Minggu, 09 September 2018

Cerpen

Garep

Oleh: Wardie Pena
Dimuat di media cendananews.com. pada Sabut 18 Agustus 2018



Hawa panas masih menyelimuti kampung Waru. Kampung yang terletak di kaki gunung Semparu itu telah lima tahun di landa kekeringan. Padahal tidak biasanya daerah itu mengalami kemarau berkepanjangan. Karena lokasinya yang terletak di dataran tinggi, intensitas curah hujan cukup tinggi. Namun, kini hujan seakan tak sudi menyapa tempat itu lagi. Tak pernah sekali pun hujan turun selama lima tahun terakhir. Awan pekat hanya sesekali datang dan bergelayutan mengitari pemukiman lalu kembali bergeser ke arah lain. Air sungai sudah mengering. Air sumur kian surut meski berkali-kali warga mengeruk atau memperdalam sumur mereka. Waduk yang terletak di ujung kampung yang selama ini diandalkan untuk mengairi sawah ladang pun tak dapat dijadikan tumpuan harapan.
Kondisi itu membuat banyak tanaman musnah. Tanah menjadi kering kerontang dan retak-retak. Hewan ternak juga tak sedikit yang mati kelaparan dan kepanasan. Warga desa saling berebutan air bersih jika suatu waktu datang bantuan dari pemerintah kabupaten. Meski mengharapkan bantuan penyaluran air bersih itu tak ubahnya seperti memaksa agar mata mampu melihat telinga yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan bercermin. Selain lokasi yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten, jalan sempit yang sudah seperti sungai kering karena serakan bebatuan, membuat pemerintah jadi enggan menyambangi tempat itu.
“Aku sudah bilang sejak awal bahwa Kiman itu tidak bersalah,” ucap seorang tetua kampung Waru, Oak[1] Tede, kepada para warga kampung.
Ia menjadi semakin yakin, bahwa bala ini merupakan akibat kutukan ritual garep yang telah menelan nyawa Kiman lima setengah tahun silam.
“Bukankah kematiannya menandakan bahwa ia memang benar bersalah?” sahut seorang laki-laki yang lebih muda dari Oak Tede.
“Aku tak yakin dia mati lantaran meminum air suci itu. Aku curiga Rekas mendatangi rumah Kiman sepulang dari sanggar, lalu membunuhnya dengan cara melumpuhkan organ vitalnya atau bisa saja meracuninya,” tandas Oak.
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan sekarang, Oak?” tanya Jazuli, salah seorang tokoh pemuda di kampung itu.
“Kita harus mencari Rekas dan mendesak Kepala Desa untuk mengadakan ritual garep lagi,” timpal lelaki yang sudah berambut putih itu, lalu beringsut dari sekepat[2] tempat ia dan masyarakat lainnya berembuk pagi ini. Mereka pun mengikuti langkah Oak Tede untuk mencari Rekas.
***
Malapetaka itu bermula dari tuduhan Rekas, seorang warga yang kehilangan sepasang sapi. Ia menuduh Kiman lah dalang di balik pencurian itu. Kebetulan memang malam ketika peristiwa tersebut terjadi, Kiman sedang tidak berada di rumahnya. Melainkan ia sedang menginap di repok[3] ladang sayur miliknya di dekat lereng gunung Semparu. Selain itu, tuduhan tersebut juga bukan tanpa dasar. Kiman adalah seorang mantan maling. Semua warga tahu betapa beringasnya ia dulu menggondol barang-barang milik orang lain. Bahkan tidak jarang ia melukai tuan rumah bila sesekali mereka berupaya melawan. Karena untuk melancarkan aksinya, Kiman juga membekali diri dengan ilmu kanuragan yang mumpuni. Keberingasannya lambat laun tersiar ke berbagai desa tetangga. Sehingga banyak orang sekedar mendengar namanya saja, mereka sudah bergetar ketakutan.
Atas dasar itulah pemerintah desa bertindak tegas. Kepala Desa bersama elemen masyarakat sepakat untuk mengusir Kiman dari kampung Waru. Ia boleh tinggal dan bermukin di mana saja selama di luar kampung Waru. Namun, bagaimanapun juga, itu adalah masa lalu Kiman. Setelah lima tahun diasingkan dan hanya sesekali pulang menengok kondisi ayahnya yang sudah ringkih, ia akhirnya mengajukan permohonan agar diizinkan kembali ke kampung Waru. Dan setelah memenuhi syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya, Kiman akhirnya tercatat lagi sebagai warga di sana.
“Dari mana kamu tahu bahwa pelaku pencurian itu adalah Kiman?” tanya Pak Bakir, Kepala Desa Waru, ketika Rekas melaporkan peristiwa pencurian di rumahnya semalam.
“Apa Bapak lupa bagaimana buasnya dulu Kiman mencuri?”
“Ya, tapi itu dulu sebelum dia diusir. Sekarang Kiman sudah rajin beribadah dan ke ladang. Lagi pula, dia sudah bersumpah di hadapan semua warga untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. Mana mungkin dia berani melanggar sumpahnya.”
“Alah itu cuma topengnya saja, Pak. Coba ingat-ingat, selama si brengsek itu dibuang dari kampung ini, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke sini, kasus pencurian kembali merebak?” timpal Rekas meyakinkan Pak Kades. “Dan aku yakin dugaanku benar, karena Kiman malam itu tidak berada di rumahnya, Pak!” tutupnya mengakhiri pembicaraan.
Pak Bakir tersedak. Pendapat laki-laki berperawakan seperti egrang itu ada benarnya juga. Selama Kiman diasingkan, memang kondisi kampung menjadi aman damai. Tak pernah terdengar seekor ayam pun yang dicuri. Akan tetapi, sekembalinya dua minggu yang lalu, kasus pencurian mulai terjadi. Sepasang sapi milik Rekas adalah tumbal pertamanya. Meskipun demikian, lelaki nomor satu di kampung Waru itu tidak mau gegabah menghakimi Kiman sebagai pelakunya. Apalagi, di satu sisi, sumpah yang diucapkan Kiman tidak main-main. Nyawa adalah taruhannya. Pak Bakir pun mengajak para tetua kampung dan tokoh adat, untuk merundingkan langkah yang hendak ditempuh dalam memecahkan masalah pelik tersebut. Hingga akhirnya mereka semua sepakat untuk menyelenggarakan ritual garep. Meski ada satu dua orang menolak, tapi suara mereka kalah banyak dengan yang setuju.
Begitulah memang tradisi yang dijalankan masyarakat di kampung tersebut. Ketika kasus kriminal, khususnya pencurian, tidak dapat ditemukan pelakunya dan menimbulkan perkara baru, maka dilaksanakanlah semacam pembuktian melalui ritual garep. Yakni upacara meminum air suci yang diambil dari sebuah makam keramat di kampung Waru, oleh dua pihak yang sedang berselisih. Itu pun melalui proses panjang dan musyawarah bersama tokoh dan tetua kampung, karena ritual tersebut akan menelan korban kematian atau bala bencana.
Dua malam berikutnya, semua warga kampung berkumpul di sanggar desa untuk menyaksikan ritual sakral tersebut. Rekas dan Kiman duduk di tengah dikelilingi para tetua dan tokoh kampung, tak ubahnya seperti dua orang terdakwa persidangan. Meski dikerumuni hampir ratusan orang, tapi suasana sanggar tampak hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari depan sanggar. Selain untuk menghidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?    
 Setelah meminta kesiapan mereka berdua, Oak Minarsih, seorang tokoh adat, menyodorkan dua cangkir yang hampir serupa mangkuk berisi air suci. Rekas lekas meraih cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Kiman setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Rekas, pastilah Kiman yang sebentar lagi akan terkapar, pikir mereka.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan lantang dari mulut Kiman. “Aku sudah bersumpah di hadapan kalian untuk tidak mencuri lagi. Dan malam ini pun aku bersumpah, jika aku mati lantaran meminum air ini, semoga Rekas baik-baik saja!”
Seperti halnya Rekas, ia pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu saja. Suasana di seputar sanggar semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu terpaku pada tubuh Kiman, menunggu kepastian sebuah kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara mereka berdua yang tergeletak di tempat. Bulan sabit sudah merangkak di atas atap sanggar, menandakan malam telah berbau pagi. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat pun pulang dengan perasaan lega. Tapi, rasa lega itu tak bertahan lama. Esok harinya jasad Kiman ditemukan terkapar di bawah pohon pisang di belakang rumahnya.
***
Oak Tede dan beberapa orang warga telah sampai di depan rumah Rekas. Laki-laki yang berjuluk Tuan Sapikarena memiliki puluhan ekor sapi dan terbanyak di kampung Waruitu sungguh terkejut melihat kedatangan Oak.
“Ada apa Oak mengajak orang ramai-ramai ke rumahku?” tanyanya.
“Meminta pertanggung jawabanmu!” timpal Oak.
“Pertanggung jawaban apa?”
“Atas kematian Kiman.”
Rekas sebenarnya sudah bisa menduga bahwa kedatangan lelaki berjangat kisut ini akan membicarakan soal kematian Kiman. Selain tidak punya urusan apa-apa dengannya, dia lah satu-satunya yang bersi keras membela mantan maling itu ketika musyawarah bersama para tokoh kampung dulu. Pikiran Rekas pun berkelebat pada peristiwa yang terjadi hampir enam tahun lalu. Saat itu, sepulang dari ritual garep, ia dan dua orang temannya mendatangi rumah Kiman, lalu mengikat tubuhnya dan meminumkan racun dan membuang mayatnya ke belakang rumah setelah membuka ikatan tali. Tapi, mengakui hal itu saat ini tentu saja sebuah kekonyolan besar.
“Sudahlah, Kiman sudah menjadi tanah. Untuk apa lagi Oak membahasnya sekarang,” jawabnya enteng, setelah beberapa lama terdiam.
“Tidak bisa begitu. Aku yakin Kiman tak bersalah. Kamu pasti telah membunuhnya, dan sekarang kita semua kena dampak ritual garep.
“Terus, mau Oak apa sekarang?”
Garep harus kita laksanakan kembali.”
“Tidak bisa begitu!”
Wajah Rekas berubah merah mendengar kalimat terakhir Oak. Kematian Kiman cukuplah sebagai penebus hilangnya sepasang sapinya. Masa ya harus melakukan ritual itu lagi? Jika itu ia lakukan, sama saja artinya dengan menggali liang lahat sendiri, pikirnya. Ia pun bersi keras mengelak bertanggung jawab.
“Kalau kamu memang merasa benar, kenapa kamu mesti takut?” celetuk salah seorang pemuda yang membuntuti Oak.
“Siapa yang takut? Tapi itu percuma, anak muda!”
Adu mulut tak berlangsung lama setelah Oak meminta mereka menyergap tubuh Rekas, lalu memaksanya ke kantor desa. Atas dasar musyawarah tokoh adat dan tetua kampung, dua hari kemudian ritual garep kembali dilaksanakan. Namun, beberapa hari setelahnya, hujan tetap tak turun-turun. Bahkan, mereka menunggu selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bermusim-musim, bertahun-tahun, belum ada tanda-tanda hujan akan mengguyur kampung Waru. Sementara, ritual garep sudah menelan dua orang korban: Kiman dan Rekas.
Lombok Tengah, 05 Agustus 2018.
Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.





[1] Panggilan untuk orang yang sudah tua, setara dengan kakek atau nenek (Bahasa Sasak Lombok)
[2] Semacam Gazebo (beratap rumbia)
[3] Gubuk di tengah sawah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...