Senin, 24 Desember 2018

Opini

Gempa, Pariwisata, dan Bahasa
Oleh: Marzuki Wardi
Sumber:https://beritagar.id/artikel/berita/masa-kritis-evakuasi-korban-gempa-lombok
Esai ini menjadi pemenang ke-2 dari sepuluh terbaik dalam Lomba Fotograpi, Poster, Film Pendek, dan Penulisan Kreatif yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfotik Provinsi NTB pada tahun 2018

Sewaktu pulang mengikuti acara Kemdikbud di Jakarta dua minggu yang lalu, saya sempat menanyakan sopir travel bandara yang saya tumpangi, “Bagaimana perkembangan jumlah pengunjung atau penumpang di bandara pasca gempa dahsyat yang mengguncang pulau Lombok?”
“Menurun drastis,” jawabnya dengan nada tertekan dan raut lesu. Saya sendiri tidak tahu apakah dia memang capai ataukah kaget dengan pertanyaan saya yang tiba-tiba. Saya pun lanjut bertanya, “Untuk hari ini aja, berapa penumpang yang sudah Mas antar?”
“Baru dua. Hanya pelinggih[1] dan satunya lagi tadi pagi. Tapi, syukur bos saya pengertian. Ia memahami kondisi yang belum pulih. Jadi kalau target setoran tidak mencukupi, ia terima saja tanpa komplain.”
“Oh ya, minggu depan, tepatnya hari Minggu ini, akan ada event besar-besaran di Kute: TNI International Marathon. Para atlet lari dari berbagai daerah dan Negara akan datang kesini untuk berkompetisi dalam ajang bergengsi itu. Tentu akan banyak yang membutuhkan jasa kendaraan. Mas siap-siap aja,” balas saya menyemangati.
“Ya, semoga aja ramai, Pak,” timpal si sopir menutup percakapan singkat kami.
Mendengar keluhan laki-laki yang saya duga sudah berkepala tiga itu, saya sedikit merasa menyesal telah menawar bayaran padanya—meski hanya menawar sekali saja setelah akhirnya langsung deal. Apalagi saat itu sudah cukup malam. Boleh jadi saya adalah penumpang kedua sekaligus terakhirnya. Saya bukannya pelit, dan memang tidak terbiasa banyak menawar soal jasa apa pun. Akan tetapi, alasan saya saat itu adalah selain biaya transportasi pulang dibiayai hanya sampai Yogyakarta—karena tiket pulang sengaja saya alihkan ke sana—uang saya juga sudah lumayan tipis. Sehingga irit adalah salah satu jurus terakhir yang harus saya keluarkan.
Pada saat yang sama, pikiran saya juga tertuju pada seorang teman yang mengelola peternakan ayam pejantan, di mana ia juga sekaligus menjadi pemasok barang dalam jumlah besar ke berbagai hotel dan restoran. Lima bulan yang lalu, tepatnya pada saat acara Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) 2018, Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK Nasional, Olimpiade Guru Nasional, dan beberapa acara bertaraf nasional dan internasional yang diselenggarakan di pulau Lombok, ia sempat bercerita betapa koalahannya ia melayani pesanan yang berlimpah dari para pelanggannya. Bahkan, stok ayam yang dia dan beberapa rekan peternak sediakan habis terjual hanya dalam hitungan minggu. Sehingga keuntungan saat itu bisa mencapai dua bahkan tiga kali lipat dari biasanya.
Sekarang saya tidak tahu persis bagaimana perkembangan usaha ternak teman itu. Karena sejak menceritakan perihal keuntungan yang menurutnya fantastis itu, saya belum sempat berkunjung lagi ke rumahnya. Semoga saja tidak mengalami penurunan drastis jumlah pemesan sebagaimana yang dialami si sopir travel. Artinya, saya tidak ingin menyatakan bahwa tanpa acara-acara, baik yang bertaraf nasional maupun internasional itu, usaha peternakan teman tersebut akan mati. Sebab, di hari-hari lain yang jumlah tamu hotel dan restaurant memadai, tentu permintaan barangnya juga akan tetap ada, meski menyesuaikan dengan kondisi.
Maksud saya, secara sederhana di sinilah kita bisa melihat keterkaitan antara pariwisata dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Memang tidak diragukan lagi, meski bukan sumber utama kemasukan daerah kita, sektor pariwisata memiliki andil yang besar terhadap siklus ekonomi (masyarakat) di berbagai lini. Ketika angka kunjungan wisatawan meningkat, roda perekonomian masyarakat juga akan membaik. Begitu pula sebaliknya. Hanya saja, persoalannya saat ini adalah sejak bencana gempa melanda pulau Lombok dan Sumbawa (NTB), angka kunjungan tersebut cenderung menurun.
Sejalan dengan apa yang saya paparkan di atas, menurut data BPS, jumlah kunjungan wisatawan ke Lombok merosot hingga 69,18 % pasca gempa Agustus lalu.[2] Padahal sebelum gempa, atau pada bulan Juli lalu, jumlah pengunjung mencapai 13.980 orang. Namun, pada Agustus turun drastis menjadi 4.300. Lebih jauh lagi, dampak tersebut bahkan berskala nasional. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menyebut penurunan angka turis sudah sekitar 100.000 orang jika dihitung sejak 29 Juli 2018. Angka tersebut tentu tidak sebanding dengan tahun lalu, menurut laki-laki kelahiran Banyuwangi itu.[3]
Jadi, persoalannya sekarang adalah bagaimana kita bisa memugarkan kondisi tersebut? Tentu hal ini bukan berarti mengenyampingkan penanganan pasca gempa lainnya seperti percepatan rehabilitasi bangunan (rumah atau hunian tetap dan fasilitas umum), trauma healing (penyembuhan trauma), pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Akan tetapi, agar laju perekonomian masyarakat dan daerah bisa berkembang di tengah penanganan-penanganan yang telah disebutkan tadi.
Festival Budaya
Sebenarnya ini tidak terlepas dari soal waktu. Seiring normalnya kondisi alam NTB, khususnya pulau Lombok, saya kira angka kunjungan akan kembali normal. Terlebih Lombok memiliki branding name di mata internasional sebagai halal tourism object (objek wisata halal). Kemudian, selain dikenal akan keindahan alamnya, ia juga memiliki keragaman dan keunikan budaya yang dapat memantik minat wisatawan. Karenanya, ikon ini harus terus dimanfaat untuk memasarkan objek wisata yang terdapat di NTB.
Salah satu cara yang dapat kembangkan adalah dengan mengadakan festival-festival budaya daerah. Jika bulan yang lalu, beberapa kampanye NTB bangkit dalam bentuk kegiatan olahraga seperti Mekaki Marathon di Lombok Barat dan TNI Internasional Marathon di Lombok Tengah, sukses diselenggarakan. Maka, format kegiatan berikutnya dapat disemarakkan berupa festival-festival budaya daerah. Seperti yang diselenggarakan di Lombok Utara pekan lalu, misalnya, yang mengangkat tradisi mandi safar.
Pemberdayaan Bahasa
Secara linguistis, ada lima fungsi dasar bahasa, yaitu fungsi ekspresi, informasi, eksplorasi, persuasi, dan fungsi entertainmen.[4] Satu dari lima fungsi itu, menurut saya, setidaknya yang dapat kita jalankan adalah fungsi informasi. Fungsi ini memungkinkan kita untuk mengadakan pemasaran baik secara langsung, melalui media (daring), maupun media surat kabar (mainstream) arus utama. Di media raksasa seperti Kompas, misalnya, ia memiliki kolom khusus yaitu kolom Pesona Nusantara untuk mempromosikan berbagai objek wisata yang terdapat di seluruh tanah air (bukan berbentuk berita pelaksanaan). Saya kira media arus utama yang terdapat di NTB juga bisa bekerja sama dengan pemangku kepentingan untuk melakukan hal itu, demi mendukung pariwisata di daerah kita. Artinya, apa yang saya maksud dengan pemberdayaan bahasa di sini adalah upaya optimalisasi fungsi informasi yang dapat dikemas dalam bentuk advertensi di media arus utama.
Jadi, yang menjadi fokus kita saat ini selain percepatan rehabilitasi bangunan (hunian tetap dan fasilitas umum), trauma healing (penyembuhan trauma), pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lainnya adalah upaya pemulihan ekonomi masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya dengan menghidupkan sektor pariwisata. Dan apabila dua langkah strategis di atas dapat memberikan dampak signifikan, maka mereka telah memberikan nilai tambah terhadap industri pariwisata di daerah kita.
Lombok Tengah, 17 November 2018.
Marzuki Wardi, selain berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Lombok Tengah, ia juga aktif menulis cerpen, esai, dan resensi buku di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional.

Selasa, 20 November 2018

Resensi

Mendidik Anak untuk Mencintai Alam
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Cirebon edisi Sabtu, 17 November 2018

Judul                : Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran
Penulis              : Mashdar Zainal
Penerbit            : PT Pustaka Alvabet
Terbit               : Pertama, Maret 2018
Tebal                : 296 Halaman
ISBN               : 978-602-6577-22-1
Percayakah Anda bahwa kepribadian seseorang bisa diukur dari sebatang pohon? Dengan kata lain, bagaimana cara seseorang memperlakukan atau merawat sebatang pohon merupakan cermin kepribadiannya. Jika dia rajin, tekun, sabar, dan optimis dalam merawat pohon miliknya atau yang ditanamnya, maka kemungkinan orang tersebut juga memiliki sikap-sikap itu. Demikianlah prinsip yang dipegang dan dipercayai oleh seorang laki-laki yang bernama Syajari dalam novel ini.
Syajari digambarkan sebagai sosok yang menaruh perhatian besar terhadap dunia pepohonan. Ia sangat menyukai pohon. Bahkan, ketika kecil ia selalu bermain di sekitar pohon-pohon di halaman rumahnya yang terdapat di pedesaan. Hingga ia dewasa dan berumah tangga, kecintaannya terhadap mahkluk hidup tersebut tidak berubah. Itulah yang menjadi alasan kenapa setiap istrinya, Sawitri, melahirkan seorang anak ia selalu menanam pohon di depan rumahnya. Selain itu, ia juga telah berjanji jika Sawitri bisa melahirkan anakkarena setelah setahun menikah Sawitri belum bisa hamilia akan menanam pohon.
Benar saja. Sawitri melahirkan tujuh orang anak, dan nama mereka semua dipakai untuk menamai pohon sesuai dengan urutan kelahiran. Pohon pertama adalah pohon mangga yang kemudian dinamai pohon Sumaiyah: diambil dari nama anak pertama. Kedua, pohon flamboyan yang dinamai Sumitrah. Begitu seterusnya, ada pohon asam dengan nama Subandi, pohon sawo dengan nama Sularsih, pohon salam milik Sukaisih, pohon jamblang milik Sunardi, dan pohon ketapang yaitu milik Sundari.
Tentu saja tujuh pohon di atas tidak hanya sebatas penanda kelahiran. Akan tetapi, Syajari juga meminta anak-anak mereka untuk merawat pohon kelahiran mereka dengan baik. Bahkan, melalui hal itulah ia menanamkan banyak pelajaran hidup. Terutama kepada Subandi, anak ketiga, yang cenderung malas mengurus pohon miliknya. “Bapak menanam pohon asam itu di muka bumi, supaya apa…supaya kau juga tahu terimakasih, bumi telah memberimu tanah, memberimu air, memberimu makan, memberimu udara bersih, bahkan itu tak sebanding kalaupun kau merawat semua pohon di bumi ini” nasihat Syajari pada Subandi (Hal. 125).
Konflik dalam novel ini dihadirkan oleh penulis ketika tujuh bocah tersebut beranjak dewasa. Sebagai anak manusia yang terus tumbuh dan berkembang, mereka tentu berhak memilih jalan hidup masing-masing. Satu persatu anak-anak Sawitri dan Syajari meninggalkan kampung halaman. Nasib mereka pun berbeda-beda. Hanya Sumitrah yang tinggal bersama mereka. Namun, putri keduanya itu mengalami depresi berat bahkan gangguan kejiwaan sejak peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Sehingga Sawitri dan Syajari tetap merasa kesepian. Di saat seperti itulah pohon-pohon kelahiran seakan menjadi obat kerinduan pada tujuh anak mereka.
Salah satu hal yang menarik dari novel ini adalah penulis tidak hanya memosisikan tujuh pohon kelahiran tersebut sebagai objek atau benda mati belaka. Ia juga menghidupkannya sebagaimana layaknya tokoh lain. Dengan kata lain, ia melibatkan mereka ke dalam plot dan konflik. Sehingga menimbulkan gejolak emosional bagi pembaca. Selain itu, banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari karya terbaru Mashdar Zainal ini. Salah satunya, melalui karya sastra ini, kita bisa mendidik anak untuk mencintai alam.
Lombok Tengah, 02 Oktober 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.



Resensi

Membentengi Generasi Bangsa dari Bahaya Hoaks
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Cirebon edisi Sabtu, 3 November 2018

Judul                : Klarifikasi Al-Qur’an atas Berita Hoax
Penulis              : Idnan A Idris
Penerbit            : Elex Media Komputindo
Terbit               : Pertama, 2018
Tebal                : 192 Halaman
ISBN               : 978-602-04-8001-5
Kasus kebohongan yang dilakukan oleh seorang aktivis berinisial RS tak lama ini, sempat mengalihkan jutaan mata masyarakat Indonesia yang tengah berduka atas beberapa musibah yang terjadi di sejumlah daerah. Kerukunan dan persatuan bangsa nyaris menjadi tumbal jika saja tindakan culas tersebut tidak terungkap. Oleh karena itu, keputusan tegas pihak kepolisian untuk menjadikannya sebagai tersangka patut kita apresiasi.
Penindakan kasus berita bohong (hoaks) memang bukanlah yang pertama kali di Negeri ini. Beberapa tahun terakhir polisi telah berhasil membongkar berbagai sindikat penyebar hoaks. Sebut saja kasus Saracen tahun lalu, yang konon memiliki akun media sosial sampai 800.000. Jaringan ini sangat aktif memproduksi dan menebar hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) melalui media sosial. Ada juga penangkapan 18 orang tersangka yang berasal dari beberapa kota dengan kasus serupa pada awal 2018 lalu. Kemudian, tentu masih segar dalam ingatan kita mengenai penangkapan beberapa anggota Muslim Cyber Army (MCA) yang juga dilakukan pada awal tahun ini.
Ditinjau dari sudut pandang mana pun, entah dari segi hukum, sosial maupun agama, perilaku penyebaran hoaks memang tidak dapat dibenarkan. Dalam ajaran Islam khususnya, perbuatan ini sangat dilarang. Allah mengharamkan perbuatan memproduksi atau menyebarkan berita palsu atau hoaks. Tidak hanya itu, pelakunya bahkan diancam mendapat siksa kelak di akhirat.  
Namun, di era kebebasan interaksi dan komunikasi seperti sekarang ini, rasanya agak sulit menghidari kehadiran hoaks. Karena beragam berita dan informasi yang belum kita kenal jelas sumbernya, berseliweran di media sosial. Sehingga kita seringkali terjebak dalam keraguan akan keabsahan berita tersebut. Untuk itu, kita perlu menjadi konsumen media sosial yang cerdas. Jika kita ingin membagikan (share) berita-berita tersebut, perlu kita telusuri keabsahannya dengan teliti. Alquran sebagai pedoman hidup ummat Islam telah mengajarkan kita prinsip atau cara untuk menghadapi persoalan ini.
Pertama, tabayyun, berarti menuntut seorang penerima berita untuk berhati-hati dalam mencari penjelasan, sampai jelas betul keshahihannya, dan jangan tergesa-gesa menerimanya. Hal yang harus kita perhatikan ketika menerima berita adalah memerhatikan siapa yang membawa dan apa konten atau maksud penyebaran berita tersebut. Jika buruk maka tentu kita tidak boleh menyebar luaskannya (hlm. 158).
Prinsip kedua adalah tawaqquf, artinya menahan diri untuk tidak langsung memercayai atau menolak suatu berita. Kaidah ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 36 yang artinya, “Dan jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggung jawaban (hmn. 164).
Ketiga, Tajannub Al-Zhann, yaitu menjauhi asumsi atau prasangka buruk. Dalam Islam, kita dilarang untuk berprasangka buruk. Kita dianjurkan untuk selalu berprasangka baik. Karenanya, dalam merespon berita di dunia maya, kita hendaknya mengedepankan prasangka baik dulu agar tidak terjebak dalam kecerobohan.
 Keempat, melakukan pembinaan dalam tubuh umat Islam sendiri. Artinya pembinaan dalam hal pendidikan, sosial, dan berbagai hal bermanfaat lainnya yang dapat dilakukan di tempat ibadah. Kelima, budaya literasi (Iqra), yakni membaca, meneliti, mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu (berita). Cara ini memungkinkan kita untuk lebih teliti dalam menelusuri konten dan sumber berita yang kita peroleh. Sehingga kita akan mudah mengenal berita tersebut hoaks atau benar. Jika kelima langkah di atas terpenuhi, barulah kita bisa memerangi hoaks (langkah keenam).
Buku ini memiliki cakupan pembahasan yang luas. Hoaks dalam berbagai peristiwa sejarah Islam, pengertian, motif penyebaran, ciri-ciri, dampak, dan solusi menghadapi hoaks terangkum apik dalam buku berjudul Klarifikasi Alquran atas Berita Hoax ini. Dalam rangka membentengi generasi bangsa, khususnya generasi muslim, dari bahaya hoaks, buku ini sangat layak untuk disuguhkan.
Lombok Tengah, 13 Oktober 2018.

Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Hingga saat ini ia bermukim di tanah kelahiran, Lombok Tengah, NTB.

Resensi

Menjadi Pribadi yang Bermanfaat Bagi Orang Lain
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Kabar Madura edisi Kamis, 25 Oktober 2018

Judul                : Guru Kehidupan: Memetik Hikmah, Menebar Maslahah
Penulis              : Agus Salim
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Terbit               : Pertama, 2018
Tebal                : 181 Halaman
ISBN               : 978-602-045-399-6
Pada hakikatnya, kita diciptakan agar menjadi orang yang bermanfaat untuk bumi ini. Terutama kepada sesama manusia. Bahkan, dalam ajaran agama Islam khususnya, kita diperintahkan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “…Allah menolong hambaNya, selama seorang hamba menolong saudaranya…” Oleh karena itu, sebagai pengikut beliau, kita harus menjadikan ajaran beliau sebagai kompas agar selalu dalam koridor menebar kebaikan (manfaat) dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Agus Salim, penulis buku ini, ada beberapa hal yang dapat kita jadikan acuan atau barometer agar kita senantiasa mengamalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW di atas. Pertama, apakah ucapan dan perbuatan yang akan kita lakukan dapat memperkokoh silaturrahmi atau justru akan mencederainya? Kedua, apakah ucapan atau perbuatan yang akan kita lakukan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain ataukah justru akan merugikan? Ketiga, apakah ucapan atau perbuatan yang akan kita lakukan itu benar atau salah, tepat atau justru tidak tepat? (hlm. 27).
Kemudian, berikut upaya yang dapat kita terapkan untuk menjadi orang yang bermanfaat dalam kehidupan sosial. Pertama, memperbaiki diri dan peran diri menjadi lebih baik. Adapun cara memperbaiki diri di sini adalah dengan melakukan perbaikan dengan perbuatan, dan melakukan perbaikan dengan belajar. Kedua, memetik hikmah dari setiap peristiwa. Memetik hikmah berarti mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi. Ketiga, yakin bahwa Allah SWT akan memberikan pertolongan. Kita harus meyakini bahwa Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama ia berbuat kebaikan (hlm. 45).
Ketiga upaya yang diuraikan di atas tentu tidak terlepas dari pedoman ayat suci Alquran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Bahkan, inilah yang membuat buku berjudul Guru Kehidupan: Memetik Hikmah, Menebar Maslahah ini lebih menarik dan sarat akan pelajaran hidup. Jadi, apa yang diuraikan penulis merupakan manifestasi dari dua sumber utama hukum Islam tersebut. Pada bab lain misalnya, Semangat Menjadi Manusia Bermanfaat (hlm. 54). Ia mengutip firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha mengetahui.
Adapun, ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk merealisasikan Ayat di atas agar menjadi manusia bermanfaat. Pertama, bersedekah jariah, yaitu dengan mengeluarkan sebagian harta yang kita peroleh untuk perjuangan di jalan Allah. Kedua, menuntut ilmu yang bermanfaat. Dan terakhir, menyiapkan anak kita dengan memberi bekal ilmu yang baik.
Sebagaimana judulnya, melalui buku ini penulis akan mengajak kita untuk menelusuri berbagai makna dan hikmah yang terjadi dalam setiap etape kehidupan ini. Membaca bab demi bab akan membuat kita merenungi makna hidup yang sesungguhnya. Buku ini sangat layak untuk dijadikan bahan introspeksi diri dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang madani.
Lombok Tengah, 23 September 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.


Rabu, 19 September 2018

Resensi

Belajar Makna Sabar dari Sosok Perempuan Inspiratif
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Kabar Madura Edisi Senin, 17 September 2018

Judul               : I am Sarahza
Penulis             : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit           : Republika Penerbit
Terbit               : Pertama, April 2018
Tebal               : 370 Halaman
ISBN               : 978-602-573-421-2
Sabar merupakan sikap yang sangat mulia dan dimuliakan dalam agama. Allah bahkan berpesan melalui Alquran yang kurang lebih berarti, “Sesungguhnya Aku bersama orang-orang yang bersabar”. Namun, faktanya, menerapkan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari bukanlah perkara gampang. Terlebih bersabar dalam menghadapi masalah. Kita sering kali mengeluh ketika ada masalah yang menghampiri. Memang, sikap mengeluh merupakan hal yang manusiawi. Tapi terlalu sering mengeluh tanpa berusaha mencari solusi adalah perbuatan yang sia-sia.
Hal ini mungkin saja terjadi karena kita menganggap bahwa masalah yang sedang menghimpit, demikian rumit dan kompleks. Padahal, banyak orang lain di luar sana mengalami persoalan yang jauh lebih kompleks dari yang kita hadapi. Tapi mereka tetap sabar dan tabah. Oleh karena itu, kita perlu membuka mata ke lingkungan sekitar dan mengambil pelajaran dari orang-orang bijak. Salah satu caranya adalah dengan membaca kisah mereka. Seperti sosok perempuan dalam novel berjudul “I am Sarahza” ini contohnya.
Buah pikiran terbaru Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang mereka alami selama menanti sang momongan. Biduk rumah tangga mereka hampir berusia dua belas tahun ketika akhirnya Allah mengaruniai mereka seorang anak. Tentu sebuah penantian yang panjang, bukan? Selama masa itu, banyak cara yang mereka tempuh agar bisa memeroleh keturunan. Pada tahun ketiga pernikahan, Hanum mulai mencoba program inseminasi di sebuah klinik Der Kinderwuensch atau Klinik Harapan Keluarga dibawah penanganan dokter Eva Herz di Wina, Austria. Di sana ia mengikuti suaminya yang sedang menempuh kuliah Doktoral (Strata 3). Akan tetapi, sayang sekali, program inseminasi pertama ini gagal.
Tak mau putus asa begitu saja, Hanum pun mencoba inseminasi kedua dan ketiga. Hasilnya mereka kembali gagal mewujudkan impian mempunyai anak melalui metode canggih tersebut. Akhirnya, setelah kembali ke Indonesia, pada tahun ketujuh pernikahan, mantan reporter swasta nasional ini memutuskan untuk mengikuti program In Vitro Fertilization (IVF) atau yang lzaim disebut dengan bayi tabung di Klinik Permata Hati, Yogyakarta. Tapi, dibawah penanganan dokter Showfal Widad, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit. Kegagalan demi kegagalan yang dialami Hanum membuatnya kehilangan harapan untuk memiliki anak. Bahkan ia sempat mengalami depresi. Dan pada puncak keputus asaannya, ia pernah meminta suaminya untuk mencari perempuan lain yang dapat memberinya keturunan.
Di sinilah kesetiaan cinta diuji. Alih-alih menuruti kemauan istrinya, Rangga justru menjelma bak seorang Malaikat. Ia sadar bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dengan naluri menguasai hingga mendominasi. Karena alasan itu sebagian besar laki-laki menerjemahkan poligami sebagai pengejawantahan, mengklaim sunnah yang dikuatkan. Namun, tidak demikian menurut Rangga. Kehebatan seorang laki-laki justru tidak ditentukan dari kemampuannya memiliki banyak wanita, tapi ketika ia berani memutuskan untuk setia hanya pada satu wanita (Hal. 211).
Akhirnya, berkat kesabaran dan ketegaran dalam melewati ujian besar itu, Allah menganugerahkan Hanum seorang anak perempuan pada tahun kesebelas pernikahan mereka, setelah melewati proses bayi tabung keenam. Sarahza Reashira nama bayi perempuan itu. Apa yang dilakukan sosok perempuan inspiratif ini patut dijadikan pelajaran bagi para perempuan dalam menempuh biduk rumah tangga mereka. Bahkan tidak hanya kaum hawa, tapi bagi siapa saja yang ingin belajar makna sabar yang sesungguhnya.
Lombok Tengah, 2 September 2018.

Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Resensi

Mengenalkan Fungsi Teknologi kepada Anak Melalui Cerita
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Sampit Edisi Minggu, 16 September 2018

Judul               : Naura & Genk Juara: The Adventure Begins
Penulis             : Veronica Widyastuti
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit               : Pertama, Desember 2017
Tebal               : 110 Halaman
ISBN               : 978-602-424-719-5


Fungsi dari sebuah cerita fiksi umumnya memberikan pesan moral kepada anak. Karenanya, agak hambar rasanya jika membicarakan karya fiksi anak tanpa membicarakan pesan atau amanat moral. Namun, apabila ditinjau dari beragam bentuk dan temanya, kebermanfaatan karya sastra anak tidaklah sesempit itu. Dengan kata lain, ia juga bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk mengenalkan objek tertentu. Seperti novel anak yang berjudul “The Adventure Begins: Naura & Genk Juara” ini. Selain menyelipkan pesan moral, ia juga mengenalkan fungsi teknologi sederhana pada anak.
Novel ini berkisah tentang petualangan seru bocah-bocah cerdik dari SD Angkasa, Naura, Okky, Bimo, dan teman-temannya dalam acara Kemah Kreatif di kawasan hutan tropis Situ Gunung. Tujuan mereka kesana adalah untuk mendemosntrasikan karya masing-masing. Namun, di luar dugaan, mereka malah berhadapan dengan Trio Licik, pencuri hutan yang memang sudah dikenal ganas sejak dulu. Hal itu bermula ketika Bimo mendapat giliran untuk menunjukkan drone karyanya. Tiba-tiba saja baling-baling drone itu tidak ia temukan di dalam tas. Ia pun mencurigai Okky, salah seorang regu satu sekolahnya, telah menyembunyikan benda itu lantaran tidak mau melihatnya berhasil.
Bimo mendesak Okky untuk mengakui perbuatannya. Namun, tentu saja Okky mengelak, karena memang ia tidak pernah melakukan tindakan culas itu. Perselisihan sempat terjadi setelah akhirnya mereka melihat Cepot, seekor monyet jinak milik seorang ranger cilik bernama Kipli, bertengger di atas pohon sambil memain-mainkan baling-baling drone milik Bimo di atas kepalanya. Mereka pun mengejar monyet usil yang berlari ke arah sebuah mobil asing yang terparkir di antara semak-semak tinggi.
Tak dinyana. Bocah-bocah hebat yang tadinya ingin mengejar baling-baling drone milik temannya itu rupanya mendapati fakta lain. Mobil tersebut ternyata milik pencuri. Puluhan satwa lindung ada di dalamnya lengkap dengan sangkar dan kandangnya. Satwa-satwa itu dalam kondisi siap dibawa kabur oleh Trio Licik. Okky dan teman-teman pun berusaha membongkar tindakan kriminal itu dengan memanfaatkan teknologi sederhana yang mereka miliki. Naura dengan smart watch­­ dan walkie talkie-nya, Bimo dengan drone-nya, dan beberapa jenis perangkap seperti ranjau semangka dan bom dry ice yang mereka buat bersama. Sehingga para pencuri satwa itu berhasil ditangkap, dan satwa lindung yang hendak dilarikan pun berhasil diamankan.
Hal menarik dari karya sastra anak ini adalah penulis tidak menjelaskan fungsi dari teknologi secara langsung. Melainkan melalui percakapan-percakapan seru diantara para tokohnya. Sehingga pembaca tidak merasa sedang diceramahkan. Seperti yang terdapat pada halaman 81 misalnya. Ketika Naura mengamati smartwatch di pergelangan tangannya lalu ada lingkaran biru yang berkedip, ia berkata pada teman-temannya, “Okky membawa GPS yang kutitipkan melalui Cepot. Kita bisa melacak posisinya.” Lalu Bimo menyahut, “Di mana dia sekarang?”. “Masih di sekitar Hutan Situ Gunung…” jawab Naura.
Melalui percakapan ini, penulis secara tidak langsung telah menjelaskan fungsi GPS yang dapat melacak keberadaan seseorang yang masih dalam lokasi GPS tracker. Selain GPS, penulis juga tentu menyuguhkan beberapa produk teknologi lainnya yang diintegrasikan dalam cerita. Novel anak ini sangat layak dan menarik untuk disajikan pada anak. Karena tidak hanya pesan moral yang akan didapatkan, tapi juga pengayaan wawasan terhadap fungsi teknologi.
Lombok Tengah, 10 September 2018
Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.






Minggu, 09 September 2018

Cerpen

Reuni Hati Reny
Oleh: Wardie Pena
dimuat di media infotimur.com pada Minggu, 9 September 2018

Reny masih menelekan kedua lengan di atas besi pembatas balkon hotel. Seluruh perhatiannya ia serahkan ke perkebunan teh yang terhampar sepanjang mata bisa menjangkau. Sementara, Irfan duduk di sebuah kursi di belakang Reny sambil menyesap secangkir kopi, sehingga matanya hanya bisa menikmati lekukan punggungnya yang terbalut long dress tipis. Reny tak pernah mengharapkan kedatangan Irfan ke tempatnya. Hanya saja, ruangan mereka berdekatan, membuat Irfan nekad mengunjungi beranda belakang ruangan Reny.
Selang beberapa saat, terdengar suara jepretan kamera telpon pintar Reny yang dibidik ke arah para perempuan pemetik teh yang menggayuti keranjang di punggung mereka.
“Pemandangan di sini indah juga, ya. Aku suka sekali. Oh ya, katanya kebun teh ini dulu di tanam pertama kali oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apa itu benar?” tanya Reny, berusaha menghindari percakapan lebih jauh soal perasaan.
Irfan merasa kesal tak mendapat respon dari Reny. Kebun teh rupanya mampu mengalahkan kehadirannya di sisi perempuan pemilik bibir tipis dan mempesona itu, sehingga tentu ia juga sama sekali tak menghiraukan basa-basi tersebut.
“Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu itu?” balasnya kemudian.
“Ini adalah pertama kali aku ke puncak Bogor. Di rumahku tidak ada kebun teh, kecuali kebun sawit milik perusahaan orang asing. Jadi, pertanyaanku merupakan hal yang wajar, bukan?” timpal Reny lagi.
“Besok semua peserta Diklat ini akan pulang kampung. Mereka semua sudah menukar cendra mata. Hanya kita yang belum. Lagi pula, jika kedatanganmu hanya ingin melihat kebun teh, tingallah di sini atau sesekali datanglah kesini biar aku bisa menemanimu langsung menjelajahinya.”
“Apakah kita perlu melakukan itu?” Reny melenguh seakan ingin membalas respon asal Irfan barusan.
“Jika kamu masih menganggapku penting, kenapa tidak?”
“Status kita sudah beda, Fan, ingat itu.”
“Lantas?”
“Ya untuk apa lagi kita mesti bertukaran apa-apa?”
“Sebagai salah satu bukti reuni hati kita sekarang ini, Ren.”
Mulut Reny geming, lalu memutar kepalanya ke arah Irfan. Sehingga tatapan mereka sejenak bersirobok. Ia pun mulai kikuk. Sebenarnya ia tak ingin membenamkan pandangannya di mata bundar Irfan. Ia takut kalau-kalau mata itu mampu memutar waktu dan mencuat perasaannya kembali. Karena itu, ia segera mengalihkan mata ke arah semula. Lipatan bibirnya yang bergincu merah muda tak ia buka barang sedikit pun. Namun, upayanya tak berhasil. Mata itu sudah terlanjur menjalar ke dinding hatinya, sehingga membuat ritme napasnya sedikit tak karuan.
Irfan yang melihat kelebat mata Reny, tahu bahwa ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya. Akan tetapi, itu adalah suatu hal yang tak biasa sehingga hanya cukup dengan menggunakan bahasa tubuh saja. Rupanya, orang jika sedang memendam suatu rahasia seringkali tak sadar bahwa ia melakukan hal diluar kesadarannya. 
Ini memang pertemuan pertama mereka setelah tak lama Reny memutuskan untuk mengikuti bapaknya pindah ke Riau, selepas mereka kuliah lima tahun silam. Bapak Reny adalah seorang pegawai pemerintah. Setiap lima tahun bahkan satu tahun sekali dia biasa pindah ke Provinsi lain di Indoensia. Sebab itu, Irfan pun memutuskan untuk menikahi wanita lain setelah memastikan Reny benar-benar nyaman di tempat barunya itu. Saat kenyamanan sudah mulai menyelimuti seseorang, pada saat itulah kerinduan dan kenangan lama akan mulai terkikis, pikir Irfan. Itu pula waktu yang tepat baginya untuk beralih ke lain hati.
Irfan sendiri tak bisa memaksa Reny untuk melakukan apa yang dia minta seperti saat mereka menjalin hubungan dulu. Dan mereka memang sudah bukan siapa-siapa lagi saat ini. Akan tetapi, saat hari pertama acara pertemuan penulis yang mereka ikuti, Irfan benar-benar tak menyangka bahwa profesi yang sama rupanya bisa mempertemukan mereka kembali dalam status yang berbeda. Sehingga tak ada salahnya Irfan mengajak Reny untuk bertukar cendra mata sebagai bentuk reuni hati mereka.
“Reuni hati katamu?” seringai Reny setelah beberapa saat berusaha menguasai perasaannya.
“Ya, bagaimana menurutmu, Ren? Lagi pula, aku sudah bilang, istriku akhir-akhir ini sering minggat dan tingkah lakunya uring-uringan. Aku bosan sama dia, Ren,” sambung Irfan memecah kekakuan. “Kamu lihat bukit yang tinggi itu?” Telunjuknya mengacung ke puncak bukit yang terdapat di depan mereka. Pohon-pohon teh masih tampak menghijau di sana. Ia berharap hati Reny juga sesubur warna pohon itu.
“Menurutmu?”
“Ya kali aja matamu ke sana, tapi hatimu menatap ke hatiku,” goda Irfan.
“Kamu masih saja seperti dulu, Fan. Ge er. Lagi pula, aku tak punya sesuatu untuk ditukarkan.” Reny mendengus dan menyeret pandangan ke arah kabut di balik gunung yang mengintip mereka. “Lagi pula…” lanjutnya, “aku tak bisa melakukan itu. Kamu lihat, kan, cincin di jari manis kiriku?”
Perasaan Irfan semakin tak karuan ketika melihat cincin yang melingkari jari manis Reny. Seolah perasaan ketika mereka masih berpacaran dulu kembali mencuat saat ini. Dan itu bukan semacam de ja vu. Melainkan, mereka memang pernah sama-sama berjanji untuk saling setia dua tahun lalu. Mereka pernah melalui hari-hari bersama di kampus selama bertahun-tahun. Saat itu Reny selalu mengungkapkan keinginannya untuk mati bersama Irfan. Entah, Irfan pun tak tahu apa alasan kekasihnya itu menyatakan hal yang mereka sama-sama tidak tahu kapan itu akan terjadi. Ia sering kali bilang bahwa hanya maut yang bisa memisahkan mereka. Namun, kenyataannya, ketika Bapak meminta dirinya untuk ikut pindah ke tempat tugas baru, Reny tak bisa menolak. Ia takut jika menentang kemauan bapaknya, bisa-bisa ia berbuat nekad dan tak mau lagi menganggapnya anak. Tentu Reny pun akhirnya lebih memilih Bapak ketimbang cintanya pada Irfan. Dan ia sendiri menyadari bahwa perpisahan itu bukan semata-mata salah Irfan ataupun dirinya. Melainkan sudah kehendak takdir yang tak dapat ditebak orang.
“Maksud kamu?” selidik Irfan penasaran.
“Iya, aku sudah bertunangan dengan seorang pria di kampungku, Mas.”
“Kenapa kamu tak pernah cerita?”
“Apa perlunya aku melakukan itu? Mas sudah beristri, jangan egois.”
“Apa begitu cepatnya kamu melupakan aku dan janjimu dulu untuk mati bersamaku?”
Reny kembali melipat bibir dan melengos. Kali ini lebih erat dan lekat. Sementara Irfan tersentak, seakan tak menyangka jawaban itu akan meluncur dari mulut Reny. Tapi Reny sebenarnya sadar bahwa ia juga masih memiliki perasaan yang sama dengan Irfan. Hanya saja ia tak mungkin kembali padanya. Perjodohan yang dilangsungkan oleh bapaknya dengan seorang pria melayu di kampungnya beberapa waktu lalu, tak mungkin bisa digagalkan begitu saja.
Degup jantung Irfan terasa makin berat. Kini ia mendekati Reny dan berdiri sejajar di sampingnya. Lengan kanannya ia tempeli ke lengan kiri Reny. Lalu ia menyibak rambut hitamnya yang tergerai lurus dikibas angin senja dengan jari bergetar. Kamu masih cantik seperti dulu. Tak banyak hal yang berubah pada dirimu, gumam Irfan dalam hati. Namun, Reny lebih dulu menepis tangannya dan menggeser kakinya menjauhi Irfan.
“Aku tak mau ada kenangan lagi dalam pertemuan ini, Fan,” lirih Reny.
“Maksud kamu?”
“Semakin kamu menciptakan kenangan di hati kita, itu sama saja dengan menancapkan duri di hati kita. Juga ke hati pasangan kita masing-masing.”
“Aku tak peduli.”
Reny menggeleng. “Kamu benar-benar egois, Fan. Sudahlah, aku mohon kamu keluar dari ruangan ini. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Aku bebas menentukan jalanku sendiri, sebagaimana Mas menentukan jalanmu sendiri.”
“Besok pagi, kamu berangkat pulang jam berapa?”
Kali ini Irfan berharap mereka bisa bertemu untuk terakhir kalinya di bandara atau di stasiun gambir jika Reny mungkin menggunakan kereta api ke bandara. Akan tetapi, setelah pertanyaan terakhir itu, tak ada suara lagi berhembus dari mulut Reny. Kecuali hanya telunjuknya yang menuding lurus ke arah pintu. Sehingga perlahan Irfan menyeret kakinya keluar dari ruangan itu. Dan Reny  sendiri menatap punggung Irfan dengan dada sesak. Punggung itu sering dipeluknya dulu ketika masih kuliah dan dibonceng saat diantar pulang. Ia menunduk dan berusaha mengendalikan perasaannya. Beberapa titik air menetes ke dress bagian dadanya. Kenapa nasib tidak pernah sepakat dengan hati? gumamnya.

Lombok Tengah, 8 September 2018.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Ia tinggal di Lombok Tengah, NTB.






Cerpen

Lelaki Bermata Teduh
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Rakyat Sultra Kendari edisi Jumat 7 September 2018

Aku sudah berjalan cukup jauh melintasi persimpangan jalan kota. Tapi lukisan-lukisan yang menggantung di leherku belum ada satu pun yang laku terjual. Tak terhitung berapa pengendara mobil yang kutawari saat lampu lalu lintas hijau menyala. Entah sudah berapa pengendara sepeda motor yang kusodorkan. Namun, tetap saja jumlah benda ini utuh. Sepertinya peminat lukisan klasik di dunia ini sudah mati semua.
Kini kuarahkan kakiku ke sebuah taman kota yang tak begitu luas setelah mengusap keringat yang mulai berseleleran di pelipisku. Matahari persis di atas kepalaku, menjilat seluruh tubuhku yang kumal. Tapi kurasa matahari sebenarnya terpaksa menjilat kulitku, karena sudah dua hari ini aku tak mandi. Andai saja ia seorang manusia, tentu saja ia sudah muntah. Seluruh tubuhku bau sekali, seperti bau kandang kambing. Itu kutahu dari orang-orang yang menutup hidung ketika berpapasan denganku.
Kau tahu, semua lukisan yang kubawa ini adalah buah tanganku sendiri. Karena memang sejak kecil aku sudah menaruh minat dan pandai melukis. Awalnya, bakat ini kujadikan hanya sekedar hobi untuk mengisi waktu saja. Tapi atas saran Paman Salimadik Ibu satu-satunya yang mengasuhkuagar bakat cemerlang ini dikembangkan, aku pun mulai menekuninya setelah menamatkan pendidikan dasar. Sekarang aku sudah cukup besar, seumuran siswa kelas delapan SMP, tapi tidak bersekolah lagi. Dengan modal peralatan lukis sederhana yang dibelikan Paman Salim, aku sudah menghasilkan berpuluh-puluh lukisan wajah seorang laki-laki dewasa yang kusebut ayah.  
“Itu lukisan siapa, dek? Boleh aku lihat?” tanya seorang laki-laki muda yang kutemukan sedang duduk bersama pacarnya di taman kota.
“Ini adalah lukisan ayahku,” sahutku sambil melepas dan mengulurkan salah satu lukisanku.
“Memang ayahmu siapa?”
“Kata Ibu, dulu ayahku pernah bekerja di beberapa bidang, diantaranya…”
Belum lengkap kalimat itu meluncur dari mulutku, pemuda bertampang intelek tersebut lantas mendahului, “Sebentar, maksudku apakah dia seorang aktor, ilmuwan, politikus, negarawan, dewan, dan lain-lainnya begitu? Dan kenapa kamu bilang ‘kata ibuku’? Kenapa kamu tak tahu pekerjaan ayahmu sendiri? Jangan-jangan kamu anak pungut, ya?”
Mulut pemuda yang kuduga intelek ini ternyata brengsek. Terlebih ia mengatakan itu dengan sedikit tertawa, seolah ingin memamerkan olokan murahannya di depan gadis cantik tersebut. Sungguh menjengkelkan. Baru kutahu rupanya ketika seorang lelaki berada di depan wanita, ia akan lupa diri sehingga berlagak semaunya. Termasuk menghinaku yang baru pertama kali ini bertemu dengannya. Karena tak berminat menimpalinya, aku pun berlalu di hadapannya tanpa meninggalkan sepenggal komentar.
Sekitar sepuluh meter dari tempat si pemuda brengsek dan pacarnya itu, mataku menangkap sebuah tempat duduk yang masih kosong di bawah pohon kenari yang cukup tinggi. Aku segera mendaratkan bokong di sana dan melepas tiga lukisan yang berukuran sedang di samping kananku, lalu mulai mengipas-ngipas wajahku yang rasanya sudah gosong dengan sengatan matahari.
Pohon kenari yang menaungi dudukan ini membuat suasana menjadi rindang. Ternyata salah satu makhluk yang paling baik saat matahari sedang meluapkan energinya adalah pohon. Udara segar mulai bertiup. Aku berhenti mengipas wajah. Dan aku mulai menghimpun pikiran agar bagaimana lukisan-lukisan ini bisa laku terjual. Aku coba mengingat-ingat beberapa pedagang yang kutemukan di perempatan barusan, dengan maksud mengikuti jejak penjualan. Seperti beberapa penjual koran itu, misalnya. Namun, setelah berpikir-pikir, kebutuhan orang akan koran dan lukisan tentu berbeda. Meski tak selaris makanan, tapi setidaknya koran selalu dibutuhkan orang banyak. Orang pintar lah setidaknya. Dengan begitu, aku tak dapat meniru trik berjualan dari rekan-rekan penjual koran.
Aku memindahkan konsentrasi seorang lelaki pedagang mainan anak-anak yang juga kutemukan di perempatan yang sempat kusinggahi tadi. Akan tetapi, nasib pedagang mainan denganku tak jauh berbeda. Selama menjajalkan dagangan di dekat lampu lalu lintas tadi, tak satu pun para pengendara atau pengguna jalan lainnya yang kulihat membeli mainan. “Ah, Om itu juga bernasib sama denganku. Mana bisa aku mengikuti trik jualannya,” gumamku sambil senyum-senyum sendiri.
Karena tak dapat menemukan solusi, aku pun berhenti mencari cara menjual lukisan-lukisan ini. “Yang penting tetap berusaha dan tak mudah bosan, suatu waktu orang pasti mulai tertarik dengan lukisan-lukisanku,” pikirku sembari meraba ingatan tentang waktu aku mulai suka melukis. 
Saat itu aku tengah berada di kelas empat SD. Pertama kali melukis atau tepatnya menggambar, alat yang kugunakan adalah pensil kerayon yang dibelikan Ibu. Karena keinginan kuat untuk melihat wajah asli Ayah, aku pun menggambar sketsa wajahnya.
“Ini gambar siapa?” tanya ibunya saat itu.
“Ini gambar Ayah, Bu.”
“Dari mana kamu tahu wajah ayahmu seperti ini?”
“Aku lihat foto Ayah di dalam laci Ibu.”
“Kurang ajar. Sembarang saja kamu buka-buka laci Ibu. Itu bukan ayahmu. Ayahmu sudah mati saat kamu dilahirkan. Lagi pula, wajahnya tak setampan itu. Kalau kamu mau melihat wajah ayahmu, pergilah ke kebun binatang. Udah, daripada kamu gambar dia, lebih baik kamu gambar Om Bery saja yang lebih kaya dan keren!” bentak Ibu.
Aku hanya diam ketika Ibu mencercaku. Entah kenapa setiap kali menyinggung soal Ayah, Ibu selalu geram dan berkata kasar. Aku memang tidak tahu di mana Ayah berada, tapi aku yakin bahwa foto yang kutemukan di dalam laci Ibu saat itu adalah dia. Karena aku merasakan semacam ikatan batin yang sangat erat ketika menatap foto laki-laki berwajah tirus dalam selembar kertas itu.
Aku ingin sekali bertemu Ayah. Namun, sampai kapan pun hal itu sepertinya tak mungkin dapat kulakukan. Sebab, setiap kali menyebut kata Ayah, Ibu pasti bilang dia sudah mati. Dan mengenai Om Bery yang disebut-sebut Ibu itu, adalah laki-laki yang belakangan suka main ke rumah. Aku sendiri tak mengerti kenapa laki-laki bertampang berang itu suka main dan sesekali menginap ke rumah, meski sebelumnya Ibu juga sering kedatangan tamu laki-laki beraneka rupa dan sikap pada diriku. Dan pada akhirnya, laki-laki yang bernama Bery itulah yang mengajak Ibu kabur entah ke mana.
Sejak itulah aku bebas menggambar wajah Ayah di atas buku gambar. Aku tak tertarik menggambar Ibu. Karena dia suka galak dan kadang memukulku jika wajahnya sudah berubah merah. Terlebih dia sudah meninggalkanku dan memilih pergi bersama laki-laki bertubuh gempal bernama Bery itu. Untung saja ada Paman Salim yang beberapa saat setelahnya membelikan kuas, palet, cat air, kanvas, dan peralatan lukis lainnya yang serba seadanya untuk mendukung hobiku.
“Kamu sedang menunggu siapa, Nak?”
Lamunanku tiba-tiba terbangun dengan pertanyaan sesosok laki-laki yang berdiri di depanku bersama seorang perempuan cantik. Aku mendongak dan mengedipkan kedua mata. Perasaanku terasa tak karuan dengan kehadiran laki-laki bermata teduh ini, seolah wajahnya tak asing di mataku. “Aku tidak menunggu seseorang. Tapi aku sedang berjualan, Pak,” sahutku tergeragap.
“Oh ya, berjualan apa?”
“Aku menjual lukisan, Pak.”
“Boleh aku lihat?”
Bapak yang kuduga berusia 40-an tahun tersebut sepertinya mulai tertarik setelah melihat dan memegang salah satu lukisanku. Akan tetapi, ia juga terlihat aneh setelah memperhatikannya lebih detail, seperti sedang menemukan sesuatu yang dicari sejak dulu dan tak diduga ditemukannya sekarang. Ia pun memintaku mengambil lukisan lainnya. Namun, wajahnya tambah tertegun setelah kusodorkan dua lukisan lainnya.
“Kenapa, Pa?” tanya perempuan berkulit putih bening yang berdiri di sampingnya. Sepertinya ia merasa ada yang aneh dengan gelagat suaminya.
“Ah tidak ada, Ma. Papa suka aja sama lukisan ini. Oh ya, berapa harganya, Nak?” tukasnya mengalih perhatian kepadaku.
“Seratus ribu per lukisan, Pak.”
“Aku ambil semuanya, ya.”
Laki-laki berpakaian perlente dan serba abu di depanku ini kemudian mengulurkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, lalu segera beringsut bersama istrinya.
“Pak, Pak, uangnya lebih!” pekikku setelah menghitung jumlah uangnya. Ternyata sebanyak lima ratus ribu rupiah.
“Ambil semuanya buat kamu.”
Ia terburu-buru masuk ke dalam mobil. Sementara, istrinya masih memandangku heran dan tak mengerti sama sekali dengan apa yang sedang terjadi pada suaminya. Aku sendiri masih menekuri mobil sedan berwarna hitam mengkilat yang mereka kendarai. Entah kenapa kehadiran laki-laki pembeli itu membuatku merasa begitu nyaman. Aku meraba pipiku untuk memastikan apakah ini benar-benar terjadi ataukah sedang bermimpi? Huuuh, aku baru sadar rupanya dia mirip dengan laki-laki bermata teduh yang kulukis sejak dulu. Mungkinkah dia adalah orang yang kucari-cari selama ini? Ah, mustahil. Matahari sudah mulai menyingsing di ufuk barat. Sebaiknya aku segera pulang, lalu mandi bersih dan makan besar dengan uang lima ratus ribu rupiah ini. Paman Salim pasti senang.

Lombok Tengah, 23 Juli 2018
Marzuki Wardi, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok, NTB.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...