Rabu, 19 September 2018

Resensi

Belajar Makna Sabar dari Sosok Perempuan Inspiratif
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Kabar Madura Edisi Senin, 17 September 2018

Judul               : I am Sarahza
Penulis             : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit           : Republika Penerbit
Terbit               : Pertama, April 2018
Tebal               : 370 Halaman
ISBN               : 978-602-573-421-2
Sabar merupakan sikap yang sangat mulia dan dimuliakan dalam agama. Allah bahkan berpesan melalui Alquran yang kurang lebih berarti, “Sesungguhnya Aku bersama orang-orang yang bersabar”. Namun, faktanya, menerapkan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari bukanlah perkara gampang. Terlebih bersabar dalam menghadapi masalah. Kita sering kali mengeluh ketika ada masalah yang menghampiri. Memang, sikap mengeluh merupakan hal yang manusiawi. Tapi terlalu sering mengeluh tanpa berusaha mencari solusi adalah perbuatan yang sia-sia.
Hal ini mungkin saja terjadi karena kita menganggap bahwa masalah yang sedang menghimpit, demikian rumit dan kompleks. Padahal, banyak orang lain di luar sana mengalami persoalan yang jauh lebih kompleks dari yang kita hadapi. Tapi mereka tetap sabar dan tabah. Oleh karena itu, kita perlu membuka mata ke lingkungan sekitar dan mengambil pelajaran dari orang-orang bijak. Salah satu caranya adalah dengan membaca kisah mereka. Seperti sosok perempuan dalam novel berjudul “I am Sarahza” ini contohnya.
Buah pikiran terbaru Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang mereka alami selama menanti sang momongan. Biduk rumah tangga mereka hampir berusia dua belas tahun ketika akhirnya Allah mengaruniai mereka seorang anak. Tentu sebuah penantian yang panjang, bukan? Selama masa itu, banyak cara yang mereka tempuh agar bisa memeroleh keturunan. Pada tahun ketiga pernikahan, Hanum mulai mencoba program inseminasi di sebuah klinik Der Kinderwuensch atau Klinik Harapan Keluarga dibawah penanganan dokter Eva Herz di Wina, Austria. Di sana ia mengikuti suaminya yang sedang menempuh kuliah Doktoral (Strata 3). Akan tetapi, sayang sekali, program inseminasi pertama ini gagal.
Tak mau putus asa begitu saja, Hanum pun mencoba inseminasi kedua dan ketiga. Hasilnya mereka kembali gagal mewujudkan impian mempunyai anak melalui metode canggih tersebut. Akhirnya, setelah kembali ke Indonesia, pada tahun ketujuh pernikahan, mantan reporter swasta nasional ini memutuskan untuk mengikuti program In Vitro Fertilization (IVF) atau yang lzaim disebut dengan bayi tabung di Klinik Permata Hati, Yogyakarta. Tapi, dibawah penanganan dokter Showfal Widad, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit. Kegagalan demi kegagalan yang dialami Hanum membuatnya kehilangan harapan untuk memiliki anak. Bahkan ia sempat mengalami depresi. Dan pada puncak keputus asaannya, ia pernah meminta suaminya untuk mencari perempuan lain yang dapat memberinya keturunan.
Di sinilah kesetiaan cinta diuji. Alih-alih menuruti kemauan istrinya, Rangga justru menjelma bak seorang Malaikat. Ia sadar bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dengan naluri menguasai hingga mendominasi. Karena alasan itu sebagian besar laki-laki menerjemahkan poligami sebagai pengejawantahan, mengklaim sunnah yang dikuatkan. Namun, tidak demikian menurut Rangga. Kehebatan seorang laki-laki justru tidak ditentukan dari kemampuannya memiliki banyak wanita, tapi ketika ia berani memutuskan untuk setia hanya pada satu wanita (Hal. 211).
Akhirnya, berkat kesabaran dan ketegaran dalam melewati ujian besar itu, Allah menganugerahkan Hanum seorang anak perempuan pada tahun kesebelas pernikahan mereka, setelah melewati proses bayi tabung keenam. Sarahza Reashira nama bayi perempuan itu. Apa yang dilakukan sosok perempuan inspiratif ini patut dijadikan pelajaran bagi para perempuan dalam menempuh biduk rumah tangga mereka. Bahkan tidak hanya kaum hawa, tapi bagi siapa saja yang ingin belajar makna sabar yang sesungguhnya.
Lombok Tengah, 2 September 2018.

Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Resensi

Mengenalkan Fungsi Teknologi kepada Anak Melalui Cerita
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Sampit Edisi Minggu, 16 September 2018

Judul               : Naura & Genk Juara: The Adventure Begins
Penulis             : Veronica Widyastuti
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit               : Pertama, Desember 2017
Tebal               : 110 Halaman
ISBN               : 978-602-424-719-5


Fungsi dari sebuah cerita fiksi umumnya memberikan pesan moral kepada anak. Karenanya, agak hambar rasanya jika membicarakan karya fiksi anak tanpa membicarakan pesan atau amanat moral. Namun, apabila ditinjau dari beragam bentuk dan temanya, kebermanfaatan karya sastra anak tidaklah sesempit itu. Dengan kata lain, ia juga bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk mengenalkan objek tertentu. Seperti novel anak yang berjudul “The Adventure Begins: Naura & Genk Juara” ini. Selain menyelipkan pesan moral, ia juga mengenalkan fungsi teknologi sederhana pada anak.
Novel ini berkisah tentang petualangan seru bocah-bocah cerdik dari SD Angkasa, Naura, Okky, Bimo, dan teman-temannya dalam acara Kemah Kreatif di kawasan hutan tropis Situ Gunung. Tujuan mereka kesana adalah untuk mendemosntrasikan karya masing-masing. Namun, di luar dugaan, mereka malah berhadapan dengan Trio Licik, pencuri hutan yang memang sudah dikenal ganas sejak dulu. Hal itu bermula ketika Bimo mendapat giliran untuk menunjukkan drone karyanya. Tiba-tiba saja baling-baling drone itu tidak ia temukan di dalam tas. Ia pun mencurigai Okky, salah seorang regu satu sekolahnya, telah menyembunyikan benda itu lantaran tidak mau melihatnya berhasil.
Bimo mendesak Okky untuk mengakui perbuatannya. Namun, tentu saja Okky mengelak, karena memang ia tidak pernah melakukan tindakan culas itu. Perselisihan sempat terjadi setelah akhirnya mereka melihat Cepot, seekor monyet jinak milik seorang ranger cilik bernama Kipli, bertengger di atas pohon sambil memain-mainkan baling-baling drone milik Bimo di atas kepalanya. Mereka pun mengejar monyet usil yang berlari ke arah sebuah mobil asing yang terparkir di antara semak-semak tinggi.
Tak dinyana. Bocah-bocah hebat yang tadinya ingin mengejar baling-baling drone milik temannya itu rupanya mendapati fakta lain. Mobil tersebut ternyata milik pencuri. Puluhan satwa lindung ada di dalamnya lengkap dengan sangkar dan kandangnya. Satwa-satwa itu dalam kondisi siap dibawa kabur oleh Trio Licik. Okky dan teman-teman pun berusaha membongkar tindakan kriminal itu dengan memanfaatkan teknologi sederhana yang mereka miliki. Naura dengan smart watch­­ dan walkie talkie-nya, Bimo dengan drone-nya, dan beberapa jenis perangkap seperti ranjau semangka dan bom dry ice yang mereka buat bersama. Sehingga para pencuri satwa itu berhasil ditangkap, dan satwa lindung yang hendak dilarikan pun berhasil diamankan.
Hal menarik dari karya sastra anak ini adalah penulis tidak menjelaskan fungsi dari teknologi secara langsung. Melainkan melalui percakapan-percakapan seru diantara para tokohnya. Sehingga pembaca tidak merasa sedang diceramahkan. Seperti yang terdapat pada halaman 81 misalnya. Ketika Naura mengamati smartwatch di pergelangan tangannya lalu ada lingkaran biru yang berkedip, ia berkata pada teman-temannya, “Okky membawa GPS yang kutitipkan melalui Cepot. Kita bisa melacak posisinya.” Lalu Bimo menyahut, “Di mana dia sekarang?”. “Masih di sekitar Hutan Situ Gunung…” jawab Naura.
Melalui percakapan ini, penulis secara tidak langsung telah menjelaskan fungsi GPS yang dapat melacak keberadaan seseorang yang masih dalam lokasi GPS tracker. Selain GPS, penulis juga tentu menyuguhkan beberapa produk teknologi lainnya yang diintegrasikan dalam cerita. Novel anak ini sangat layak dan menarik untuk disajikan pada anak. Karena tidak hanya pesan moral yang akan didapatkan, tapi juga pengayaan wawasan terhadap fungsi teknologi.
Lombok Tengah, 10 September 2018
Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.






Minggu, 09 September 2018

Cerpen

Reuni Hati Reny
Oleh: Wardie Pena
dimuat di media infotimur.com pada Minggu, 9 September 2018

Reny masih menelekan kedua lengan di atas besi pembatas balkon hotel. Seluruh perhatiannya ia serahkan ke perkebunan teh yang terhampar sepanjang mata bisa menjangkau. Sementara, Irfan duduk di sebuah kursi di belakang Reny sambil menyesap secangkir kopi, sehingga matanya hanya bisa menikmati lekukan punggungnya yang terbalut long dress tipis. Reny tak pernah mengharapkan kedatangan Irfan ke tempatnya. Hanya saja, ruangan mereka berdekatan, membuat Irfan nekad mengunjungi beranda belakang ruangan Reny.
Selang beberapa saat, terdengar suara jepretan kamera telpon pintar Reny yang dibidik ke arah para perempuan pemetik teh yang menggayuti keranjang di punggung mereka.
“Pemandangan di sini indah juga, ya. Aku suka sekali. Oh ya, katanya kebun teh ini dulu di tanam pertama kali oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apa itu benar?” tanya Reny, berusaha menghindari percakapan lebih jauh soal perasaan.
Irfan merasa kesal tak mendapat respon dari Reny. Kebun teh rupanya mampu mengalahkan kehadirannya di sisi perempuan pemilik bibir tipis dan mempesona itu, sehingga tentu ia juga sama sekali tak menghiraukan basa-basi tersebut.
“Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu itu?” balasnya kemudian.
“Ini adalah pertama kali aku ke puncak Bogor. Di rumahku tidak ada kebun teh, kecuali kebun sawit milik perusahaan orang asing. Jadi, pertanyaanku merupakan hal yang wajar, bukan?” timpal Reny lagi.
“Besok semua peserta Diklat ini akan pulang kampung. Mereka semua sudah menukar cendra mata. Hanya kita yang belum. Lagi pula, jika kedatanganmu hanya ingin melihat kebun teh, tingallah di sini atau sesekali datanglah kesini biar aku bisa menemanimu langsung menjelajahinya.”
“Apakah kita perlu melakukan itu?” Reny melenguh seakan ingin membalas respon asal Irfan barusan.
“Jika kamu masih menganggapku penting, kenapa tidak?”
“Status kita sudah beda, Fan, ingat itu.”
“Lantas?”
“Ya untuk apa lagi kita mesti bertukaran apa-apa?”
“Sebagai salah satu bukti reuni hati kita sekarang ini, Ren.”
Mulut Reny geming, lalu memutar kepalanya ke arah Irfan. Sehingga tatapan mereka sejenak bersirobok. Ia pun mulai kikuk. Sebenarnya ia tak ingin membenamkan pandangannya di mata bundar Irfan. Ia takut kalau-kalau mata itu mampu memutar waktu dan mencuat perasaannya kembali. Karena itu, ia segera mengalihkan mata ke arah semula. Lipatan bibirnya yang bergincu merah muda tak ia buka barang sedikit pun. Namun, upayanya tak berhasil. Mata itu sudah terlanjur menjalar ke dinding hatinya, sehingga membuat ritme napasnya sedikit tak karuan.
Irfan yang melihat kelebat mata Reny, tahu bahwa ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya. Akan tetapi, itu adalah suatu hal yang tak biasa sehingga hanya cukup dengan menggunakan bahasa tubuh saja. Rupanya, orang jika sedang memendam suatu rahasia seringkali tak sadar bahwa ia melakukan hal diluar kesadarannya. 
Ini memang pertemuan pertama mereka setelah tak lama Reny memutuskan untuk mengikuti bapaknya pindah ke Riau, selepas mereka kuliah lima tahun silam. Bapak Reny adalah seorang pegawai pemerintah. Setiap lima tahun bahkan satu tahun sekali dia biasa pindah ke Provinsi lain di Indoensia. Sebab itu, Irfan pun memutuskan untuk menikahi wanita lain setelah memastikan Reny benar-benar nyaman di tempat barunya itu. Saat kenyamanan sudah mulai menyelimuti seseorang, pada saat itulah kerinduan dan kenangan lama akan mulai terkikis, pikir Irfan. Itu pula waktu yang tepat baginya untuk beralih ke lain hati.
Irfan sendiri tak bisa memaksa Reny untuk melakukan apa yang dia minta seperti saat mereka menjalin hubungan dulu. Dan mereka memang sudah bukan siapa-siapa lagi saat ini. Akan tetapi, saat hari pertama acara pertemuan penulis yang mereka ikuti, Irfan benar-benar tak menyangka bahwa profesi yang sama rupanya bisa mempertemukan mereka kembali dalam status yang berbeda. Sehingga tak ada salahnya Irfan mengajak Reny untuk bertukar cendra mata sebagai bentuk reuni hati mereka.
“Reuni hati katamu?” seringai Reny setelah beberapa saat berusaha menguasai perasaannya.
“Ya, bagaimana menurutmu, Ren? Lagi pula, aku sudah bilang, istriku akhir-akhir ini sering minggat dan tingkah lakunya uring-uringan. Aku bosan sama dia, Ren,” sambung Irfan memecah kekakuan. “Kamu lihat bukit yang tinggi itu?” Telunjuknya mengacung ke puncak bukit yang terdapat di depan mereka. Pohon-pohon teh masih tampak menghijau di sana. Ia berharap hati Reny juga sesubur warna pohon itu.
“Menurutmu?”
“Ya kali aja matamu ke sana, tapi hatimu menatap ke hatiku,” goda Irfan.
“Kamu masih saja seperti dulu, Fan. Ge er. Lagi pula, aku tak punya sesuatu untuk ditukarkan.” Reny mendengus dan menyeret pandangan ke arah kabut di balik gunung yang mengintip mereka. “Lagi pula…” lanjutnya, “aku tak bisa melakukan itu. Kamu lihat, kan, cincin di jari manis kiriku?”
Perasaan Irfan semakin tak karuan ketika melihat cincin yang melingkari jari manis Reny. Seolah perasaan ketika mereka masih berpacaran dulu kembali mencuat saat ini. Dan itu bukan semacam de ja vu. Melainkan, mereka memang pernah sama-sama berjanji untuk saling setia dua tahun lalu. Mereka pernah melalui hari-hari bersama di kampus selama bertahun-tahun. Saat itu Reny selalu mengungkapkan keinginannya untuk mati bersama Irfan. Entah, Irfan pun tak tahu apa alasan kekasihnya itu menyatakan hal yang mereka sama-sama tidak tahu kapan itu akan terjadi. Ia sering kali bilang bahwa hanya maut yang bisa memisahkan mereka. Namun, kenyataannya, ketika Bapak meminta dirinya untuk ikut pindah ke tempat tugas baru, Reny tak bisa menolak. Ia takut jika menentang kemauan bapaknya, bisa-bisa ia berbuat nekad dan tak mau lagi menganggapnya anak. Tentu Reny pun akhirnya lebih memilih Bapak ketimbang cintanya pada Irfan. Dan ia sendiri menyadari bahwa perpisahan itu bukan semata-mata salah Irfan ataupun dirinya. Melainkan sudah kehendak takdir yang tak dapat ditebak orang.
“Maksud kamu?” selidik Irfan penasaran.
“Iya, aku sudah bertunangan dengan seorang pria di kampungku, Mas.”
“Kenapa kamu tak pernah cerita?”
“Apa perlunya aku melakukan itu? Mas sudah beristri, jangan egois.”
“Apa begitu cepatnya kamu melupakan aku dan janjimu dulu untuk mati bersamaku?”
Reny kembali melipat bibir dan melengos. Kali ini lebih erat dan lekat. Sementara Irfan tersentak, seakan tak menyangka jawaban itu akan meluncur dari mulut Reny. Tapi Reny sebenarnya sadar bahwa ia juga masih memiliki perasaan yang sama dengan Irfan. Hanya saja ia tak mungkin kembali padanya. Perjodohan yang dilangsungkan oleh bapaknya dengan seorang pria melayu di kampungnya beberapa waktu lalu, tak mungkin bisa digagalkan begitu saja.
Degup jantung Irfan terasa makin berat. Kini ia mendekati Reny dan berdiri sejajar di sampingnya. Lengan kanannya ia tempeli ke lengan kiri Reny. Lalu ia menyibak rambut hitamnya yang tergerai lurus dikibas angin senja dengan jari bergetar. Kamu masih cantik seperti dulu. Tak banyak hal yang berubah pada dirimu, gumam Irfan dalam hati. Namun, Reny lebih dulu menepis tangannya dan menggeser kakinya menjauhi Irfan.
“Aku tak mau ada kenangan lagi dalam pertemuan ini, Fan,” lirih Reny.
“Maksud kamu?”
“Semakin kamu menciptakan kenangan di hati kita, itu sama saja dengan menancapkan duri di hati kita. Juga ke hati pasangan kita masing-masing.”
“Aku tak peduli.”
Reny menggeleng. “Kamu benar-benar egois, Fan. Sudahlah, aku mohon kamu keluar dari ruangan ini. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Aku bebas menentukan jalanku sendiri, sebagaimana Mas menentukan jalanmu sendiri.”
“Besok pagi, kamu berangkat pulang jam berapa?”
Kali ini Irfan berharap mereka bisa bertemu untuk terakhir kalinya di bandara atau di stasiun gambir jika Reny mungkin menggunakan kereta api ke bandara. Akan tetapi, setelah pertanyaan terakhir itu, tak ada suara lagi berhembus dari mulut Reny. Kecuali hanya telunjuknya yang menuding lurus ke arah pintu. Sehingga perlahan Irfan menyeret kakinya keluar dari ruangan itu. Dan Reny  sendiri menatap punggung Irfan dengan dada sesak. Punggung itu sering dipeluknya dulu ketika masih kuliah dan dibonceng saat diantar pulang. Ia menunduk dan berusaha mengendalikan perasaannya. Beberapa titik air menetes ke dress bagian dadanya. Kenapa nasib tidak pernah sepakat dengan hati? gumamnya.

Lombok Tengah, 8 September 2018.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Ia tinggal di Lombok Tengah, NTB.






Cerpen

Lelaki Bermata Teduh
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Rakyat Sultra Kendari edisi Jumat 7 September 2018

Aku sudah berjalan cukup jauh melintasi persimpangan jalan kota. Tapi lukisan-lukisan yang menggantung di leherku belum ada satu pun yang laku terjual. Tak terhitung berapa pengendara mobil yang kutawari saat lampu lalu lintas hijau menyala. Entah sudah berapa pengendara sepeda motor yang kusodorkan. Namun, tetap saja jumlah benda ini utuh. Sepertinya peminat lukisan klasik di dunia ini sudah mati semua.
Kini kuarahkan kakiku ke sebuah taman kota yang tak begitu luas setelah mengusap keringat yang mulai berseleleran di pelipisku. Matahari persis di atas kepalaku, menjilat seluruh tubuhku yang kumal. Tapi kurasa matahari sebenarnya terpaksa menjilat kulitku, karena sudah dua hari ini aku tak mandi. Andai saja ia seorang manusia, tentu saja ia sudah muntah. Seluruh tubuhku bau sekali, seperti bau kandang kambing. Itu kutahu dari orang-orang yang menutup hidung ketika berpapasan denganku.
Kau tahu, semua lukisan yang kubawa ini adalah buah tanganku sendiri. Karena memang sejak kecil aku sudah menaruh minat dan pandai melukis. Awalnya, bakat ini kujadikan hanya sekedar hobi untuk mengisi waktu saja. Tapi atas saran Paman Salimadik Ibu satu-satunya yang mengasuhkuagar bakat cemerlang ini dikembangkan, aku pun mulai menekuninya setelah menamatkan pendidikan dasar. Sekarang aku sudah cukup besar, seumuran siswa kelas delapan SMP, tapi tidak bersekolah lagi. Dengan modal peralatan lukis sederhana yang dibelikan Paman Salim, aku sudah menghasilkan berpuluh-puluh lukisan wajah seorang laki-laki dewasa yang kusebut ayah.  
“Itu lukisan siapa, dek? Boleh aku lihat?” tanya seorang laki-laki muda yang kutemukan sedang duduk bersama pacarnya di taman kota.
“Ini adalah lukisan ayahku,” sahutku sambil melepas dan mengulurkan salah satu lukisanku.
“Memang ayahmu siapa?”
“Kata Ibu, dulu ayahku pernah bekerja di beberapa bidang, diantaranya…”
Belum lengkap kalimat itu meluncur dari mulutku, pemuda bertampang intelek tersebut lantas mendahului, “Sebentar, maksudku apakah dia seorang aktor, ilmuwan, politikus, negarawan, dewan, dan lain-lainnya begitu? Dan kenapa kamu bilang ‘kata ibuku’? Kenapa kamu tak tahu pekerjaan ayahmu sendiri? Jangan-jangan kamu anak pungut, ya?”
Mulut pemuda yang kuduga intelek ini ternyata brengsek. Terlebih ia mengatakan itu dengan sedikit tertawa, seolah ingin memamerkan olokan murahannya di depan gadis cantik tersebut. Sungguh menjengkelkan. Baru kutahu rupanya ketika seorang lelaki berada di depan wanita, ia akan lupa diri sehingga berlagak semaunya. Termasuk menghinaku yang baru pertama kali ini bertemu dengannya. Karena tak berminat menimpalinya, aku pun berlalu di hadapannya tanpa meninggalkan sepenggal komentar.
Sekitar sepuluh meter dari tempat si pemuda brengsek dan pacarnya itu, mataku menangkap sebuah tempat duduk yang masih kosong di bawah pohon kenari yang cukup tinggi. Aku segera mendaratkan bokong di sana dan melepas tiga lukisan yang berukuran sedang di samping kananku, lalu mulai mengipas-ngipas wajahku yang rasanya sudah gosong dengan sengatan matahari.
Pohon kenari yang menaungi dudukan ini membuat suasana menjadi rindang. Ternyata salah satu makhluk yang paling baik saat matahari sedang meluapkan energinya adalah pohon. Udara segar mulai bertiup. Aku berhenti mengipas wajah. Dan aku mulai menghimpun pikiran agar bagaimana lukisan-lukisan ini bisa laku terjual. Aku coba mengingat-ingat beberapa pedagang yang kutemukan di perempatan barusan, dengan maksud mengikuti jejak penjualan. Seperti beberapa penjual koran itu, misalnya. Namun, setelah berpikir-pikir, kebutuhan orang akan koran dan lukisan tentu berbeda. Meski tak selaris makanan, tapi setidaknya koran selalu dibutuhkan orang banyak. Orang pintar lah setidaknya. Dengan begitu, aku tak dapat meniru trik berjualan dari rekan-rekan penjual koran.
Aku memindahkan konsentrasi seorang lelaki pedagang mainan anak-anak yang juga kutemukan di perempatan yang sempat kusinggahi tadi. Akan tetapi, nasib pedagang mainan denganku tak jauh berbeda. Selama menjajalkan dagangan di dekat lampu lalu lintas tadi, tak satu pun para pengendara atau pengguna jalan lainnya yang kulihat membeli mainan. “Ah, Om itu juga bernasib sama denganku. Mana bisa aku mengikuti trik jualannya,” gumamku sambil senyum-senyum sendiri.
Karena tak dapat menemukan solusi, aku pun berhenti mencari cara menjual lukisan-lukisan ini. “Yang penting tetap berusaha dan tak mudah bosan, suatu waktu orang pasti mulai tertarik dengan lukisan-lukisanku,” pikirku sembari meraba ingatan tentang waktu aku mulai suka melukis. 
Saat itu aku tengah berada di kelas empat SD. Pertama kali melukis atau tepatnya menggambar, alat yang kugunakan adalah pensil kerayon yang dibelikan Ibu. Karena keinginan kuat untuk melihat wajah asli Ayah, aku pun menggambar sketsa wajahnya.
“Ini gambar siapa?” tanya ibunya saat itu.
“Ini gambar Ayah, Bu.”
“Dari mana kamu tahu wajah ayahmu seperti ini?”
“Aku lihat foto Ayah di dalam laci Ibu.”
“Kurang ajar. Sembarang saja kamu buka-buka laci Ibu. Itu bukan ayahmu. Ayahmu sudah mati saat kamu dilahirkan. Lagi pula, wajahnya tak setampan itu. Kalau kamu mau melihat wajah ayahmu, pergilah ke kebun binatang. Udah, daripada kamu gambar dia, lebih baik kamu gambar Om Bery saja yang lebih kaya dan keren!” bentak Ibu.
Aku hanya diam ketika Ibu mencercaku. Entah kenapa setiap kali menyinggung soal Ayah, Ibu selalu geram dan berkata kasar. Aku memang tidak tahu di mana Ayah berada, tapi aku yakin bahwa foto yang kutemukan di dalam laci Ibu saat itu adalah dia. Karena aku merasakan semacam ikatan batin yang sangat erat ketika menatap foto laki-laki berwajah tirus dalam selembar kertas itu.
Aku ingin sekali bertemu Ayah. Namun, sampai kapan pun hal itu sepertinya tak mungkin dapat kulakukan. Sebab, setiap kali menyebut kata Ayah, Ibu pasti bilang dia sudah mati. Dan mengenai Om Bery yang disebut-sebut Ibu itu, adalah laki-laki yang belakangan suka main ke rumah. Aku sendiri tak mengerti kenapa laki-laki bertampang berang itu suka main dan sesekali menginap ke rumah, meski sebelumnya Ibu juga sering kedatangan tamu laki-laki beraneka rupa dan sikap pada diriku. Dan pada akhirnya, laki-laki yang bernama Bery itulah yang mengajak Ibu kabur entah ke mana.
Sejak itulah aku bebas menggambar wajah Ayah di atas buku gambar. Aku tak tertarik menggambar Ibu. Karena dia suka galak dan kadang memukulku jika wajahnya sudah berubah merah. Terlebih dia sudah meninggalkanku dan memilih pergi bersama laki-laki bertubuh gempal bernama Bery itu. Untung saja ada Paman Salim yang beberapa saat setelahnya membelikan kuas, palet, cat air, kanvas, dan peralatan lukis lainnya yang serba seadanya untuk mendukung hobiku.
“Kamu sedang menunggu siapa, Nak?”
Lamunanku tiba-tiba terbangun dengan pertanyaan sesosok laki-laki yang berdiri di depanku bersama seorang perempuan cantik. Aku mendongak dan mengedipkan kedua mata. Perasaanku terasa tak karuan dengan kehadiran laki-laki bermata teduh ini, seolah wajahnya tak asing di mataku. “Aku tidak menunggu seseorang. Tapi aku sedang berjualan, Pak,” sahutku tergeragap.
“Oh ya, berjualan apa?”
“Aku menjual lukisan, Pak.”
“Boleh aku lihat?”
Bapak yang kuduga berusia 40-an tahun tersebut sepertinya mulai tertarik setelah melihat dan memegang salah satu lukisanku. Akan tetapi, ia juga terlihat aneh setelah memperhatikannya lebih detail, seperti sedang menemukan sesuatu yang dicari sejak dulu dan tak diduga ditemukannya sekarang. Ia pun memintaku mengambil lukisan lainnya. Namun, wajahnya tambah tertegun setelah kusodorkan dua lukisan lainnya.
“Kenapa, Pa?” tanya perempuan berkulit putih bening yang berdiri di sampingnya. Sepertinya ia merasa ada yang aneh dengan gelagat suaminya.
“Ah tidak ada, Ma. Papa suka aja sama lukisan ini. Oh ya, berapa harganya, Nak?” tukasnya mengalih perhatian kepadaku.
“Seratus ribu per lukisan, Pak.”
“Aku ambil semuanya, ya.”
Laki-laki berpakaian perlente dan serba abu di depanku ini kemudian mengulurkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, lalu segera beringsut bersama istrinya.
“Pak, Pak, uangnya lebih!” pekikku setelah menghitung jumlah uangnya. Ternyata sebanyak lima ratus ribu rupiah.
“Ambil semuanya buat kamu.”
Ia terburu-buru masuk ke dalam mobil. Sementara, istrinya masih memandangku heran dan tak mengerti sama sekali dengan apa yang sedang terjadi pada suaminya. Aku sendiri masih menekuri mobil sedan berwarna hitam mengkilat yang mereka kendarai. Entah kenapa kehadiran laki-laki pembeli itu membuatku merasa begitu nyaman. Aku meraba pipiku untuk memastikan apakah ini benar-benar terjadi ataukah sedang bermimpi? Huuuh, aku baru sadar rupanya dia mirip dengan laki-laki bermata teduh yang kulukis sejak dulu. Mungkinkah dia adalah orang yang kucari-cari selama ini? Ah, mustahil. Matahari sudah mulai menyingsing di ufuk barat. Sebaiknya aku segera pulang, lalu mandi bersih dan makan besar dengan uang lima ratus ribu rupiah ini. Paman Salim pasti senang.

Lombok Tengah, 23 Juli 2018
Marzuki Wardi, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok, NTB.

Cerpen

Garep

Oleh: Wardie Pena
Dimuat di media cendananews.com. pada Sabut 18 Agustus 2018



Hawa panas masih menyelimuti kampung Waru. Kampung yang terletak di kaki gunung Semparu itu telah lima tahun di landa kekeringan. Padahal tidak biasanya daerah itu mengalami kemarau berkepanjangan. Karena lokasinya yang terletak di dataran tinggi, intensitas curah hujan cukup tinggi. Namun, kini hujan seakan tak sudi menyapa tempat itu lagi. Tak pernah sekali pun hujan turun selama lima tahun terakhir. Awan pekat hanya sesekali datang dan bergelayutan mengitari pemukiman lalu kembali bergeser ke arah lain. Air sungai sudah mengering. Air sumur kian surut meski berkali-kali warga mengeruk atau memperdalam sumur mereka. Waduk yang terletak di ujung kampung yang selama ini diandalkan untuk mengairi sawah ladang pun tak dapat dijadikan tumpuan harapan.
Kondisi itu membuat banyak tanaman musnah. Tanah menjadi kering kerontang dan retak-retak. Hewan ternak juga tak sedikit yang mati kelaparan dan kepanasan. Warga desa saling berebutan air bersih jika suatu waktu datang bantuan dari pemerintah kabupaten. Meski mengharapkan bantuan penyaluran air bersih itu tak ubahnya seperti memaksa agar mata mampu melihat telinga yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan bercermin. Selain lokasi yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten, jalan sempit yang sudah seperti sungai kering karena serakan bebatuan, membuat pemerintah jadi enggan menyambangi tempat itu.
“Aku sudah bilang sejak awal bahwa Kiman itu tidak bersalah,” ucap seorang tetua kampung Waru, Oak[1] Tede, kepada para warga kampung.
Ia menjadi semakin yakin, bahwa bala ini merupakan akibat kutukan ritual garep yang telah menelan nyawa Kiman lima setengah tahun silam.
“Bukankah kematiannya menandakan bahwa ia memang benar bersalah?” sahut seorang laki-laki yang lebih muda dari Oak Tede.
“Aku tak yakin dia mati lantaran meminum air suci itu. Aku curiga Rekas mendatangi rumah Kiman sepulang dari sanggar, lalu membunuhnya dengan cara melumpuhkan organ vitalnya atau bisa saja meracuninya,” tandas Oak.
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan sekarang, Oak?” tanya Jazuli, salah seorang tokoh pemuda di kampung itu.
“Kita harus mencari Rekas dan mendesak Kepala Desa untuk mengadakan ritual garep lagi,” timpal lelaki yang sudah berambut putih itu, lalu beringsut dari sekepat[2] tempat ia dan masyarakat lainnya berembuk pagi ini. Mereka pun mengikuti langkah Oak Tede untuk mencari Rekas.
***
Malapetaka itu bermula dari tuduhan Rekas, seorang warga yang kehilangan sepasang sapi. Ia menuduh Kiman lah dalang di balik pencurian itu. Kebetulan memang malam ketika peristiwa tersebut terjadi, Kiman sedang tidak berada di rumahnya. Melainkan ia sedang menginap di repok[3] ladang sayur miliknya di dekat lereng gunung Semparu. Selain itu, tuduhan tersebut juga bukan tanpa dasar. Kiman adalah seorang mantan maling. Semua warga tahu betapa beringasnya ia dulu menggondol barang-barang milik orang lain. Bahkan tidak jarang ia melukai tuan rumah bila sesekali mereka berupaya melawan. Karena untuk melancarkan aksinya, Kiman juga membekali diri dengan ilmu kanuragan yang mumpuni. Keberingasannya lambat laun tersiar ke berbagai desa tetangga. Sehingga banyak orang sekedar mendengar namanya saja, mereka sudah bergetar ketakutan.
Atas dasar itulah pemerintah desa bertindak tegas. Kepala Desa bersama elemen masyarakat sepakat untuk mengusir Kiman dari kampung Waru. Ia boleh tinggal dan bermukin di mana saja selama di luar kampung Waru. Namun, bagaimanapun juga, itu adalah masa lalu Kiman. Setelah lima tahun diasingkan dan hanya sesekali pulang menengok kondisi ayahnya yang sudah ringkih, ia akhirnya mengajukan permohonan agar diizinkan kembali ke kampung Waru. Dan setelah memenuhi syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya, Kiman akhirnya tercatat lagi sebagai warga di sana.
“Dari mana kamu tahu bahwa pelaku pencurian itu adalah Kiman?” tanya Pak Bakir, Kepala Desa Waru, ketika Rekas melaporkan peristiwa pencurian di rumahnya semalam.
“Apa Bapak lupa bagaimana buasnya dulu Kiman mencuri?”
“Ya, tapi itu dulu sebelum dia diusir. Sekarang Kiman sudah rajin beribadah dan ke ladang. Lagi pula, dia sudah bersumpah di hadapan semua warga untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. Mana mungkin dia berani melanggar sumpahnya.”
“Alah itu cuma topengnya saja, Pak. Coba ingat-ingat, selama si brengsek itu dibuang dari kampung ini, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke sini, kasus pencurian kembali merebak?” timpal Rekas meyakinkan Pak Kades. “Dan aku yakin dugaanku benar, karena Kiman malam itu tidak berada di rumahnya, Pak!” tutupnya mengakhiri pembicaraan.
Pak Bakir tersedak. Pendapat laki-laki berperawakan seperti egrang itu ada benarnya juga. Selama Kiman diasingkan, memang kondisi kampung menjadi aman damai. Tak pernah terdengar seekor ayam pun yang dicuri. Akan tetapi, sekembalinya dua minggu yang lalu, kasus pencurian mulai terjadi. Sepasang sapi milik Rekas adalah tumbal pertamanya. Meskipun demikian, lelaki nomor satu di kampung Waru itu tidak mau gegabah menghakimi Kiman sebagai pelakunya. Apalagi, di satu sisi, sumpah yang diucapkan Kiman tidak main-main. Nyawa adalah taruhannya. Pak Bakir pun mengajak para tetua kampung dan tokoh adat, untuk merundingkan langkah yang hendak ditempuh dalam memecahkan masalah pelik tersebut. Hingga akhirnya mereka semua sepakat untuk menyelenggarakan ritual garep. Meski ada satu dua orang menolak, tapi suara mereka kalah banyak dengan yang setuju.
Begitulah memang tradisi yang dijalankan masyarakat di kampung tersebut. Ketika kasus kriminal, khususnya pencurian, tidak dapat ditemukan pelakunya dan menimbulkan perkara baru, maka dilaksanakanlah semacam pembuktian melalui ritual garep. Yakni upacara meminum air suci yang diambil dari sebuah makam keramat di kampung Waru, oleh dua pihak yang sedang berselisih. Itu pun melalui proses panjang dan musyawarah bersama tokoh dan tetua kampung, karena ritual tersebut akan menelan korban kematian atau bala bencana.
Dua malam berikutnya, semua warga kampung berkumpul di sanggar desa untuk menyaksikan ritual sakral tersebut. Rekas dan Kiman duduk di tengah dikelilingi para tetua dan tokoh kampung, tak ubahnya seperti dua orang terdakwa persidangan. Meski dikerumuni hampir ratusan orang, tapi suasana sanggar tampak hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari depan sanggar. Selain untuk menghidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?    
 Setelah meminta kesiapan mereka berdua, Oak Minarsih, seorang tokoh adat, menyodorkan dua cangkir yang hampir serupa mangkuk berisi air suci. Rekas lekas meraih cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Kiman setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Rekas, pastilah Kiman yang sebentar lagi akan terkapar, pikir mereka.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan lantang dari mulut Kiman. “Aku sudah bersumpah di hadapan kalian untuk tidak mencuri lagi. Dan malam ini pun aku bersumpah, jika aku mati lantaran meminum air ini, semoga Rekas baik-baik saja!”
Seperti halnya Rekas, ia pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu saja. Suasana di seputar sanggar semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu terpaku pada tubuh Kiman, menunggu kepastian sebuah kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara mereka berdua yang tergeletak di tempat. Bulan sabit sudah merangkak di atas atap sanggar, menandakan malam telah berbau pagi. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat pun pulang dengan perasaan lega. Tapi, rasa lega itu tak bertahan lama. Esok harinya jasad Kiman ditemukan terkapar di bawah pohon pisang di belakang rumahnya.
***
Oak Tede dan beberapa orang warga telah sampai di depan rumah Rekas. Laki-laki yang berjuluk Tuan Sapikarena memiliki puluhan ekor sapi dan terbanyak di kampung Waruitu sungguh terkejut melihat kedatangan Oak.
“Ada apa Oak mengajak orang ramai-ramai ke rumahku?” tanyanya.
“Meminta pertanggung jawabanmu!” timpal Oak.
“Pertanggung jawaban apa?”
“Atas kematian Kiman.”
Rekas sebenarnya sudah bisa menduga bahwa kedatangan lelaki berjangat kisut ini akan membicarakan soal kematian Kiman. Selain tidak punya urusan apa-apa dengannya, dia lah satu-satunya yang bersi keras membela mantan maling itu ketika musyawarah bersama para tokoh kampung dulu. Pikiran Rekas pun berkelebat pada peristiwa yang terjadi hampir enam tahun lalu. Saat itu, sepulang dari ritual garep, ia dan dua orang temannya mendatangi rumah Kiman, lalu mengikat tubuhnya dan meminumkan racun dan membuang mayatnya ke belakang rumah setelah membuka ikatan tali. Tapi, mengakui hal itu saat ini tentu saja sebuah kekonyolan besar.
“Sudahlah, Kiman sudah menjadi tanah. Untuk apa lagi Oak membahasnya sekarang,” jawabnya enteng, setelah beberapa lama terdiam.
“Tidak bisa begitu. Aku yakin Kiman tak bersalah. Kamu pasti telah membunuhnya, dan sekarang kita semua kena dampak ritual garep.
“Terus, mau Oak apa sekarang?”
Garep harus kita laksanakan kembali.”
“Tidak bisa begitu!”
Wajah Rekas berubah merah mendengar kalimat terakhir Oak. Kematian Kiman cukuplah sebagai penebus hilangnya sepasang sapinya. Masa ya harus melakukan ritual itu lagi? Jika itu ia lakukan, sama saja artinya dengan menggali liang lahat sendiri, pikirnya. Ia pun bersi keras mengelak bertanggung jawab.
“Kalau kamu memang merasa benar, kenapa kamu mesti takut?” celetuk salah seorang pemuda yang membuntuti Oak.
“Siapa yang takut? Tapi itu percuma, anak muda!”
Adu mulut tak berlangsung lama setelah Oak meminta mereka menyergap tubuh Rekas, lalu memaksanya ke kantor desa. Atas dasar musyawarah tokoh adat dan tetua kampung, dua hari kemudian ritual garep kembali dilaksanakan. Namun, beberapa hari setelahnya, hujan tetap tak turun-turun. Bahkan, mereka menunggu selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bermusim-musim, bertahun-tahun, belum ada tanda-tanda hujan akan mengguyur kampung Waru. Sementara, ritual garep sudah menelan dua orang korban: Kiman dan Rekas.
Lombok Tengah, 05 Agustus 2018.
Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.





[1] Panggilan untuk orang yang sudah tua, setara dengan kakek atau nenek (Bahasa Sasak Lombok)
[2] Semacam Gazebo (beratap rumbia)
[3] Gubuk di tengah sawah 

Resensi

Hakikat Berbangsa dan Bernegara dalam Sudut Pandang Islam
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Bhirawa Surabaya edisi Jumat 7 September 2018

Judul                : Kiai Hologram
Penulis              : Emha Ainun Nadjib
Penerbit            : Bentang Pustaka
Terbit               : Pertama, Maret 2018
Tebal                : 288 Halaman
ISBN               : 978-602-291-468-6
Kita hidup di negeri yang tidak hanya memiliki kekayaan alam. Tapi juga budaya, agama, ras, dan bahasa yang beranekaragam. Kendatipun demikian, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal hidup rukun dan damai. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai lini tersebut justru dimanfaatkan sebagai alat untuk merajut tali persaudaraan. Tidak heran bila “Bhineka Tunggal Ika” menjadi semboyan bangsa kita.
Sayangnya, akhir-akhir ini kita nyaris kehilangan jati diri tersebut. Berbagai ancaman persatuan terus-menerus menghantui nasionalisme kita. Perundungan, persekusi, ujaran kebencian (hate speech), intoleransi, hedonis, dan beberapa kasus lainnya merupakan problematika sosial yang tidak boleh dianggap sepele jika kita berkomitmen untuk merawat eksitensi kebhinekaan kita. Karena meski sudah diancam dengan sejumlah sanksi, tapi masih saja tindakan asosial tersebut menjadi santapan di kalangan tertentu.
Emha Ainun Nadjib atau yang lebih populer dengan nama Cak Nun, melalui buku terbarunya ini, mengajak kita untuk merenungi secara mendalam tentang hakikat berbangsa dan bernegara kita. Jika ditilik dari judulnya, pembahasan buku ini seakan berkutat hanya pada persoalan agama saja. Memang, sebagian besar konten esai bahkan temanya berkaitan dengan agama. Akan tetapi, itu tidak terlepas dari persoalan kemanusiaan dan kebangsaan. Dengan kata lain, beliau (penulis) hendak mengemukakan bagaimana seharusnya berbangsa dan bernegara dalam konteks agama.
Pada esai yang berjudul “Mengantar Anak-Anakku ke Gerbang Peradaban Baru” misalnya. Penulis memaparkan transformasi peradaban lama (bersahaja) menuju peradaban baru (canggih). Menurutnya, banyak pergeseran (nilai) yang terjadi sejak Indonesia menjadi modern.  Fondasi sosial banyak yang berubah, konstruksi bangunan budaya berubah, landasan dan tujuan hidupnya berubah. Manusia tidak lagi mengedepankan kemanusiaan, melainkan status sosial, harta benda, dan kekuasaannya. Masyarakat Indonesia didesak tanpa bisa mengelak untuk memeluk agama globalisasi (Hal. 41).
Pada esai lain, “Tongkat Perppu dan Tongkat Musa”. Penulis membahas tentang makna khilafah yang baru-baru ini ramai diperdebatkan. Menurutnya, khilafah itu adalah benih atau biji. Bukan barang jadi semacam makanan yang sudah matang dan sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maiidah (hidangan). Dengan demikian, khilafah akan berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda. Biji khilafah bisa tumbuh menjadi pohon kesultanan, kekhalifahan, kerajaan, republik, federasi, perdikan, padepokan, atau komunitas saja (Hal. 157).
Buku ini terdiri dari 5 bagian dan 45 judul esai. Semuanya membahas berbagai persoalan kebangsaan dari sudut pandang Islam. Namun, tentu ia tidak berupa semacam rumusan falsafah negara. Melainkan melalui esai-esai tersebut, penulis pada dasarnya mengajak kita untuk berpikir dan memikirkan Indonesia. Dikemas dengan bahasa yang santaidalam arti tidak menggunakan bahasa formaldan sesekali diselingi lelucon, menjadikan kita tidak jenuh menikmati esai demi esai. Buku ini sangat layak dibaca oleh setiap elemen bangsa untuk merawat kebhinekaan kita.
Lombok Tengah, 4 September 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.


Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...