itu, saya kemudian membagi link esai saya yang berjudul “Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala
Sekolah Ideal?” yang saya tulis di
SKH Radar Mandalika pada Januari 2022.
Tentu saja isi esai tersebut mewakili pembelaan saya. Pembelaan
seperti ini saya kira lebih intelektual ketimbang komentar di bawah pengaruh
emosi. Akan tetapi, perlu saya kabari esai itu ditulis ketika saya masih
menjadi lalat di balik jendela.[1] Ya,
betul, saya waktu itu belum mengikuti Diklat Guru Penggerak. Jadi, saya hanya
menatap program tersebut dari balik jendela (membaca dari modul). Saya mungkin
saja melihat dan memahaminya dengan jelas, tetapi
saya tidak pernah langsung bisa menyentuh, menghidu aromanya, apalagi langsung melahap
dan menyerap gizinya. Sehingga tentu saja tulisan tersebut, saya kira, masih
terasa hambar dan tawar. Karena itu, saya menulis esai bagian dua ini untuk
membubuhi garam, penyedap rasa, dan bahan lainnya yang saya dapatkan selama
mengikuti Diklat CGP.
Jadi, langsung saja, benarkah program Guru Penggerak tidak
menjadi jaminan mutu guru jika kelak ia menjabat kepala sekolah? Jika menjamin,
apa saja yang dapat menjaminnya? Bagaimana ia bisa menjadi jaminan? Kenapa ia
dikatakan dapat menjadi jaminan? Bila kita cermati, materi pada modul CGP
sebetulnya secara sistematis sudah mencakup kepemimpinan (sekolah). Tetapi, di
sini kita ambil beberapa poin atau materi modul yang mengarah ke pembentukan
mental kepemimpian (leadership) yang
mana itu dibutuhkan oleh seorang kepala sekolah.
Pertama, coaching untuk
supervisi. Sebagaimana kita ketahui supervisi merupakan elemen yang sangat
penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang kepala sekolah harus
memiliki kemampuan supervisi yang baik agar bisa memastikan pembelajaran yang
dilakukan guru sudah baik atau tidak. Sebab, pembelajaran yang baik adalah hulu
keberhasilan sebuah pendidikan. Tetapi, supervisi pada materi ini bukan sekadar
kegiatan mengawasi proses pembelajaran yang bersifat administratif dan kaku sebagaimana
yang dipahami selama ini. Ia mencakup kegiatan perencanaan, pengawasan,
pemberian umpan balik, dan refleksi yang dilakukan secara bersama (kolaboratif)
oleh seorang pemimpin dengan guru atau rekan sejawat melalui praktik coaching.
Materi coaching
ini melatih kemampuan CGP untuk membantu rekan sejawat mencapai tujuan yang ingin
dicapai yang sudah ditetapkannya. Posisi coach
dalam hal ini bukan (bermakna) orang yang lebih tinggi, senior (dari segi
usia atau jabatan), superior, dan sejenisnya, melainkan berperan sebagai mitra
berpikir rekan sejawat dalam mengembangkan potensi dirinya. Ia bukan pencari
dan pemberi solusi, melainkan solusi dihasilkan dari kemampuannya menggali
potensi coachee[2]
dengan pertanyaan-pertanyaan berbobot. Sehingga ia menemukan sendiri solusi dari masalah yang dialaminya dalam proses
pembelajaran.
Kemampuan ini saya kira sangat penting dimiliki
seorang kepala sekolah untuk menghindari kekakuan hubungan (profesionalitas)
dalam manajemen sekolah. Dengan kemampuan coaching,
hubungannya dengan guru lebih koordinatif, positif, solid, dan cair. Dengan
begitu, guru akan memiliki keleluasaan untuk mengembangkan diri tanpa merasa ditekan,
digurui, dan sejenisnya. Seorang pemimpin yang mampu melejitkan semangat kerja rekan
sesama bukankah akan sangat mendukung pengembangan lembaga yang dipimpinnya?
Kedua,
Pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin. Seorang kepala
sekolah sudah pasti dihadapkan dengan masalah yang kompleks dan beragam.
Karenanya, ia dituntut untuk memiliki kemampuan mengambil keputusan yang tepat.
Akan tetapi, apakah hal tersebut cukup mudah? Sering kali masalah yang sama
pada situasi berbeda, tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan yang sama.
Demikian pula sebaliknya, masalah yang berbeda terkadang bisa saja diselesaikan
dengan cara yang sama. Untuk itulah seorang CGP dibekali kejelian dalam
mengidentifikasi, menganilisis, dan mengambil keputusan yang tepat melalui
paradigma dilema etika agar ia bisa mengambil langkah yang tepat bagi
pengembangan sekolah.
Ketiga, pemimpin
dalam pengelolaan sumber daya. Selain kemampuan pengembangan sekolah yang
bersifat internal, seorang kepala sekolah tentu dituntut menjalin kerja sama
dengan pihak lain (luar) untuk mengembangkan program sekolahnya. Materi pada
modul 3.2 ini melatih kemampuan CGP dalam mengelola sumber daya untuk
mengembangkan program sekolah melalui pendekatakan asset based community development (pengembangan komunitas berbasis
asset). Di sini CGP diajak untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan
memanfaatkan berbagai jenis asset biotik (unsur hidup) dan abiotik (unsur tidak
hidup), baik yang terdapat di lingkungan atau di luar sekolah, untuk mengembangkan
ekosistem sekolah.
Dengan pendekatan ini, seorang pemimpin akan memiliki
keluasan dan keluwesan berpikir, bahwa sebetulnya begitu banyak potensi asset di
sekitar kita yang terkadang cenderung diabaikan, tapi justru sangat mendukung
jika diberdayakan. Kemampuan untuk menggali, menemukan, dan menyesuaikan asset
tersebut dengan kebutuhan sekolah adalah salah satu hal yang ditempa di sini.
Terakhir,
pengelolaan program yang berdampak pada murid. Pada modul ini seorang CGP dibekali
dengan kemampuan mendorong student agency
(kepemimpinan murid) melalui program intra, ko, dan ekstrakurikuler. Dengan
pendekatan voice (suara), choice (pilihan), dan ownership (kepemilikan), murid dilibatkan
untuk mengembangkan program positif yang diinginkan dan dapat mengasah potensi
yang dimilikinya.
Memang, kemampuan ini tidak hanya harus dimiliki oleh
kepala sekolah, dalam arti guru juga bisa saja menerapkannya. Tetapi, karena
bersinggungan dengan pengembangan program sekolah yang berpihak pada murid, kepala
sekolah memiliki peran sangat strategis, mengingat posisi dan kedudukannya secara
otoritatif sebagai seorang pemimpin sekolah.
Poin satu sampai empat di atas adalah dukungan secara
substansi materi. Sementara, dari segi metodik, pengalaman pembelajaran Program
Guru Penggerak jauh lebih komprehensif dari pada program lain. Pada Learning Management System (LMS),
misalnya, kegiatan mulai dari diri
dan eksplorasi konsep memberi
kesempatan pada CGP untuk memahami materi yang akan dipelajari secara mandiri.
Kemudian, kegiatan ruang kolaborasi,
mengasah kemampuan bekerja sama dan diskusi dengan peserta lain untuk
menyamakan persepsi dan pemahaman mengenai materi yang dipelajari sendiri.
Dengan bimbingan fasilitator, di sini pemahaman yang sudah terbentuk diperkuat
lagi dan selanjutnya dibuktikan dengan tugas demonstrasi kontekstual dan aksi
nyata.
Kemudian, pada kegiatan refleksi pada setiap pertemuan dan setiap akhir modul, CGP dilatih
untuk me-recall (mengingat ulang) dan
menyampaikan kesan materi yang sudah dipelajari. Terakhir, pada kegiatan
koneksi antar materi, CGP diminta untuk menyimpulkan dan mengaitkan pemahaman
mereka dari modul satu dengan lainnya. Dengan cara inilah program ini
memastikan pesertanya sejauh mana ia telah menguasai materi semua modul yang
telah dipelajari.
Tidak cukup sampai di situ, bimbingan yang diberikan secara
langsung melalui pendampingan individu oleh Pengajar Praktik (PP) memastikan apakah
pemahaman yang telah diperoleh sudah diterapkan dan diimbaskan ke rekan guru
lain atau tidak, sudah dikomunikasikan dengan kepala sekolah dan warga sekolah
lainnya atau tidak. Kemudian hasil pendampingan tersebut diulas dan diperkuat
pada kegiatan lokakarya bersama peserta-peserta lainnya.
Dengan demikian, Diklat Guru Penggerak sangat praktis,
holistik, dan komprehensif. Sehingga ia akan membentuk pemimpin yang pemikir
(inovatif) dan tangguh, bukan pemimpin bermental kasir[3]
yang hanya memikirkan kemasukan dan pengeluaran (berpikir monoton dan rigid). Jadi,
bagaimana mungkin orang yang tidak pernah mengikuti program ini mengatakan
bahwa Program Guru Penggerak tidak bisa menjadi jaminan mutu calon pemimpin? Barangkali
maksudnya mengikuti program tersebut tidak menjamin guru bisa menjadi kepala
sekolah. Ungkapan ini mungkin ada benarnya. Lagi pula, menjadi kepala sekolah
adalah sebuah jabatan. Bukankah kita tidak harus menjabat orang nomor satu
untuk meningkatkan mutu pendidikan kita?
Wallahua’lam
bissawab.
Lombok
Tengah, 15 November
[1] Istilah ini
saya pinjam dari Pak Edy Mulyono yang menganggap seorang penulis yang tidak
terjun langsung untuk meriset dan sejenisnya ibarat lalat di balik jendela.
[2] orang
yang di-coaching
[3] Pemimpin bermental kasir ini saya kutip dari pernyataan
Prof. Habibie dalam buku The Power of Ideas