Minggu, 09 September 2018

Cerpen

Reuni Hati Reny
Oleh: Wardie Pena
dimuat di media infotimur.com pada Minggu, 9 September 2018

Reny masih menelekan kedua lengan di atas besi pembatas balkon hotel. Seluruh perhatiannya ia serahkan ke perkebunan teh yang terhampar sepanjang mata bisa menjangkau. Sementara, Irfan duduk di sebuah kursi di belakang Reny sambil menyesap secangkir kopi, sehingga matanya hanya bisa menikmati lekukan punggungnya yang terbalut long dress tipis. Reny tak pernah mengharapkan kedatangan Irfan ke tempatnya. Hanya saja, ruangan mereka berdekatan, membuat Irfan nekad mengunjungi beranda belakang ruangan Reny.
Selang beberapa saat, terdengar suara jepretan kamera telpon pintar Reny yang dibidik ke arah para perempuan pemetik teh yang menggayuti keranjang di punggung mereka.
“Pemandangan di sini indah juga, ya. Aku suka sekali. Oh ya, katanya kebun teh ini dulu di tanam pertama kali oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apa itu benar?” tanya Reny, berusaha menghindari percakapan lebih jauh soal perasaan.
Irfan merasa kesal tak mendapat respon dari Reny. Kebun teh rupanya mampu mengalahkan kehadirannya di sisi perempuan pemilik bibir tipis dan mempesona itu, sehingga tentu ia juga sama sekali tak menghiraukan basa-basi tersebut.
“Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu itu?” balasnya kemudian.
“Ini adalah pertama kali aku ke puncak Bogor. Di rumahku tidak ada kebun teh, kecuali kebun sawit milik perusahaan orang asing. Jadi, pertanyaanku merupakan hal yang wajar, bukan?” timpal Reny lagi.
“Besok semua peserta Diklat ini akan pulang kampung. Mereka semua sudah menukar cendra mata. Hanya kita yang belum. Lagi pula, jika kedatanganmu hanya ingin melihat kebun teh, tingallah di sini atau sesekali datanglah kesini biar aku bisa menemanimu langsung menjelajahinya.”
“Apakah kita perlu melakukan itu?” Reny melenguh seakan ingin membalas respon asal Irfan barusan.
“Jika kamu masih menganggapku penting, kenapa tidak?”
“Status kita sudah beda, Fan, ingat itu.”
“Lantas?”
“Ya untuk apa lagi kita mesti bertukaran apa-apa?”
“Sebagai salah satu bukti reuni hati kita sekarang ini, Ren.”
Mulut Reny geming, lalu memutar kepalanya ke arah Irfan. Sehingga tatapan mereka sejenak bersirobok. Ia pun mulai kikuk. Sebenarnya ia tak ingin membenamkan pandangannya di mata bundar Irfan. Ia takut kalau-kalau mata itu mampu memutar waktu dan mencuat perasaannya kembali. Karena itu, ia segera mengalihkan mata ke arah semula. Lipatan bibirnya yang bergincu merah muda tak ia buka barang sedikit pun. Namun, upayanya tak berhasil. Mata itu sudah terlanjur menjalar ke dinding hatinya, sehingga membuat ritme napasnya sedikit tak karuan.
Irfan yang melihat kelebat mata Reny, tahu bahwa ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya. Akan tetapi, itu adalah suatu hal yang tak biasa sehingga hanya cukup dengan menggunakan bahasa tubuh saja. Rupanya, orang jika sedang memendam suatu rahasia seringkali tak sadar bahwa ia melakukan hal diluar kesadarannya. 
Ini memang pertemuan pertama mereka setelah tak lama Reny memutuskan untuk mengikuti bapaknya pindah ke Riau, selepas mereka kuliah lima tahun silam. Bapak Reny adalah seorang pegawai pemerintah. Setiap lima tahun bahkan satu tahun sekali dia biasa pindah ke Provinsi lain di Indoensia. Sebab itu, Irfan pun memutuskan untuk menikahi wanita lain setelah memastikan Reny benar-benar nyaman di tempat barunya itu. Saat kenyamanan sudah mulai menyelimuti seseorang, pada saat itulah kerinduan dan kenangan lama akan mulai terkikis, pikir Irfan. Itu pula waktu yang tepat baginya untuk beralih ke lain hati.
Irfan sendiri tak bisa memaksa Reny untuk melakukan apa yang dia minta seperti saat mereka menjalin hubungan dulu. Dan mereka memang sudah bukan siapa-siapa lagi saat ini. Akan tetapi, saat hari pertama acara pertemuan penulis yang mereka ikuti, Irfan benar-benar tak menyangka bahwa profesi yang sama rupanya bisa mempertemukan mereka kembali dalam status yang berbeda. Sehingga tak ada salahnya Irfan mengajak Reny untuk bertukar cendra mata sebagai bentuk reuni hati mereka.
“Reuni hati katamu?” seringai Reny setelah beberapa saat berusaha menguasai perasaannya.
“Ya, bagaimana menurutmu, Ren? Lagi pula, aku sudah bilang, istriku akhir-akhir ini sering minggat dan tingkah lakunya uring-uringan. Aku bosan sama dia, Ren,” sambung Irfan memecah kekakuan. “Kamu lihat bukit yang tinggi itu?” Telunjuknya mengacung ke puncak bukit yang terdapat di depan mereka. Pohon-pohon teh masih tampak menghijau di sana. Ia berharap hati Reny juga sesubur warna pohon itu.
“Menurutmu?”
“Ya kali aja matamu ke sana, tapi hatimu menatap ke hatiku,” goda Irfan.
“Kamu masih saja seperti dulu, Fan. Ge er. Lagi pula, aku tak punya sesuatu untuk ditukarkan.” Reny mendengus dan menyeret pandangan ke arah kabut di balik gunung yang mengintip mereka. “Lagi pula…” lanjutnya, “aku tak bisa melakukan itu. Kamu lihat, kan, cincin di jari manis kiriku?”
Perasaan Irfan semakin tak karuan ketika melihat cincin yang melingkari jari manis Reny. Seolah perasaan ketika mereka masih berpacaran dulu kembali mencuat saat ini. Dan itu bukan semacam de ja vu. Melainkan, mereka memang pernah sama-sama berjanji untuk saling setia dua tahun lalu. Mereka pernah melalui hari-hari bersama di kampus selama bertahun-tahun. Saat itu Reny selalu mengungkapkan keinginannya untuk mati bersama Irfan. Entah, Irfan pun tak tahu apa alasan kekasihnya itu menyatakan hal yang mereka sama-sama tidak tahu kapan itu akan terjadi. Ia sering kali bilang bahwa hanya maut yang bisa memisahkan mereka. Namun, kenyataannya, ketika Bapak meminta dirinya untuk ikut pindah ke tempat tugas baru, Reny tak bisa menolak. Ia takut jika menentang kemauan bapaknya, bisa-bisa ia berbuat nekad dan tak mau lagi menganggapnya anak. Tentu Reny pun akhirnya lebih memilih Bapak ketimbang cintanya pada Irfan. Dan ia sendiri menyadari bahwa perpisahan itu bukan semata-mata salah Irfan ataupun dirinya. Melainkan sudah kehendak takdir yang tak dapat ditebak orang.
“Maksud kamu?” selidik Irfan penasaran.
“Iya, aku sudah bertunangan dengan seorang pria di kampungku, Mas.”
“Kenapa kamu tak pernah cerita?”
“Apa perlunya aku melakukan itu? Mas sudah beristri, jangan egois.”
“Apa begitu cepatnya kamu melupakan aku dan janjimu dulu untuk mati bersamaku?”
Reny kembali melipat bibir dan melengos. Kali ini lebih erat dan lekat. Sementara Irfan tersentak, seakan tak menyangka jawaban itu akan meluncur dari mulut Reny. Tapi Reny sebenarnya sadar bahwa ia juga masih memiliki perasaan yang sama dengan Irfan. Hanya saja ia tak mungkin kembali padanya. Perjodohan yang dilangsungkan oleh bapaknya dengan seorang pria melayu di kampungnya beberapa waktu lalu, tak mungkin bisa digagalkan begitu saja.
Degup jantung Irfan terasa makin berat. Kini ia mendekati Reny dan berdiri sejajar di sampingnya. Lengan kanannya ia tempeli ke lengan kiri Reny. Lalu ia menyibak rambut hitamnya yang tergerai lurus dikibas angin senja dengan jari bergetar. Kamu masih cantik seperti dulu. Tak banyak hal yang berubah pada dirimu, gumam Irfan dalam hati. Namun, Reny lebih dulu menepis tangannya dan menggeser kakinya menjauhi Irfan.
“Aku tak mau ada kenangan lagi dalam pertemuan ini, Fan,” lirih Reny.
“Maksud kamu?”
“Semakin kamu menciptakan kenangan di hati kita, itu sama saja dengan menancapkan duri di hati kita. Juga ke hati pasangan kita masing-masing.”
“Aku tak peduli.”
Reny menggeleng. “Kamu benar-benar egois, Fan. Sudahlah, aku mohon kamu keluar dari ruangan ini. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Aku bebas menentukan jalanku sendiri, sebagaimana Mas menentukan jalanmu sendiri.”
“Besok pagi, kamu berangkat pulang jam berapa?”
Kali ini Irfan berharap mereka bisa bertemu untuk terakhir kalinya di bandara atau di stasiun gambir jika Reny mungkin menggunakan kereta api ke bandara. Akan tetapi, setelah pertanyaan terakhir itu, tak ada suara lagi berhembus dari mulut Reny. Kecuali hanya telunjuknya yang menuding lurus ke arah pintu. Sehingga perlahan Irfan menyeret kakinya keluar dari ruangan itu. Dan Reny  sendiri menatap punggung Irfan dengan dada sesak. Punggung itu sering dipeluknya dulu ketika masih kuliah dan dibonceng saat diantar pulang. Ia menunduk dan berusaha mengendalikan perasaannya. Beberapa titik air menetes ke dress bagian dadanya. Kenapa nasib tidak pernah sepakat dengan hati? gumamnya.

Lombok Tengah, 8 September 2018.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Ia tinggal di Lombok Tengah, NTB.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...