Minggu, 25 Oktober 2020

Resensi Buku

 

Totalitas Guru Tentukan Keberhasilan Siswa

Oleh: Marzuki Wardi

(Resensi ini pernah dimuat di SKH Jawa Pos Radar Madura (JPRM) pada 25 Oktober 2020)

Judul               : Guru Aini

Penulis             : Andrea Hirata

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tahun Terbit   : Pertama, Februari 2020

Tebal               : 336 halaman

ISBN               : 978-602-291-686-4

Pada umumnya, orang cerdas dipahami sebagai orang yang memiliki Intelligence Quotient (IQ) tinggi, yang sejauh ini diyakini dipengaruhi oleh faktor gen. Apabila orang tua cerdas, kemungkinan keturunannya juga akan cerdas. Namun, pandangan tersebut akan terbantah ketika membaca novel prekuel “Orang-Orang Biasa” ini. Melalui novel terbarunya ini, Andrea Hirata ingin menunjukkan bahwa setiap orang sejatinya memiliki potensi menjadi manusia cerdas. Meski seseorang tersebut bodoh bahkan bebal sekalipun. Dengan catatan ia harus benar-benar gigih dalam belajar.

Namun demikian, satu hal yang tak dapat dipisahkan di sini ialah peran seorang guru. Guru yang tidak hanya cerdas, tapi tak kenal menyerah dalam mendidik. Guru yang mampu memenuhi apa yang dibutuhkan siswanya dalam rangka menumbuh kembangkan potensi tersebut. Baik itu kesungguhan niat, penguasaan metode, teknik, pendekatan, dan sentuhan emosional yang tulus. Singkatnya, totalitas pengabdian seorang guru dalam mendidik sangat mendukung keberhasilan belajar anak.

Potret seperti itulah yang ditunjukkan sosok Guru Desi Istiqomah dan Aini. Bu Desi ialah guru matematika super cerdas dan idealis di sebuah SMA di Belantik. Sementara, Aini adalah seorang siswa bodoh dan berlatar belakang keluarga miskin. Ia bahkan  dikategorikan bebal, khususnya dalam pelajaran matematika. Selain bebal, Aini pada mulanya tidak suka pelajaran matematika. Namun, ia berubah drastis sejak ayahnya mengalami sakit aneh yang konon hanya bisa diobati dengan ilmu kedokteran. Sejak itulah Aini bercita-cita menjadi dokter ahli, dan memutuskan untuk pindah ke kelas yang diampu Bu Desi.

Berbagai macam metode, pendekatan, dan teknik pun diterapkan Bu Desi untuk membangkitkan kemampuan Aini dalam pelajran matematika. Tapi, toh, selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, tidak juga membuahkan hasil. Aini, anak Dinah yang juga pernah diajarinya itu tidak menujukkan peningkatan hasil belajar sama sekali. Tak ayal, perasaan bosan, jenuh, marah, jengkel, sesal, dan berbagai perasaan negatif lainnya merundung Bu Desi. Tapi, ia harus tetap bertahan, karena pernah berjanji bahwa dirinya harus menemukan siswa cerdas di sekolah itu.

Sadar bahwa kecerdasan seseorang tidak selamanya bisa dibentuk dengan cara yang sama dengan orang lain, Bu Desi pun menempuh cara lain. Ia mengadopsi metode dalam buku The Principle of Calculus, yang merupakan buku andalannya sewaktu kuliah dulu. Perjuangan Bu Desi pun berujung manis ketika Aini pada akhirnya menjelma menjadi siswa cerdas dalam matematika. Bahkan, ia termasuk lulusan terbaik di sekolah itu. Tapi, apakah bekal itu mampu mewujudkan cita-cita Aini masuk ke fakultas kedokteran?

Ditilik dari ending cerita, novel ini sebenarnya tidak sekadar menggambarkan pengabdian sosok seorang guru, dan tekad seorang siswa dalam mengejar mimpinya. Novel ini merupakan satire terhadap ketimpangan sistem pendidikan kita yang acap kali mengebiri hak kaum proletar. Apa artinya kecerdasan jika, toh, ujung-ujungnya anak cerdas seperti Aini tidak diberi kesempatan untuk mewujudkan mimpinya? Meskpun ia lulus tes seleksi, tapi tetap saja tidak dapat berstatus mahasiswa karena ia tidak mampu membayar biaya daftar ulang yang jumlahnya sangat fantastis bagi seorang anak pedagang kaki lima sepertinya.

Satire ini terutama lebih ditonjolkan pada sekuel lanjutan “Orang-Orang Biasa”. Sebagaimana gaya tutur khas Pak Cik Ikal pada novel-novel lainnya, novel “Guru Aini” masih menjadi suguhan bacaan yang mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Namun, yang tak kalah penting untuk direnungi, bagi saya, ialah pesan mendalam yang disampaikan oleh penulis. Bahwa setiap orang sejatinya memiliki potensi besar di dalam dirinya. Dan itu perlu ditemukan dan ditempa sejak dini.

 

Lombok Tengah, ditulis pada 27 September 2020

 

 

 

Sabtu, 10 Oktober 2020

Opini

 

PERAN APBN DALAM MENDUKUNG KEBERLANGSUNGAN PENDIDIKAN PADA MASA PANDEMI

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/di-desember-2016-rupiah-terapresiasi-pada-4-mata-uang-ini/


Dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19) semakin tak terelakkan. Ia tak hanya melumpuhkan aktivitas perekonomian, tapi juga aktivitas-aktivitas sosial, budaya, agama, dan terutama yang akan kita bahas dalam tulisan ini ialah sektor pendidikan. Pada dasarnya, akan seperti apa generasi bangsa ini ke depan sangat bergantung pada proses pendidikan saat ini. Karena itu, bagaimanapun juga, aktivitas pendidikan tidak boleh mangkrak. Ia harus tetap berjalan meskipun terlunta-lunta.

Tugas lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) saat ini pun menjadi bertambah. Mereka tidak hanya berupaya memenuhi hak belajar siswa, tapi juga menjamin kesehatan dan keselamatan mereka selama proses belajar. Karena pertemuan secara langsung atau tatap muka (secara kolektif) di sekolah belum memungkinkan, maka pola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan satu-satunya pilihan yang tepat. Sejauh ini, ada dua model pembelajaran yang dikembangkan yaitu pola dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).

Pembelajaran daring dilaksanakan melalui media internet, baik dengan penugasan melalui media sosial oleh guru atau dengan mengakses sumber-sumber belajar seperti rumah belajar di link Kemdikbud, TV edukasi Kemdikbud, guru berbagi, video pembelajaran, radio edukasi, kelas daring untuk siswa dan mahasiswa, dan berbagai sumber yang disediakan oleh Kemdikbud dan platform belajar digital. Sedangkan, media dan sumber belajar luring dapat melalui televisi (program belajar TVRI), radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, dan bahan ajar cetak.[1]

Namun, pada penerapannya, PJJ ternyata tidaklah sesederhana itu. Berbagai dinamika dan problematika baru kemudian bermunculan. Dari segi kognisi siswa misalnya, transformasi pola belajar ini tentu melahirkan metode, gaya, dan teknik belajar baru. Seorang siswa yang tipe belajarnya audible-visual, dengan adanya PJJ daring, ia harus beradaptasi dengan pembelajaran tipe audible. Siswa yang tadinya terbiasa belajar dengan bimbingan atau pengarahan langsung dari guru (direct method), kini harus berupaya belajar lebih mandiri yang notabene minim pengawalan. Begitu seterusnya. Konsekuensinya, guru pun dituntut untuk meningkatkan kompetensinya agar mampu mengembangkan materi dan metode mengajar yang adaptif dengan kondisi tersebut.

Kemudian, dari segi latar belakang ekonomi keluarga, banyak siswa tidak memiliki fasilitas untuk menunjang PJJ daring. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan, PJJ Fase II ini tidak hanya terkedala listrik, internet, dan biaya. Namun, masih banyak siswa tidak memiliki gawai pintar secara pribadi, sehingga mereka tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya pada siang hari. [2]

Kondisi ini nyaris senada dengan konten berita di sebuah surat kabar beberapa saat lalu. Dua bocah kakak beradik di Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, rela menyisihkan waktunya untuk membantu orang tuanya berjualan agar bisa membeli paket data internet. Konon, mereka membutuhkan sekitar 140 ribu perbulan untuk membeli paket data demi menunjang PJJ daring. Mereka bahkan menyempatkan diri belajar di tengah aktivitas berjualan. Si adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar, terekam kamera wartawan sedang sibuk menuangkan materi pelajaran hasil jelajahan sang kakak dari internet ke buku tulisnya.[3]

Fenomena ini seakan menjadi bumerang dan tamparan bagi penyelenggara pendidikan dan pemangku kebijakan. Digitalisasi yang dipercaya mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup, di sisi lain, rupanya telah membuka jurang disparitas sosial-ekonomi. Bagaimana tidak, bagi orang tua siswa yang berlatar belakang ekonomi menengah ke atas, harga paket data sejumlah itu mungkin saja setara harga bahan bakar mobil mereka untuk sehari. Tapi, bagi mereka yang hidup serba pas-pasan, belajar seakan menjelma perhiasan mewah yang harus ditebus mahal untuk mendapatkannya.

Dalam kondisi seperti ini, penerapan belajar luring yang diharapkan menjadi solusi alternatif acap kali menemukan kejumudan teknis. Misalnya rasio jumlah guru dan siswa yang terpaut cukup jauh membuat guru kesulitan dalam penjadwalan tatap muka (home visit), biaya operasional, jarak dan lokasi rumah siswa dengan guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menyebabkan pembelajaran kurang efektif.

Carut marutnya manajemen (kelas) pendidikan seperti ini tentu berpengaruh pada keberhasilan belajar siswa. Heterogenitas pelaksanaan pembelajaran antar sekolah yang satu dengan yang lain turut menjadi penyumbang. Secara holistik, capaian tujuan pendidikan nasional, diakui atau tidak, untuk sementara ini sedikit tertatih-tatih. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis dan urgen untuk memacu laju program pendidikan di masa pandemi ini. Beberapa kasus di atas bisa menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu), selaku pengelola keuangan negara, mendapat percikan tanggung jawab atas kondisi ini. Tapi, pada masa pemulihan ekonomi di tengah pandemi, defisit anggaran bisa menjadi pertimbangan utama untuk menggelontorkan pembiayaan program di luar pagu yang sudah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga. Karenanya, bagaimana menyelesaikan masalah pembiayaan dengan tetap menjaga neraca ekonomi negara dan siklus ekonomi rakyat, menjadi tugas berat Kemenkeu saat ini.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sarana penyaluran dana negara yang disusun secara sistematis dan komprehensif, menduduki peran sentral dalam hal ini. Melirik fostur APBN tahun 2020, dana pendidikan masuk sebagai sepuluh terbesar belanja negara dengan jumlah sekitar 36.301,2 miliar rupiah khususnya melalui Kemdikbud. Secara keseluruhan, dana pendidikan mencapai 20% berdasarkan komponen anggaran, yaitu sebesar 508.084,5 triliun rupiah.[4] Dari jumlah yang cukup fantastis tersebut, tentu belum terdapat komponen pembiayaan yang mengarah pada penyelesaian persoalan pendidikan yang dipaparkan di atas. Karena memang segala jenis pembiayaan mesti melalui mekanisme perencanaan.

Namun, kebermanfaatan suatu pembiayaan, menurut saya, tidak hanya diukur dari segi nominal saja, tapi juga ketepatan momen pembiayaan tersebut digunakan. Itulah esensi pembiayaan yang tepat sasaran. Sebelum berakhirnya tahun realisasi, kalau memungkinkan, pembiayaan di sektor pendidikan dapat direalokasikan ke pembiayaan yang bersifat krusial. Beberapa komponen yang dapat dimasukkan ialah pembiayaan pendidikan dan latihan guru dalam rangka pengembangan bahan ajar selama PJJ, bantuan stimulus siswa kurang mampu untuk pengadaan fasilitas menunjang PJJ, bantuan operasional PJJ luring, pengadaan fasilitas internet di tingkat desa (melalui transfer dana desa), bantuan guru (khususnya guru non PNS) terdampak pandemi, dan beberapa komponen lain di luar pembiayaan reguler untuk melancarkan laju pendidikan.

Kita tidak tahu sampai kapan kita terperangkap dalam pandemi ini. Karenanya, bekal untuk menjaga keberlangsungan masa depan bangsa perlu dikelola dengan baik. Salah satu caranya ialah dengan mereorientasi anggaran dana pendidikan dalam APBN. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang dapat menghambat proses pendidikan di masa pandemi dapat diatasi, tanpa harus menggemukkan belanja negara.

Lombok Tengah, 8 Agustus 2020.

 

 Keterangan: Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Perpustakaan Kemenkeu 2020 bertajuk #Suratcintadariguru

 

 [1] Dikutip dari Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Senin, 05 Oktober 2020

Opini

 

Sampah dan Paradoks Desa Wisata

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari https://communication.binus.ac.id/2019/01/18/buang-sampah-sembarangan-ga-zaman-banget/



Beberapa saat yang lalu, dalam pembukaan acara desa wisata di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah, wakil gubernur NTB Hj. Sitti Rohmi Djalilah, menghimbau agar para pegiat dan masyarakat di sekitar desa wisata untuk memerhatikan sampah. Beliau menegaskan bahwa salah satu kunci pengembangan desa wisata menjadi maju dan berkembang ialah kebersihannya. “Bicara indah, Pulau Lombok dan Sumbawa ini dikatakan surga dunia, namun untuk persoalan sampah dan pengelolaannya masih minim dam tata kelolanya tidak profesional,” tukasnya.

Pernyataan Bu Wagub di atas saya kira bukan tanpa landasan. Tentu beliau berbicara berdasarkan data dan fakta di lapangan. Dan, ungkapan beliau tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa desa wisata yang sedang marak digaungkan akhir-akhir ini masih menjadi paradoks. Artinya, kita siap dari segi fisik (objek wisata), tapi belum siap secara mental. Kita punya banyak destinasi wisata (lokal) yang indah, tapi regulasi yang mengarah pada perusakan lingkungan seperti pembuangan sampah di sembarang tempat masih kurang. Jika wisata hanya persoalan keindahan alam, saya kira kita akan menemukan sebuah kejumudan.

Kenapa saya perlu mengutarakan hal ini? Sebab sampah memang masih menjadi masalah serius di daerah, bahkan termasuk di negara kita. Masyarakat kita sering kali tidak peduli dengan kondisi sampah di sekitar lingkungan. Perilaku kita terhadap sampah belum sepenuhnya merepresentasikan ajaran yang terdapat dalam agama kita. Di jalanan, di tempat-tempat pelayanan umum, di tempat ibadah, di rumah sakit, dan tempat-tempat lainnya, acap kali kita temukan orang dengan begitu entengnya membuang sampah sembarangan. Padahal sampah mencerminkan kebripadian kita. Dengan kata lain, bagaimana perlakuan seseorang terhadap sampah merupakan cerminan pola hidupnya.

Di sisi lain, masyarakat memang tidak dapat sepenuhnya dikambing hitamkan. Edukasi dan pembiasaan pola hidup bersih dan penanganan sampah di tingkat bawah (masyarakat), semisal dari unit keluarga, masih sangat minim—meskipun ini masih erat kaitannya dengan persoalan individu. Namun, percikan-percikan sikap apatis inilah yang terakumulasi menjadi gunung masalah sampah di daerah kita.

Di Provinsi NTB misalnya, menurut Syamsudin, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, terdapat 2.695 ton atau 80 persen dari total sampah tidak terurus dengan baik. Beliau mengakui bahwa volume sampah di sepuluh kabupaten/kota di NTB mencapai 3.388 ton dan sampah yang dibuang perhari mencapai 76 ton. Sedangkan, yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah 641,92 ton dan yang sudah didaur ulang hanya 51,21 ton perhari.[1]

Berapa persen jumlah yang disumbangkan oleh dunia pariwisata merupakan hal yang perlu kita pikirkan bersama. Maksud saya, dalam kaitannya dengan pengembangan wisata, khususnya wisata desa yang saat ini sedang marak diupayakan oleh banyak pemerintah desa, penanganan sampah sangat perlu mendapat perhatian khusus. Persoalan sampah seyogiyanya menjadi hal yang krusial untuk dimasukkan sebagai salah satu dari sekian prasyarat lain dalam pengembangan wisata.

Pembentukan Pokdarling

Penanganan sampah memang bukan sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah desa. Akan tetapi, sebagai bagian dari pemerintahan tekecil dalam sebuah negara, setidaknya ia memiliki beban sistemik dalam mendukung program pemerintah di atasnya, setingkat gubernur misalnya. Maka, dalam hal ini, pemerintah desa harus mendukung pogram provinsi bebas sampah (zero waste province) yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi NTB. Ia memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat untuk peduli sampah. Bahwa langkah-lagkah strategis dan konservatif perlu diupayakan mulai dari tingkat bawah. Salah satu upaya yang bisa diwujudkan ialah dengan membentuk Pokdarling (Kelompok Sadar Lingkungan) di desa.

 Unit ini nanti bisa mengakomodasi berbagai hal terkait upaya pengelolaan sampah. Mulai dari pengadaan satu dusun satu TPS (tempat pembuangan sementara) atau satu gubuk satu TPS misalnya, edukasi dan pelatihan pengelolaan sampah di masyarakat, daur ulang, dan berbagai langkah solutif lainnya. Jangan sampai masyarakat hanya ditekankan untuk tidak membuang sampah sembarangan, sementara mereka tidak difasilitasi untuk menghindari perilaku tersebut. Jadi, pokdarwis yang sudah terbentuk harus diimbangi pula dengan semangat pemeliharaan lingkungan melalui pembentukan pokdarling.

Saya tentu tidak bermaksud menghalau upaya baik pemerintah (desa) dalam memajukan pariwisata kita. Karena bagaimanapun juga pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap siklus ekonomi masyarakat. Akan tetapi, semangat pengembangan wisata desa juga harus dibarengi dengan memprioritaskan beberapa daya dukung. Salah satunya terkait pengelolaan sampah di sekitar area wisata. Sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam industri pariwisata, bukan malah meninggalkan sampah yang dapat menimbulkan citra buruk. Terlebih daerah kita telah mendapat gelar wisata halal dunia.

Jika objek wisata yang notabene sudah diakui keindahannya bisa dikomplain hanya karena persoalan sederhana itu, bagaimana dengan spot wisata lokal yang baru mau dikembangkan dan belum teruji dari segi popularitas (name branding)? Sekali lagi, persoalan sampah, baik di area wisata maupun di lingkungan masyarakat, merupakan satu dari sekian komponen penting lainnya yang perlu mendapat perhatian serius dalam agenda pengembangan desa wisata, agar kita tidak menjadi, meminjam istilah Sarie Febriane, seperti lautan cendol: banyak tapi tidak terkelola dengan baik.[2]

Jadi, kesiapan membangun desa wisata tidak hanya diukur dari indah atau tidaknya, potensial atau tidaknya sebuah spot wisata yang hendak dikelola, tapi sejauh mana pemerintah (desa) mengelola lingkungan dan meningkatkan SDM masyarakat.

Wallahua’lam bissawab.

Lombok Tengah, 25 Juli 2020.

Marzuki Wardi, menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Karya tulisnya tersebar di berbagai media massa, baik cetak maupun daring, lokal dan nasional. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

 

 



[2] Istilah ini diambil dari reportase wartawan Kompas yang berjudul “Agar kita tidak menjadi cendol” yang dimuat pada Minggu 25 Agustus 2019.

Rabu, 23 September 2020

Cerpen

 

Hujan yang Mengguyur Hatimu

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Medan Pos 20 September 2020


Kamu membuang mata ke luar jendela. Hujan masih saja tampak berguyur deras. Sudah sekian menit kamu duduk termenung di kursi kerja sore ini. Namun tak banyak hal yang dapat kamu lakukan. Ujung polpen yang kamu gigit tak terasa nyaris melesung. Apa yang kamu harapkan sekaligus yang dikhawatirkan selama ini rupanya benar-benar terjadi.

Bukan. Bukan kamu takut pulang terlambat atau pun tak bisa pulang karena hujan. Karena semua orang tahu bahwa kamu mengendarai mobil ke kampus, sehingga kamu bisa pulang kapan pun tanpa takut terkena basah. Akan tetapi, hujan, selalu saja mampu mengundang rindumu pada Beni, lelaki desa yang kemudian kamu panggil pawang hujan itu. Rintik-rintiknya bagai kepingan kenangan yang telah kamu lalui bersama lelaki itu beberapa tahun silam.

Kamu menghela napas dalam dan sesekali melirik ke meja kerja yang penuh dengan tumpukan map milik mahasiswa. Sebenarnya masih banyak pekerjaan yang mesti kamu selesaikan. Tapi hujan telah merajai pikiran dan tubuhmu untuk melepas segala macam kesibukan di depan mata.

“Ada beberapa mahasiswa yang mau konsultasi, Bu.”

Martini, seorang asistenmu, setengah membuka pintu ruangan. Kedatangannya lantas membuyarkan lamunanmu. “Kamu ambil saja dan taruh map mereka di atas meja kerjaku. Bilang, besok sore ambil skripsi mereka,” sahutmu mengarahkan telunjuk ke luar pintu.

Dengan raut kecut Martini kemudian keluar dan kembali meletakkan beberapa map warna biru ke onggokan map sebelumnya.

Kamu kemudian memutar kursi ke arah semula dan sekarang lebih menempeli jendela ruang kerjamu yang terletak di lantai tiga. Kembali kamu menghela napas dan memilin ujung rambutmu yang agak ikal. Kamu baru menyadari bahwa apa yang dilakukan barusan adalah bukan etika seorang dosen. Suasana hati memang terkadang bisa menuntun seseorang berbuat diluar kebiasaan. Apalagi kamu masih terbilang cukup muda. Jadi, apa yang keluar dari mulutmu mudah terbawa emosi.

-***-

Senja itu kamu tengah duduk di sudut taman desa, menekuri hujan yang tak turun lagi. Dan, kamu merasa terganggu ketika lelaki bernama Beni yang juga teman sekolahmu saat itu tiba-tiba menghampiri.

“Hayooo, kamu mikirin apa?” tegurnya.

Kamu pun lebih memilih diam.

“Hey?” sahut lelaki itu lagi mengipas-ngipas telapak tangan yang kemudian diikuti gerakan matamu naik turun, “kamu lamunin aku, ya?” lanjutnya menggoda.

“Pede banget. Mau siapa-siapa, bukan urusanmu!” jawabmu ketus. Lalu laki-laki itu dengan langkah ringan merenggang meninggalkanmu sehingga membuatmu merasa kesal. Mulai saat itu sebenarnya kamu tahu bahwa dirimu sedang butuh perhatian. Hanya saja kamu terlalu gengsi untuk mengakui itu. Buktinya kamu memanggilnya.

Lelaki itu membalikkan badan setelah beberapa meter menyeret kaki, “Lah, tadi aku tanya kamu jawabnya ketus. Ya sudah…”

“Hey…tunggu. Iya maaf, aku lagi sedih,” jawabmu singkat. Beni tersenyum puas atas kekalahanmu. Dan kamu sendiri semakin kesal.

“Boleh kutahu apa yang membuatmu bersedih hati nona cantik?” rayunya, sebuah rayuan kolot dan norak di telingamu.

“Kenapa akhir-akhir ini hujan tak turun lagi?”

Pemuda itu tersenyum simpul mendengar alasan kesedihanmu. Terdengar sepele memang. Tapi bagi orang yang menggilai sesuatu dan ketika yang digilainya itu tak di depan mata, pada saat itulah kerinduan bermula. Dan kerinduan sendiri selalu menyiratkan kesedihan.

“Kenapa kau tersenyum?” balikmu dengan perasaan heran dan masih kesal.

“Kamu suka hujan?”

Kalian seperti saling tawar menawar pertanyaan.

“Ya,” jawabmu ketus lantaran pertanyaanmu tak dijawab langsung.

“Sekarang memang bukan musim hujan, tapi bukan berarti hujan tak bisa turun. Maukah kamu melihat hujan turun?”

Mulutmu mulai mengembang senyum mendengar pertanyaan Beni. Tapi kamu masih terdiam. Di satu sisi seolah tak percaya dengan apa yang didengar telingamu.

“Kenapa kamu tak mengundangnya saja?” balas Beni.

“Mengundang hujan? Emang bisa?” Suaramu mulai terdengar antusias.

“Kenapa tidak?”

“Bagaimana caranya?”

“Maukah kamu mengikutiku?”

“Mau.” Senyummu semakin lebar.

“Tengadahkan kepalamu ke langit dan tangkuplah mulutmu dengan kedua tangan. Lalu, bukalah ketika mengeluarkan suara, agar suaramu sampai pada awan.”

“Apa yang akan kita lakukan?” kamu masih cerewet bertanya.

“Ikuti saja aku!”

Kamu pun akhirnya mengikuti apa saja yang dikatakan Beni.

“Sekarang kita lantunkan syair ini; wahai angin yang baik hati tolong jemputlah awan, wahai awan yang baik hati tolong jemputlah hujan, wahai hujan yang baik hati aku merindukanmu, datanglah kemari agar kekasihku tak bersedih lagi. Lalu setelah itu bersiullah sampai angin terasa menghelai rambutmu.”

Kamu mengikuti perintahnya dengan baik, tapi sayang kamu tak bisa bersiul. “Syair apa namanya yang tadi itu?” Kamu justru bertanya.

“Itu syair pengundang hujan. Ayo coba bersiul lagi, buruan!” serunya.

Lagi, kamu coba bersiul. Tapi berkali-kali kamu mencoba memonyongkan mulut, tetap saja tak menghasilkan bunyi siulan. Mulutmu yang mungil hanya bisa menghembuskan angin lembut.

“Aku tak bisa,” sambarmu menunjukkan mulut yang masih monyong.

Tawa Beni pun pecah meihat gelagatmu yang polos.

“Kenapa kau tertawa?” jengkel.

“Kamu lucu. Lucu sekali.”

Kamu kesal dan berpura-pura ngambek, “Kamu ngerjain aku, ya?”

“Tidak. Tepatnya menghibur kamu,” kata Beni.

“Dasar menyebalkan,” balasmu dengan raut marah yang dibuat-buat.

Kelakar pun meledak di antara kalian. Dan, kalian saling kejar-kejaran di antara pepohonan taman desa. Sore itu hujan tidak turun, tapi setidaknya kesedihanmu hilang. Dan kamu sendiri tak menyadari bahwa kehadiran Beni mampu mengganti hujan. Bahkan lebih dari itu, pemuda bermata cerlang itu dapat membuat mulutmu tertawa lebih lebar daripada tawamu saat hujan turun.

Sejak saat itu, lambat laun apa yang kamu rasakan kepada Beni berbuah perasaan suka. Kamu merasa tenang dan bahagia ketika melihatnya. Kamu merasa kehadiran laki-laki kampung itu mampu menghapus kesedihan atas absennya hujan. Rupanya tanpa kamu sadari, Beni telah mampu mengganti kehadiran hujan. Hingga akhirnya suatu hari kalian menjalin hubungan asmara. Kalian saling mencintai satu sama lain.

Akan tetapi perasaan itu tak berlangsung lama setelah papamu tak mengizinkan kalian walau sekedar untuk bertemu. Papamu tak suka pada Beni, si lelaki desa berparas rupawan yang membuatmu selalu ceria ketika hujan tak turun. “Kamu tak bisa mengharapkan apa-apa dari seorang anak petani, Risty. Ia tak punya masa depan,” ucap papamu suatu hari.

Kamu begitu sedih dengn keadaan itu. Akan tetapi kamu tak berani menentang sikap papamu yang intimidatif. Karena menurutnya, soal pasangan tak bisa ditolerir. Itu menyangkut masalah kehidupan. Dan karena pacaran merupakan jembatan yang suatu saat dapat mengantar pada pernikahan, papamu pun sangat khawatir jikalau kalian tetap nekat menjalin kasih.

Kamu pun dipindahkan sekolah ke ibu kota, yang pada saat itu kamu baru menginjak kelas XI SMA. Di sana kamu tinggal bersama nenek, keluarga dari pihak ibumu. Karena kamu lagi-lagi tak bisa membantah kemauan papa, maka kamu pun menelan keputusan itu mentah-mentah. Suka tak suka, mau tak mau, kemauan papa harus tetap kamu turuti.

***

Bibirmu tersenyum-senyum mengenang syair pengundang hujan yang selalu kamu rapalkan bersama lelaki kampung yang kemudian kamu panggil pawang hujan itu. Kini kamu menyadarai bahwa apa yang dirasakan saat ini adalah tak sekedar soal hujan, sebagaimana yang kamu alami ketika masih belia dulu. Dan, kamu memahami bahwa cinta tak ubahnya seperti air hujan. Di mana pun kamu berada, selama kakimu masih berpijak pada tanah, selalu ada kemungkinan hujan turun. Dan, ketika itu terjadi, selalu saja ia mampu menguap rindu di dinding hatimu.

Tanganmu meraih tas jinjing yang digeletakkan di atas meja kerja, lalu keluar dan turun ke lantai satu di mana pintu masuk utama berada di sana. Kamu mendongak. Tak lama kemudian, kamu memecah hujan dengan tubuhmu yang jenjang dan seksi sambil merapal syair pengundang hujan persis seperti yang kamu lakukan dulu bersama lelaki pawang hujan itu. Hujan sore ini tak sekedar mengguyur tubuhmu tapi juga hatimu, kamu akhirnya menyatu dengannya. Menyatu dengan cintamu.

Lombok Tengah, 04 September 2020.

Wardie Pena, menulis cerpen, esai, dan resensi buku. Beberapa karyanya sudah dimuat di media lokal dan nasional.

Resensi Buku

Mengasah Kecakapan dalam Berkomunikasi

Oleh: Marzuki Wardi

dimuat di SKH Kabar Madura pada 17 September 2020

Judul               : The Magic of Talking

Penulis             : Jessica Arabella

Penerbit           : Araska Publisher

Tahun Terbit   : Pertama, Januari 2020

Tebal               : 232 halaman

ISBN               : 978-623-7537-37-3

Dalam berbagai bidang, kita sangat membutuhkan kemampuan (skill) komunikasi yang baik. Dalam dunia bisnis misalnya, kita tidak bisa bayangkan bagaimana seorang manajer akan bernegosiasi dengan rekan kerja atau custumer-nya jika ia tidak punya kemampuan komunikasi yang andal. Seorang guru atau pengajar di perguruan tinggi, mustahil bisa menjalankan tugasnya dengan baik jika tak dibekali kecakapan komunikasi yang memadai. Sederhananya, kecakapan komunikasi sangat penting bagi siapa pun dan profesi apa pun. Lebih dari itu, seseorang yang piawai dalam berkomunikasi biasanya akan terkesan lebih unggul dari pada mereka yang kaku dalam mengolah kata-kata.

Namun, perlu juga dipahami bahwa berkomunikasi tidak melulu berkaitan dengan kata-kata. Kecakapan komunikasi merupakan seperangkat kemampuan berbahasa yang terdiri dari beberapa komponen yang terikat satu sama lain. Salah satu komponen penting selain kemampuan berbicara tersebut berasal dari faktor kepribadian kita yang penulis beri judul The Miracle of Personality pada bagian pertama buku ini.

Seorang komunikator yang baik harus memiliki kepribadian yang baik pula. Sebab, lawan bicara atau komunikan juga tentu akan melihat dengan siapa ia berbicara. Jika ia berbicara dengan orang yang suka melanggar aturan atau bersikap sembrono, tentu ia merasa sulit menghargai lawan bicara. Jadi, di sini kita perlu meningkatkan integritas diri. Ada beberapa hal yang perlu dijaga dalam membangun integritas diri yaitu selalu menepati janji, tidak plin-plan, bertanggung jawab, jujur, dan terbuka (hal.11). Disamping beberapa hal tersebut di atas, masih banyak lagi sikap yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kepribadian seperti sikap percaya diri, mengembangkan keahlian, bijaksana, memperluas wawasan dan pengetahuan, pandai mengontrol emosi, dan lain sebagainya.

Untuk menjadi seorang komunikator ulung, hal berikutnya yang mesti diperhatikan setelah kepribadian ialah teknik membuka hati lawan bicara. Kemampuan ini pada dasarnya lebih berkaitan dengan emosional, atau dengan kata lain kemampuan memahami kondisi psikis lawan bicara. Lihat saja pada halaman 109 misalnya, pada sub bab Yakinlah Bahwa Dia Sama dengan Anda. Orang biasanya akan tertarik untuk berbicara jika ia merasa ada kesamaan—entah itu minat, perasaan, pengalaman, gaya, hobi, atau passion—dengan lawan bicaranya.

Oleh karena itu, jika kita ingin mempengaruhi lawan bicara, jangan terburu-buru mengungkapkan tujuan kita berbicara dengannya. Tapi berusahalah mengambil hatinya terlebih dahulu dengan menemukan hal tersebut pada dirinya, kemudian kita tunjukkan bahwa kita juga memiliki hal yang ada pada dirinya. Keterampilan persuasif semacam ini sangat penting dimiliki oleh seorang pedagang, negosiator, politikus, konsultan, dan beberapa profesi lainnya.

Tidak hanya kecakapan komunikasi dalam bentuk dialog, dalam buku ini penulis juga menguraikan trik-trik menjadi seorang pembicara di depan publik seperti ceramah, pidato, presentasi,  menjadi MC, dan orasi. Kesederhanaan bahasa dan uraian langkah-langkah yang praktis menjadikan buku ini sangat mudah dipahami oleh semua kalangan, terutama bagi para pemula yang ingin mengembangkan kompetensi mereka dalam publik speaking. Karenanya, saya kira buku ini sangat tepat bagi siapa saja yang ingin melatih atau meningkatkan kemampuan komunikasi mereka di berbagai situasi dan kondisi.

 

Lombok Tengah, ditulis pada 14 Juli 2020

 


Kamis, 17 September 2020

Opini Pendidikan

 

Menerawang Masa Depan (Budaya) Bangsa

Melalui Kebijakan Merdeka Belajar

Oleh: Marzuki Wardi

Dimuat di SKH Lombok Post pada Senin 07 September 2020

Ada kabar baik bagi dunia perbukuan dan budaya bangsa kita. Beberapa saat yang lalu, Ketua Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji Laura Prinsloo, menuturkan bahwa konten Indoenesia akhir-akhir ini semakin diminati di luar negeri. Sementara ini, konten berupa buku fiksi dan nonfiksi masih menjadi dominasi. Karenanya, ia menargetkan lebih banyak penerbit yang terlibat dalam Content Con/Week yang akan digelar pada November 2020 mendatang bersama Frankfurt Book Fairs di Jakarta. [1]

Pada bulan Maret 2019 lalu, Indonesia juga menjadi negara tujuan pemasaran (market focus country) pada perhelatan London Books Fair 2019 di London, Inggris. Terdapat 450 judul buku, 20 penerbit, dan 12 penulis yang hadir pada ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia itu. Kabar baiknya lagi, promosi warisan budaya bangsa berupa mode, kuliner, musik, film, dan minuman tradisional mendapat sambutan hangat publik Inggris pada saat itu. [2]

Saya merasa tertarik menguliti dan mengurai topik berita ini, karena di sisi lain isu rendahnya minat baca masyarakat (khususnya siswa) kita akhir-akhir ini semakin santer dipergunjingkan. Lalu, apakah dengan meningkatnya minat terhadap konten-konten tersebut bisa menghapus stigma “malas baca” kita, bahkan mendominasi pasar internasional? Barangkali terdengar sedikit ilusif, tapi setidaknya kita bisa jadikan isu ini sebagai titik tolak dalam memetakan dan merancang masa depan (budaya) bangsa kita.

Lembaga-lembaga pendidikan sebagai penderma ilmu pengetahuan sebenarnya memiliki kedudukan penting dalam hal ini. Terutama dalam mencetak generasi yang responsif terhadap peradaban. Kebijakan merdeka belajar yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim cukup relevan dalam upaya mendukung program tersebut secara berkesinambungan.

Merdeka belajar mengusung semangat pembelajaran yang berorientasi pada proses, bukan hanya pada hasil berupa angka-angka di atas kertas (sistem rangking). Dengan memosisikan sebagai subjek, siswa diberikan ruang untuk menggali potensi dan belajar mengekspresikan diri dan gagasan mereka. Sehingga kemampuan bernalar mereka akan terasah sejak dini. Ada beberapa alasan logis lainnya kenapa saya melihat kebijakan “merdeka belajar” ini cukup potensial dalam mendukung program di atas.

Potensi Melahirkan Penulis Masa Depan

Ditinjau secara komprehensif, kebijakan ini memiliki implikasi yang cukup luas bagi sistem pendidikan kita. Tapi, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada soal literasi dan budaya saja. Substansi salah satu komponen Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKM) yang menekankan pada kemampuan literasi (bernalar dengan menggunakan bahasa), secara tidak langsung akan mengarah pada upaya menumbuhkan minat baca siswa sejak dini.

Perlu diingat, minat baca masyarakat kita masih dipandang sebagai masalah yang cukup besar saat ini. Bahkan tidak hanya masalah minat, tapi juga kemampuan memahami isi bacaan. Indra Charismiadji, seorang pengamat pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa banyak orang Indonesia saat ini sudah mulai suka membaca, tapi masih kurang dalam memahami apa yang mereka baca. Mengutip Journal of British, ia menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu gejala komplasensi. Artinya kita menganggap tidak ada masalah terhadap apa yang dikerjakan, tapi sebenarnya ada masalah yang dapat menghalangi tujuan. Ia kemudian merujuk hasil tes Program for International Student Assessment (PISA) untuk memperkuat statmennya.[3]

Namun bagaimanapun juga, hal ini bukan berarti upaya menumbuhkan minat baca dapat dikesampingkan. Bahkan, menurut saya, merangsang keinginan untuk membaca lebih penting dilakukan di usia dini alih-alih menekankan kemampuan memahami isi bacaan. Sebab, ketika minat anak telah tumbuh, maka ia akan merasa butuh dan berupaya untuk memenuhi hasrat ingin tahunya dengan membaca. Jika membaca sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan, daya (kemampuan) baca perlahan-lahan akan terasah. Dan ini adalah bekal awal yang baik bagi mereka.

Tugas guru kemudian ialah bagaimana menempa siswa agar mampu mengekspresikan diri, ide, dan pengetahuan mereka ke dalam bentuk tulisan, sesuai dengan jenjang dan tingkat intelegensinya. Sehingga seiring perkembangan dan kematangan intelektual, mereka akan tumbuh menjadi pribadi literat yang pandai menuangkan gagasannya. Dengan demikian, para penulis masa depan akan terlahir dari rahim pendidikan, khususnya dari kebijakan merdeka belajar.

Merawat Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa

Selain berpotensi melahirkan penulis masa depan, substansi “survei karakter” dalam AKM juga berimplikasi pada upaya merawat pendidikan karakter anak secara berkesinambungan (dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas). Pendidikan karakter memang dilaksanakan secara tersirat atau terintergrasi dalam setiap mata pelajaran. Dan, karena berupa perilaku, maka ia tidak dapat diukur secara kuantitatif. Namun, “survei karakter” bisa menjadi reminder bagi pendidik untuk merefleksi sejauh mana upaya menumbuh kembangkan karakter anak telah dilakukan di setiap jenjang pendidikan.

Ketika nilai-nilai karakter, seperti karakter gotong royong, toleransi, musyawarah, kebhinekaan, dan karakter lainnya yang diajarkan di sekolah, sudah terpatri dalam diri anak, maka ia akan menjadikannya sebagai pola hidup. Dan, ketika setiap individu menerapkan karakter tersebut dalam kehidupan sosial-masyarakat, maka ia akan menjelma menjadi budaya. Hal ini mengacu pada pengertian budaya menurut Koentjoroningrat, bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar.[4]

 

Dalam kaitannya dengan produk-produk budaya yang dikontestasikan di panggung global di atas, pemerintah hendaknya mengakomodasinya dalam kurikulum sekolah. Tidak hanya dipelajari secara teoritis—dengan jam pelajaran yang minim—, tapi lebih kepada pendekatan praktis. Dinas Pendidikan di daerah, sebagai perpanjangan tangan Kemdikbud, bisa diberdayakan untuk menyelenggarakan beragam agenda kebudayaan, dengan melibatkan siswa dan guru. Dengan demikian, generasi bangsa tidak akan kehilangan identitas budayanya sendiri. Mengingat kencangnya gelombang difusi budaya di era disrupsi ini.

Jadi, upaya menduniakan produk intelektual dan budaya bangsa perlu didukung oleh pemerintah melalui sektor pendidikan. Dan, kebijakan “merdeka belajar” yang baru-baru ini dicanangkan Kemdikbud bisa menjadi kendaraan baru yang dapat mempercepat lajunya perjalanan menuju terminal masa depan bangsa. Namun demikian, tentu saja kunci keberhasilan kebijakan tidak terletak pada keistimewaan konsepnya, melainkan sejauh mana kebijakan tersebut dapat diterapkan. Apalah artinya kendaraan mewah jika hanya diparkir di dalam garasi. Bukankah begitu?

 

Lombok Tengah, ditulis pada 22 Agustus 2020

 

 



[2] Surat Kabar Harian Kompas edisi Senin, 11 Maret 2019.

[3] Hal tersebut disampaiakan pada forum Indonesia Lawyers Club (ILC) pada tanggal 28 Juli 2020 dengan tema “NU, Muhammadiyah, dan PGRI Mundur”.

[4] Koentjoronongrat dalam buku Ilmu Budaya Dasar karya Ramdani Wahyu, hal. 96

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...