Minggu, 09 September 2018

Cerpen

Lelaki Bermata Teduh
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Rakyat Sultra Kendari edisi Jumat 7 September 2018

Aku sudah berjalan cukup jauh melintasi persimpangan jalan kota. Tapi lukisan-lukisan yang menggantung di leherku belum ada satu pun yang laku terjual. Tak terhitung berapa pengendara mobil yang kutawari saat lampu lalu lintas hijau menyala. Entah sudah berapa pengendara sepeda motor yang kusodorkan. Namun, tetap saja jumlah benda ini utuh. Sepertinya peminat lukisan klasik di dunia ini sudah mati semua.
Kini kuarahkan kakiku ke sebuah taman kota yang tak begitu luas setelah mengusap keringat yang mulai berseleleran di pelipisku. Matahari persis di atas kepalaku, menjilat seluruh tubuhku yang kumal. Tapi kurasa matahari sebenarnya terpaksa menjilat kulitku, karena sudah dua hari ini aku tak mandi. Andai saja ia seorang manusia, tentu saja ia sudah muntah. Seluruh tubuhku bau sekali, seperti bau kandang kambing. Itu kutahu dari orang-orang yang menutup hidung ketika berpapasan denganku.
Kau tahu, semua lukisan yang kubawa ini adalah buah tanganku sendiri. Karena memang sejak kecil aku sudah menaruh minat dan pandai melukis. Awalnya, bakat ini kujadikan hanya sekedar hobi untuk mengisi waktu saja. Tapi atas saran Paman Salimadik Ibu satu-satunya yang mengasuhkuagar bakat cemerlang ini dikembangkan, aku pun mulai menekuninya setelah menamatkan pendidikan dasar. Sekarang aku sudah cukup besar, seumuran siswa kelas delapan SMP, tapi tidak bersekolah lagi. Dengan modal peralatan lukis sederhana yang dibelikan Paman Salim, aku sudah menghasilkan berpuluh-puluh lukisan wajah seorang laki-laki dewasa yang kusebut ayah.  
“Itu lukisan siapa, dek? Boleh aku lihat?” tanya seorang laki-laki muda yang kutemukan sedang duduk bersama pacarnya di taman kota.
“Ini adalah lukisan ayahku,” sahutku sambil melepas dan mengulurkan salah satu lukisanku.
“Memang ayahmu siapa?”
“Kata Ibu, dulu ayahku pernah bekerja di beberapa bidang, diantaranya…”
Belum lengkap kalimat itu meluncur dari mulutku, pemuda bertampang intelek tersebut lantas mendahului, “Sebentar, maksudku apakah dia seorang aktor, ilmuwan, politikus, negarawan, dewan, dan lain-lainnya begitu? Dan kenapa kamu bilang ‘kata ibuku’? Kenapa kamu tak tahu pekerjaan ayahmu sendiri? Jangan-jangan kamu anak pungut, ya?”
Mulut pemuda yang kuduga intelek ini ternyata brengsek. Terlebih ia mengatakan itu dengan sedikit tertawa, seolah ingin memamerkan olokan murahannya di depan gadis cantik tersebut. Sungguh menjengkelkan. Baru kutahu rupanya ketika seorang lelaki berada di depan wanita, ia akan lupa diri sehingga berlagak semaunya. Termasuk menghinaku yang baru pertama kali ini bertemu dengannya. Karena tak berminat menimpalinya, aku pun berlalu di hadapannya tanpa meninggalkan sepenggal komentar.
Sekitar sepuluh meter dari tempat si pemuda brengsek dan pacarnya itu, mataku menangkap sebuah tempat duduk yang masih kosong di bawah pohon kenari yang cukup tinggi. Aku segera mendaratkan bokong di sana dan melepas tiga lukisan yang berukuran sedang di samping kananku, lalu mulai mengipas-ngipas wajahku yang rasanya sudah gosong dengan sengatan matahari.
Pohon kenari yang menaungi dudukan ini membuat suasana menjadi rindang. Ternyata salah satu makhluk yang paling baik saat matahari sedang meluapkan energinya adalah pohon. Udara segar mulai bertiup. Aku berhenti mengipas wajah. Dan aku mulai menghimpun pikiran agar bagaimana lukisan-lukisan ini bisa laku terjual. Aku coba mengingat-ingat beberapa pedagang yang kutemukan di perempatan barusan, dengan maksud mengikuti jejak penjualan. Seperti beberapa penjual koran itu, misalnya. Namun, setelah berpikir-pikir, kebutuhan orang akan koran dan lukisan tentu berbeda. Meski tak selaris makanan, tapi setidaknya koran selalu dibutuhkan orang banyak. Orang pintar lah setidaknya. Dengan begitu, aku tak dapat meniru trik berjualan dari rekan-rekan penjual koran.
Aku memindahkan konsentrasi seorang lelaki pedagang mainan anak-anak yang juga kutemukan di perempatan yang sempat kusinggahi tadi. Akan tetapi, nasib pedagang mainan denganku tak jauh berbeda. Selama menjajalkan dagangan di dekat lampu lalu lintas tadi, tak satu pun para pengendara atau pengguna jalan lainnya yang kulihat membeli mainan. “Ah, Om itu juga bernasib sama denganku. Mana bisa aku mengikuti trik jualannya,” gumamku sambil senyum-senyum sendiri.
Karena tak dapat menemukan solusi, aku pun berhenti mencari cara menjual lukisan-lukisan ini. “Yang penting tetap berusaha dan tak mudah bosan, suatu waktu orang pasti mulai tertarik dengan lukisan-lukisanku,” pikirku sembari meraba ingatan tentang waktu aku mulai suka melukis. 
Saat itu aku tengah berada di kelas empat SD. Pertama kali melukis atau tepatnya menggambar, alat yang kugunakan adalah pensil kerayon yang dibelikan Ibu. Karena keinginan kuat untuk melihat wajah asli Ayah, aku pun menggambar sketsa wajahnya.
“Ini gambar siapa?” tanya ibunya saat itu.
“Ini gambar Ayah, Bu.”
“Dari mana kamu tahu wajah ayahmu seperti ini?”
“Aku lihat foto Ayah di dalam laci Ibu.”
“Kurang ajar. Sembarang saja kamu buka-buka laci Ibu. Itu bukan ayahmu. Ayahmu sudah mati saat kamu dilahirkan. Lagi pula, wajahnya tak setampan itu. Kalau kamu mau melihat wajah ayahmu, pergilah ke kebun binatang. Udah, daripada kamu gambar dia, lebih baik kamu gambar Om Bery saja yang lebih kaya dan keren!” bentak Ibu.
Aku hanya diam ketika Ibu mencercaku. Entah kenapa setiap kali menyinggung soal Ayah, Ibu selalu geram dan berkata kasar. Aku memang tidak tahu di mana Ayah berada, tapi aku yakin bahwa foto yang kutemukan di dalam laci Ibu saat itu adalah dia. Karena aku merasakan semacam ikatan batin yang sangat erat ketika menatap foto laki-laki berwajah tirus dalam selembar kertas itu.
Aku ingin sekali bertemu Ayah. Namun, sampai kapan pun hal itu sepertinya tak mungkin dapat kulakukan. Sebab, setiap kali menyebut kata Ayah, Ibu pasti bilang dia sudah mati. Dan mengenai Om Bery yang disebut-sebut Ibu itu, adalah laki-laki yang belakangan suka main ke rumah. Aku sendiri tak mengerti kenapa laki-laki bertampang berang itu suka main dan sesekali menginap ke rumah, meski sebelumnya Ibu juga sering kedatangan tamu laki-laki beraneka rupa dan sikap pada diriku. Dan pada akhirnya, laki-laki yang bernama Bery itulah yang mengajak Ibu kabur entah ke mana.
Sejak itulah aku bebas menggambar wajah Ayah di atas buku gambar. Aku tak tertarik menggambar Ibu. Karena dia suka galak dan kadang memukulku jika wajahnya sudah berubah merah. Terlebih dia sudah meninggalkanku dan memilih pergi bersama laki-laki bertubuh gempal bernama Bery itu. Untung saja ada Paman Salim yang beberapa saat setelahnya membelikan kuas, palet, cat air, kanvas, dan peralatan lukis lainnya yang serba seadanya untuk mendukung hobiku.
“Kamu sedang menunggu siapa, Nak?”
Lamunanku tiba-tiba terbangun dengan pertanyaan sesosok laki-laki yang berdiri di depanku bersama seorang perempuan cantik. Aku mendongak dan mengedipkan kedua mata. Perasaanku terasa tak karuan dengan kehadiran laki-laki bermata teduh ini, seolah wajahnya tak asing di mataku. “Aku tidak menunggu seseorang. Tapi aku sedang berjualan, Pak,” sahutku tergeragap.
“Oh ya, berjualan apa?”
“Aku menjual lukisan, Pak.”
“Boleh aku lihat?”
Bapak yang kuduga berusia 40-an tahun tersebut sepertinya mulai tertarik setelah melihat dan memegang salah satu lukisanku. Akan tetapi, ia juga terlihat aneh setelah memperhatikannya lebih detail, seperti sedang menemukan sesuatu yang dicari sejak dulu dan tak diduga ditemukannya sekarang. Ia pun memintaku mengambil lukisan lainnya. Namun, wajahnya tambah tertegun setelah kusodorkan dua lukisan lainnya.
“Kenapa, Pa?” tanya perempuan berkulit putih bening yang berdiri di sampingnya. Sepertinya ia merasa ada yang aneh dengan gelagat suaminya.
“Ah tidak ada, Ma. Papa suka aja sama lukisan ini. Oh ya, berapa harganya, Nak?” tukasnya mengalih perhatian kepadaku.
“Seratus ribu per lukisan, Pak.”
“Aku ambil semuanya, ya.”
Laki-laki berpakaian perlente dan serba abu di depanku ini kemudian mengulurkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, lalu segera beringsut bersama istrinya.
“Pak, Pak, uangnya lebih!” pekikku setelah menghitung jumlah uangnya. Ternyata sebanyak lima ratus ribu rupiah.
“Ambil semuanya buat kamu.”
Ia terburu-buru masuk ke dalam mobil. Sementara, istrinya masih memandangku heran dan tak mengerti sama sekali dengan apa yang sedang terjadi pada suaminya. Aku sendiri masih menekuri mobil sedan berwarna hitam mengkilat yang mereka kendarai. Entah kenapa kehadiran laki-laki pembeli itu membuatku merasa begitu nyaman. Aku meraba pipiku untuk memastikan apakah ini benar-benar terjadi ataukah sedang bermimpi? Huuuh, aku baru sadar rupanya dia mirip dengan laki-laki bermata teduh yang kulukis sejak dulu. Mungkinkah dia adalah orang yang kucari-cari selama ini? Ah, mustahil. Matahari sudah mulai menyingsing di ufuk barat. Sebaiknya aku segera pulang, lalu mandi bersih dan makan besar dengan uang lima ratus ribu rupiah ini. Paman Salim pasti senang.

Lombok Tengah, 23 Juli 2018
Marzuki Wardi, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok, NTB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...